Senin, 21 Juli 2025

Lelaki Dalam Gaun

 



Udara Jakarta, pada suatu pagi yang lembap di bulan Juli, terasa menusuk ke kulit Bagas yang masih kurus. Bau knalpot bercampur aroma masakan warung pinggir jalan menyapa indranya saat ia melangkahkan kaki keluar dari gerbang panti asuhan "Cahaya Hati" yang sudah begitu akrab dengannya. Gerbang besi tua itu, yang selama ini menjadi batas dunianya, kini terbuka lebar, mengundangnya ke sebuah ketidakpastian yang menakutkan sekaligus menjanjikan. Usianya baru sepuluh tahun, namun matanya yang gelap, seperti dua buah kelereng yang jernih, memancarkan kedewasaan yang tak sejalan dengan umurnya. Ada lapisan kesedihan yang samar di sana, namun juga rasa ingin tahu yang tak bisa disembunyikan. Bagas adalah seorang anak laki-laki dengan pembawaan yang sangat lembut dan pemalu. Wajahnya mungil, tulang pipinya samar, dan bibirnya selalu tersenyum tipis, hampir tak terlihat, seolah ia takut mengambil terlalu banyak ruang di dunia ini. Tubuhnya kecil untuk anak seusianya, ramping, membuatnya sering menjadi sasaran empuk bagi anak-anak yang lebih besar di panti, namun ia tak pernah melawan, hanya menghindar dan bersembunyi. Di balik semua itu, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Bagas hanya ingin menjadi anak laki-laki biasa, tumbuh wajar seperti teman-temannya yang lain, berlari bebas di lapangan tanah merah, bermain kelereng hingga lututnya lecet dan bajunya penuh debu, atau berteriak lepas tanpa beban di bawah teriknya matahari Jakarta.

Panti asuhan "Cahaya Hati" adalah satu-satunya rumah yang Bagas kenal sejak ia ditemukan tergeletak di depan pintu gerbangnya saat masih bayi merah, dibungkus kain lusuh tanpa identitas, tanpa nama. Para pengasuh panti memberikan nama Bagas kepadanya, sebuah nama sederhana yang berarti "kuat". Kehidupannya di sana sederhana, seringkali kekurangan dalam hal materi, namun penuh dengan kehangatan para pengasuh yang berhati mulia dan teman-teman senasib yang saling mendukung. Ia terbiasa berbagi satu piring nasi, terbiasa menunggu giliran di kamar mandi yang sempit, terbiasa dengan suara ramai dan tawa riang anak-anak yang bermain di halaman, meskipun ia sendiri jarang ikut bergabung. Ia lebih suka duduk di sudut, mengamati dunia di sekitarnya, atau membaca buku-buku dongeng yang usang. Pagi itu, Bagas duduk di bangku kayu yang sudah lapuk di halaman panti, sedang tekun merajut selembar kain perca menjadi taplak meja kecil, salah satu kerajinan tangan yang sering mereka buat untuk dijual demi memenuhi kebutuhan panti. Jemari kecilnya begitu terampil, gerakannya luwes dan rapi, seperti gerakan seorang penari balet, sebuah kontras yang ironis dengan tubuhnya yang ringkih.

Tiba-tiba, sebuah mobil sedan hitam mengkilap, yang terlihat sangat mahal dan asing di lingkungan panti yang sederhana itu, berhenti tepat di depan gerbang. Mobil itu memancarkan aura kemewahan yang kontras dengan sekelilingnya, seolah sebuah potongan dunia lain mendarat di sana. Dari dalamnya, seorang wanita paruh baya turun. Ia mengenakan kebaya sutra berwarna gelap yang elegan, dengan motif bunga yang halus. Perhiasan emas berkilauan di leher dan jemarinya, sebuah cincin berlian besar melingkar di jari manisnya, dan tatanan rambutnya sangat rapi, disanggul tinggi. Wajahnya cantik, terpahat sempurna, namun memancarkan ketegasan yang dingin dan kesedihan yang mendalam di matanya. Bibirnya tipis, selalu membentuk garis lurus yang kaku. Ia adalah Ibu Mirna, seorang janda kaya raya dari salah satu konglomerat terkemuka di Jakarta, pemilik jaringan hotel dan properti mewah yang tersebar di seluruh negeri. Namanya sering muncul di majalah-majalah bisnis dan gaya hidup.

Kedatangan Ibu Mirna bukan tanpa alasan, jauh dari sekadar niat mulia untuk membantu panti. Ia telah kehilangan putri semata wayangnya, seorang gadis kecil bernama Sasmitha, dalam sebuah kecelakaan mobil tragis setahun yang lalu. Kecelakaan itu merenggut bukan hanya nyawa putrinya, tetapi juga sebagian besar jiwanya. Ibu Mirna terjerumus dalam depresi yang dalam, hidup dalam kesedihan yang tak berkesudahan, dibayangi penyesalan yang menghantuinya setiap malam. Ia seringkali merasa seperti mayat hidup, terperangkap dalam kesunyian rumah besarnya. Ketika seorang kenalan sosialitanya menceritakan tentang panti asuhan "Cahaya Hati" dan potensi untuk mengadopsi anak, Ibu Mirna, dalam kegilaannya karena duka yang tak tertahankan, merasa diberi "kesempatan kedua oleh Tuhan" untuk mengisi kekosongan hatinya. Namun, yang ia cari bukanlah seorang anak untuk dicintai apa adanya, dengan segala keunikan dan kekurangannya, melainkan sebuah pengganti, sebuah kloning, sebuah reinkarnasi dari putrinya yang hilang, seorang boneka hidup yang bisa ia bentuk sesuai citra Sasmitha.

Ibu Mirna melangkah anggun masuk ke halaman panti, langkahnya pelan namun berwibawa, tatapan matanya menyapu setiap anak yang bermain atau duduk tenang, mencari sesuatu, mencari bayangan yang ia kenali. Ketika matanya jatuh pada Bagas yang sedang tekun merajut di bangku, ada percikan aneh di sana, sebuah kilatan pengenalan yang ganjil. Wajah Bagas yang lembut dan pembawaannya yang tenang, entah mengapa, mengingatkannya pada Sasmitha kecilnya. Ada kemiripan yang samar dalam kehalusan fitur wajah Bagas, dalam gerak-geriknya yang lembut, dalam caranya menunduk dengan malu-malu. Bagi Ibu Mirna, Bagas adalah kanvas kosong yang sempurna untuk melukis kembali sosok putrinya yang hilang. Tanpa banyak bicara, setelah berbincang singkat dan formal dengan kepala panti yang terlihat terkejut namun tak berani menolak, Ibu Mirna menunjuk Bagas. "Saya ingin anak itu," katanya dengan suara yang mantap dan berwibawa, seolah ia sedang memilih barang di sebuah toko mewah, bukan seorang anak manusia.

Bagas terpilih. Ia tidak tahu mengapa. Ia tidak tahu apa yang menantinya. Dalam benaknya yang polos, ia hanya membayangkan keluarga baru yang hangat, sebuah kamar sendiri, dan kesempatan untuk bersekolah seperti anak-anak pada umumnya. Ia tidak tahu bahwa ia baru saja terpilih untuk sebuah takdir yang lebih kejam daripada yang bisa ia bayangkan, sebuah takdir yang akan merenggut jiwanya secara perlahan.

Beberapa hari kemudian, dengan hanya membawa sebuah tas ransel kecil berisi beberapa helai pakaian panti yang lusuh dan sebuah buku dongeng favoritnya, Bagas meninggalkan "Cahaya Hati". Ia melambaikan tangan pada teman-teman dan para pengasuh, senyum tipis di wajahnya menyembunyikan rasa campur aduk antara kebahagiaan dan kecemasan yang mendalam. Ia merasa senang sekaligus takut. Mobil hitam mewah itu membawanya menembus kemacetan Jakarta yang tak berujung, suara klakson yang memekakkan telinga, asap kendaraan yang menyesakkan, menuju sebuah dunia yang sama sekali baru, dunia yang jauh berbeda dari kesederhanaan panti.

Ketika mobil berhenti di depan sebuah gerbang besi tinggi yang megah, dengan ukiran artistik dan sentuhan emas, Bagas menatap takjub. Sebuah rumah besar, lebih mirip istana daripada rumah biasa, menjulang di hadapannya, dikelilingi pagar tinggi yang menutupi dari pandangan luar. Halamannya luas, dengan taman yang terawat indah, air mancur yang memancarkan gemericik suara air, dan patung-patung marmer yang mahal. Ini adalah rumah Ibu Mirna. Ini akan menjadi rumahnya. Namun, di balik kemegahan itu, ada aura dingin dan kesunyian yang terasa mencekam, seolah rumah ini adalah sebuah penjara yang sangat besar.

Begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah, melewati pintu kayu jati yang kokoh, keharuman bunga melati dan wangi kayu cendana menyeruak, namun tidak berhasil menenangkan hatinya yang berdebar kencang. Lantai marmer dingin terasa di telapak kakinya yang polos. Sebuah asisten rumah tangga yang berpakaian sangat rapi, dengan wajah tanpa ekspresi, langsung menyambutnya. "Selamat datang, Nak," katanya singkat, tanpa senyum. Tanpa banyak basa-basi, tanpa memberinya waktu untuk menyesuaikan diri atau bertanya, Bagas langsung digiring menuju sebuah kamar mandi mewah. Bak mandi marmer besar dengan keran berlapis emas terlihat begitu asing di matanya. Air hangat yang melimpah memenuhi bak mandi. "Bersihkan dirimu, Bagas," kata asisten itu dengan suara datar dan tanpa emosi, sambil meletakkan sebotol sampo mahal di tepi bak. Ini adalah mandi pertama Bagas di bak mandi semewah itu. Ia merasa canggung, namun ia menurut, merasakan kemewahan yang asing itu membasahi tubuhnya.

Setelah mandi, asisten itu membawanya ke sebuah ruangan besar yang dipenuhi pakaian, sebuah kamar ganti pribadi yang luas, jauh lebih besar dari kamar tidurnya di panti. Namun, semua pakaian yang terpajang di sana adalah pakaian perempuan: gaun-gaun cantik dengan warna-warna pastel yang lembut, rok-rok berenda, blus-blus manis dengan kerah hiasan. Ada pula kotak-kotak berisi jepit rambut, bando, pita-pita sutra, dan pernak-pernik rambut lainnya. Bagas menatap semua itu dengan bingung. Ia tahu ini bukan pakaiannya. Ia adalah anak laki-laki. Ia tidak pernah memakai gaun.

