Di sebuah pelosok Sumatera, terpencil, jauh dari hingar bingar kota, Andi lahir dan dibesarkan dalam kesederhanaan, bahkan cenderung kemiskinan yang mencekik. Rumahnya gubuk reyot berdinding papan usang, beratap daun rumbia, dan beralaskan tanah yang dingin. Di sanalah ia menghabiskan masa kecilnya bersama sang ibu, perempuan tangguh namun keras hati bernama Nurmala. Udara di desa itu selalu lembap, berbau tanah basah dan asap kayu bakar, diiringi suara jangkrik di malam hari dan kokok ayam di pagi buta. Andi adalah anak laki-laki satu-satunya, seorang diri, sebab ayahnya sudah lama pergi, kabur entah ke mana, meninggalkan luka menganga di hati Nurmala yang tak pernah tersembuhkan.
Dulu, sebelum Andi lahir, Nurmala memiliki seorang anak perempuan sulung yang sangat ia dambakan, namanya Mitha Ayu. Mitha adalah segalanya bagi Nurmala, cahaya di tengah kegelapan hidupnya yang serba kekurangan. Namun, takdir berkata lain. Di usia lima tahun, Mitha Ayu direnggut demam berdarah, pergi begitu saja, meninggalkan Nurmala dalam duka yang tak terperi. Kepergian Mitha bukan hanya kehilangan seorang anak, melainkan kehancuran seluruh dunianya. Nurmala berubah, ia menjadi pendiam, tatapan matanya sering kosong, dan senyumnya hilang ditelan kesedihan. Ia tak henti-hentinya menyalahkan takdir, mengutuk nasib, dan perlahan, akal sehatnya seolah terkikis, digantikan oleh obsesi aneh yang tumbuh dalam benaknya.
Obsesi itu perlahan terwujud ketika Andi menginjak usia enam tahun. Kala itu, Andi adalah bocah laki-laki desa pada umumnya. Rambutnya dipotong pendek rapi, kulitnya legam karena sering bermain di bawah terik matahari, dan kakinya penuh luka goresan karena menjelajah hutan dan sawah bersama teman-teman sepermainannya. Ia suka berlari, memanjat pohon, dan bermain gundu. Ia adalah Andi, seorang anak laki-laki.
Namun, suatu sore yang mengubah segalanya, Nurmala memanggil Andi. Wajahnya terlihat aneh, ada senyum tipis yang tak biasa di bibirnya, dan matanya memancarkan cahaya yang ganjil. Nurmala mengeluarkan sebuah kotak kayu tua dari bawah ranjangnya. Dari dalam kotak itu, ia mengambil sehelai baju kurung kecil berwarna kuning pudar, lengkap dengan selendang dan kerudung lusuh. Baju itu adalah milik Mitha Ayu, baju terakhir yang dipakai Mitha sebelum meninggal.
"Mitha, sini Nak," kata Nurmala lembut, suaranya seperti bisikan angin. Ia tidak memanggil Andi dengan namanya, melainkan Mitha.
Andi kecil bingung. Ia menatap baju di tangan ibunya, lalu ke wajah ibunya yang tampak asing. "Aku Andi, Bu," katanya polos.
Nurmala menggeleng. "Bukan. Kamu Mitha. Mitha Ayu. Kamu anak Ibu yang kembali."
Tanpa menunggu persetujuan, Nurmala mulai memakaikan baju kurung kuning pudar itu pada Andi. Kainnya terasa gatal di kulit Andi yang terbiasa dengan kaus oblong usang. Ukurannya terlalu kecil, membuat Andi merasa sesak. Ia mencoba protes, meronta, tetapi tatapan mata Nurmala yang dingin dan genggaman tangannya yang kuat membuat Andi ciut. Ia terlalu kecil dan terlalu takut untuk melawan kehendak ibunya.
Sejak hari itu, kehidupan Andi berubah drastis. Ia tidak lagi diizinkan memakai pakaian anak laki-laki. Setiap hari, Nurmala akan memilihkan baju perempuan untuknya, mulai dari daster sederhana hingga baju kurung yang lebih formal, semua adalah warisan dari Mitha Ayu. Rambutnya yang mulai panjang dibiarkan tumbuh, dan Nurmala sering mengikatnya dengan karet gelang atau menjepitnya dengan jepit rambut berwarna-warni.
"Anak perempuan itu rambutnya panjang, Mitha," kata Nurmala, sambil menyisir rambut Andi yang kusut dengan jari-jarinya yang kasar. "Cantik, kayak Ibu."
Andi kecil bingung. Ia melihat teman-teman lelakinya bermain sepak bola di lapangan, berlari bebas dengan celana pendek dan kaus. Ia ingin bergabung, ia ingin merasakan rumput di kakinya, ingin mengejar bola yang memantul. Namun, setiap kali ia mencoba melangkah keluar dengan pakaian perempuan, Nurmala akan menariknya kembali.
"Mitha tidak boleh main lumpur. Mitha tidak boleh kasar. Anak perempuan harus jaga diri, harus di rumah, bantu Ibu," perintah Nurmala.
Nurmala mulai mengajari Andi hal-hal yang ia yakini sebagai "perilaku perempuan sejati." Ia melarang Andi berbicara dengan suara keras, menyuruhnya duduk bersimpuh alih-alih bersila, dan mengajarinya cara berjalan dengan langkah-langkah kecil dan anggun. Andi kecil, yang masih belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, hanya bisa menuruti. Ia merindukan ayahnya, merindukan kebebasan yang dulu ia miliki. Tetapi ayahnya tidak ada, dan ibunya adalah satu-satunya pelindungnya di dunia yang keras ini.
Di mata Nurmala, Andi bukan lagi putranya, melainkan Mitha Ayu yang telah kembali. Ia berbicara dengan Andi seolah berbicara dengan Mitha, menceritakan kenangan-kenangan masa lalu tentang anak perempuannya yang sudah tiada. Ia akan duduk di samping Andi, mengelus rambutnya, dan berkata, "Mitha, kamu satu-satunya yang Ibu punya. Kamu adalah Mitha yang kembali." Kata-kata itu, yang seharusnya menghangatkan hati, justru terasa dingin dan menakutkan bagi Andi. Ia merasa seperti sebuah wadah kosong yang diisi dengan ingatan orang lain, sebuah bayangan yang dipaksa hidup kembali.
Andi kecil sering mencoba memberontak secara diam-diam. Kadang, ia akan bersembunyi di balik semak-semak, melepaskan daster atau baju kurungnya, dan bermain dengan teman-teman laki-lakinya dengan telanjang dada, merasa bebas untuk sesaat. Namun, Nurmala selalu menemukan cara untuk mengetahui. Ia punya mata di mana-mana, atau mungkin, ia punya firasat aneh yang selalu mengarahkannya pada Andi. Hukuman akan datang, berupa cubitan keras, atau pukulan rotan kecil di telapak kakinya yang membuat perih. Yang paling menyakitkan adalah tatapan kecewa ibunya, tatapan yang mengatakan, "Kenapa kamu tidak bisa jadi Mitha yang Ibu inginkan?"
Di sekolah, Andi berusaha keras untuk tetap menjadi Andi. Ia akan menyembunyikan pakaian perempuannya di dalam tas, berganti pakaian di balik semak-semak sebelum masuk kelas. Ia akan memendekkan rambutnya secara diam-diam dengan gunting kuku, atau mengikatnya erat di balik topinya agar tidak terlalu terlihat panjang. Teman-temannya masih memanggilnya Andi, dan ia merasa sedikit lega. Tetapi di rumah, di bawah pengawasan ketat Nurmala, ia harus kembali menjadi Mitha. Identitasnya terpecah belah, menciptakan kebingungan yang mendalam dalam benak kecilnya.
Masa-masa itu penuh dengan air mata yang tak terlihat dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan. Andi kecil sering bertanya pada dirinya sendiri, "Siapa aku sebenarnya?" Apakah ia Andi, bocah laki-laki yang suka bermain di sawah dan memanjat pohon? Atau apakah ia Mitha, anak perempuan yang dipaksa hidup kembali dari bayangan masa lalu? Ia tidak tahu. Ia hanya tahu bahwa ia tidak pernah diizinkan menjadi dirinya sendiri. Ia merasa seperti boneka yang dimainkan oleh tangan takdir, dipaksa menari mengikuti irama kesedihan dan obsesi ibunya.
Pada malam-malam tanpa bintang, ketika desa gelap gulita dan hanya diterangi cahaya bulan sabit, Andi sering terbangun dari tidur. Ia akan menatap langit-langit gubuknya yang bocor, merasakan air mata membasahi bantalnya. Ia merindukan sosok ayah yang tak pernah ia kenal, sosok yang mungkin bisa melindunginya dari semua ini. Ia merindukan kebebasan yang dirampas darinya. Ia merindukan untuk menjadi Andi, anak laki-laki yang sederhana, tanpa beban, tanpa nama yang harus ia pikul yang bukan miliknya.