"Mulai sekarang, namamu bukan Bagas," suara Ibu Mirna tiba-tiba terdengar, tegas dan tanpa kompromi, mengejutkan Bagas yang sedang terpaku di tengah ruangan. Ibu Mirna berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan penuh harapan yang ganjil, sebuah kilatan obsesi yang mengerikan. "Namamu sekarang Sasmitha. Putri Ibu. Jangan pernah sebut nama Bagas lagi. Bagas sudah tidak ada. Dia sudah pergi."

Jantung Bagas berdegup kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Ia ingin protes, ingin berteriak bahwa ia adalah Bagas, bukan Sasmitha. Ia ingin mengatakan bahwa Bagas itu ada, ia masih di sini! Tapi tatapan Ibu Mirna begitu dingin, begitu menuntut, begitu menguasai, sehingga kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia hanya bisa mengangguk, lidahnya kelu, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti sebuah batu yang dipahat, siap diukir menjadi bentuk yang tidak ia inginkan. "Rambutmu akan dipanjangkan. Kau akan menjadi putri Ibu yang paling cantik, persis seperti Sasmitha Ibu yang dulu," Ibu Mirna tersenyum, senyum yang tidak sampai ke matanya, sebuah senyum yang terasa menakutkan bagi Bagas. "Semua pakaian lama Bagas sudah dibuang. Itu bukan punyamu lagi. Ini semua untukmu, Sasmitha. Pilih yang kau suka."

Hari-hari awal di rumah mewah itu diwarnai kebingungan dan ketakutan yang mendalam bagi Bagas, yang kini secara paksa disebut Sasmitha. Setiap pagi, ia dipaksa mengenakan gaun-gaun yang dipilihkan Ibu Mirna. Gaun tidur sutra di malam hari, gaun pesta di siang hari, gaun-gaun santai di waktu makan. Gaun-gaun itu terasa asing dan membatasi di tubuhnya, membatasi gerakannya yang lincah, membuatnya merasa tercekik. Rambutnya, yang dulu pendek rapi dan mudah dirawat, kini dibiarkan tumbuh memanjang, dan Ibu Mirna sering memanjangnya sendiri dengan minyak kemiri atau membelikan ramuan-ramuan tradisional untuk mempercepat pertumbuhannya. Ibu Mirna juga membelikannya boneka-boneka cantik, rumah boneka yang rumit, dan set peralatan masak mainan. "Sasmitha harus bermain dengan ini," kata Ibu Mirna lembut, namun dengan nada yang tak terbantahkan, seolah itu adalah sebuah perintah mutlak. "Anak perempuan tidak bermain bola atau kelereng. Itu untuk anak laki-laki."

Bagas dipaksa duduk diam dan anggun saat makan, berbicara dengan suara pelan dan lembut, tidak tertawa terbahak-bahak, dan berjalan dengan langkah-langkah kecil, gemulai, seperti yang diajarkan oleh Ibu Mirna. Jika ia lupa dan menunjukkan kebiasaan anak laki-lakinya, seperti duduk bersila dengan kedua kaki terentang, atau berbicara dengan suara keras yang bersemangat, atau makan terlalu cepat, Ibu Mirna akan menegurnya dengan tatapan dingin atau cubitan di lengan yang meninggalkan bekas merah. "Sasmitha tidak begitu. Sasmitha itu anggun dan sopan," ucapnya, nadanya penuh kekecewaan yang mendalam, membuat Bagas merasa bersalah.

Malam hari, setelah semua lampu di rumah padam dan kesunyian total menyelimuti, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang mendengung pelan, Bagas akan meringkuk di bawah selimut sutra di tempat tidurnya yang besar dan empuk. Ia akan menangis diam-diam, air matanya membasahi bantal mahal yang empuk. Ia masih berharap ini hanya permainan, sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir saat ia terbangun di pagi hari, kembali ke ranjangnya di panti, kembali menjadi Bagas. Ia akan memanggil namanya sendiri dalam hati, berulang kali: "Bagas. Aku Bagas. Aku Bagas." Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia masih Bagas, anak laki-laki yang ia kenal, yang suka bermain di panti asuhan, yang suka memanjat pohon jambu, yang suka bau tanah setelah hujan. Namun, setiap hari berlalu, identitas itu terasa semakin jauh, semakin pudar, seperti tulisan kapur di papan tulis yang perlahan terhapus hujan lebat.

Ia merindukan kebebasan untuk berlari tanpa hambatan gaun, untuk bermain tanpa batasan etiket, untuk menjadi dirinya sendiri tanpa perlu berpura-pura. Ia merindukan teman-teman di panti asuhan, suara tawa mereka yang tulus, kebersamaan mereka yang sederhana. Tapi ia sendirian di rumah besar ini, dikelilingi kemewahan yang terasa seperti penjara yang sangat indah. Ibu Mirna mencintainya, Bagas tahu itu. Tapi cinta itu terasa seperti sebuah jebakan, sebuah belenggu emas yang mengikatnya erat, mencekik kebebasannya. Cinta Ibu Mirna bukanlah cinta yang sehat. Itu adalah obsesi yang buta, sebuah proyek gila untuk menghidupkan kembali bayangan putrinya yang telah tiada, sebuah upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dengan mengorbankan masa depan Bagas.

Setiap kali ia melihat pantulan dirinya di cermin besar yang menghiasi dinding kamarnya, Bagas melihat seorang gadis kecil dengan rambut panjang yang sudah menjuntai hingga bahu, mengenakan gaun cantik yang Ibu Mirna pilihkan. Itu adalah Sasmitha. Bukan Bagas. Ia mencoba mencari sisa-sisa Bagas dalam pantulan itu, namun semakin sulit menemukannya. Wajahnya yang dulunya polos kini dihiasi jepit rambut atau bando. Matanya, yang dulunya penuh rasa ingin tahu anak laki-laki, kini seringkali terlihat takut dan bingung, seperti mata rusa yang terperangkap.

Suatu sore, saat Ibu Mirna mengajaknya berbelanja pakaian baru di sebuah butik mewah di pusat perbelanjaan elit Jakarta, di daerah Thamrin yang ramai dan gemerlap, Bagas melihat sekilas sekelompok anak laki-laki seusianya berlari-lari di area bermain anak, tertawa lepas, bermain tembak-tembakan imajiner dengan tangan mereka. Hatinya mencelos. Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan kebebasan itu, tawa lepas itu, keringat yang menetes setelah bermain. Namun, Ibu Mirna menarik tangannya erat, menggenggamnya dengan kuat. "Sasmitha tidak boleh berlarian seperti itu. Sasmitha itu anggun dan sopan," bisiknya, tatapannya tajam dan peringatan. Bagas hanya bisa menunduk, menelan hasratnya dalam-dalam, merasakan sakitnya keinginan yang tak terwujud.

Malam itu, ia kembali menangis di kamarnya yang mewah. Kali ini, air matanya terasa lebih pahit dan panas. Ia menyadari, ini bukan lagi permainan. Ini adalah kenyataan yang tak bisa ia hindari. Identitasnya sedang direnggut darinya, sehelai demi sehelai, hari demi hari, setiap kali ia dipaksa mengenakan gaun, setiap kali ia dipaksa berbicara dengan suara lembut, setiap kali ia dipaksa tersenyum palsu. Ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Ia terlalu kecil, terlalu takut, terlalu terikat pada satu-satunya orang dewasa yang kini merawatnya, satu-satunya tempat ia bisa bernaung. Ia adalah anak yang dipilih, namun pilihan itu bukanlah miliknya. Ia adalah Sasmitha, dan Bagas perlahan menghilang, terkubur di bawah lapisan-lapisan gaun, boneka, dan nama baru yang kini ia pikul dengan berat, sebuah beban yang menghimpit jiwanya. Bagas yang suka berlari di panti asuhan, Bagas yang suka bermain kelereng di tanah berdebu, Bagas yang polos dan lugu, perlahan-lahan lenyap, digantikan oleh bayangan seorang putri yang tak pernah ada, sebuah ilusi yang diciptakan oleh duka seorang ibu.

Ia sering mendengar Ibu Mirna berbicara pada foto Sasmitha yang terpajang di ruang tamu, foto seorang gadis kecil berambut panjang dengan gaun putih yang cantik. "Lihat, Nak. Sasmitha sudah kembali. Ibu akan menjaganya dengan baik, akan membuatnya jadi perempuan paling cantik, seperti dirimu." Kata-kata itu, yang seharusnya menjadi penghiburan bagi Ibu Mirna, justru menjadi racun bagi Bagas, menusuk hatinya. Ia merasa seperti wadah kosong yang diisi dengan jiwa orang lain, sebuah panggung tempat ia harus melakoni peran yang bukan miliknya, sebuah sandiwara yang tak pernah berakhir.

Setiap hari adalah perjuangan batin yang tak terlihat oleh siapa pun. Ia mencoba melawan dalam diam, menolak makanan yang ia tak suka dengan menggelengkan kepala, atau mencoba memakai baju lama secara sembunyi-sembunyi di bawah gaun tidurnya, namun Ibu Mirna selalu menyadarinya, selalu mengetahui setiap gerak-geriknya. Hukuman akan datang, berupa tatapan dingin yang menusuk jantung, atau larangan menonton televisi, atau bahkan hanya diamnya Ibu Mirna yang lebih menyakitkan daripada pukulan fisik. Ibu Mirna akan mengabaikannya, tidak berbicara dengannya, tidak memberikan perhatian apapun, hingga Bagas menyerah dan kembali berperilaku seperti "Sasmitha" yang diinginkan, kembali menjadi boneka yang patuh.

Ia tahu ia harus bertahan. Demi dirinya sendiri, demi harapan yang samar bahwa suatu hari, ia akan bisa kembali menjadi Bagas, menemukan jati dirinya yang asli. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di padang pasir, semakin jauh dan semakin sulit dijangkau, semakin tidak nyata. Ia hanyalah seorang anak yang terperangkap dalam obsesi seorang wanita dewasa, sebuah boneka hidup yang dimanipulasi untuk mengisi kekosongan hati yang hampa. Dan di tengah kemewahan Jakarta yang gemerlap, di dalam rumah besar yang megah itu, Bagas kecil menangis, sendirian, meratapi hilangnya identitasnya, seolah jiwanya sedang dikubur hidup-hidup. Ia adalah Bagas yang perlahan mati, dan Sasmitha yang sedang lahir, sebuah kelahiran yang dipaksakan dan menyakitkan.

Dua tahun telah berlalu sejak Bagas pertama kali menginjakkan kaki di rumah mewah Ibu Mirna di kawasan elit Jakarta Selatan. Sepuluh lilin ulang tahun yang dulu ia tiup di panti asuhan, dengan riuhnya tawa teman-teman dan kue sederhana, kini telah digantikan oleh dua belas lilin yang menyala anggun di atas kue tart bertingkat, di sebuah pesta ulang tahun yang mewah dan sunyi. Tamu yang datang hanya sedikit, sebatas kolega bisnis Ibu Mirna dan beberapa kerabat jauh yang datang sekadar basa basi. Tidak ada tawa riang anak-anak, tidak ada permainan konyol. Hanya musik klasik yang mengalun pelan, obrolan dewasa yang formal, dan tatapan-tatapan penasaran yang membuat Bagas, yang kini sepenuhnya dipanggil Sasmitha, merasa seperti pajangan. Ia mengenakan gaun pesta berwarna merah muda yang indah, rambutnya ditata rapi dengan jepit berhiaskan mutiara. Di luar, ia tersenyum, mengangguk, dan menjawab pertanyaan dengan suara lembut seperti yang diajarkan Ibu Mirna. Di dalam, ia adalah sebuah cangkang kosong, sebuah pertunjukan yang sepi.

Kini, Bagas menginjak usia dua belas tahun, namun masa kanak-kanaknya yang seharusnya penuh eksplorasi dan permainan, telah sepenuhnya terkunci dalam identitas Sasmitha. Kehidupannya dikurung total di dalam tembok rumah besar itu, sebuah sangkar emas yang memisahkan dirinya dari dunia luar. Jendela-jendela tinggi dengan gorden tebal, taman luas dengan pagar tinggi, dan penjaga keamanan yang berjaga dua puluh empat jam, semuanya menjadi simbol dari kebebasan yang direnggutnya. Ibu Mirna tak pernah mengizinkannya bermain dengan anak laki-laki seusianya, bahkan dengan tetangga. "Sasmitha tidak cocok bermain dengan mereka. Lingkungan di luar tidak baik untuk putri Ibu," selalu itu alasannya, sebuah kalimat yang terdengar protektif namun sebenarnya penuh kontrol.

Hari-harinya dipenuhi dengan jadwal yang ketat, disusun dengan cermat oleh Ibu Mirna untuk memastikan transformasi Sasmitha berjalan sempurna. Ia tidak pernah pergi ke sekolah formal seperti anak-anak pada umumnya. Pendidikan Bagas, atau Sasmitha, dilakukan secara privat oleh guru-guru yang datang ke rumah. Namun, pelajaran yang ia terima sangat berbeda dari kurikulum sekolah biasa. Fokus utamanya adalah apa yang Ibu Mirna anggap "penting untuk seorang perempuan" dan "layak untuk seorang putri bangsawan".

Setiap pagi, setelah sarapan yang disiapkan khusus dengan porsi kecil dan menu sehat yang dirancang untuk menjaga bentuk tubuhnya tetap ramping, Sasmitha akan menjalani les modeling. Seorang guru modeling profesional, seorang wanita paruh baya yang ramping dan selalu tampil sempurna, akan datang untuk mengajarinya cara berjalan anggun dengan punggung tegak, cara duduk dengan kaki merapat, cara tersenyum yang menawan, cara memutar kepala dengan gerakan lembut, dan cara berpose yang elegan di depan kamera. "Ingat, Sasmitha, seorang wanita harus selalu anggun. Setiap gerakanmu adalah seni," guru itu akan berkata, dan Ibu Mirna akan mengawasi dari kejauhan, mengangguk puas setiap kali Sasmitha berhasil melakukannya dengan sempurna. Bagas merasa seperti manekin hidup, tubuhnya dipaksa mengikuti gerakan yang asing, seolah jiwanya terlepas dari raganya. Ia melihat dirinya di cermin besar di ruang latihan, melihat sosok yang semakin ramping, semakin luwes, semakin mirip dengan gambar-gambar model yang sering ditunjukkan gurunya.

Setelah les modeling, jadwalnya dilanjutkan dengan les etiket. Seorang wanita tua yang ramah namun sangat disiplin mengajarkannya tata krama meja makan yang rumit, cara menyapa tamu dengan sopan, cara berbicara dengan intonasi yang lembut dan terkontrol, dan cara membawa diri di lingkungan sosial kelas atas. "Putri Ibu harus sempurna dalam setiap aspek," Ibu Mirna selalu menekankan. Bagas belajar tentang sendok garpu, tentang jenis-jenis gelas, tentang posisi tangan saat minum teh. Otaknya dipenuhi dengan aturan-aturan yang terasa absurd, jauh dari kehidupan sederhana yang dulu ia kenal.

Yang paling tidak ia sukai adalah kelas tari wanita. Seorang instruktur tari balet yang ketat datang tiga kali seminggu. Ia dipaksa mengenakan leotard dan stoking, melakukan gerakan-gerakan balet yang lentur dan feminin. Tubuhnya yang awalnya kaku dan lebih terbiasa dengan permainan fisik anak laki-laki, kini dipaksa untuk menjadi luwes dan anggun. Keringat membanjiri dahinya, otot-ototnya terasa nyeri, namun ia harus terus tersenyum dan melakukan gerakan sempurna. Ibu Mirna sering duduk di sudut studio, menonton dengan mata berbinar, seolah ia sedang menyaksikan putrinya yang sebenarnya menari. Bagi Bagas, itu adalah siksaan, namun ia tak berdaya. Ia harus menjadi penari yang anggun, karena itulah yang Ibu Mirna inginkan.

Di sela-sela les-les itu, ada juga pelajaran umum seperti matematika dan bahasa Inggris, namun porsinya jauh lebih sedikit dibandingkan pelajaran "kewanitaan". Ibu Mirna lebih fokus pada penampilan dan perilaku Sasmitha daripada perkembangan intelektualnya. Ia menginginkan seorang putri yang cantik dan anggun, bukan seorang ilmuwan.

Transformasi Bagas tidak hanya terbatas pada penampilan dan perilaku. Identitasnya pun diubah secara hukum. Ibu Mirna menggunakan kekuasaannya dan koneksi yang luas untuk mengubah dokumen resmi Bagas. Akta lahirnya, yang mencatatnya sebagai anak laki-laki dari panti asuhan, diubah secara ilegal menjadi "Sasmitha Mirna Putri", lengkap dengan tanggal lahir yang disesuaikan agar sesuai dengan tanggal lahir Sasmitha yang asli. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga juga diperbaharui dengan nama dan jenis kelamin yang baru. Bagas, nama yang ia kenal sejak kecil, kini tidak lagi tertera di mana pun. Di mata hukum, ia telah menjadi Sasmitha. Dunia lamanya telah sepenuhnya dihapus. Ia tidak lagi memiliki jejak Bagas.

Ketika Bagas mulai memasuki masa pubertas, perubahan fisiknya seharusnya menjadi tanda yang jelas bahwa ia adalah seorang anak laki-laki. Namun, bagi Ibu Mirna, hal itu adalah sebuah masalah yang harus diatasi. Bagas, atau Sasmitha, tidak mengalami menstruasi seperti yang diharapkan Ibu Mirna pada anak perempuan seusianya. Tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda pubertas laki-laki yang samar, seperti suara yang sedikit memberat atau bulu halus yang mulai tumbuh di beberapa area. Hal ini membuat Ibu Mirna panik. Ia tidak bisa membiarkan "putrinya" menjadi tidak sempurna.

Ibu Mirna segera menyewa seorang dokter rahasia, seorang dokter spesialis yang memiliki praktik tersembunyi dan tidak terlalu peduli dengan etika medis, asalkan bayarannya tinggi. Dokter itu datang ke rumah Ibu Mirna secara teratur, melakukan pemeriksaan tertutup, dan kemudian, dimulailah terapi hormon feminisasi yang mengubah tubuh Bagas secara perlahan namun pasti.

Awalnya, Bagas tidak mengerti apa yang disuntikkan ke dalam tubuhnya, atau pil-pil apa yang harus ia minum setiap hari. Ia hanya menurut, karena Ibu Mirna mengatakan itu adalah "vitamin khusus untuk Sasmitha agar tumbuh sehat dan cantik". Namun, efeknya mulai terasa. Kulitnya menjadi lebih halus, lebih lembut, dan bebas dari bulu-bulu halus yang sempat muncul. Lemak tubuhnya mulai mendistribusikan ke bagian pinggul dan dada, membuatnya tampak lebih berisi di bagian-bagian tersebut, membentuk lekuk tubuh yang lebih feminin. Suaranya yang sempat sedikit memberat, kini melunak, menjadi lebih tinggi dan merdu, persis seperti suara seorang gadis remaja. Bahkan fitur wajahnya pun terasa berubah, rahangnya sedikit melembut, dan pipinya menjadi lebih berisi.

Setiap pagi, Bagas akan menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba memahami perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Ia melihat Sasmitha yang semakin nyata, semakin sempurna. Payudaranya mulai tumbuh, meskipun masih sangat kecil, namun cukup untuk membuat gaunnya terlihat lebih berisi. Pinggulnya melebar, memberikan siluet yang berbeda. Ia mulai bingung membedakan siapa dirinya sebenarnya. Fisiknya semakin menjadi perempuan, seperti yang diinginkan Ibu Mirna, namun di dalam hatinya, ia masih berjuang untuk mengingat siapa Bagas, siapa dirinya yang asli. Ingatan tentang Bagas terasa semakin kabur, seperti kenangan yang memudar, semakin sulit ia genggam.

Rasa kehilangan identitas itu semakin dalam. Setiap kali ia mencoba mengingat momen-momen sebagai Bagas, ingatan itu terasa jauh dan asing. Ia mulai melupakan bagaimana rasanya bermain sepak bola, bagaimana rasanya berteriak lepas tanpa memikirkan sopan santun, bagaimana rasanya memakai celana pendek dan kaus. Semua itu digantikan oleh gaun-gaun, latihan modeling, etiket, dan rasa sakit dari suntikan hormon. Ia adalah sebuah proyek, sebuah percobaan, sebuah boneka yang sedang dibentuk.

Ibu Mirna, di sisi lain, sangat puas dengan perkembangan Sasmitha. Ia sering memeluknya, memuji kecantikannya, membelikannya lebih banyak gaun dan perhiasan. "Kamu akan jadi gadis cantik, Sasmitha. Orang-orang akan iri punya anak seperti kamu. Kamu akan jadi kebanggaan Ibu," katanya, matanya berbinar penuh kebahagiaan yang gila. Bagi Ibu Mirna, Sasmitha adalah putrinya yang telah kembali, dan setiap perubahan fisik Bagas adalah bukti keberhasilannya. Ia tidak melihat penderitaan di balik mata Bagas. Ia hanya melihat Sasmitha yang sempurna.