Ia sering mendengar bisikan-bisikan dari tetangga. "Kasihan si Nurmala, sudah gila ditinggal anaknya." Atau, "Anak laki-lakinya itu kok aneh, selalu pakai baju perempuan." Bisikan-bisikan itu, meskipun samar, menembus dinding gubuknya dan menancap di hati Andi. Ia merasa semakin terasing, semakin terkunci dalam penjara yang dibuat oleh ibunya.
Nurmala tidak pernah peduli dengan pandangan orang lain. Baginya, ia hanya melakukan apa yang ia yakini benar. "Orang-orang tidak tahu apa-apa, Mitha," kata Nurmala suatu kali, saat Andi menanyakan mengapa ia harus terus memakai baju perempuan. "Mereka tidak tahu betapa sakitnya kehilangan. Kamu satu-satunya yang Ibu punya. Ibu tidak akan kehilangan kamu lagi."
Andi tahu ibunya mencintainya, dengan caranya sendiri yang terdistorsi. Cinta itu terasa seperti belenggu, rantai tak kasat mata yang mengikatnya erat. Ia tidak berani melawan, karena ia takut akan kehilangan satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini, bahkan jika cinta itu terasa seperti penjara.
Suatu hari, seorang guru dari sekolah dasar datang mengunjungi rumah Andi. Ia melihat Andi mengenakan daster lusuh dan rambutnya diikat kepang. Guru itu bertanya kepada Nurmala mengapa Andi tidak pernah datang ke sekolah lagi, padahal ia adalah murid yang pintar.
"Mitha sakit, Bu Guru," jawab Nurmala dingin. "Ia tidak bisa sekolah. Ia harus di rumah, bantu Ibu."
Guru itu menatap Andi dengan tatapan prihatin. Ia mencoba berbicara dengan Andi, bertanya mengapa ia memakai baju perempuan. Andi hanya bisa menunduk, tidak berani menjawab. Ia tahu ibunya sedang mengawasinya. Guru itu mencoba membujuk Nurmala, menjelaskan pentingnya pendidikan, tetapi Nurmala bergeming. Ia bersikeras bahwa "Mitha" tidak perlu sekolah tinggi, cukup belajar di rumah saja.
Ketika guru itu pergi, Nurmala menatap Andi dengan tajam. "Jangan coba-coba lagi melawan Ibu, Mitha. Kamu tahu apa yang terbaik untukmu. Ibu tidak mau kamu terpengaruh hal-hal di luar sana."
Andi hanya bisa mengangguk, hatinya hancur. Ia merindukan bangku sekolah, merindukan buku-buku, merindukan pelajaran-pelajaran yang bisa membawanya keluar dari desa ini. Namun, harapan itu kini seolah lenyap, terkubur di bawah tumpukan daster dan selendang.
Ia menyadari, bahkan pendidikan pun dirampas darinya. Seluruh hidupnya kini di bawah kendali penuh ibunya, semua atas nama cinta yang terdistorsi dan kehilangan yang tak tersembuhkan. Ia tidak lagi punya suara, tidak lagi punya pilihan. Ia hanyalah sebuah bayangan, sebuah cerminan dari Mitha Ayu yang telah meninggal, dipaksa untuk hidup kembali dalam tubuh seorang anak laki-laki yang perlahan kehilangan identitasnya.
Malam itu, Andi, dalam balutan daster lusuh yang terasa dingin, menatap pantulan dirinya di genangan air hujan di halaman rumah. Cahaya bulan memantul di permukaan air, menciptakan siluet buram. Ia melihat seorang anak perempuan. Bukan Andi, bukan dirinya. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam tubuh yang bukan miliknya, dalam nama yang bukan namanya. Ia tidak lagi tahu siapa dirinya. Andi telah menghilang, dan yang tersisa hanyalah bayangan samar dari Mitha, sebuah nama yang kini ia pikul dengan berat, sebuah identitas yang bukan pilihannya.
Ia tidak lagi bisa menjadi Andi. Ia adalah Mitha. Sebuah awal yang menyakitkan dari kisah seorang lelaki yang identitasnya dirampas, bahkan sebelum ia sempat mengenal dirinya sendiri.
Tahun-tahun bergulir seperti air sungai di musim hujan, cepat dan tak terhentikan, membawa serta perubahan yang tak terhindarkan namun juga membelenggu. Andi, atau lebih tepatnya Mitha, kini telah tumbuh menjadi seorang remaja yang menginjak usia pubertas, sebuah periode yang seharusnya penuh dengan penemuan diri dan gejolak identitas. Namun, bagi Andi, masa ini justru semakin memperparah konflik internalnya. Ia adalah anomali di desa terpencil itu; seorang laki-laki yang berpenampilan layaknya perempuan, sebuah pemandangan yang tak biasa, bahkan cenderung membingungkan bagi mata yang melihat, apalagi bagi diri yang menjalaninya.
Tubuhnya, yang seharusnya tumbuh kekar dan berisi layaknya remaja lelaki pada umumnya, justru terlihat lebih ramping dan lentur. Bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan sebagian besar karena Nurmala, ibunya, tak henti-hentinya memberinya jamu-jamu aneh dan pil-pil yang katanya "untuk menenangkan laki-lakinya," atau "agar tubuhnya lembut dan halus." Rasa pahit dari ramuan itu, yang seringkali berbau akar-akaran dan rempah-rempah tak dikenal, serta pil-pil yang terasa seperti kapur di lidah, menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas paginya. Setiap tegukan jamu terasa seperti menelan paksaan, setiap pil seperti menelan sebagian dari identitasnya sebagai Andi. Ia tak pernah tahu apa kandungan sebenarnya dari ramuan dan pil-pil itu, namun efeknya terasa nyata. Rambut halus di tubuhnya hampir tidak tumbuh, suaranya tetap cenderung tinggi, dan fisiknya tidak menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan maskulin yang signifikan seperti teman-teman sebayanya.
Di luar rumah, di hadapan mata tetangga yang berbisik-bisik dan anak-anak sebaya yang menatap aneh, Andi berusaha keras mempertahankan persona "normal"-nya. Ia masih dipanggil Andi oleh sebagian kecil teman masa kecilnya yang tersisa, seperti Budi atau Herman, yang sesekali mengajaknya bermain kelereng atau melihat pertunjukan wayang kulit di balai desa. Ada pula Pak Salim, guru sekolah dasar yang dulu mengajarinya, yang sesekali datang mengunjungi rumahnya untuk menanyakan kabar, masih memanggilnya Andi. Di hadapan mereka, ia akan berusaha berbicara dengan suara yang lebih dalam, yang kini terasa dipaksakan, menyembunyikan tangannya yang lentik dan jarinya yang bersih di balik saku daster atau gaun, dan berusaha berjalan dengan langkah yang lebih tegap. Namun, semua itu hanyalah sandiwara belaka, topeng tipis yang akan ia lepaskan begitu menginjakkan kaki di teras gubuknya, di mana udara lembap dan bau tanah basah terasa seperti pelukan yang mencekik.
Pulang ke rumah, ia harus kembali menjadi Mitha seutuhnya. Rambutnya yang tumbuh panjang, kini mencapai pinggang, tak pernah diizinkan untuk dipotong. Nurmala akan menata rambutnya dengan berbagai gaya; dikepang dua yang rapi, dicepol tinggi dengan sisa-sisa kain perca sebagai hiasan, atau dibiarkan terurai panjang dengan jepit rambut berwarna-warni yang selalu terasa asing di kepalanya. Ia bahkan tak segan-segan mengancam Andi dengan pukulan jika ia ketahuan mencoba memotong rambutnya sendiri secara diam-diam. "Rambut itu mahkota perempuan, Mitha! Ibu tidak mau kamu merusaknya! Kamu mau jadi anak durhaka?!" teriak Nurmala suatu kali, tatapan matanya menyala, penuh amarah dan ketakutan akan kehilangan bayangan Mitha Ayu untuk kedua kalinya. Andi hanya bisa gemetar dan pasrah.
Andi hidup tanpa kuasa, tanpa hak untuk memilih. Ia tak punya pilihan, tak bisa membela diri dari obsesi ibunya. Ayahnya sudah lama tak ada, menghilang tanpa jejak setelah ia bayi, meninggalkan kekosongan dan luka yang tak tersembuhkan bagi Nurmala. Tak ada sanak saudara yang tinggal dekat, atau yang peduli dengan nasib Andi. Mereka semua terlalu sibuk dengan hidup mereka sendiri, bergelut dengan kerasnya hidup di pedalaman, atau memilih menutup mata, menganggap semua ini sebagai bagian dari "keanehan" keluarga Nurmala yang trauma dan terasing. Beberapa bibi atau paman yang sesekali berkunjung dari desa tetangga hanya akan melirik Andi dengan tatapan prihatin atau jijik, lalu berbisik-bisik di belakang Nurmala, namun tak ada satu pun yang berani mengintervensi.