Bagas mencoba mencari celah, mencari kesempatan untuk melarikan diri dari takdir ini. Ia membaca buku-buku yang ia temukan di perpustakaan besar di rumah itu, mencari tahu tentang dunia luar, tentang bagaimana orang-orang hidup normal. Ia sesekali mencoba menguping percakapan para pelayan, berharap menemukan informasi yang bisa membantunya. Namun, semua usaha itu sia-sia. Penjagaan di rumah itu sangat ketat, dan setiap gerakannya selalu diawasi. Bahkan jendela kamarnya pun memiliki kunci khusus, dan ia tidak diizinkan keluar tanpa pengawasan ketat.

Kesepian adalah teman setianya. Tidak ada teman sebaya yang bisa ia ajak bicara, tidak ada yang bisa memahami apa yang ia alami. Para pelayan terlalu takut pada Ibu Mirna untuk berani bicara dengannya secara akrab. Ia sering duduk sendirian di taman, mengamati bunga-bunga yang bermekaran, atau memandangi langit biru Jakarta yang sering tertutup polusi. Dalam kesunyian itu, ia meratapi dirinya sendiri. Ia merasa seperti arwah yang terperangkap dalam tubuh yang asing, jiwa Bagas yang meratap di balik topeng Sasmitha.

Suntikan hormon terus diberikan secara berkala. Efeknya semakin jelas. Payudaranya tidak hanya tumbuh sedikit, melainkan semakin berisi, membutuhkan bra khusus yang Ibu Mirna belikan. Pinggulnya semakin melebar, memberikan lekuk tubuh yang jelas feminin. Kulitnya terasa semakin halus dan lembut, dan ia harus mencukur bulu-bulu halus yang tetap tumbuh di beberapa area tubuhnya, sebuah ironi yang menyakitkan. Suaranya kini benar-benar melunak, mencapai nada-nada tinggi yang alami, membuatnya sulit untuk berbicara dengan suara berat yang dulu ia miliki sebagai anak laki-laki. Bahkan Ibu Mirna sering memaksanya untuk bernyanyi lagu-lagu perempuan, dan suaranya terdengar merdu, melankolis, seperti nyanyian burung yang terperangkap.

Semakin tubuhnya berubah, semakin sulit Bagas mengingat dirinya yang asli. Potret dirinya saat masih kecil, saat ia masih Bagas, telah disingkirkan dari semua album foto di rumah itu. Hanya ada foto-foto Sasmitha kecil, putri Ibu Mirna yang asli, yang terpajang di setiap sudut. Bagas merasa seperti ia telah dihapus dari sejarahnya sendiri. Ia mulai terbiasa dengan gaun, dengan riasan tipis yang kadang dipakaikan Ibu Mirna untuk acara tertentu, dengan cara berjalan anggun, dan dengan suara lembut yang kini ia miliki.

Di depan cermin, Sasmitha yang berdiri di sana adalah cerminan yang hampir sempurna dari seorang gadis remaja. Ibu Mirna telah berhasil. Ia telah menciptakan kembali putrinya. Namun, di balik mata Sasmitha yang kini terlihat lebih feminin, masih ada kilatan kepedihan yang tersembunyi, sebuah gema dari Bagas yang dulu.

Malam hari, setelah Ibu Mirna tertidur, Bagas sering menyelinap ke perpustakaan pribadi Ibu Mirna. Ia tidak mencari buku-buku dongeng lagi. Ia mencari buku-buku tentang biologi, tentang tubuh manusia, tentang gender. Ia mencoba memahami apa yang terjadi pada dirinya, mengapa tubuhnya berubah seperti ini. Ia membaca tentang hormon, tentang operasi, tentang identitas. Semakin banyak ia membaca, semakin ia mengerti apa yang telah dilakukan padanya. Ia telah difeminisasi secara medis. Dan pemahaman itu, bukannya membawa kedamaian, justru membawa rasa sakit yang lebih dalam. Ia bukan hanya dipaksa memakai gaun, ia juga dipaksa mengubah esensi biologisnya.

Meskipun begitu, ada sebuah kelelahan yang luar biasa dalam dirinya. Kelelahan untuk terus melawan, untuk terus meratapi Bagas yang seolah tak bisa ia temukan lagi. Ia mulai bertanya-tanya, apakah memang inilah takdirnya? Apakah ia memang harus menjadi Sasmitha? Perlahan, sebuah benih penerimaan tumbuh di dalam hatinya, sebuah penerimaan yang pahit namun realistis. Ia tidak punya jalan keluar. Ia tidak punya kekuatan. Ia tidak punya siapa-siapa. Yang ia miliki hanyalah Ibu Mirna dan takdir yang telah dipilihkan untuknya.

Ia mulai berhenti memanggil dirinya Bagas dalam hati. Kata "Bagas" terasa semakin asing, semakin tidak cocok dengan sosok yang ia lihat di cermin. Ia mulai membiasakan diri dengan nama Sasmitha, dengan panggilan "Putri Ibu". Tawa lepasnya yang dulu, kini berganti dengan senyum tipis yang anggun. Gerakan tangannya yang dulu lincah dan sedikit kasar, kini menjadi lembut dan terkontrol. Ia adalah Sasmitha, boneka yang sempurna, yang patuh, yang cantik. Dan Bagas, anak laki-laki panti asuhan yang pemalu, perlahan-lahan meninggalkan raganya, terkubur dalam-dalam di bawah lapisan-lapisan hormon, gaun sutra, dan topeng yang ia kenakan setiap hari. Jakarta yang gemerlap menjadi saksi bisu atas hilangnya seorang anak laki-laki, dan lahirnya seorang putri yang sempurna namun hampa.

Tiga tahun lagi berlalu, membenamkan Bagas semakin dalam ke dalam identitas Sasmitha. Usianya kini lima belas tahun, angka yang seharusnya membawa serta kebebasan remaja, eksplorasi diri, dan percikan pemberontakan. Namun, bagi Bagas, angka itu hanya menandai semakin kokohnya sangkar emas yang membelenggunya. Cermin di kamarnya kini memantulkan sosok yang hampir tak ia kenali: seorang gadis remaja yang ramping, dengan rambut hitam panjang terurai indah hingga punggung, kulitnya halus selembut sutra, dan lekuk tubuh yang jelas feminin. Payudaranya, hasil dari terapi hormon yang konsisten dan dosis yang semakin meningkat, kini cukup menonjol, membentuk siluet yang anggun di balik gaun-gaun mahalnya. Suaranya, yang dulu sempat memberat di awal pubertas, kini melunak sempurna, menjadi merdu dan tinggi, seringkali dihiasi tawa renyah yang terdengar alami, namun palsu. Ibu Mirna telah berhasil. Proyeknya menciptakan kembali Sasmitha yang sempurna telah mendekati puncak.

Sasmitha menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang monoton namun rapi. Pagi hari diawali dengan yoga atau pilates bersama instruktur pribadi, untuk menjaga kelenturan dan keanggunan tubuhnya. Dilanjutkan dengan pelajaran privat yang semakin intensif dalam etiket sosial kelas atas, tata rias, merangkai bunga, hingga seni percakapan. Ia diajarkan bagaimana memimpin percakapan di acara sosial, bagaimana memilih topik yang tepat, bagaimana mempertahankan senyum misterius yang menarik. Semua detail terkecil dalam gerak dan suaranya dikoreksi, diasah, hingga mencapai kesempurnaan artifisial. Buku-buku sekolah formal, pelajaran sejarah, geografi, atau ilmu pengetahuan alam yang dulu ia impikan di bangku sekolah umum, kini hanya menjadi bagian kecil dari kurikulumnya, jauh kalah penting dibanding pelajaran menjadi "putri".

Di mata Ibu Mirna dan semua orang di rumah, Sasmitha adalah permata, sebuah mahakarya. Ibu Mirna akan memandangnya dengan tatapan berbinar penuh kebanggaan, seringkali memeluknya erat, membisikkan kata-kata pujian yang terasa hampa di telinga Bagas. "Kamu cantik sekali, putri Ibu. Kamu sempurna. Ibu sangat bangga padamu." Setiap pujian itu, alih-alih menghangatkan hati, justru terasa seperti rantai yang semakin mengikatnya. Semakin Ibu Mirna memuji Sasmitha, semakin Bagas merasa tercekik. Ia adalah boneka cantik yang bergerak, tersenyum, dan berbicara sesuai keinginan penciptanya.

Namun, di dalam jiwanya yang paling dalam, di sudut-sudut hati yang tersembunyi jauh di balik lapisan riasan dan gaun sutra, Bagas masih ada. Ia adalah gema yang samar, bisikan dari masa lalu yang tak mau mati. Setiap malam, saat ia sendirian di kamarnya yang mewah, di bawah cahaya bulan yang menembus jendela, Bagas akan membiarkan air matanya mengalir. Ia merindukan kebebasan yang tidak pernah ia miliki. Ia merindukan namanya sendiri. Ia merindukan untuk menjadi seorang anak laki-laki biasa, yang bisa berlari tanpa memikirkan gaun yang membelit, yang bisa tertawa terbahak-bahak tanpa khawatir melanggar etiket, yang bisa memakai celana jeans dan kaus lusuh tanpa ditegur.

Hasrat untuk melarikan diri, untuk membebaskan diri dari sangkar emas ini, tumbuh semakin kuat dalam dirinya. Ia tak tahan lagi dengan kehidupan yang diatur, dengan identitas yang dipaksakan. Ia ingin sekolah, ingin punya teman sebaya yang tulus, ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi bagian dari dunia normal di luar sana. Ia membayangkan dirinya mendaftar di sekolah umum, memakai seragam, duduk di bangku kelas, belajar pelajaran yang ia minati. Ia membayangkan dirinya bermain basket di lapangan, berteriak kegirangan saat mencetak gol, atau sekadar nongkrong dengan teman-teman di warung kopi sepulang sekolah.

Pada suatu sore yang terik di bulan April, ketika Ibu Mirna sedang menghadiri pertemuan penting di luar kota dan rumah terasa sedikit lengang, Bagas melihat sebuah kesempatan. Ia sudah merencanakan ini selama berminggu-minggu, mengamati jadwal para penjaga, mempelajari titik buta kamera pengawas, dan mengumpulkan sedikit uang tunai yang ia curi-curi dari dompet Ibu Mirna saat ia sedang tidur pulas. Dengan hati berdebar kencang, ia mengenakan pakaian yang paling "normal" yang ia temukan di lemari, sebuah kaus longgar berwarna netral dan celana bahan yang cukup lebar untuk menyembunyikan lekuk tubuh femininnya. Ia menyembunyikan rambut panjangnya di bawah topi baseball yang ia temukan entah di mana. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba melihat Bagas yang asli. Wajahnya pucat, tapi matanya memancarkan tekad yang membara.

Ia menyelinap keluar dari kamarnya, melangkah pelan di lorong yang sunyi. Suara detak jantungnya sendiri terdengar begitu keras di telinganya. Ia melewati ruang tamu, dapur, hingga sampai di pintu belakang yang jarang digunakan. Dengan hati-hati, ia membuka kunci pintu, lalu menggeser gerendelnya. Udara bebas Jakarta yang panas dan lembap langsung menerpa wajahnya. Ia melangkah keluar, jantungnya berdebar kencang, takut ada yang melihatnya. Ia berlari kecil melintasi taman belakang, melewati semak-semak mawar yang wangi, dan berhasil mencapai pagar pembatas. Pagar itu tinggi, namun ia sudah memetakan tempat yang sedikit lebih rendah di sisi yang lain.

Dengan sekuat tenaga, ia memanjat pagar, mengabaikan rasa sakit akibat goresan pada kulit tangannya. Begitu ia berhasil melompat ke sisi lain, ia langsung berlari. Ia berlari secepat yang ia bisa, tanpa tujuan pasti, hanya ingin menjauh dari rumah itu, dari sangkar emas itu, dari identitas Sasmitha yang mencekiknya. Ia berlari menembus gang-gang sempit, melewati keramaian pasar tradisional, mengabaikan tatapan aneh orang-orang yang melihat seorang gadis kecil berlari tergesa-gesa dengan pakaian yang sedikit aneh. Keringat membanjiri dahinya, napasnya tersengal-sengal, namun ia tak peduli. Ini adalah kebebasan yang ia impikan.

Ia terus berlari hingga kakinya terasa pegal, dan napasnya hampir habis. Ia tiba di sebuah terminal bus yang ramai, dipenuhi orang-orang yang bergegas, suara pengeras suara yang mengumumkan keberangkatan bus, dan bau solar yang menyengat. Bagas melihat bus-bus tujuan luar kota, membayangkan dirinya naik salah satunya, pergi jauh, ke mana saja, asalkan bukan kembali ke rumah itu. Ia mengeluarkan uang curiannya, hanya beberapa lembar ratusan ribu rupiah, dan mencoba membeli tiket. Namun, belum sempat ia berbicara, sebuah tangan kekar tiba-tiba mencengkeram lengannya.

"Kau mau ke mana, Nona Muda?" Suara itu dingin dan tegas. Bagas terkesiap. Ia mendongak dan melihat dua orang penjaga keamanan Ibu Mirna berdiri di hadapannya, wajah mereka tanpa ekspresi, mata mereka tajam. Mereka adalah orang-orang yang sering ia lihat di rumah, selalu mengawasi setiap geraknya. Ketakutan luar biasa langsung mencengkeramnya. Ia mencoba meronta, berteriak, namun percuma. Cengkeraman mereka terlalu kuat.

"Ibu Mirna ingin kau pulang," kata salah satu penjaga, menariknya dengan paksa menuju mobil hitam yang sudah menunggu di kejauhan. Bagas diseret masuk ke dalam mobil, kebebasannya yang baru sesaat itu langsung sirna. Ia kembali menjadi tawanan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan keringat dan debu di wajahnya.

Ketika tiba di rumah, Ibu Mirna sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya pucat pasi, matanya merah dan bengkak, seolah ia sudah menangis berjam-jam. Saat melihat Bagas, Ibu Mirna histeris. Ia berlari menghampiri Bagas, memeluknya erat-erat, kemudian menampar pipinya, lalu kembali memeluknya. Campur aduk emosi yang gila.

"Sasmitha! Kenapa kau lakukan ini pada Ibu?!" teriak Ibu Mirna, suaranya pecah. "Kau ingin Ibu mati karena kesedihan?! Kau ingin Ibu menyusul putrimu?!" Bagas hanya bisa terdiam, tubuhnya gemetar ketakutan. Ibu Mirna melepaskan pelukannya, menatap Bagas dengan tatapan penuh luka dan pengkhianatan. "Kau tahu, Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kau! Ibu sudah mengorbankan segalanya untukmu! Kenapa kau tidak pernah menghargai cinta Ibu?!"

Kemudian, Ibu Mirna mengeluarkan ancaman paling kejam yang pernah didengar Bagas. "Jika kau mencoba kabur lagi, Ibu akan bunuh diri! Ibu akan menyusul Sasmitha ke alam baka! Kau ingin itu, Sasmitha? Kau ingin Ibu mati?!"

Kata-kata itu menghantam Bagas telak, menembus jiwanya. Bagas, yang selama ini telah kehilangan identitas, kini merasa dibebani rasa bersalah yang luar biasa. Ibu Mirna adalah satu-satunya figur ibu yang ia kenal, dan ancaman bunuh diri itu terasa sangat nyata. Bagas tidak bisa membiarkan itu terjadi. Ia tidak ingin menjadi penyebab kematian Ibu Mirna. Ketakutan itu jauh lebih besar daripada hasratnya akan kebebasan.

Sebagai hukuman, dan mungkin juga sebagai bentuk upaya "perbaikan" yang kejam, Bagas dikunci di kamarnya selama seminggu penuh. Bukan hanya dikunci, tetapi seluruh pakaiannya disita. Gaun-gaun cantik yang biasa ia pakai, bahkan pakaian tidurnya, semua diambil. Ia hanya diberi beberapa set lingerie dan dress tipis yang terbuat dari bahan tembus pandang atau sutra licin, yang semakin menekankan sisi femininitasnya, membuatnya merasa semakin telanjang dan tak berdaya, tak bisa menyembunyikan apapun. Setiap kali pelayan masuk untuk mengantar makanan, ia merasa malu dan rentan. Kamar itu terasa seperti penjara yang sangat pribadi, sebuah kotak kaca di mana ia tak bisa menyembunyikan dirinya.

Selama seminggu itu, Bagas hanya punya waktu untuk merenung, untuk menangis, dan untuk akhirnya, menyerah. Ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak punya kekuatan untuk melawan obsesi Ibu Mirna. Ancaman bunuh diri itu telah menghancurkan sisa-sisa semangat pemberontakannya. Ia tahu ia tak bisa lagi menjadi Bagas. Bagas telah terlalu jauh menghilang.

Ketika pintu kamarnya akhirnya dibuka setelah seminggu, Bagas keluar dengan wajah pucat dan mata bengkak, namun dengan sebuah keputusan pahit. Ia telah memutuskan untuk berhenti melawan. Ia akan menerima takdirnya.

Sejak saat itu, perubahan pada Bagas menjadi semakin total. Ia tidak hanya mengenakan gaun, ia menjadi gaun itu. Ia tidak hanya bersikap seperti Sasmitha, ia menjelma Sasmitha. Ia mulai berbicara seperti Sasmitha di depan Ibu Mirna, dengan suara yang lembut, manja, dan nada yang persis seperti yang Ibu Mirna inginkan. Ia tersenyum anggun, berjalan gemulai, dan bahkan tawa renyahnya kini terdengar lebih tulus, sebuah tawa yang telah ia latih sedemikian rupa hingga menjadi refleks. Ia mulai menghafal setiap detail tentang putri Ibu Mirna yang telah tiada: makanan favorit Sasmitha, warna kesukaan Sasmitha, bahkan kenangan-kenangan masa kecil Sasmitha yang Ibu Mirna ceritakan berulang kali. Bagas menghafalnya, seolah itu adalah kenangannya sendiri. Ia adalah Sasmitha.

Di dalam hatinya, gema Bagas semakin samar. Ia mencoba memanggil namanya sendiri, namun suara itu terasa asing di telinganya. Ia mencoba mengingat wajahnya yang dulu, namun hanya pantulan Sasmitha di cermin yang muncul. Ia mulai percaya bahwa Bagas memang telah mati. Bagas telah pergi, terkubur di bawah lapisan-lapisan kepalsuan yang kini menjadi kenyataan hidupnya.

Ia sering menghabiskan waktu di perpustakaan besar di rumah itu, bukan lagi mencari buku tentang biologi atau pelarian, melainkan buku-buku tentang mode, seni, dan sejarah. Ia mulai benar-benar menginternalisasi peran Sasmitha, mempelajari apa yang disukai seorang "putri". Ia menghabiskan jam-jam di depan cermin, bukan lagi untuk meratapi dirinya, melainkan untuk melatih ekspresi, untuk menyempurnakan setiap gestur, untuk memastikan bahwa Sasmitha yang ia tampilkan adalah yang terbaik.

Ibu Mirna sangat bahagia. Ia melihat putrinya yang dulu memberontak, kini telah sepenuhnya patuh dan menerima takdirnya. Ia tidak menyadari bahwa di balik senyum sempurna Sasmitha, ada jiwa yang telah mati, sebuah identifikasi diri yang telah hilang. Ibu Mirna melihat kesuksesan proyeknya. Ia tidak melihat tragedi yang ada di baliknya.

Setiap hari adalah latihan, setiap interaksi adalah penampilan. Ia belajar hidup sebagai Sasmitha, bernapas sebagai Sasmitha, berpikir sebagai Sasmitha. Jakarta yang gemerlap di luar jendela kamarnya, dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang tinggi dan kehidupan malamnya yang tak pernah padam, kini bukan lagi impian kebebasan yang tak terjangkau, melainkan latar belakang dari panggung kehidupannya yang baru. Ia adalah Sasmitha, sang putri cantik yang terkurung dalam istana modern, menanti takdir selanjutnya yang akan digariskan oleh Ibu Mirna. Pelarian yang gagal telah membawanya pada titik tanpa kembali, sebuah jalan yang akan ia tempuh hingga akhir, sebagai Lelaki Dalam Gaun.

Waktu terus bergulir, secepat putaran roda takdir yang tak terhentikan, membawa Bagas semakin jauh dari dirinya yang asli, mengukuhkan identitas Sasmitha sebagai satu-satunya kenyataan yang ia kenal. Usianya kini telah menginjak tujuh belas tahun, sebuah angka yang seharusnya membawa serta kebebasan remaja, eksplorasi diri, dan percikan pemberontakan. Namun, bagi Sasmitha, setiap hari adalah pengulangan dari peran yang telah ia hafal, sebuah sandiwara yang tak pernah berakhir, diperankan dengan kesempurnaan yang menyakitkan.