Pendidikan formal Andi terhenti begitu ia lulus sekolah dasar. Nurmala melarangnya melanjutkan sekolah menengah. "Perempuan tidak butuh sekolah tinggi, Mitha," kata ibunya dengan nada tegas, seolah itu adalah kebenaran mutlak dan tak terbantahkan. "Ibu akan ajari kamu cara jadi perempuan sejati. Belajar di rumah saja, bantu Ibu masak, menjahit, mengurus rumah." Setiap siang, ketika teman-teman sebayanya bergegas pergi ke sekolah dengan seragam putih biru, membawa tas berisi buku dan impian, Andi akan duduk di dapur, mengupas bawang, memetik sayuran dari kebun kecil, atau menjahit kain perca menjadi taplak meja di bawah pengawasan ketat ibunya. Jendela kecil di dapur menampilkan pemandangan jalan desa yang ramai, di mana ia bisa melihat sekilas senyum dan tawa teman-temannya yang melintas, sebuah kebebasan dan masa depan yang kini terasa begitu jauh, tak tergapai.
Malam harinya, setelah pekerjaan rumah selesai dan Nurmala merasa cukup puas, ia akan mengajarinya membaca dan menulis sederhana. Bukan dari buku pelajaran sekolah yang modern, melainkan dari buku-buku resep masakan yang sudah lusuh, atau majalah wanita bekas yang ia dapatkan dari kota saat sesekali pergi berbelanja kebutuhan pokok. Nurmala akan membacakan bagian-bagian tentang etika perempuan, cara berbicara yang halus dan sopan, atau cara merawat diri agar selalu terlihat cantik di mata calon suami. Andi harus mendengarkan dengan seksama, mengangguk, dan mengulanginya, seolah ia adalah seekor burung beo yang dipaksa menirukan suara. Jika ia melakukan kesalahan atau menunjukkan sikap yang dianggap "tidak feminin" seperti suara yang terlalu berat atau gerakan yang kasar, Nurmala tak segan-segan menegurnya dengan keras, kadang dengan cubitan yang meninggalkan bekas kebiruan di lengannya, atau tamparan lembut yang terasa sangat perih di pipinya. "Mitha harus jadi perempuan sejati, bukan laki-laki kasar!" desis ibunya.
Identitas Andi sebagai seorang anak laki-laki perlahan-lahan menghilang, terkubur di bawah lapisan-lapisan paksaan, kebohongan yang ia ciptakan sendiri, dan ekspektasi yang menyesakkan. Di sekolah, ia masih Andi. Di rumah, ia adalah Mitha. Tetapi seiring waktu, batas itu semakin kabur, semakin tipis, hingga nyaris tak terlihat. Bisikan tetangga yang dulunya hanya "anak Nurmala yang aneh" kini berubah menjadi "itu Mitha, anaknya Nurmala." Semua orang di kampung, dari penjual di warung kelontong, teman-teman Nurmala yang datang bertamu, hingga anak-anak kecil yang dulu ia ajak bermain, kini secara alami memanggilnya Mitha. Nama Andi terasa seperti bayangan yang memudar, sebuah kata yang hanya bergema dalam kepalanya sendiri, sebuah kenangan yang hampir tak bisa ia genggam lagi.
Andi mulai merasa jiwanya terbelah, seolah ada dua entitas yang berebut ruang di dalam dirinya. Di dalam, ia tahu ia adalah seorang laki-laki. Ia merasakan gejolak pubertas layaknya anak laki-laki, meskipun jamu dan pil-pil dari ibunya berusaha menekannya. Ia memimpikan kebebasan, memimpikan untuk berlari di lapangan tanpa beban gaun yang membelenggu, memimpikan untuk berbicara dengan suara beratnya yang asli tanpa harus dibuat-buat. Ia ingin merasakan gatalnya kumis tipis, kekarnya otot di lengannya, dan dinginnya air sungai saat ia menceburkan diri. Namun, di luar, ia adalah Mitha. Ia harus tersenyum lembut, berbicara dengan suara halus yang terasa asing di lidahnya, dan bergerak anggun layaknya perempuan, sebuah peran yang ia lakoni dengan sempurna karena takut. Setiap hari adalah pertarungan batin yang tiada akhir, sebuah siksaan mental yang perlahan menggerogoti kewarasannya, membuatnya merasa seperti orang gila.
Ia tidak pernah diizinkan tumbuh sebagai dirinya sendiri. Setiap keinginan yang muncul, setiap hasrat untuk menjadi Andi yang sesungguhnya, selalu dianggap dosa oleh ibunya. Keinginan untuk potong rambut, untuk memakai celana panjang, untuk bermain dengan teman-teman laki-laki di sawah, atau bahkan sekadar duduk bersila dengan santai, adalah tabu besar. "Kamu anak perempuan Ibu, Mitha. Jangan aneh-aneh! Ibu tidak mau kamu jadi laki-laki, Ibu maunya kamu jadi Mitha!" kata Nurmala, suaranya dipenuhi ancaman dan kesedihan yang tumpang tindih.
Andi sering mengurung diri di dalam kamar, menangis dalam diam. Ia akan menatap pantulan dirinya di cermin yang retak dan buram, hadiah dari ayahnya dulu yang kini menjadi satu-satunya saksi bisu pertarungannya. Di sana, ia melihat Mitha: rambut panjang terurai, mata yang seringkali terlihat lelah namun terpaksa dipoles agar terlihat ceria, dan pakaian perempuan yang membelenggu setiap gerakannya. Ia akan menyentuh wajahnya, merasakan tekstur kulitnya yang terlalu halus, mencoba mencari sisa-sisa Andi di sana. Tetapi yang ia temukan hanyalah bayangan Mitha, sosok asing yang kini menjadi dirinya, sebuah ilusi yang dipaksakan.
Pada malam-malam tanpa bulan, ketika keheningan desa terasa begitu pekat, diiringi suara serangga malam yang bergemuruh, Andi akan menyelinap keluar dari gubuknya. Ia akan berlari ke hutan kecil di belakang desa, tempat yang tak pernah dijangkau mata ibunya atau bisikan tetangga. Di sanalah, dalam kegelapan dan kesendirian, ia akan melepas semua pakaian perempuan yang ia kenakan. Ia akan membiarkan rambutnya terurai berantakan, merasakan angin malam menerpa kulitnya yang telanjang. Ia akan berbicara dengan suara beratnya yang asli, berteriak sekencang-kencangnya, melepaskan semua frustrasi dan amarah yang menumpuk di dadanya. Ia akan berlari, melompat, dan menari liar di antara pepohonan, mencoba merasakan kembali tubuhnya sebagai seorang laki-laki, merasakan setiap ototnya yang berdenyut, setiap jejak kakinya yang menapak kuat di tanah.
"Aku Andi! Aku Andi! Aku Andi!" teriaknya berulang kali, suaranya pecah di antara pepohonan yang gelap, bergema seperti raungan binatang buas yang terluka. Namun, begitu ia kembali ke gubuknya yang remang, begitu ia mengenakan kembali pakaian perempuan dan menatap wajah ibunya yang tidur lelap namun tetap terasa mengawasi, kata "Andi" itu kembali menjadi bisikan, nama yang tak boleh diucapkan, lelaki terlarang yang harus terkubur dalam-dalam di lubuk hatinya.
Suatu hari, seorang tetangga yang baru pindah ke desa, seorang ibu muda yang ramah dan berpikiran terbuka bernama Bu Lastri, mencoba mendekati Andi. Bu Lastri memiliki seorang putra sebaya dengan Andi, dan ia sering melihat Andi duduk sendirian di teras gubuknya, termenung, sementara anak-anak lain bermain di lapangan.
"Mitha, kenapa tidak main sama anak-anak?" tanya Bu Lastri lembut, suatu sore saat ia lewat di depan gubuk Nurmala. Nada suaranya penuh keprihatinan, bukan rasa ingin tahu yang menghakimi.
Andi hanya menunduk, tidak berani menjawab. Nurmala, yang mendengar percakapan itu dari dalam gubuk, segera muncul, wajahnya mengeras seperti batu. "Mitha tidak suka bermain, Bu Lastri. Dia anak rumahan, suka bantu-bantu Ibu."
Bu Lastri tersenyum tipis, mencoba untuk tidak terlihat curiga. "Oh, begitu ya. Kalau ada waktu, mampir ke rumah ya, Mitha. Anak Ibu punya banyak buku cerita, mungkin Mitha suka membaca."
Andi merasakan secercah harapan kecil menyala di dalam dadanya. Buku cerita! Ia sangat merindukan membaca, merindukan dunia yang bisa ia jelajahi melalui lembaran kertas. Namun, begitu Bu Lastri pergi, Nurmala menatap Andi dengan tajam, matanya memancarkan peringatan. "Jangan coba-coba pergi ke rumah orang itu! Mereka tidak tahu apa-apa. Kamu tidak perlu berteman dengan siapa pun, cukup Ibu saja. Ibu sudah cukup untukmu."