Penampilannya sebagai Sasmitha kini telah mencapai puncaknya. Wajahnya yang dulu mungil dan pemalu, kini telah berkembang menjadi paras yang luar biasa cantik, dengan fitur-fitur yang halus dan proporsional. Hidungnya mancung, bibirnya penuh dan merah alami, serta matanya yang gelap memancarkan aura misterius yang memikat, meski di baliknya tersimpan luka yang dalam dan kesedihan yang tak terucap. Kulitnya sehalus porselen, bersih tanpa noda, hasil dari perawatan intensif dan genetik yang mendukung, seolah ia adalah patung hidup yang sempurna. Rambut hitamnya yang panjang dan bergelombang terurai indah hingga pinggang, seringkali ditata dalam berbagai gaya yang rumit oleh penata rambut pribadi Ibu Mirna, membuatnya tampak seperti seorang dewi yang anggun. Tubuhnya ramping namun memiliki lekuk feminin yang jelas, hasil dari terapi hormon yang berkelanjutan dan dosis yang semakin meningkat, serta latihan fisik yang ketat, membentuk siluet yang menggoda di balik setiap gaun mewah yang ia kenakan. Payudaranya membesar secara proporsional, memberikan siluet yang anggun dan menonjol, nyata di sentuhan namun palsu dalam asal-usulnya. Suaranya melunak sempurna, merdu, dengan intonasi yang lembut dan terkontrol, nyaris tanpa cacat. Ia berjalan dengan langkah gemulai, duduk dengan anggun, dan tersenyum dengan senyum yang telah ia latih hingga menjadi refleks, sebuah topeng yang melekat erat. Ibu Mirna telah berhasil sepenuhnya. Sasmitha adalah mahakarya, sebuah karya seni yang hidup, cerminan sempurna dari putrinya yang telah tiada.

Setiap pagi, Sasmitha akan menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin, bukan lagi dengan rasa takut atau kebencian yang mendalam, melainkan dengan sebuah penerimaan yang hampa, sebuah kepasrahan yang dingin. Ia akan membiarkan penata rias memoles wajahnya dengan kosmetik terbaik, mengoleskan bedak, perona pipi, dan lipstik dengan tangan terampil. Ia akan membiarkan penata rambut menata mahkotanya, menyisir, menggulung, dan menjepit setiap helai. Ia akan melihat pantulan seorang wanita cantik yang asing, seorang wanita yang telah sepenuhnya menggantikan Bagas. Tidak ada lagi gema Bagas dalam dirinya, hanya Sasmitha. Identitas lama itu telah terhapus sempurna, terkubur di bawah lapisan-lapisan kecantikan dan kepalsuan yang ia kenakan setiap hari. Ia tidak lagi mencoba mencari Bagas. Ia telah menyerah. Ia adalah Sasmitha.

Kehidupan Sasmitha dipenuhi dengan pelajaran privat yang semakin mendalam, mengikuti ambisi Ibu Mirna yang tak terbatas. Selain modeling, etiket, dan tari, ia kini juga belajar bahasa asing, khususnya bahasa Inggris dan Prancis, yang diajarkan oleh guru-guru ekspatriat yang didatangkan khusus. Ibu Mirna ingin Sasmitha bisa bergaul di lingkaran sosial global, tidak hanya di Jakarta. Ia juga belajar piano, melukis, dan sedikit seni kuliner, semua itu untuk menyempurnakan citra Sasmitha sebagai wanita yang berbudaya, berkelas, dan multitalenta. Ia sering menghadiri pesta-pesta sosial Ibu Mirna, acara amal, atau peluncuran produk baru, bertindak sebagai nyonya rumah muda yang anggun dan mempesona, menarik perhatian banyak mata dan memanen pujian. Ia tersenyum, berbicara, dan tertawa, selalu dengan keanggunan yang sempurna, tanpa cela, bagaikan patung yang hidup.

Namun, di balik semua kesempurnaan artifisial itu, ada kekosongan yang tak terlukiskan. Sasmitha adalah boneka yang cantik, sebuah piala yang dipamerkan, sebuah mesin yang telah diprogram dengan sempurna. Ia tak punya kehendak sendiri, tak punya mimpi, tak punya masa depan yang ia pilih. Ia hanya mengikuti alur yang telah digariskan Ibu Mirna, sebuah pion dalam permainan catur kehidupan. Ia adalah Bagas yang telah mati, hidup dalam tubuh Sasmitha.

Pada suatu malam di bulan Agustus, ketika Jakarta diselimuti hawa panas yang menyengat dan kelembapan yang mencekik, sebuah kabar mengejutkan datang, menggoncangkan kehidupan Sasmitha yang monoton hingga ke dasarnya. Malam itu, rumah Ibu Mirna terasa lebih ramai dari biasanya. Beberapa relasi bisnis penting Ibu Mirna datang untuk makan malam, termasuk pejabat tinggi dan pengusaha dari luar negeri. Di antara mereka, ada seorang pria bule yang menjadi sorotan utama: Mr. Andrew.

Mr. Andrew adalah seorang pebisnis sukses dari Skotlandia, seorang investor ulung, dan relasi lama Ibu Mirna dalam bisnis hotel dan properti. Ia adalah seorang kolektor waria eksotis. Ia sering bepergian ke berbagai negara di Asia, tidak hanya untuk urusan bisnis, tetapi juga mencari wanita transgender dengan kecantikan yang unik dan tak biasa untuk dijadikan kekasih atau pendamping. Andrew adalah pria paruh baya, sekitar empat puluh lima tahun, dengan rambut pirang yang mulai menipis di bagian depan, mata biru yang tajam dan menusuk, serta senyum yang selalu tersembunyi, nyaris tidak terlihat. Ia memancarkan aura misterius, berkuasa, dan sedikit berbahaya.

Dari pertama kali melihat Sasmitha, saat ia melayani minuman pembuka, tatapan Mr. Andrew terpaku padanya. Ada sesuatu dalam diri Sasmitha yang sangat menarik baginya, sesuatu yang melampaui kecantikan fisik biasa yang sering ia temui. Sepanjang makan malam, matanya terus mengikuti setiap gerakan Sasmitha, setiap kata yang keluar dari bibirnya, setiap senyum tipis yang terukir di wajahnya. Ia terkesan dengan keanggunan Sasmitha, dengan kemampuan percakapannya yang luwes, dengan aura misterius yang ia pancarkan, sebuah perpaduan yang jarang ia temukan. Sasmitha merasakan tatapan Andrew, yang terasa seperti tatapan seorang pemburu yang mengamati mangsanya, namun ia telah dilatih untuk mengabaikannya, untuk tetap tersenyum dan anggun.

Malam itu, setelah para tamu pulang dan kesunyian kembali menyelimuti rumah, Ibu Mirna memanggil Sasmitha ke ruang kerjanya. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan dan kemenangan, seolah ia baru saja memenangkan lotre terbesar. "Sasmitha, sayang," katanya, suaranya dipenuhi kegembiraan yang luar biasa, bergetar karena emosi, "Mr. Andrew tadi melamarmu!"

Sasmitha terkesiap. Lamaran? Ia bahkan tidak mengenal pria itu secara pribadi, hanya bertukar basa-basi di meja makan. Ia hanya tahu pria itu menatapnya dengan aneh sepanjang malam. Jantungnya berdebar kencang, namun bukan karena romansa yang bersemi, melainkan karena ketakutan dan kebingungan yang mencekik. Pernikahan? Dengan pria asing ini? "Melamar Ibu?" tanya Sasmitha polos, mencoba mencari pegangan pada kenyataan. Ibu Mirna tertawa kecil, melambaikan tangannya seolah Sasmitha baru saja mengatakan hal yang konyol. "Bukan Ibu, sayang. Melamar kamu! Dia bilang dia tidak pernah melihat wanita sepertimu. Dia ingin menikahimu, membawamu ke Skotlandia. Dia ingin menjadikanmu istrinya!"

Sebuah pernikahan? Dengan pria asing yang baru ia temui beberapa jam yang lalu? Sasmitha tidak bisa membayangkan itu. Ia adalah boneka, sebuah pajangan, bukan calon istri. Ia ingin menolak, ingin berteriak bahwa ia tidak mau, bahwa ini semua salah. Namun, tatapan Ibu Mirna begitu bersemangat, begitu penuh harapan, begitu menguasai, sehingga Sasmitha tak punya keberanian untuk menolak. Kata-kata itu tercekat di tenggorokannya, tak mampu keluar.

"Ini adalah kesempatan emasmu, putri Ibu," kata Ibu Mirna, memegang tangan Sasmitha erat, genggamannya kuat dan menuntut. "Andrew adalah pria kaya, berkuasa, dan dia bilang dia sangat mencintaimu. Dia akan memberimu kehidupan yang luar biasa di Skotlandia. Kamu akan hidup seperti putri sungguhan, bukan lagi seperti bocah yatim piatu."

Kata-kata "bocah yatim piatu" itu menusuk hati Bagas yang tersembunyi di dalam Sasmitha, laksana pedang yang mengiris. Itu adalah pengingat yang kejam bahwa ia tidak punya apa-apa, tidak punya siapa-siapa selain Ibu Mirna. Ia tidak punya pilihan. Ia adalah produk dari obsesi Ibu Mirna, sebuah proyek yang telah selesai, dan kini siap untuk diekspor.

Andrew, dalam percakapannya yang sangat pribadi dengan Ibu Mirna, telah memastikan detail latar belakang Sasmitha. Ia telah mengumpulkan informasi yang tersembunyi, mengkonfirmasi bahwa Bagas adalah seorang laki-laki yang difeminisasi. Fakta inilah yang justru menjadi daya tarik utama baginya. Ia tidak hanya tertarik pada kecantikan Sasmitha yang eksotis, tetapi pada esensi di baliknya: sebuah wanita transgender yang sempurna. Bagi Andrew, Sasmitha bukan sekadar wanita cantik. Ia adalah sebuah fantasi hidup, sebuah trofi langka yang memuaskan hasratnya sebagai kolektor. Ibu Mirna, dalam kegilaannya, dengan bangga menawarkan Sasmitha sebagai calon pengantin kepada Andrew, tidak menyadari atau sengaja mengabaikan alasan sesungguhnya di balik ketertarikan pria itu. Baginya, yang penting adalah Sasmitha menikah dengan pria kaya dan berkuasa, di negara yang maju, jauh dari bayang-bayang masa lalu yang ia ingin lupakan.

Sejak lamaran itu, kehidupan Sasmitha semakin diatur dengan ketat, namun dengan tujuan baru: pernikahan. Ibu Mirna memaksa Bagas untuk bersikap manis, ramah, dan mempesona di hadapan Andrew setiap kali pria itu berkunjung. Andrew sering datang ke rumah, membawa hadiah-hadiah mewah: perhiasan berlian yang berkilauan, gaun-gaun rancangan desainer, parfum mahal dari merek-merek ternama. Ia akan mengajak Sasmitha makan malam di restoran mewah, menghadiri acara sosial elit, dan membawanya berkeliling Jakarta dengan mobil mewah berpelat nomor khusus. Sasmitha harus tersenyum, berbicara lembut, dan memenuhi setiap keinginan Andrew, seolah ia adalah kekasih yang sempurna, boneka yang patuh.

Andrew adalah pria yang sopan, lembut dalam tutur kata, namun matanya selalu menatap Sasmitha dengan cara yang aneh, seolah ia sedang mengamati sebuah koleksi berharga yang ia tak sabar untuk miliki. Sasmitha merasakan tatapan itu, merasakan bahwa Andrew melihat sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang tidak ia pahami sepenuhnya, namun ia tahu itu bukan hal yang biasa. Andrew akan sesekali bertanya tentang masa kecil Sasmitha, tentang bagaimana ia tumbuh dewasa, mencari detail-detail yang mungkin mengkonfirmasi kecurigaan atau fantasinya. Sasmitha, yang sudah menghafal seluruh kisah hidup Sasmitha yang asli, akan menceritakannya dengan lancar, tanpa ragu, tanpa jeda, seolah itu adalah kisahnya sendiri. Andrew hanya akan tersenyum kecil, matanya memancarkan kepuasan yang tersembunyi. Ia menikmati pertunjukan itu, pertunjukan dari objek koleksinya yang baru.

Untuk menyempurnakan penampilannya sebelum pernikahan, Ibu Mirna membuat keputusan yang lebih ekstrem. Sasmitha akan menjalani operasi pembesaran payudara. "Seorang istri harus sempurna untuk suaminya, Sasmitha. Apalagi untuk pria sekelas Mr. Andrew," kata Ibu Mirna, nadanya tak terbantahkan, sebuah perintah mutlak. Ia telah mengatur semuanya secara rahasia dengan koneksinya di dunia medis dan agen perjalanan. Bagas akan dibawa ke Bangkok, Thailand, sebuah tujuan populer untuk operasi plastik, untuk prosedur tersebut.

Perjalanan ke Bangkok terasa seperti mimpi buruk bagi Sasmitha. Ia berada di sebuah kota asing yang ramai, di sebuah rumah sakit yang mewah namun terasa dingin dan steril. Ia menjalani serangkaian pemeriksaan medis yang intensif, bertemu dengan dokter bedah plastik terkenal yang matanya hanya melihat tubuhnya sebagai sebuah kanvas. Ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang akan dilakukan pada tubuhnya, namun ia tahu itu adalah sesuatu yang besar, sesuatu yang tidak bisa dibatalkan. Ia takut, namun ia tak bisa melawan. Ia telah menyerah.

Operasi itu berlangsung selama beberapa jam yang terasa seperti selamanya. Ketika Sasmitha terbangun, tubuhnya terasa nyeri yang luar biasa, dadanya terasa berat dan bengkak, seperti ada beban yang menindih. Ia harus beristirahat selama beberapa minggu di Bangkok, di sebuah vila pribadi yang disewa Ibu Mirna, diawasi oleh perawat dan dokter yang tak henti-hentinya memeriksa kondisinya. Proses pemulihannya menyakitkan, setiap gerakan kecil menimbulkan rasa nyeri, namun hasilnya... hasilnya adalah kesempurnaan. Payudaranya kini jauh lebih besar, lebih berisi, lebih nyata, membentuk lekuk tubuh seorang wanita dewasa yang sangat menonjol, siap untuk dipamerkan. Ia adalah sebuah karya seni yang telah disempurnakan.

Setelah operasi, tubuhnya makin sempurna sebagai seorang wanita. Ketika ia menatap cermin di vila Bangkok, ia melihat seorang wanita yang sangat cantik, yang tidak memiliki cacat fisik sedikit pun, yang kini memiliki dada yang penuh. Ibu Mirna, yang selalu menemaninya di Bangkok, sangat bahagia. Ia menangis terharu, memeluk Sasmitha erat, mencium keningnya berkali-kali. "Kamu sempurna, putri Ibu. Kamu cantik sekali. Sekarang, Andrew akan semakin mencintaimu. Dia akan menyayangimu. Kamu akan hidup seperti putri, bukan lagi seperti bocah yatim piatu. Impian Ibu sudah jadi kenyataan."

Namun, di balik semua kesempurnaan fisik itu, jiwa Bagas semakin hampa. Ia adalah Sasmitha, seutuhnya, tanpa cela. Tubuhnya kini benar-benar telah menjadi tubuh wanita, dengan semua lekuk, semua kelembutan, semua detail yang diinginkan Ibu Mirna dan Andrew. Ia telah menjadi kanvas yang telah selesai dilukis, sebuah patung yang telah diukir sempurna. Namun, jiwa di dalamnya merasa kosong, kehilangan makna, kehilangan arah. Ia tidak tahu siapa dirinya lagi. Bagas telah mati sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah Sasmitha, sebuah nama dan raga yang akan menjadi milik orang lain, milik fantasi orang lain.

Setiap malam di Bangkok, ia akan melihat ke luar jendela vila, menatap lampu-lampu kota yang berkelip, suara lalu lintas yang samar di kejauhan. Ia merasa asing, merasa tidak punya tempat di dunia ini. Ia bukan Bagas, anak panti asuhan yang suka bermain kelereng. Ia bukan Sasmitha, putri Ibu Mirna yang telah tiada. Ia adalah sebuah entitas baru, sebuah ciptaan, sebuah boneka yang telah disempurnakan untuk sebuah tujuan yang tidak ia pilih. Ia adalah seorang perempuan yang terbentuk, namun dengan jiwa laki-laki yang telah terkubur dalam-dalam.

Andrew akan segera datang untuk menjemputnya. Pernikahan akan segera digelar di Edinburgh, Skotlandia, Ibu Mirna sudah merencanakan semuanya dengan detail. Sebuah pesta mewah yang akan menjadi berita utama di surat kabar dan majalah-majalah gosip internasional. Sasmitha akan menjadi nyonya Andrew, hidup dalam kemewahan dan gelimang harta, namun ia tahu, ia akan hidup sebagai "istri eksotis" seorang pria asing yang mencintainya sebagai fantasi, bukan sebagai manusia. Ia akan menjadi bagian dari koleksinya, sebuah benda berharga yang dipamerkan, sebuah trofi atas preferensi pribadinya yang unik. Ini adalah takdirnya. Takdir seorang Lelaki Dalam Gaun yang telah selesai dibentuk dan kini siap untuk dipamerkan ke dunia.

Malam terakhir sebelum penerbangan ke Skotlandia. Udara Jakarta terasa lebih berat dari biasanya, seolah turut menanggung beban takdir yang akan segera terwujud. Di kamar utama yang megah di rumah Ibu Mirna, sebuah ruangan yang dulunya terasa seperti sangkar namun kini menjadi panggung, Sasmitha berdiri di depan cermin besar, pantulan dirinya memancarkan cahaya lembut dari gaun pengantin putih satin yang membalut tubuhnya. Gaun itu indah, dirancang khusus oleh desainer ternama, dengan detail bordir yang rumit dan potongan yang sempurna, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang kini telah sempurna sebagai seorang wanita. Kain satin yang licin dan dingin terasa di kulitnya, namun di balik kemewahan itu, ada rasa hampa yang menusuk, dinginnya sebuah kekosongan jiwa.

Rambut hitam panjangnya yang bergelombang terurai bebas, sebagian kecil disematkan ke belakang telinga dengan jepit berlian yang berkilauan. Wajahnya dipoles riasan tipis namun sempurna, menonjolkan mata gelapnya yang kini memancarkan kesedihan yang mendalam, bibirnya yang penuh diwarnai merah muda pucat. Ia adalah pengantin wanita yang sempurna, sebuah mahakarya yang telah selesai dibentuk, sebuah boneka yang siap dipajang. Namun, di balik wajah yang sempurna, tubuh halus, dan payudara buatan itu, air matanya menetes pelan, membasahi kain satin yang dingin. Jiwanya masih Bagas, menjerit dalam diam, terperangkap dalam sangkar emas yang tak terlihat, tak bisa lagi berontak.

Ia menatap pantulan dirinya, mencoba mencari sisa-sisa Bagas, namun semakin sulit menemukannya. Sosok di cermin itu adalah Sasmitha, seorang wanita yang asing, yang telah sepenuhnya menggantikan dirinya. Ia telah difeminisasi secara fisik, mental, dan kini, sosial. Tidak ada lagi gema Bagas dalam dirinya, hanya Sasmitha. Identitas lama itu telah terhapuskan sempurna, terkubur di bawah lapisan-lapisan kecantikan dan kepalsuan. Ia tidak lagi mencoba mencari Bagas. Ia telah menyerah. Ia adalah Sasmitha.

Pintu kamar terbuka pelan, dan Ibu Mirna melangkah masuk. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan yang gila. Ia mengenakan gaun malam yang elegan, senyum bangga terpancar jelas di bibirnya. Ia menghampiri Sasmitha, memeluknya erat-erat, kemudian menangkup wajahnya dengan kedua tangan, memandangnya dengan tatapan takjub.

"Sasmitha, sayangku," bisik Ibu Mirna, suaranya dipenuhi kegembiraan yang luar biasa, "Kamu cantik sekali. Sempurna. Ibu tidak pernah membayangkan akan melihatmu secantik ini dalam gaun pengantin. Ini adalah hari paling bahagia dalam hidup Ibu, setelah kepergian putrimu." Ibu Mirna melepaskan pelukannya, kemudian mengambil sebuah bros perak berhiaskan berlian yang sangat indah dari kotak beludru di meja rias. Dengan tangan gemetar, ia menyelipkan bros itu di rambut panjang Sasmitha, tepat di samping telinganya.

"Ini adalah bros milik nenekmu. Beliau memakainya di hari pernikahannya. Sekarang, ini milikmu, putri Ibu," kata Ibu Mirna, matanya berkaca-kaca karena haru. "Kamu kini benar-benar putriku. Lihat dirimu… sempurna. Andrew pasti akan sangat mencintaimu. Dia akan menyayangimu. Kamu akan hidup seperti putri, bukan lagi seperti bocah yatim piatu. Kamu akan bahagia, Sasmitha. Sangat bahagia."

Kata-kata "bocah yatim piatu" itu menusuk hati Bagas yang tersembunyi di dalam Sasmitha, laksana pedang yang mengiris. Itu adalah pengingat yang kejam bahwa ia tidak punya apa-apa, tidak punya siapa-siapa selain Ibu Mirna. Ia tidak punya pilihan. Ia adalah produk dari obsesi Ibu Mirna, sebuah proyek yang telah selesai, dan kini siap untuk diekspor. Kebahagiaan Ibu Mirna dibangun di atas kehancuran jiwanya.