Harapan itu kembali padam, seperti lilin yang ditiup angin. Andi pun hidup dalam penjara tak kasat mata, tubuh laki-laki yang dikurung dalam citra perempuan, semua atas nama cinta yang terdistorsi dan kehilangan yang tak tersembuhkan. Jiwanya meronta, namun tubuhnya dipaksa tunduk pada setiap kehendak ibunya. Ia merasakan kehilangan yang lebih dalam daripada sekadar hilangnya kebebasan; ia kehilangan dirinya sendiri, esensi dari siapa ia seharusnya. Identitasnya telah dirampas, digantikan oleh bayangan orang lain yang telah tiada. Ia hanya bisa berharap, suatu saat, ia akan menemukan jalan keluar dari penjara ini, sebuah celah cahaya yang akan membawanya kembali kepada dirinya yang seutuhnya. Nama Mitha kini terpahat kuat di setiap sudut hidupnya, di setiap interaksi, di setiap pandangan orang lain, namun di dalam hatinya, sebuah nama lain terus bergema, berbisik perlahan, tak pernah lelah memanggil: Andi.
Andi adalah nama yang ia pikul sendiri, sebuah rahasia yang ia peluk erat, satu-satunya sisa dari dirinya yang sesungguhnya. Konflik batin ini, antara siapa ia di dalam dan siapa ia di luar, antara Andi dan Mitha, menjadi inti dari setiap detak jantungnya, setiap napas yang ia ambil. Ia tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan dalam keadaan ini, seberapa jauh ia bisa terus berpura-pura. Yang ia tahu, nama Mitha adalah sebuah beban, sebuah takdir yang bukan ia pilih, namun harus ia jalani. Setiap napas yang ia hirup terasa seperti pasir, kering dan menusuk, mengikis habis sisa-sisa dirinya yang bernama Andi, meninggalkan hanya kehampaan yang terus meluas. Ia adalah seorang laki-laki yang namanya telah direnggut, kini hanya sebuah nama yang ia pikul, sebuah identitas yang ia jalani, namun bukan pilihannya.
Waktu terus merangkak, membawa Mitha, atau Andi, ke ambang kedewasaan yang penuh kepahitan. Usianya kini menginjak tujuh belas tahun, sebuah usia di mana seharusnya ia mulai merajut mimpi-mimpi masa depan, menatap dunia dengan mata penuh harap. Namun, bagi Mitha, setiap hari adalah kelanjutan dari mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tubuhnya semakin menunjukkan tanda-tanda perkembangan maskulin yang terpaksa ia sembunyikan, membuat perjuangan untuk tetap menjadi "Mitha" semakin berat dan menyakitkan. Ada tonjolan kecil di tenggorokannya yang semakin terlihat, garis rahang yang kian tegas, dan suaranya yang semakin sulit untuk dihaluskan secara alami. Jamu-jamuan dan pil-pil dari Nurmala tak lagi seefektif dulu, hanya mampu menahan, bukan menghentikan, laju perubahan tubuhnya.
Kemiskinan yang menjerat keluarga mereka di pedalaman Sumatera semakin menjadi-jadi. Panen gagal beberapa kali, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, dan gubuk mereka semakin reyot dimakan usia. Nurmala, yang kini sudah tua dan sering sakit-sakitan, terbaring di ranjang, batuk-batuk kering setiap malam. Wajahnya yang dulunya keras kini terlihat lebih keriput, namun tatapan matanya tetap sama, penuh obsesi dan putus asa. Ia tahu, mereka tidak bisa terus hidup seperti ini. Ada kebutuhan yang harus dipenuhi, perut yang harus diisi, dan gubuk yang perlu diperbaiki.
Suatu sore yang terik, Nurmala memanggil Mitha ke sisi ranjangnya. Suaranya serak dan pelan, namun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Mitha," katanya, "Ibu sudah tidak sanggup lagi. Kita tidak punya apa-apa. Kamu harus pergi."
Jantung Mitha berdebar kencang. "Pergi ke mana, Bu?" tanyanya, suaranya tercekat. Ia punya firasat buruk.
Nurmala memejamkan mata sejenak, lalu membukanya, menatap Mitha dengan tatapan penuh arti. "Ke Malaysia. Ada kenalan Ibu di kota. Dia bilang ada jalur untuk kerja di sana. Gaji di sana besar, Mitha. Kamu bisa bantu Ibu."
Mitha terkejut. Malaysia? Ia belum pernah keluar dari desa. Pikiran untuk pergi ke negeri asing, sendirian, membuatnya ketakutan. "Tapi Ibu... aku tidak mau pergi. Aku mau di sini, jaga Ibu," Mitha mencoba menolak.
"Tidak bisa, Mitha!" Nada suara Nurmala meninggi, menunjukkan amarahnya yang terpendam. "Kamu harus pergi. Kamu satu-satunya harapan Ibu. Kamu harus kuat, seperti Mitha Ayu. Di sana kamu bisa jadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan perempuan yang layak."
Mitha tidak punya pilihan. Ibunya tampak sangat lemah, namun kehendaknya sekuat baja. Beberapa hari kemudian, Nurmala mengatur pertemuan dengan seorang calo di kota kabupaten, seorang pria berbadan besar dengan kumis tebal dan tatapan mata licik. Pria itu, yang memperkenalkan diri sebagai Pak Toha, menjanjikan pekerjaan mudah dengan gaji besar di Kuala Lumpur. Mitha mendengarkan semua itu dengan hati gelisah. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, namun ia tak berdaya. Nurmala sudah menjual sebagian kecil tanah mereka untuk membayar biaya keberangkatan dan calo.
"Ingat, Mitha," bisik Nurmala saat Mitha akan berangkat, matanya berkaca-kaca. "Jangan lupa siapa dirimu. Jaga kehormatanmu sebagai perempuan. Kamu adalah Mitha Ayu." Ia memeluk Mitha erat, pelukan yang terasa seperti ikatan terakhir yang membelenggu.
Perjalanan Mitha ke Malaysia adalah sebuah mimpi buruk. Ia dibawa melalui jalur ilegal, menyelinap di perbatasan bersama puluhan migran gelap lainnya. Kondisinya menyedihkan, penuh rasa takut, lapar, dan kedinginan. Ia harus bersembunyi di truk-truk pengangkut barang, berjalan kaki berjam-jam melewati hutan, dan menyeberang sungai dengan perahu kecil. Selama perjalanan itu, ia terus mengenakan pakaian perempuan yang diberikan ibunya, bahkan rambut panjangnya ia tutupi dengan kerudung untuk menghindari kecurigaan. Tubuhnya terasa nyeri, jiwanya lelah.
Setibanya di Kuala Lumpur, Mitha disambut oleh seorang agen perempuan yang tampak ramah namun matanya dingin. Ia dibawa ke sebuah rumah penampungan kumuh yang berisi puluhan TKI ilegal lainnya. Kondisinya jauh dari janji "pekerjaan layak" yang diucapkan Pak Toha. Beberapa hari di sana, Mitha mulai mendengar bisikan-bisikan dari TKI lain tentang penipuan, tentang janji palsu, dan tentang nasib buruk yang menimpa banyak perempuan seperti dirinya. Ketakutan semakin mencengkeramnya.
Suatu pagi, Mitha dipanggil. Ia diberitahu akan dibawa ke majikannya. Ia menuruti, dengan hati berdebar. Namun, mobil yang menjemputnya tidak membawanya ke rumah biasa. Ia dibawa ke sebuah apartemen mewah di pusat kota Kuala Lumpur, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, dengan penjagaan ketat. Di sana, Mitha bertemu dengan "majikannya": seorang lelaki tua kaya raya bernama Dato' Azman, seorang duda yang kesepian dengan tatapan mata yang penuh nafsu.
Dato' Azman duduk di sofa kulit mahal, memandangi Mitha dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ia tersenyum, senyum yang terasa dingin dan menakutkan. "Kau Mitha, ya?" tanyanya, suaranya serak. "Cantik. Sangat cantik."
Mitha merasa tenggorokannya tercekat. Ia tahu ini bukan pekerjaan pembantu rumah tangga. Ia tahu ini adalah neraka yang berbeda. Ia mencoba menolak, suaranya gemetar. "Saya ke sini untuk bekerja, Tuan. Sebagai pembantu."
Dato' Azman tertawa sinis. "Pembantu? Dengan wajah sepertimu? Jangan bercanda. Kau akan jadi pendampingku. Kau akan tinggal di sini. Semua yang kau butuhkan akan kusediakan. Uang, pakaian, makanan enak. Tapi ada syaratnya."
Syarat itu adalah Mitha harus menjadi simpanannya. Ia harus menuruti setiap kemauan Dato' Azman, tidak boleh menolak, tidak boleh keluar tanpa izin, dan tidak boleh menjalin hubungan dengan siapapun. Jika menolak, ia akan dideportasi, dikirim kembali ke Indonesia, mungkin bahkan dipenjara karena masuk secara ilegal. Pikiran tentang kembali ke desa dengan kegagalan, kembali pada Nurmala yang akan semakin kecewa, adalah sesuatu yang tak bisa Mitha bayangkan. Ia telah berjanji untuk membantu ibunya, ia tidak bisa pulang dengan tangan kosong.
Awalnya Mitha menolak dengan segenap sisa kekuatannya, air mata mengalir deras di pipinya. Namun, ancaman deportasi yang nyata, ditambah janji kehidupan layak yang memikat di tengah keputusasaannya, membuatnya menyerah. Ia melihat sekeliling apartemen mewah itu; perabotan mahal, pemandangan kota yang gemerlap dari jendela, makanan lezat yang terhidang di meja. Ini adalah kehidupan yang tak pernah ia impikan, kehidupan yang jauh dari kemiskinan dan kesulitan di desanya. Ia harus bertahan demi ibunya, demi satu-satunya orang yang ia miliki. Ia dikurung di apartemen mewah itu, diberi uang tunai yang berlimpah, perhiasan mahal, dan kosmetik terbaik. Dato' Azman menjadikannya semacam boneka hidup, cantik, terawat, dan sunyi.
Hari-hari Mitha di apartemen itu terasa seperti penjara emas. Ia bangun di pagi hari, merias wajahnya dengan kosmetik mahal yang terasa asing di kulitnya, mengenakan gaun-gaun indah yang Dato' Azman belikan. Ia makan makanan lezat, menonton televisi, dan membaca majalah. Namun, semua itu terasa hambar. Ia tidak boleh keluar sesuka hati, selalu ada sopir yang mengantarnya jika Dato' Azman mengizinkan, selalu ada pengawasan. Ia tak boleh memiliki ponsel sendiri, komunikasi dengan dunia luar sangat terbatas. Ia tak boleh berbicara terlalu banyak, tak boleh menunjukkan emosi yang berlebihan. Ia hanyalah sebuah benda cantik yang dipajang, sebuah teman di kesendirian Dato' Azman.
Kesepian yang mendalam merayapi jiwa Mitha. Ia merindukan gubuknya yang sederhana, merindukan suara jangkrik di malam hari, merindukan bau tanah basah setelah hujan. Ia merindukan kebebasan untuk berlari, untuk tertawa lepas, untuk menjadi dirinya sendiri. Tetapi ia tidak tahu lagi siapa dirinya. Apakah ia Mitha, yang kini harus menjalani peran ini? Atau apakah Andi, yang terkubur dalam-dalam di balik lapisan riasan dan gaun mewah?
Dalam keterasingan itu, Mitha sering memandang cermin di kamarnya yang luas. Ia melihat bayangan seorang perempuan cantik yang tidak ia kenali sepenuhnya. Mata itu, hidung itu, bibir itu, adalah miliknya. Tetapi senyum itu, tatapan itu, adalah Mitha, bukan Andi. Di saat-saat paling sunyi, ia akan membisikkan satu kalimat berulang-ulang, seolah itu adalah jimat untuk menjaga sisa-sisa dirinya yang asli.
"Namaku Andi. Tapi Andi adalah lelaki terlarang dalam hidupku."
Bisikan itu adalah satu-satunya pemberontakan yang bisa ia lakukan. Sebuah pengakuan pahit atas identitasnya yang dirampas, sebuah gema dari masa lalu yang tak pernah diizinkan mati sepenuhnya. Ia adalah seorang laki-laki yang dipaksa menjadi perempuan, kini terjebak dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Rasa benci dan putus asa bercampur aduk dalam dirinya, namun ia tidak bisa menunjukkan itu di hadapan Dato' Azman. Ia harus terus tersenyum, harus terus menjadi boneka cantik yang sunyi.
Bahkan ketika ia menerima kabar dari desanya bahwa Nurmala, ibunya, semakin sakit, Mitha tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menangis dalam diam, merasa tak berdaya. Dato' Azman memberinya uang untuk dikirim ke kampung, tetapi melarangnya pulang. "Kau ada di sini untukku, Mitha. Jangan banyak pikiran. Ibu mu akan baik-baik saja."
Mitha merasakan dirinya semakin hancur. Ia telah meninggalkan ibunya sendirian, terpaksa menjalani hidup ini demi ibunya, namun kini ia bahkan tidak bisa berada di sisi ibunya saat Nurmala sakit. Rasa bersalah menghantuinya. Ia merasa terjebak dalam jaring laba-laba yang ia sendiri tak tahu bagaimana cara meloloskan diri. Ia adalah seorang migran ilegal, seorang simpanan, seorang perempuan yang sejatinya adalah seorang laki-laki, dan ia tidak punya kuasa atas takdirnya sendiri. Tiket ke negeri seberang ini, yang awalnya tampak seperti solusi, kini telah menjadi belenggu terberat dalam hidupnya, sebuah penjara yang lebih kejam daripada gubuk reyot di desa terpencil Sumatera. Kuala Lumpur, dengan segala gemerlapnya, telah merenggut sisa-sisa kebebasannya, meninggalkan hanya sebuah nama yang ia pikul, dan jiwa yang terus-menerus meratap.
Kehidupan Mitha di apartemen mewah Dato' Azman di Kuala Lumpur adalah kemewahan yang sunyi, penjara berhiaskan permata. Hari-hari berlalu tanpa arti, diisi dengan rutinitas yang monoton: bangun, merias wajah, mengenakan gaun indah, menunggu Dato' Azman pulang, melayaninya dengan senyum palsu, dan kembali sendiri dalam kesendirian. Ia adalah boneka cantik yang dikendalikan oleh keinginan orang lain, sebuah pameran tanpa jiwa. Setiap sudut apartemen itu, dari permadani Persia yang tebal hingga lampu kristal yang berkilauan, terasa seperti dinding yang semakin mencekiknya. Pemandangan gemerlap kota dari jendela tinggi tidak lagi memukau, melainkan menjadi pengingat akan kebebasan yang tak ia miliki. Ia bisa melihat kehidupan berjalan di bawah sana, orang-orang tertawa, bergegas, dan hidup, sementara ia terperangkap.
Di tengah keterasingan yang mematikan ini, di sudut kota yang hiruk pikuk namun terasa begitu sepi baginya, Mitha menemukan secercah harapan. Ia diizinkan keluar sesekali, ditemani sopir pribadi Dato' Azman, untuk berbelanja kebutuhan atau pergi ke salon. Pada salah satu kunjungan ke pasar tradisional yang ramai, tempat para TKI sering berkumpul untuk mencari kebutuhan dari kampung halaman, Mitha bertemu dengan Riyan.
Riyan adalah seorang lelaki muda sebaya dengannya, dengan senyum tulus dan mata yang memancarkan kejujuran. Ia bekerja sebagai buruh bangunan, tubuhnya kekar namun gerakannya lincah dan ramah. Riyan melihat Mitha yang tampak sendirian dan sedikit kebingungan di tengah keramaian pasar. Ia mendekat, menawarkan bantuan.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya Riyan dengan logat Melayu yang kental namun ramah, senyumnya mengembang.
Mitha terkejut. Ia jarang berbicara dengan orang asing, apalagi laki-laki. Tetapi ada sesuatu dalam tatapan Riyan yang berbeda, sebuah kebaikan yang langka. "Tidak... tidak apa-apa," jawab Mitha, suaranya sedikit gemetar.
"Mbak ini sepertinya dari Indonesia juga ya? Kok sendirian?" Riyan terus bertanya, tanpa bermaksud mengganggu. "Hati-hati di pasar ini, Mbak. Banyak copet."
Mitha akhirnya memberanikan diri. Mereka mulai mengobrol ringan. Riyan bercerita tentang pekerjaannya, tentang keluarganya di kampung, dan tentang mimpinya untuk membangun rumah sederhana di masa depan. Mitha, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, merasa bisa bernapas lega. Ia tidak perlu berpura-pura di hadapan Riyan. Ia tidak perlu menyembunyikan kerapuhannya. Ia tidak perlu menjadi "Mitha" yang sempurna di depan Dato' Azman.
Mereka mulai sering bertemu secara diam-diam. Mitha akan meminta izin Dato' Azman untuk berbelanja atau pergi ke salon, dan di tengah perjalanan, ia akan meminta sopirnya berhenti di dekat pasar atau taman kota. Di sanalah, ia akan menyelinap bertemu Riyan. Pertemuan mereka singkat, hanya beberapa menit atau satu jam, diwarnai dengan obrolan ringan, tawa, dan tatapan mata yang penuh pengertian. Riyan adalah satu-satunya orang yang memanggilnya "Mitha" dengan nada yang tulus, seolah ia benar-benar melihat sosok Mitha yang sebenarnya, bukan hanya bayangan.