Sasmitha hanya bisa terdiam, menelan semua kata-kata itu. Ia tidak menjawab. Dalam hatinya, ia berbisik pahit: "Aku bukan anak Ibu. Aku Bagas. Tapi dunia hanya mengenal Sasmitha. Tak akan ada yang percaya jika aku mengatakan aku adalah laki-laki. Karena semua sudah jatuh cinta pada Sasmitha, bukan padaku." Andrew, dunia, bahkan mungkin dirinya sendiri, telah jatuh cinta pada ilusi yang Ibu Mirna ciptakan.

Ia tahu bahwa Andrew tidak mencintainya sebagai manusia seutuhnya. Andrew mencintainya sebagai sebuah fantasi, sebuah objek, sebuah "koleksi" yang langka. Sasmitha telah mendengar bisikan-bisikan tentang preferensi Andrew dari para pelayan yang bergosip, dari buku-buku yang ia baca secara diam-diam di perpustakaan Ibu Mirna yang luas. Andrew adalah seorang penggemar waria, seorang kolektor yang mencari keunikan, sebuah bentuk keindahan yang melampaui batas gender konvensional. Baginya, Sasmitha adalah permata langka yang sangat ia idamkan, sebuah wanita yang secara biologis adalah laki-laki, sebuah kontradiksi yang sempurna untuk fantasinya yang gelap. Andrew tidak mencintai Sasmitha karena siapa dia, melainkan karena apa yang dia representasikan. Ia adalah trofi.

Sasmitha merasakan dinginnya kenyataan itu. Ia akan menikah dengan pria yang mencintainya karena ia adalah seorang waria, sebuah identitas yang dipaksakan kepadanya, sebuah label yang kini melekat erat. Ironi itu terasa begitu menyakitkan. Ia telah melewati begitu banyak penderitaan untuk menjadi Sasmitha, dan kini, identitas itu akan menjebaknya dalam sebuah pernikahan yang didasari fantasi dan fetish. Ia adalah bukti hidup dari keberhasilan Ibu Mirna, dan objek dari hasrat Andrew.

Malam itu terasa sangat panjang. Ibu Mirna terus berbicara tentang masa depan Sasmitha yang cerah di Skotlandia, tentang pesta pernikahan mewah yang telah ia rencanakan dengan detail, tentang kehidupan sosial yang gemerlap yang akan Sasmitha jalani. Sasmitha hanya mengangguk, tersenyum, dan sesekali menjawab dengan suara lembut, kata-kata yang telah dilatih. Ia seperti robot yang diprogram, beroperasi dengan sempurna.

Dini hari, sebuah iring-iringan mobil mewah sudah menunggu di depan gerbang. Bagasi Sasmitha, yang berisi puluhan gaun, perhiasan, dan barang-barang pribadi lainnya, telah dimuat. Sasmitha, masih mengenakan gaun pengantinnya yang indah, diselimuti mantel bulu putih yang tebal, digandeng Ibu Mirna menuju mobil. Udara pagi Jakarta terasa dingin dan sepi, kontras dengan gemuruh hatinya.

Perjalanan menuju bandara terasa seperti adegan dalam mimpi. Jalanan lengang, lampu-lampu kota masih menyala, membentuk jejak cahaya yang panjang. Sasmitha menatap keluar jendela mobil, melihat gedung-gedung tinggi Jakarta yang menjulang, rumah-rumah sederhana di pinggir jalan, orang-orang yang mulai beraktivitas. Ia mencoba mengukir setiap detail itu dalam benaknya, seolah ini adalah perpisahan terakhirnya dengan tanah kelahirannya, dengan sedikit pun sisa-sisa Bagas yang mungkin masih bersembunyi di sudut-sudut kota ini. Ia merasa seperti arwah yang meninggalkan raganya, terbangun di antara dunia nyata dan dunia yang telah diciptakan untuknya.

Di bandara, rombongan mereka langsung disambut oleh staf khusus dan digiring melalui jalur VIP. Tidak ada antrean, tidak ada keramaian. Andrew sudah menunggu di area keberangkatan privat, wajahnya tampak puas saat melihat Sasmitha. Ia tersenyum tipis, matanya memancarkan gairah yang tersembunyi, seolah ia baru saja menerima hadiah paling berharga. Ia mendekat, mencium tangan Sasmitha, dan menggenggamnya erat. "My Sasmitha. Kau begitu sempurna," bisiknya, suaranya serak.

Ibu Mirna memeluk Sasmitha untuk terakhir kalinya, pelukan yang erat dan penuh air mata. "Jaga dirimu baik-baik, putri Ibu. Jadilah istri yang baik. Dan jangan lupakan Ibu." Air mata Ibu Mirna membasahi pipi Sasmitha, namun Sasmitha hanya bisa mengangguk, lidahnya kelu. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia sudah terlalu jauh.

Lalu, tibalah saatnya. Sasmitha dan Andrew naik ke pesawat jet pribadi Andrew. Pesawat itu mewah, dengan interior kulit, kursi-kursi yang empuk, dan layanan prima. Sasmitha duduk di samping jendela, menatap landasan pacu yang perlahan menjauh. Mesin pesawat mulai meraung, dan tak lama kemudian, pesawat melaju kencang, mengangkat tubuhnya ke udara.

Sasmitha menatap ke bawah, melihat lampu-lampu Jakarta yang mulai mengecil, seperti bintang-bintang di lautan gelap. Gedung-gedung pencakar langit yang dulu terlihat perkasa, kini hanya menjadi titik-titik kecil. Rumah besar Ibu Mirna, tempat ia menghabiskan hampir seluruh masa remajanya dalam sangkar emas, kini hanyalah sebuah titik yang tak terlihat di antara hamparan kota.

Ia menatap awan yang berarak di luar jendela, putih bersih dan tak berbatas. Dalam hati, ia menyadari: ia terbang bukan sebagai diri sendiri, tapi sebagai mimpi orang lain, sebagai fantasi, sebagai boneka yang telah diprogram dengan sempurna. Andrew di sampingnya adalah pemilik baru dari boneka itu, dan Ibu Mirna adalah penciptanya.

Dalam perjalanan panjang melintasi benua, Sasmitha duduk terdiam. Andrew sesekali berbicara kepadanya, menceritakan tentang Skotlandia, tentang rumah baru mereka di Edinburgh, tentang kehidupan yang akan mereka jalani. Ia berbicara tentang pesta-pesta yang akan mereka hadiri, tentang orang-orang penting yang akan ia perkenalkan padanya. Ia berbicara tentang bagaimana Sasmitha akan menjadi nyonya rumah yang sempurna, kekasih yang mempesona, dan koleksi paling berharga dalam hidupnya. Andrew berbicara tentang dirinya, tentang obsesinya, dan tentang fantasi yang kini telah terwujud.

Sasmitha hanya mendengarkan, mengangguk sesekali, sesekali tersenyum tipis, seperti yang telah ia latih. Di dalam benaknya, ia mengulang kembali seluruh perjalanannya. Dari Bagas, anak panti asuhan yang polos, menjadi Sasmitha, putri pengganti yang sempurna. Dari sebuah tubuh laki-laki yang normal, menjadi tubuh wanita yang difeminisasi dan dioperasi. Dari keinginan untuk menjadi diri sendiri, menjadi kepasrahan total pada kehendak orang lain.

Ia mengingat saat-saat ia menangis diam-diam di malam hari di rumah Ibu Mirna, berharap semua itu hanya mimpi. Ia mengingat pelarian singkatnya yang gagal, dan ancaman bunuh diri Ibu Mirna yang menghancurkan jiwanya. Ia mengingat setiap suntikan hormon, setiap pelajaran etiket, setiap pose modeling, setiap kali ia harus menelan identitasnya sendiri demi bertahan hidup.

Kini, semua itu telah berakhir, atau lebih tepatnya, telah mencapai titik puncak. Ia adalah Sasmitha sepenuhnya. Tidak ada lagi Bagas yang tersisa. Bagas telah mati, dikubur di bawah lapisan-lapisan kecantikan dan kepalsuan.

Ketika pesawat mulai menukik, mempersiapkan pendaratan di Edinburgh, Sasmitha melihat pemandangan baru di bawah sana. Kota-kota Eropa dengan arsitektur kuno, padang rumput hijau yang luas, dan langit yang kelabu. Ini adalah dunia barunya. Ini adalah penjara barunya.

Andrew tersenyum padanya, mengenggam tangannya erat. "Selamat datang di rumah, Sasmitha," katanya.

Sasmitha tidak menjawab. Ia hanya melihat keluar jendela, melihat pantulan dirinya di kaca. Sosok yang ia lihat adalah seorang wanita cantik dalam gaun pengantin putih. Wanita itu tampak sempurna, tanpa cacat, siap memulai kehidupan barunya. Namun, di dalam diri wanita itu, ada sebuah jiwa yang hampa, sebuah hati yang mati.

Ia akan hidup sebagai "istri eksotis" seorang pria asing yang mencintainya sebagai fantasi, bukan sebagai manusia. Ia akan menjadi bagian dari koleksi Andrew, sebuah benda berharga yang dipamerkan, sebuah trofi atas preferensi pribadinya yang unik. Ia akan hidup dalam kemewahan, namun tanpa kebebasan. Ia akan tersenyum, berbicara, dan bertindak sesuai perannya, namun tanpa perasaan.

Sasmitha tahu, ia tidak akan pernah merasa "pulang" dalam hidup barunya ini. Rumahnya telah hilang, identitasnya telah tiada. Ia adalah seorang Lelaki Dalam Gaun, terperangkap dalam peran yang tak bisa ia lepaskan, sebuah kisah yang berakhir dengan kepasrahan, bukan kebebasan. Takdirnya adalah menjadi sebuah boneka sempurna, selamanya.


Setelah dipaksa meninggalkan Indonesia sebagai “putri” dari ibu angkatnya, Sasmitha kini hidup di Skotlandia bersama Andre — pria asing yang menginginkannya bukan sebagai lelaki… dan bukan pula sebagai perempuan…
Tapi sebagai milik.

💔 Akankah Sasmitha menemukan cinta, atau justru kehilangan dirinya lebih dalam?
💄 Feminimisasi. Dominasi. Ketergantungan.
💍 Pernikahan yang bukan tentang cinta, tapi tentang kendali.

📚 Saksikan kelanjutan kisah "Lelaki dalam Gaun"
🔞 Cerita eksklusif 21+
🌈 Tema bxb / trans / forced feminization
💬 Mulai tayang minggu ini hanya dikaryakarsa

https://karyakarsa.com/ziuzizan/bab-1-sangkar-emas-edinburgh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lelaki Lembut Yang Di Jadikan Waria

Bab 1: Fino dan Dinding Kaca Angin Bandung sore itu berembus pelan, membawa aroma petrikor yang baru saja membasahi aspal Jalan Cihampelas...