Riyan tidak tahu tentang kehidupan Mitha sebagai simpanan Dato' Azman, atau tentang masa lalunya sebagai Andi. Mitha hanya bercerita bahwa ia adalah seorang TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah mewah. Ia menyembunyikan detail-detail paling kelam dari hidupnya, takut Riyan akan pergi jika ia tahu kebenarannya. Namun, hati Mitha mulai berharap. Ia merasakan cinta sejati untuk pertama kalinya. Cinta yang tumbuh dari obrolan sederhana, dari tawa lepas, dari perasaan dihargai sebagai manusia. Riyan adalah secercah cahaya di tengah kegelapan hidupnya, sebuah janji akan masa depan yang mungkin berbeda. Ia mulai membayangkan hidup bersama Riyan, sebuah kehidupan sederhana namun penuh cinta, jauh dari belenggu Dato' Azman dan obsesi Nurmala.
Mitha memberanikan diri. Suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman yang sepi, ia menceritakan tentang mimpinya untuk bisa hidup normal, untuk memiliki keluarga sendiri, untuk menjadi dirinya yang seutuhnya. Riyan mendengarkan dengan sabar, menggenggam tangan Mitha erat.
"Aku juga punya mimpi itu, Mitha," kata Riyan, matanya berbinar. "Kita bisa wujudkan itu sama-sama. Aku akan kerja keras. Kita bisa bangun rumah kecil di kampungku nanti. Kamu mau kan?"
Kata-kata Riyan adalah musik bagi telinga Mitha. Ia mengangguk, air mata kebahagiaan mengalir. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki harapan yang nyata, sebuah jalan keluar dari labirin hidupnya yang rumit. Ia merasa kembali menjadi "manusia," bukan lagi boneka atau bayangan.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Takdir memang kejam.
Suatu hari, Dato' Azman mengetahui tentang hubungan Mitha dengan Riyan. Ia melihat Mitha diam-diam berbicara dengan Riyan di pasar melalui rekaman CCTV yang ia pasang di mobil dan di sekitar tempat Mitha sering pergi. Kemarahan Dato' Azman meledak. Ia menampar Mitha, mengurungnya di kamar, dan mengancam akan mendeportasi Riyan dan seluruh keluarganya di Malaysia jika Mitha tidak mengakhiri hubungan itu.
"Kau pikir bisa mempermainkanku, hah?!" teriak Dato' Azman, matanya merah padam. "Kau adalah milikku! Aku yang menafkahimu! Kau tidak punya hak untuk mencintai orang lain!"
Mitha menangis, ketakutan. Ia memohon, menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud selingkuh, ia hanya ingin memiliki teman. Namun Dato' Azman tak peduli. Ia adalah tuannya, dan Mitha adalah propertinya.
Malam itu, dengan hati hancur dan tubuh yang gemetar, Mitha menghubungi Riyan melalui telepon umum yang ia curi-curi dari sopir. Dengan suara tercekat, ia menjelaskan situasinya, tentang Dato' Azman yang mengancamnya, tentang dirinya yang terjebak. Ia menceritakan tentang hidupnya sebagai simpanan, tentang ancaman deportasi, dan kemudian, dengan air mata yang membanjiri wajahnya, ia menceritakan kebenaran yang paling mengerikan: ia adalah seorang laki-laki yang dipaksa hidup sebagai perempuan. Ia menceritakan tentang Andi, tentang Nurmala, tentang jamu-jamu dan pil-pil, tentang semua kebohongan yang ia jalani sejak kecil.
Keheningan panjang menyelimuti telepon. Mitha bisa merasakan napas Riyan yang tertahan. Lalu, Riyan mengucapkan satu kalimat, dingin dan tanpa emosi. "Aku... aku tidak menyangka, Mitha. Aku tidak bisa menerima ini."
Klik. Telepon terputus.
Riyan pergi. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan lebih lanjut. Ia menghilang dari kehidupan Mitha begitu saja, seperti bayangan yang tertiup angin. Mitha mencoba menghubunginya lagi, puluhan kali, seratus kali, namun tidak ada jawaban. Riyan telah meninggalkannya, membawa serta satu-satunya harapan Mitha untuk kembali menjadi "manusia." Patah hati itu menghancurkan apa yang tersisa dari jiwanya. Harapan yang tinggal sehelai benang pun putus, kini hanya tersisa puing-puing keputusasaan.
Mitha terbaring di lantai kamar mewahnya, menangis tersedu-sedu. Ia merasa hancur lebur. Ia telah kehilangan segalanya: cinta, harapan, dan kesempatan untuk kembali menjadi dirinya sendiri. Ia tak bisa pulang karena kampungnya sudah menolaknya, dan ia tak bisa pergi karena lelaki tua itu mengontrol seluruh hidupnya. Ia adalah tawanan, terperangkap di antara dua dunia yang tak mengakuinya.
Ia bangkit perlahan, berjalan menuju cermin besar di kamarnya. Pantulan yang ia lihat di sana adalah sosok Mitha yang sempurna: rambut panjang terurai, gaun mewah, riasan wajah yang flawless, namun matanya kosong, dipenuhi kesedihan yang tak terhingga. Ia menyentuh permukaan cermin yang dingin, merasakan betapa retaknya jiwanya kini.
"Andi sudah mati," bisiknya pada pantulan dirinya sendiri. "Yang tersisa hanya Mitha. Tapi bukan karena pilihan. Aku tidak memilih ini."
Air mata kembali mengalir, bercampur dengan maskara dan eyeliner, menciptakan jejak hitam di pipinya. Ia memegang kuas riasnya yang mahal, lalu mulai memoles wajahnya lagi, menutupi jejak air mata, menutupi kesedihan yang mendalam. Ia memakai bedak tebal, merapikan lipstiknya, memastikan tidak ada satu pun tanda kesedihan yang terlihat. Ia harus kembali menjalani perannya, tanpa suara, tanpa protes.
Setiap sapuan kuas adalah lapisan baru dari kebohongan, setiap sentuhan lipstik adalah janji untuk terus berpura-pura. Ia harus kembali menjadi boneka cantik Dato' Azman, boneka yang tidak punya perasaan, yang tidak punya mimpi, yang tidak punya cinta. Riyan telah melihat siapa ia sebenarnya, dan Riyan telah pergi. Itu adalah bukti bahwa tidak ada yang akan menerima dirinya seutuhnya, lelaki yang terkunci dalam tubuh seorang perempuan, sebuah identitas yang bukan pilihannya.
Mitha telah belajar pelajaran terberat dalam hidupnya: bahwa kebenaran terkadang terlalu berat untuk ditanggung orang lain, dan bahwa cinta sejati mungkin tidak akan pernah ia temukan dalam belenggu yang ia jalani. Ia adalah sebuah ilusi, sebuah cerminan retak dari apa yang seharusnya ia menjadi. Ia kembali ke kehidupannya yang mewah namun hampa, menjalani setiap hari sebagai Mitha, sebuah nama yang kini terasa seperti kutukan, sebuah takdir yang tak bisa ia hindari. Dan di dalam benaknya, suara Andi, yang dulunya berbisik penuh harapan, kini hanya terdengar sebagai gema yang semakin samar, terkubur dalam-dalam di balik lapisan riasan dan keputusasaan.
Kabar duka itu tiba seperti embusan angin di puncak gunung, dingin dan mematikan, namun entah mengapa, terasa begitu asing dan jauh bagi Mitha. Telepon dari seorang tetangga yang suaranya terdengar samar dan penuh gema, seperti bisikan dari kehidupan yang sudah lama ia tinggalkan, membawa berita tentang meninggalnya Nurmala, ibunya, di kampung halaman. Ibu yang telah membentuknya, mengendalikannya dengan tangan besi, dan sekaligus membelenggunya dengan kerasnya takdir itu, kini tiada. Sebuah perasaan aneh merayapi hatinya, bukan lagi campuran kesedihan mendalam atau kelegaan yang mengerikan, melainkan sebuah kehampaan yang tenang, sebuah pengakuan bahwa ikatan terakhirnya dengan masa lalu yang penuh luka telah putus. Mitha merasa seperti sebuah halaman buku yang baru saja ditutup, siap untuk memulai babak baru tanpa bayangan yang menghantui. Ia telah kehilangan satu-satunya ikatan darahnya, satu-satunya orang yang memaksanya menjadi Mitha, namun juga satu-satunya figur orang tua yang ia miliki di dunia ini. Namun, rasa kepergian itu tidak lagi menyakitkan seperti yang ia bayangkan dulu. Tidak ada lagi rasa bersalah yang menggerogoti, tidak ada lagi dendam yang membara. Hanya ada ketenangan yang aneh, sebuah akhir dari sebuah siklus yang panjang.
Dato' Azman, dengan sikapnya yang dingin namun selalu pragmatis dan penuh perhitungan, mengizinkan Mitha pulang sebentar. Hanya untuk mengantar jenazah. "Kau harus kembali setelah itu," katanya datar, tatapan matanya tanpa belas kasihan, namun Mitha kini tidak lagi merasakan ancaman dalam suaranya. Ada sebuah penerimaan yang aneh tumbuh di dalam dirinya, sebuah kesadaran bahwa tempatnya kini memang di sisi lelaki itu. "Pekerjaanmu di sini belum selesai. Akan ada rapat penting minggu depan, dan aku membutuhkanmu di sisiku." Mitha mengangguk, tanpa protes, tanpa perlawanan. Ia tahu ia tidak punya pilihan lain, atau lebih tepatnya, ia tidak lagi ingin mencari pilihan lain. Ia adalah Mitha, pendamping Dato' Azman, dan tempatnya kini memang di sana, di apartemen mewah ini, jauh dari gubuk reyot dan masa lalu yang kelam.
Perjalanan pulang ke desa terasa seperti memasuki lorong waktu yang gelap, namun kali ini, Mitha melihatnya dengan mata yang berbeda. Setiap pemandangan dari jendela mobil yang mewah, setiap bau tanah basah yang terbawa angin dari jendela yang terbuka sedikit, setiap suara jangkrik yang mulai terdengar samar di kejauhan, seharusnya membangkitkan kenangan pahit tentang Andi yang terkunci, tentang masa kecil yang dirampas. Namun, anehnya, kenangan-kenangan itu kini terasa kabur, seperti mimpi yang sudah lama terlupakan. Sosok Andi terasa semakin jauh, semakin tidak relevan, seolah ia adalah karakter dalam sebuah cerita yang tidak lagi Mitha kenali. Ia tiba di desa dalam balutan gaun hitam sederhana yang dibelikan Dato' Azman, kainnya lembut dan sejuk di kulit, sebuah kontras nyata dengan daster lusuh yang dulu ia kenakan. Wajahnya kini tidak lagi pucat pasi karena ketakutan, melainkan terpancar ketenangan yang baru, dengan riasan tipis yang mempercantik fitur-fitur femininnya yang kini semakin menonjol. Senyum tipis yang tulus, bukan lagi palsu, kini terukir di bibirnya, sebuah refleksi dari kedamaian internal yang mulai ia rasakan. Ia melihat gubuk reotnya, kini semakin usang dan sepi, atap rumbia yang bolong dan dinding papan yang lapuk. Bau tanah basah dan asap kayu bakar yang dulu ia rindukan sebagai pengingat rumah, kini terasa seperti bagian dari masa lalu yang tak lagi ia kenali sepenuhnya, bahkan cenderung asing.
Suasana di rumah duka sangat dingin, namun Mitha tidak lagi merasakan teror dari tatapan orang lain. Ia tidak lagi peduli dengan bisikan-bisikan. Tetangga-tetangga datang melayat, namun mereka tidak lagi berbisik-bisik menghakimi, melainkan menatap Mitha dengan rasa ingin tahu yang lebih murni, dan mungkin sedikit kekaguman. Mereka melihat seorang perempuan kota yang cantik, anggun, dan tampak berduka, namun juga memancarkan aura kemandirian dan kemewahan yang kuat. Mereka melihat rambut panjangnya yang terawat, kulitnya yang bersih, gaunnya yang mahal. "Itu Mitha, anaknya Nurmala yang dulu menghilang," bisik beberapa dari mereka, namun kali ini nadanya lebih kagum daripada menghakimi. "Lihatlah penampilannya, persis perempuan kota yang sukses." "Dia jadi Nyonya Besar di sana, ya? Pantas dia tidak pulang lagi." Tak ada yang memanggilnya Andi. Tak ada yang mengakuinya sebagai anak laki-laki dari desa ini. Dan anehnya, Mitha pun tidak lagi peduli. Ia tidak merasa kehilangan. Ia adalah Mitha, sosok asing yang pulang membawa duka, namun juga membawa sebuah aura kemewahan dan misteri yang tak bisa mereka pahami, sebuah persona yang kini ia rangkul sepenuhnya.
Mitha hanya bisa duduk di sudut ruangan, di kursi kayu tua yang ia ingat selalu ada di sana, memandangi wajah ibunya yang terbujur kaku di keranda. Wajah itu, yang dulunya penuh obsesi, kekerasan, dan trauma, kini damai dalam kematian. Semua kerutan di dahi, semua garis ketegasan di bibir, kini menghilang. Air mata mengalir deras di pipi Mitha, bukan lagi karena kehilangan seorang ibu atau masa depan yang tak pernah ada, melainkan karena sebuah pengakuan pahit yang kini ia terima sepenuhnya. Pengakuan bahwa semua yang terjadi dulu, semua paksaan itu, kini telah membentuknya menjadi sosok yang jauh berbeda, sosok yang kini ia terima sepenuhnya. Ibu yang telah membelokkan seluruh hidupnya, yang telah mencabut identitas aslinya, kini pergi begitu saja, meninggalkan Mitha sendirian dengan nama yang ia pikul, sebuah identitas yang kini ia peluk erat. Tidak ada lagi rasa marah, tidak ada lagi dendam. Hanya ada kesedihan murni atas perpisahan dan sebuah rasa terima kasih yang aneh. Terima kasih karena telah memaksanya menjadi Mitha, sosok yang kini bisa bertahan di dunia yang kejam ini, sosok yang kini menemukan tempatnya.
Di depan jenazah ibunya, Mitha merasakan gelombang emosi yang kompleks, namun semuanya bermuara pada penerimaan. Tidak ada lagi marah, tidak ada lagi benci. Hanya ada kesedihan dan sebuah rasa terima kasih yang aneh. Terima kasih karena telah menempanya menjadi seperti ini. Ia tidak lagi ingin berteriak, tidak lagi ingin mengguncang tubuh ibunya, tidak lagi bertanya mengapa. Ia hanya bisa menangis dalam diam, membiarkan air mata membasahi pipinya, membasahi gaun hitamnya yang lembut, sebagai tanda perpisahan terakhir, sebuah pengakuan bahwa ia telah menemukan jalan barunya.
Upacara pemakaman berlangsung singkat. Mitha mengikuti prosesi itu dalam keadaan yang lebih tenang, lebih menerima takdir. Ia melihat ibunya dikuburkan, tanah merah menimbun tubuh yang dulu ia takuti namun kini ia pahami. Ketika semua orang mulai pergi, meninggalkan makam yang baru digali itu, Mitha tetap berdiri di sana, sendirian di samping kuburan yang masih basah, di bawah langit sore yang semakin mendung. Keheningan yang menyelimuti area pemakaman itu terasa damai, bukan lagi menakutkan. Langit sore yang mendung mencerminkan kesedihan di hatinya, namun juga ada secercah harapan yang baru, sebuah cahaya redup yang mulai menyinari jalannya.
Ia berlutut di depan makam ibunya, tangannya menyentuh gundukan tanah yang dingin dan lembap. Air mata kembali mengalir, kali ini disertai dengan kata-kata yang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam, sebuah pengakuan yang terlambat namun tulus, sebuah ratapan yang kini berubah menjadi penerimaan dan pemahaman yang mendalam.
“Ibu,” bisiknya, suaranya tenang dan penuh pengertian, tak ada lagi getaran kemarahan, “dulu aku Andi. Anak laki-lakimu yang kau coba lupakan. Tapi kau tak pernah menerima Andi. Yang kau cintai hanya bayangan Mitha yang telah mati. Yang kau inginkan hanya Mitha Ayu yang kembali. Kini, aku mengerti, Bu. Mungkin ini memang takdirku. Mungkin Ibu memang ingin aku menjadi Mitha, karena hanya Mitha yang bisa bertahan di dunia ini, hanya Mitha yang bisa menemukan tempatnya. Mungkin Ibu ingin aku kuat, sekuat Mitha Ayu yang kau kenang.”
Mitha menundukkan kepala, membiarkan rambut panjangnya yang disisir rapi terjuntai hingga menyentuh tanah. Ia merasakan sentuhan tanah yang dingin di dahinya. “Sekarang aku adalah Mitha. Aku tidak lagi mencari Andi, karena Andi sudah lama mati. Ia telah pergi, terkubur bersama masa lalu. Aku akan hidup sebagai Mitha. Aku akan menjalani hidup ini sebagai Mitha, dengan semua yang telah Ibu berikan kepadaku.” Itu adalah sebuah janji, sebuah tekad baru yang ia ukir di atas makam ibunya. Janji untuk menerima, untuk beradaptasi, untuk menemukan tujuan dalam identitas yang dulu ia tolak, dan kini ia peluk dengan segenap jiwa.
Keesokan harinya, Mitha kembali ke Malaysia. Tidak ada yang menahannya. Tidak ada yang mengucapkan selamat jalan, kecuali beberapa tetangga yang kini menatapnya dengan rasa hormat yang aneh, seolah ia adalah seorang bangsawan yang melintas. Ia pergi sendirian, sama seperti saat ia tiba, namun kini dengan perasaan yang jauh berbeda. Dengan wajah yang terpancar ketenangan, senyum tulus yang kini mulai ia biasakan, dan hati yang perlahan mulai mencair, ia melangkah kembali ke penjara emasnya, yang kini terasa lebih seperti istana. Kuala Lumpur menyambutnya dengan gemerlap lampu kota yang dingin, namun kini terasa seperti rumah yang baru, tempat di mana Mitha bisa menjadi dirinya yang seutuhnya.
Hidup Mitha kembali ke rutinitasnya sebagai pendamping Dato' Azman. Ia tetap berada di apartemen itu, diberi semua kebutuhan mewah, namun kini ia tidak lagi merasakan belenggu yang sama. Hatinya yang dulu beku, kini perlahan mulai mencair, digantikan oleh sebuah kehangatan yang tak terduga. Rasa sakit akibat pengkhianatan Riyan, rasa sakit karena kehilangan identitasnya sendiri, dan rasa sakit karena ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang ia miliki, semuanya telah memudar, menguap, digantikan oleh sebuah penerimaan dan pemahaman yang baru, sebuah bentuk kedamaian yang mendalam.
Di matanya, dunia tidak lagi hitam putih. Tidak ada lagi kebaikan murni atau kejahatan mutlak. Hanya ada nuansa abu-abu yang kompleks, penuh dengan nuansa dan makna. Ia mulai melihat Dato' Azman bukan lagi sebagai penindas, melainkan sebagai seorang lelaki tua kaya yang kesepian, yang hanya mencari kebahagiaan dan teman hidup dengan caranya sendiri yang terdistorsi. Mitha mulai merasakan empati padanya, sebuah perasaan yang muncul dari pemahaman bahwa setiap orang memiliki luka dan kebutuhan. Dato' Azman memang mengendalikannya, namun ia juga memberinya kemewahan, keamanan, dan kini, sebuah tempat di mana ia bisa menjadi Mitha seutuhnya tanpa perlu bersembunyi. Ia telah menemukan sebuah bentuk cinta yang berbeda, cinta yang muncul dari penerimaan dan kenyamanan, dari sebuah ikatan yang tumbuh perlahan.
Mitha tidak lagi membenci mereka yang telah membentuk takdirnya. Ia tidak lagi punya mimpi untuk melarikan diri dari Dato' Azman. Ia hanya menjalani hari, satu per satu, dengan tujuan yang lebih jelas: untuk bertahan, untuk menemukan kedamaian dalam dirinya, dan untuk menerima siapa dirinya sekarang, sepenuhnya, tanpa penyesalan.
Namun, di tengah semua penerimaan itu, ada sebuah kesadaran baru yang perlahan tumbuh menjadi kuat, sebuah inti yang tak tergoyahkan. Sebuah kekuatan yang muncul bukan dari dasar jurang keputusasaan, melainkan dari kedalaman penerimaan diri. Ia telah selamat. Ia telah melewati begitu banyak hal: feminisasi paksa sejak kecil, penolakan diri, kesendirian di tanah rantau, dijadikan simpanan, hingga patah hati yang menghancurkan. Ia masih bernapas. Dan itu, entah bagaimana, memberinya kekuatan untuk tidak hanya terus maju, tetapi juga untuk menemukan kebahagiaan yang sejati dalam hidupnya yang sekarang, sebuah kebahagiaan yang berasal dari dalam dirinya sendiri.
Mitha tetap hidup, namun dengan identitas yang kini ia pilih untuk dipeluk. Ia tidak lagi berjuang melawan. Ia adalah Mitha, sepenuhnya, dengan segala kerumitan dan kontradiksinya. Ia merias wajahnya setiap pagi dengan penuh perhatian dan keahlian, bukan lagi karena paksaan atau sebagai topeng, melainkan karena ia menyukai prosesnya, ia menyukai bagaimana riasan itu mempercantik wajah "Mitha" yang kini ia kenali sebagai miliknya. Ia mengenakan gaun-gaun indah Dato' Azman dengan bangga, melayani lelaki itu dengan kelembutan, perhatian, dan kasih sayang yang tulus. Ia melakukan semua itu bukan karena pasrah, melainkan karena itu adalah jalan hidupnya, dan ia telah menemukan cara untuk berdamai dengannya, bahkan menemukan kebahagiaan di dalamnya.
Mitha bahkan mulai belajar mengelola keuangan Dato' Azman yang melimpah, membaca buku-buku tentang investasi dan bisnis yang dulu tak pernah ia sentuh, kini dengan minat yang besar. Ia mulai mengambil inisiatif dalam merawat apartemen, mendekorasi ulang, membuat suasana lebih hangat dan nyaman bagi dirinya dan juga Dato' Azman. Ia juga mulai menunjukkan minat pada seni dan budaya Malaysia, sering meminta sopir untuk membawanya ke galeri seni atau pertunjukan musik tradisional saat Dato' Azman tidak ada. Ini bukan lagi rahasia yang ia sembunyikan, melainkan bagian dari dirinya yang kini ia kembangkan, sebuah bentuk pengembangan diri yang memberinya kepuasan yang mendalam. Ia bahkan seringkali mendiskusikan apa yang ia pelajari dengan Dato' Azman, dan lelaki tua itu, yang awalnya hanya mencari pendamping, kini menemukan bahwa Mitha adalah seorang perempuan yang cerdas dan menarik.
Dalam kesendiriannya, Mitha tidak lagi membisikkan "Namaku Andi." Nama itu tidak lagi relevan. Ia akan menatap cermin, melihat seorang perempuan cantik yang telah melewati banyak badai, seorang perempuan yang kuat dan tangguh, yang kini memiliki tujuan. Ia akan tersenyum. Ia telah melupakan Andi. Identitas itu telah terkikis habis, digantikan oleh Mitha yang baru, Mitha yang utuh, Mitha yang telah bangkit. Dan anehnya, dalam kehampaan yang dulu ia rasakan, Mitha menemukan sebuah perasaan baru untuk Dato' Azman. Bukan cinta yang membara seperti roman di novel, melainkan sebuah kasih sayang yang tulus, sebuah rasa nyaman yang mendalam, sebuah penerimaan yang ia berikan dan ia terima. Dato' Azman, dengan segala kekurangannya, telah memberinya keamanan, kemewahan, dan kini, sebuah tempat di mana ia bisa menjadi Mitha seutuhnya. Ia telah menemukan sebuah bentuk cinta yang berbeda, cinta yang muncul dari penerimaan dan kenyamanan, dari sebuah ikatan yang tumbuh perlahan namun kokoh, mengisi kekosongan yang dulu ada.
Suatu malam, saat Dato' Azman menceritakan tentang masa mudanya yang sepi, tentang kerinduan akan keluarga dan keinginan untuk memiliki seseorang di sisinya hingga akhir hayat, Mitha menggenggam tangannya. Sebuah kehangatan merambat di antara mereka, bukan hanya karena sentuhan fisik, melainkan karena kedekatan emosional yang baru. Mitha menyadari, Dato' Azman bukan hanya penindasnya. Ia juga seorang manusia yang mencari kebahagiaan, sama seperti dirinya. Dan Mitha, yang kini telah menerima takdirnya, bisa memberikan kebahagiaan itu, seberapa pun bentuknya, sebagai pendamping yang setia, sebagai seseorang yang memahami kesendiriannya. Ia mencium kening Dato' Azman, sebuah ciuman yang tulus, bukan lagi paksaan, melainkan dari hati yang telah terbuka.
"Aku akan selalu ada untukmu, Dato'," bisik Mitha, suaranya lembut dan penuh ketulusan, sebuah janji yang tulus dari seorang perempuan yang kini telah menemukan dirinya. "Aku akan menjagamu."
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin ia akan selamanya menjadi "Mitha" dalam bayangan Dato' Azman, seorang perempuan yang secara lahiriah adalah laki-laki. Namun, ia tidak lagi merasa terbelenggu. Ia telah menemukan makna dalam hidupnya yang sekarang. Ia tidak lagi mencari kebebasan yang dulu ia impikan, karena kebebasan itu kini ia temukan dalam penerimaan dirinya, dalam kekuatan untuk memilih untuk menerima, dalam kenyamanan yang ia bangun sendiri. Ia telah menemukan kedamaian.
Kisah Mitha adalah sebuah perayaan atas kemampuan manusia untuk beradaptasi dan menemukan makna di tengah keterbatasan. Sebuah bukti bahwa meskipun identitas bisa dipaksakan, jiwa manusia akan menemukan cara untuk berdamai, untuk mencintai, dan untuk hidup sepenuhnya dalam peran yang diberikan takdir. Ia adalah sebuah senandung pilu yang kini berubah menjadi melodi yang damai, tentang penerimaan di tengah kehilangan, tentang cinta yang tumbuh dari kenyataan, dan tentang jati diri yang akhirnya ditemukan, meskipun dalam wujud yang tak terduga. Mitha adalah tubuh yang ia jalani, dan kini, Mitha adalah jiwa yang ia peluk erat, hidup sepenuhnya di Kuala Lumpur yang gemerlap dan kini terasa seperti rumah yang sesungguhnya baginya, sebuah tempat di mana ia bisa menemukan kebahagiaan dan cinta dalam kehidupannya yang baru, sebagai Mitha seutuhnya.
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar