Jumat, 18 Juli 2025

Hasrat Menyimpang Ayah Tiri


Setelah kematian Ibu, dunia Andi runtuh… perlahan, diam-diam, dan menyakitkan. Di rumah tua peninggalan almarhumah Sulastri, ia tinggal berdua dengan ayah tirinya, Burhan—lelaki yang dulu hanya sibuk dengan rokok dan kursi malas, kini berubah jadi bayangan gelap yang terus membayangi langkahnya.

Pada hari ketujuh setelah pemakaman, ketika aroma bunga kenanga di ruang tamu mulai menghilang, Burhan memanggil Andi ke kamar Ibu.

Di atas ranjang yang masih bersprei motif mawar, tergeletak setumpuk pakaian.

Daster bunga-bunga milik Ibu. Bra renda warna krem. Celana dalam wanita. Bedak. Sisir. Dan jepit rambut kecil berwarna emas.

Andi berdiri di ambang pintu. Tubuhnya membeku.

“Pakai semuanya,” kata Burhan, pelan tapi pasti. “Mulai malam ini, kamu tidur di sini. Di kamar saya. Kamu gantikan Ibu.”

Andi menggeleng pelan. “Aku… aku anak laki-laki.”

“Tapi kamu anaknya Sulastri. Dan rumah ini butuh istri. Saya butuh perempuan, bukan anak laki-laki cengeng.”

Burhan menarik tangan Andi. Kuat. Paksa.

Ia menyerahkan bra dan celana dalam ke tangan Andi. “Jangan bikin saya marah. Ibu kamu juga dulu nurut. Lembut. Kamu juga bisa begitu.”

Andi memutar badan, mencoba kabur. Tapi Burhan lebih cepat. Ia mendorong Andi ke dinding, menatap wajahnya dari jarak sangat dekat. Nafasnya bau alkohol.

“Pakai. Sekarang.”

Andi akhirnya masuk kamar mandi. Ia berdiri di depan cermin dan melihat tubuhnya sendiri. Laki-laki yang perlahan dihapus identitasnya.

Dengan tangan gemetar, ia mengenakan pakaian dalam itu. Terasa asing. Terasa hina. Tapi lebih dari itu—terasa seperti perpisahan terakhir dengan dirinya sendiri.

Lalu ia mengenakan daster itu. Daster yang dulu dipakai Ibunya saat menyapu halaman atau menyeduh teh sore-sore. Kini melekat di tubuh Andi, bagai kutukan.

Malam itu, Burhan menyuruhnya duduk di sisi tempat tidur, mengoleskan bedak ke lehernya, menyisir rambutnya yang mulai panjang, lalu berbaring sambil menepuk sisi kasur.

“Kesini, Lastri,” panggilnya.

Dan Andi datang. Ia diam. Ia mati di dalam, tapi tubuhnya tetap bernapas. Burhan memeluknya erat. Seerat yang dulu ia lihat diberikan pada Ibu. Tapi kini pelukan itu dingin. Kaku. Dan mengandung luka yang tak bisa dijelaskan.

Hari-hari berikutnya, Andi hidup sebagai “pengganti”. Ia tak lagi dipanggil Andi.

“Lastri, ambilkan handuk.”
“Lastri, masak nasi.”
“Lastri, kamu cantik hari ini.”

Pakaian-pakaian lelaki dibakar Burhan. Ia membelikan daster baru, bra warna pastel, dan lipstik murah dari toko sebelah. “Kamu harus tampil cantik. Kalau kamu cantik, saya senang.”

Dan Andi… hanya menunduk. Menerima.

Setiap pagi, ia mengenakan pakaian dalam perempuan, berdaster, menyisir rambut dengan belahan tengah seperti almarhumah Ibunya. Ia bicara pelan. Jalan pelan. Duduk bersimpuh. Ia bukan lagi Andi. Ia telah dikubur bersama nisan Ibunya.

Dan setiap malam, ia masuk ke kamar itu. Membaringkan tubuhnya. Menjadi istri. Dipeluk. Dicintai—atau lebih tepatnya, diklaim.

Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bisa menolong.

Rumah itu benar-benar tanpa jendela. Dunia luar sudah tak percaya ia ada.

Andi terbangun dengan peluh dingin di dahinya. Di sebelahnya, Burhan masih terlelap, mendengkur pelan sambil memeluk bantal kecil berenda. Bantal itu dulu milik Ibu. Kini, bantal itu sering ia peluk setelah puas menjamah tubuh Andi malam demi malam.

Andi bangkit perlahan dari kasur, berjinjit agar tidak membangunkan Burhan, lalu menuju lemari besar di sudut kamar. Ia membuka pintunya perlahan, dan lagi-lagi, dadanya terasa sesak saat melihat isinya: seluruh pakaian di dalam lemari itu kini adalah miliknya—atau lebih tepatnya, milik perempuan yang dipaksa hidup dalam tubuhnya.

Gaun tidur satin warna pink lembut. Daster-daster bunga berbagai motif. Rok span, blus renda, kutang dengan cup empuk. Bra aneka warna, tersusun rapi di laci kayu tua. Bahkan ada beberapa lingerie tipis yang masih terlipat dengan plastik pembungkusnya.

Burhan membeli semua itu sendiri. Tiap minggu ia pulang membawa kantong plastik baru dari pasar. “Aku lihat ini bagus buat kamu, Lastri,” katanya sambil tersenyum penuh hasrat.

Andi tidak punya satu pun pakaian laki-laki lagi. Semua celana jins, kaos, jaket lamanya dibakar Burhan suatu sore dengan alasan “sampah masa lalu.” Kini, setiap kali Andi membuka lemari, yang menatap balik padanya adalah bayangan perempuan palsu—ciptaan Burhan—yang tak bisa ia tolak.

Ia meraih daster biru laut dengan renda putih di lengan. Salah satu favorit Burhan.

Diterangkannya tubuh ke cermin, mengenakannya perlahan. Rambutnya yang kini panjang sebahu disisir rapi, lalu dijepit ke samping menggunakan jepit kupu-kupu kecil. Ia mengoleskan bedak tipis di wajahnya, lalu memakai lip balm. Itu sudah menjadi rutinitas. Setiap pagi, ia harus tampil “cantik” sebelum Burhan bangun. Jika tidak, lelaki itu akan murka.

Satu kali, Andi pernah hanya mengenakan kaus tidur bekas Ibu, tanpa berdandan. Burhan bangun, melihat Andi belum “berubah” jadi sosok yang ia inginkan—dan langsung melempar cangkir ke dinding.

“Kamu bukan anakku. Kamu istriku sekarang! Kalau gak bisa bahagiakan suami, buat apa hidup?!”

Andi menangis waktu itu, tapi bukan dengan air mata. Tangis yang hanya terdengar di dalam tubuh. Hening. Mati rasa.

Hari-hari berikutnya makin suram. Burhan mulai menuntut lebih. Bukan hanya dandanan, tapi juga peran. Ia menyuruh Andi melayani seperti seorang istri sejati. Masak di dapur dengan apron, duduk manis menonton sinetron, bahkan memijat kaki sambil menyuapinya makan malam.

Dan setiap malam, tubuh Andi menjadi benda. Dimiliki. Dihisap marwahnya.

Lemari itu jadi saksi. Tiap kali Andi berdiri di depannya, ia melihat kematian dirinya sendiri. Ia melihat berlapis-lapis pakaian yang bukan miliknya, tapi dipaksakan melekat. Ia ingin membakar semuanya. Ingin merobek satu per satu bra dan lingerie itu. Tapi tangannya tak pernah bisa bergerak.

Karena tiap kali niat itu muncul, suara Burhan kembali terdengar:

“Kamu gak punya tempat lain. Kalau kamu kabur, saya cari. Kalau kamu lawan, saya hancurkan. Kamu cuma ada karena saya masih izinkan kamu hidup.”

Dan Andi percaya.

Karena di rumah ini, tak ada jendela. Tak ada pintu terbuka. Tak ada cahaya. Hanya lemari itu, yang terus terisi oleh pakaian-pakaian perempuan, dan seorang lelaki muda yang perlahan diluruhkan menjadi istri yang tidak pernah diminta.

Malam itu, hujan mengguyur atap rumah dengan keras. Suara angin seperti jerit sunyi yang tak sampai ke luar. Di dalam kamar, lampu hanya menyala redup. Warna kuningnya jatuh ke dinding seperti luka.

Burhan duduk di ujung ranjang dengan sebatang rokok menyala di jarinya. Matanya menatap Andi seperti seekor serigala lapar menatap mangsa.

“Kamu tahu, Lastri,” katanya, menyebut nama Ibu dengan lidah licin itu, “malam ini aku pengen lihat kamu... asli. Jangan pakai daster. Jangan apa-apa. Cukup pakaian dalam aja.”

Andi membeku di depan lemari. Ia baru saja selesai berdandan: daster hijau muda, rambut disisir belah dua, bibir dibubuhi sedikit lipstik merah muda. Tapi permintaan Burhan malam itu… berbeda.

“Burhan…” suaranya nyaris tak terdengar. “Aku malu.”

Burhan berdiri. Perlahan. Dengan tubuh tinggi dan langkah berat, ia mendekat. Tangannya mengusap pipi Andi. Bau rokok dan keringatnya menusuk hidung.

“Kamu bukan Andi. Kamu istriku. Gak ada kata ‘malu’ di antara suami dan istri.” Tangannya turun ke bahu Andi, lalu ke daster.

“Lepas.”

Andi menutup mata. Dengan jari gemetar, ia membuka kancing daster satu per satu, hingga kain itu jatuh ke lantai. Ia berdiri diam dalam balutan bra renda tipis dan celana dalam kecil yang juga dibelikan Burhan minggu lalu—warna krem, dengan bordir kecil di sisi kiri.

Udara kamar menusuk kulitnya. Bukan karena dingin, tapi karena rasa tak berharga yang mulai merambat ke pori-pori.

Burhan menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu tersenyum puas.

“Kamu makin mirip Sulastri,” bisiknya. “Kadang aku lupa kamu bukan dia.”

Andi ingin menjerit. Ingin mengatakan bahwa ia bukan Ibu. Ia anak. Ia Andi. Bukan Lastri. Tapi suaranya seperti dikurung dalam jeruji tak kasatmata.

“Sekarang duduk sini. Di ranjang,” perintah Burhan.

Ia menuruti. Duduk pelan, menjaga agar lututnya tetap rapat seperti yang diajarkan Burhan dulu. “Perempuan harus tahu caranya duduk manis,” katanya waktu itu, sambil menampar Andi karena mengangkang saat makan.

Burhan lalu merebahkan kepala di paha Andi. “Kamu harum,” katanya, “lebih harum dari dia dulu. Kulitmu halus. Tuhan kasih aku pengganti sempurna.”

Andi menatap langit-langit kamar. Di sana, bekas bercak air hujan membentuk pola seperti mata mengintip. Ia berharap itu benar-benar mata—mata siapa pun—Tuhan, Ibu, atau siapa saja—yang bisa menyaksikan semua ini dan menghentikan semuanya.

Tapi tidak ada. Hanya suara hujan yang terus mengetuk-ngetuk tanpa henti.

Sejak malam itu, permintaan Burhan makin aneh. Ia sering menyuruh Andi berdiri di depan cermin hanya dengan pakaian dalam, menyisir rambut pelan, lalu membisikkan kalimat-kalimat yang menusuk:

“Kalau kamu cantik begini, aku gak butuh cari perempuan lain.”

Kadang ia meminta Andi berdandan sepenuhnya hanya dengan lingerie tipis dan berdiri di dapur, menyeduh kopi. Pernah sekali, ia menyuruh Andi menari di ruang tamu dengan bra dan celana dalam sambil diputarkan lagu dangdut lama—lagu yang dulu diputar Ibu saat menyapu lantai.

Dan tiap malam, tubuh Andi tak lagi punya kendali.

Yang tersisa hanya rasa hampa. Rasa yang tak bisa ia bagi, karena tak ada siapa pun yang tahu, dan tak ada siapa pun yang mau percaya.

Di kamar itu, di bawah cahaya lampu temaram dan suara napas lelaki tua yang tak pernah mencintainya, Andi terus hidup. Tapi bukan sebagai dirinya.

Sebagai properti. Sebagai hantu dari sosok perempuan yang sudah dikubur.

Dan lemari itu, yang dulunya milik Ibu, kini jadi lemari saksi bisu penderitaan seorang anak lelaki… yang dipaksa menjadi istri.

Andi kini jarang menyebut dirinya “Andi” dalam hati.

Burhan sudah melarang nama itu diucapkan sejak tiga minggu lalu. “Itu nama anak laki-laki,” katanya sambil merobek foto kecil Andi saat SMP, lalu membuangnya ke dalam api kompor. “Kamu bukan dia lagi. Kamu Lastri. Istriku. Titik.”

Sejak hari itu, setiap cermin di rumah seolah memperlihatkan wajah asing. Wajah yang dihiasi alis yang dicukur tipis, bibir yang dipulas dengan warna mawar, pipi yang diberi perona agar tampak segar. Burhan sendiri yang mengajari cara berdandan. Bahkan ia duduk di tepi ranjang sambil menonton Andi mematut diri, kadang sambil memberi komentar seperti penata rias profesional.

“Senyummu masih terlalu kaku,” katanya suatu pagi. “Perempuan gak senyum kayak maling. Senyum lembut, Lastri. Lembuuut...”

Andi mencoba. Ia menundukkan kepala sedikit, menekuk bibir, dan membentuk senyum kecil seperti yang diajarkan. Burhan mengangguk puas.

“Bagus. Sekarang belajar jalan.”

Andi tertegun.

“Jalan dari pintu ke lemari. Dengan hak tinggi ini.” Ia menunjuk sepasang sepatu hak delapan senti, hitam mengkilap. “Lembutkan langkahmu. Biar kamu pantas disandingkan suami kalau keluar rumah nanti.”

Andi ingin menolak. Tapi Burhan berdiri. Dan ketika Burhan berdiri, tubuh Andi selalu tahu: tak ada gunanya perlawanan.

Ia memakai sepatu itu, berdiri dengan lutut bergetar, lalu mulai melangkah. Pelan. Hatinya tercekat tiap kali hak sepatu menciptakan suara ketuk di lantai kayu. Suara itu seperti palu yang memaku nisan di atas kuburan jati dirinya.

Hari demi hari, Burhan mengatur semuanya.

Pakaian apa yang harus dipakai: renda atau satin. Gaya rambut yang harus diikat ke belakang, atau dibiarkan tergerai. Makanan yang harus dimasak: sayur bening, tempe goreng, sambal tomat—semua favorit Burhan, semua menu yang dulu dimasak Ibu.

“Bangunkan aku pakai suara lembut, ya,” katanya. “Kayak Lastri dulu. Jangan bentak-bentak kayak cowok.”

Bahkan suara Andi pun perlahan diganti.

Kini, ia berbicara dengan nada tinggi, lembut, dan penuh jeda—seolah setiap kata harus diayun dulu sebelum keluar. Dan setiap kali ia lupa, Burhan akan menatapnya tajam, atau memelintir pergelangan tangannya sambil berbisik dingin, “Kamu mau aku ajari lagi cara jadi perempuan yang baik?”

Andi makin jarang melihat dunia luar. Ponsel lamanya sudah dihancurkan. Burhan bilang, “Istri gak perlu hape. Suami cukup.” Ia juga menutup jendela dengan tirai tebal, mengganti semua pakaian Andi di lemari dengan yang baru, bahkan mengganti bantal tidurnya dengan sarung berenda dan bordir huruf L—Lastri.

Dan yang paling menghantui: KTP Andi yang dulu kini sudah disobek, diganti dengan kartu identitas palsu yang dibuat Burhan, tertulis nama: Sulastri Binti Burhan.

“Kamu milik saya sekarang,” bisik Burhan suatu malam, setelah semuanya selesai. “Bukan cuma badanmu. Tapi hidupmu. Nama kamu, napas kamu. Bahkan cara kamu lihat dunia.”

Andi tak menjawab.

Di dalam dirinya, suara “Andi” nyaris tenggelam sepenuhnya. Tapi jauh di sudut paling gelap, masih ada titik kecil yang bertahan. Titik itu tak berbicara. Tak menjerit. Ia hanya menunggu.

Menunggu sesuatu terjadi.

Entah sebuah keajaiban… atau akhir yang menyelamatkan.


Burhan pulang membawa kantong plastik berisi dress pink lembut dan pakaian dalam hitam senada. Wajahnya dingin, matanya tajam memandang Andi. Ia meletakkan kantong itu di meja dan berkata dengan suara berat, “Ini untuk malam ini. Pakai. Aku mau kamu tampil sempurna.”

Andi hanya bisa menelan ludah. Setiap kali Burhan berbicara seperti itu, hatinya terasa seperti terkoyak. Ia tahu, sekali lagi hidupnya disandera oleh orang yang seharusnya melindungi dan menyayangi, namun kini menjadi penjara.

Sejak kematian ibunya, dunia Andi berubah menjadi labirin kelam. Burhan semakin mengambil alih segalanya. Bukan hanya mengatur pakaian, tapi juga cara Andi berbicara, berjalan, dan bahkan bernapas. Ia terus menuntut Andi menjadi pengganti ibunya—lembut, feminim, dan patuh.

Malam itu, Andi mengenakan dress pink itu. Bahan satin yang dingin menyentuh kulitnya yang masih terasa asing. Pakaian dalam hitam yang dipilih Burhan terasa seperti beban tak terlihat yang menekan dada Andi.

Burhan duduk di kursi ruang tamu, matanya tak lepas dari Andi. “Bagaimana? Sudah seperti istrimu, belum?”

Andi tidak berani menjawab. Ia hanya menundukkan kepala, berusaha mengendalikan getaran di suaranya ketika berkata, “Iya, Pak.”

Hari-hari berikutnya Burhan semakin intens dalam mengatur hidup Andi. Ia memaksa Andi berlatih berjalan dengan sepatu hak tinggi di lorong rumah, berlatih berbicara dengan suara yang lebih lembut dan nada yang lebih manis, bahkan mengajarkan Andi untuk tertawa dan menangis sesuai kehendaknya.

“Ini bukan hanya soal penampilan,” kata Burhan suatu sore. “Ini soal bagaimana kamu harus menjadi perempuan yang aku butuhkan. Kamu bukan lagi anak lelaki yang suka memberontak. Kamu adalah Lastri, istriku.”

Setiap kalimat itu seperti cambuk yang memukul hati Andi, membuatnya semakin terperangkap dalam peran yang bukan miliknya.

Malam-malam Andi melewati dengan rasa takut yang terus membesar. Burhan selalu mengawasinya, memastikan tidak ada kata atau gerak yang keluar dari batas yang ia tetapkan.

Terkadang, di tengah malam yang sunyi, Andi duduk di sudut kamar sambil memeluk lututnya. Air mata yang sudah lama tertahan akhirnya mengalir, tapi bukan untuk menghapus luka—melainkan untuk menahan rasa sakit yang tak tertahankan.

Namun di dalam hatinya, meski samar, ada suara kecil yang terus berbisik, “Kamu bukan dia. Kamu lebih dari ini. Suatu saat, kamu akan bebas.”

Hari itu belum tiba. Tapi bara harapan itu tetap hidup, walau tertutup oleh gelapnya penindasan.

Hari-hari berlalu dengan beban yang semakin berat menghimpit dada Andi. Burhan, yang selama ini keras dan penuh tuntutan, perlahan mulai berubah. Mungkin karena ia lelah sendiri, atau karena ada sesuatu yang mengusik hatinya, sikapnya kini mulai berubah menjadi lebih lembut — meski bayang-bayang kekuasaan dan pengendalian itu tak sepenuhnya hilang.

Suatu sore, ketika Andi tengah merapikan lemari pakaian yang sudah penuh dengan dress dan rok warna-warni milik ibunya dulu, Burhan duduk di tepi ranjang. Ia menatap Andi dengan mata yang tak lagi tajam, melainkan penuh keluh kesah yang sulit diartikan.

“Kamu capek, ya?” suaranya lirih, tak seperti biasanya. “Aku... aku minta maaf kalau selama ini aku terlalu keras padamu.”

Andi menatapnya, terkejut dengan kata-kata itu. Hatinya yang selama ini penuh ketakutan dan kebencian mulai terguncang oleh rasa iba yang tak terduga. Namun, ia masih terlalu lelah untuk percaya sepenuhnya.

Burhan berdiri, mendekat, dan dengan lembut mengangkat dagu Andi, membuatnya bertatapan langsung. “Kamu tahu, aku cuma ingin kita bisa terus hidup bersama... seperti keluarga. Tapi aku takut kehilanganmu, takut kamu jadi seperti ibumu dulu yang pergi tanpa pamit.”

Andi membeku. Kalimat itu menusuk hatinya lebih dalam dari segala perlakuan keras yang pernah ia terima. Ia tahu, ibunya telah pergi, meninggalkannya sendiri dengan pria yang kini menguasai hidupnya.

Malam itu, Burhan membiarkan Andi memilih sendiri apa yang ingin dipakai. Untuk pertama kalinya, ia tidak memaksa atau mengatur. “Pilih yang kamu suka,” katanya, suara serak. Andi memilih dress biru muda, sederhana tapi anggun, dengan renda halus di ujungnya.

Saat Andi mengenakan dress itu dan berdiri di depan cermin, Burhan datang dari belakang, memeluknya dengan lembut. Bau parfum tua yang mengingatkan pada ibunya memenuhi ruangan.

“Lembut sekali kamu malam ini,” bisik Burhan.

Andi merasakan ada sisi lain dari pria yang selama ini membelenggunya—sisi yang rapuh dan manusiawi. Namun, di balik pelukan itu, tetap ada bayangan ketakutan yang tak bisa ia hapus.

Hari-hari berikutnya, Burhan mulai berbicara lebih banyak dengan Andi, tidak hanya soal aturan dan tuntutan, tapi juga tentang masa lalu, kesalahan, dan harapannya. Ia mencoba membuka diri, meski terkadang kemarahan dan rasa frustasi masih muncul dalam kata-katanya.

Andi pun mulai belajar mengenal pria di hadapannya sebagai manusia, bukan hanya sebagai pengendali yang menakutkan. Namun, ia juga sadar bahwa cinta dan kekerasan bisa berjalin dalam benang yang sama, sulit dipisahkan.

Suatu malam, ketika hujan turun deras di luar jendela, Burhan duduk di samping Andi di sofa. Mereka berdua diam, membiarkan suara hujan mengisi ruang hening.

“Kamu tahu, aku nggak pernah benar-benar tahu bagaimana caranya menjadi suami atau ayah,” kata Burhan pelan. “Aku cuma berusaha... tapi aku takut aku malah jadi orang yang paling kamu benci.”

Andi menoleh, menatap matanya yang sayu dan lelah. “Aku juga takut, Pak... takut kehilangan diriku sendiri.”

Burhan menggenggam tangan Andi erat. “Kita berdua terperangkap, ya?”

Andi mengangguk pelan, air matanya mulai menetes.

“Mungkin kita bisa mencoba mulai dari sini... pelan-pelan,” ujar Burhan, suaranya hampir berbisik.

Meski penuh luka dan keraguan, malam itu menjadi titik awal sebuah perubahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Andi tahu, perjalanan mereka belum selesai. Masih banyak gelap yang harus dilalui, banyak luka yang harus disembuhkan. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada secercah harapan yang menari di antara bayang-bayang malam.


Andi berdiri di depan cermin, memandangi dirinya sendiri. Dress biru pucat dengan renda halus melingkari pinggangnya, menyatu dengan lekuk tubuh yang selama ini ia hindari. Rambutnya, yang semula dibiarkan acak-acakan, kini mulai ia sisir perlahan setiap pagi, mengikuti pola lembut seperti yang biasa dilakukan ibunya dulu.

Bukan karena perintah Burhan. Bukan karena ancaman atau paksaan.

Entah sejak kapan, perubahan itu muncul dari dalam dirinya sendiri—sebuah perasaan aneh yang awalnya ia tolak mentah-mentah, tapi kini mulai tumbuh seperti akar yang mencari tanah.

Ia ingat malam-malam panjang yang ia lalui sendirian di kamar ibu. Di tengah keheningan, ketika tak ada suara yang menuntut atau tangan yang menggiring, ia mengenakan gaun tua milik almarhumah. Awalnya hanya ingin merasa dekat dengan satu-satunya sosok yang dulu membuat rumah ini hangat. Tapi kemudian, ada yang lain—seperti selimut yang menyentuh luka batinnya.

Burhan memang masih mengawasi, tetapi kini lebih jarang memaksa. Mungkin karena ia melihat Andi mulai bergerak tanpa dorongan, memilih sendiri gaun mana yang ingin dipakai, atau lipstik mana yang cocok untuk hari itu.

Namun, bukan Burhan yang kini paling mengusik batin Andi. Melainkan bayangannya sendiri di cermin.

Karena di balik kain lembut, di balik senyum tipis yang ia latih di depan kaca, Andi mulai melihat sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik nama, tubuh, dan suara.

“Siapa aku sebenarnya?”

Pertanyaan itu menghantui setiap kali ia duduk di meja rias ibu, menatap pantulan dirinya yang kini terasa... tidak lagi asing.

Ia mulai mengenali setiap detail: cara gaun itu jatuh menyentuh lutut, bagaimana bulu matanya melengkung setelah disentuh maskara, dan betapa tenangnya hatinya ketika berjalan tanpa beban seperti Andi versi malam.

Suatu pagi, ia memilih blouse putih sederhana dan rok abu-abu tua. Tak ada yang menyuruh. Ia hanya merasa... itu cocok. Ia menyalakan radio tua, memutar lagu lawas kesukaan ibu, dan tersenyum kecil sambil menyiapkan sarapan.

Burhan masuk ke dapur, terdiam sejenak melihat Andi.

“Cantik pagi ini,” gumamnya, lalu duduk di kursi tua yang mengerang pelan.

Andi tidak menjawab. Tapi dalam hati, ia merasa sesuatu yang dulu mustahil kini mulai berubah. Bukan karena Burhan. Tapi karena ia sendiri yang kini sedang mencoba berdamai dengan bayangan di cermin itu.

Hari-hari di rumah itu berjalan pelan, seperti waktu menolak bergegas. Suara jam dinding berdetak pelan di ruang tamu, dan aroma kayu tua dari lantai rumah terus menyatu dengan harum sabun mandi yang dipakai Andi setiap pagi. Kini, semuanya terasa berbeda—tenang, lembut, dan entah mengapa, tidak lagi sekeras dulu.

Andi mulai terbiasa menyisir rambutnya pelan-pelan di depan cermin. Tangan-tangannya, yang dulu kasar dan terbiasa menggenggam alat tukang ayah tiri, kini lebih sering memegang sisir dan botol parfum kecil warisan ibunya. Tiap helai rambut disisir dengan sabar, seperti menyisir ulang kenangan yang kusut dan luka yang belum sembuh.

Burhan tidak lagi banyak bicara. Tapi pandangannya berbicara lebih banyak dari kata-kata. Ia melihat perubahan Andi dengan mata yang redup namun penuh tanya. Ia sering duduk di kursi ruang tamu dengan secangkir kopi, memperhatikan Andi berjalan bolak-balik, menata meja makan, menyapu halaman, atau menyiram bunga-bunga yang mulai tumbuh di pot tanah liat.

Andi pun mulai berbicara lebih lembut. Ia tidak lagi menjawab dengan suara keras, tidak lagi menolak dengan kemarahan. Bukan karena takut. Tapi karena ia sendiri merasa perubahan itu seperti embun yang jatuh pelan-pelan ke hatinya. Ia mulai merasa tenang dalam kesunyian. Dan lembut dalam setiap langkah.

Suatu sore, Andi sedang melipat baju di ruang tengah ketika Burhan datang dari luar, membawa sekotak kecil berwarna emas muda.

“Untukmu,” katanya pendek, menyerahkan kotak itu.

Andi membuka perlahan. Isinya sehelai syal tipis berwarna merah muda pucat. Lembut. Wangi melati samar-samar keluar dari lipatannya.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menatap Burhan sejenak, lalu memeluk syal itu ke dadanya.

Bukan hadiah itu yang membuat dadanya hangat. Tapi karena, untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat bukan sebagai bayangan ibunya. Tapi sebagai dirinya sendiri—yang masih mencari bentuk, tapi tak lagi menolak lembutnya menjadi diri yang rapuh, namun tidak lemah.

---

Hari-hari selanjutnya, Andi lebih banyak diam, namun damai. Ia menulis di buku harian yang dulu disembunyikannya di bawah kasur. Tulisannya penuh tanya, penuh rasa. Tapi semuanya mengalir dengan suara yang pelan, seperti aliran air kecil di sungai.

Ia menulis:

> “Aku tidak tahu apakah ini jalan yang kupilih, atau jalan yang sedang menuntunku. Tapi untuk pertama kalinya aku tidak marah pada bayanganku sendiri. Aku hanya ingin hidup sebagai aku. Apa pun itu artinya.”

Malam semakin larut, suara hujan lembut menetes di atas genteng rumah tua itu. Di dalam kamar yang remang, Andi berdiri di depan cermin besar milik ibunya. Tubuhnya tertutup oleh gaun tidur berwarna pink lembut, bahan satin yang mengalir halus mengikuti lekuk tubuhnya yang kini mulai berubah.

Gaun tidur itu terasa berbeda dari pakaian sehari-harinya. Lebih rapuh, lebih feminin, namun juga membuatnya merasa seperti sedang memainkan peran yang belum sepenuhnya ia pahami.

Andi menghela napas panjang, melihat bayangan dirinya sendiri di cermin. Ada ketegangan yang mengendap di dadanya, campur aduk antara rasa malu dan kehangatan aneh yang mulai tumbuh saat mengenakan gaun itu.

Burhan membuka pintu kamar perlahan dan melangkah masuk. Matanya segera tertuju pada Andi yang berdiri diam, membelai kain gaun tidurnya dengan lembut.

“Lestari, kau terlihat sangat cantik malam ini,” ucap Burhan dengan suara penuh perhatian dan lembut.

Andi menundukkan kepala sebentar, lalu menatap dirinya di cermin kembali. “Pak Burhan… aku merasa berbeda. Seperti sedang mencoba menjadi sesuatu yang bukan aku,” jawab Andi lirih.

Burhan melangkah mendekat dan meletakkan tangannya hangat di bahu Andi. “Kadang, Lestari, kita perlu melepas lapisan lama yang menutupi siapa kita sebenarnya. Kau tak sendiri, aku ada di sini, bersamamu.”

Andi membiarkan diri terhanyut dalam pelukan itu. Walau ada kebingungan yang menggelayut di hati, ada juga rasa hangat yang lama dirindukan.

Malam itu, dengan gaun tidur pink yang membalut tubuhnya, Andi perlahan belajar menerima bagian dari dirinya yang belum pernah ia pahami sebelumnya.

Andi duduk di samping Burhan, napasnya masih terasa sedikit tercekat, tapi sorot matanya mulai melembut. Burhan mengulurkan tangannya, perlahan menggenggam tangan Andi dengan hangat. Sentuhan itu membuat Andi merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya — sebuah rasa aman yang pelik, tapi menenangkan.

“Lestari,” kata Burhan pelan, “kau tidak sendiri. Aku akan selalu ada di sampingmu, apapun yang terjadi.”

Andi menatap Burhan dengan mata berkaca-kaca, hatinya bergetar karena kata-kata itu. Ia tahu, meski jalan ini berat dan penuh liku, setidaknya ada seseorang yang peduli dan menerima dirinya apa adanya.

Malam itu, di bawah sinar remang lampu kamar, keduanya duduk bersama, berbagi kehangatan yang tak perlu banyak kata. Keheningan di antara mereka menjadi saksi sebuah ikatan baru, lembut namun kuat, yang perlahan tumbuh dari hati yang rapuh.

Andi menutup matanya sejenak, merasakan kehangatan tangan Burhan yang masih menggenggamnya dengan lembut. Suara hujan di luar jendela seperti mengiringi detak jantungnya yang mulai tenang. Dalam pelukan itu, ia merasakan kenyamanan yang belum pernah ia temukan sebelumnya—sebuah perasaan yang aneh dan baru, tapi menyenangkan.

Burhan mengusap punggung tangan Andi perlahan, seolah ingin meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. “Kau kuat, Lestari. Aku tahu ini bukan hal mudah, tapi aku percaya kau bisa melewatinya.”

Andi membuka matanya, menatap wajah Burhan dengan penuh rasa terima kasih. Ia merasa dihargai dan didukung, bukan hanya sebagai sosok yang harus menggantikan ibu, tapi sebagai seseorang yang memiliki perasaan dan mimpi sendiri.

Malam itu, mereka berbicara panjang, bukan tentang tugas atau peran, tapi tentang harapan, ketakutan, dan masa depan yang mungkin bisa mereka hadapi bersama. Di sela kata-kata itu, ada kehangatan yang tumbuh perlahan, bukan karena paksaan, tapi karena saling percaya dan memahami.

Andi tahu, perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan, tapi dengan ada Burhan di sisinya, langkahnya terasa sedikit lebih ringan.

Malam itu, suara hujan yang jatuh pelan di atas genteng rumah tua itu menjadi irama pengantar bagi Andi dan Burhan yang duduk berdampingan di kamar kecil yang hangat. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya lembut yang menari di dinding, menciptakan bayangan-bayangan yang seolah ikut mendengarkan percakapan mereka.

Andi, dengan gaun tidur pink yang membalut tubuhnya, masih merasa gugup dan sedikit canggung. Ia belum sepenuhnya terbiasa dengan peran yang kini harus ia jalani, dengan segala tuntutan yang datang bersamaan. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, ada kehangatan yang tulus dari Burhan, yang membuatnya merasa tidak sendirian.

Burhan memandang Andi dengan mata penuh perhatian dan kasih sayang, seolah ingin menyampaikan bahwa ia mengerti segala beban yang ditanggung Andi. “Lestari,” suara Burhan pelan, penuh lembut, “aku tahu ini semua bukan hal yang mudah untukmu. Tapi aku ingin kau tahu, aku di sini, bukan hanya sebagai ayah, tapi juga sebagai teman yang akan selalu mendukungmu.”

Andi menunduk, menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam dadanya. Ia merasa dihargai, tidak hanya sebagai sosok pengganti ibunya, tapi sebagai pribadi yang memiliki perasaan dan mimpi. “Terima kasih, Pak Burhan. Aku… aku masih belajar. Kadang merasa bingung harus bagaimana,” jawab Andi lirih.

Burhan mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Andi dengan lembut. Sentuhan itu memberi Andi rasa aman yang selama ini sulit ia temukan. “Tidak apa-apa merasa bingung. Semua orang butuh waktu. Aku juga pernah merasa takut menghadapi masa depan, tapi kau punya kekuatan yang lebih besar dari yang kau kira.”

Andi memejamkan mata, membiarkan hangatnya genggaman tangan itu meresap ke dalam hati. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang tumbuh, sebuah keyakinan kecil yang mulai menyala, bahwa ia bisa melewati semua ini.

“Lestari,” Burhan melanjutkan, “aku ingin kau tahu, aku bangga padamu. Kau sudah melewati banyak hal yang berat, dan kau masih bisa bertahan. Aku ingin kau terus menjadi dirimu sendiri, walau dalam peran apapun yang kau jalani.”

Andi membuka mata, menatap Burhan dengan penuh haru. “Aku ingin mencoba, Pak. Aku ingin bisa merasa bahagia, walau dengan segala yang terjadi.”

Burhan tersenyum, matanya menyiratkan harapan. “Itulah yang kuingin dengar. Kita akan jalani ini bersama, langkah demi langkah.”

Mereka berbicara panjang malam itu, tidak hanya soal peran atau tanggung jawab, tapi juga tentang harapan dan mimpi. Andi menceritakan keinginannya untuk suatu hari bisa bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa harus menutupi rasa takut atau keraguan.

Burhan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk dan memberikan kata-kata penguat yang membuat Andi merasa didengar dan dimengerti.

Di sela-sela percakapan itu, Andi mulai merasa pelan-pelan terbebas dari beban berat yang selama ini menekan hatinya. Ada ruang baru yang terbuka, ruang untuk menerima dirinya sendiri dan untuk percaya bahwa ada masa depan yang lebih baik.

Burhan lalu berdiri, menghampiri lemari pakaian ibunya yang dulu selalu dipakai Andi. Ia membuka lemari itu dan mengeluarkan beberapa pakaian lembut berwarna pastel. “Aku bawa ini untukmu, Lestari. Pakaian yang membuatmu merasa nyaman, bukan karena harus dipaksa, tapi karena kau ingin.”

Andi tersenyum malu, mengambil pakaian itu dan merasakan bahan satin yang lembut di tangannya. “Terima kasih, Pak Burhan. Aku akan mencoba.”

Hari-hari berikutnya, Andi mulai berusaha mengenal dirinya lebih dalam. Ia mulai mencoba mengenakan pakaian-pakaian itu bukan hanya sebagai peran, tapi sebagai bagian dari dirinya yang ingin berkembang dan diterima.

Burhan terus memberikan dukungan, selalu hadir dengan kata-kata lembut dan pelukan hangat yang membuat Andi merasa dihargai dan dicintai.

Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam dan warna jingga merona di langit, Andi dan Burhan duduk bersama di teras rumah. Mereka menikmati teh hangat sambil berbincang ringan tentang hal-hal kecil yang selama ini terasa sulit diungkapkan.

“Pak Burhan,” suara Andi pelan, “terima kasih sudah sabar dan selalu ada untukku. Aku merasa lebih kuat sekarang.”

Burhan tersenyum, menatap Andi dengan penuh rasa sayang. “Kau tidak perlu berterima kasih, Lestari. Aku juga belajar banyak dari dirimu. Kau mengajarkanku arti kesabaran dan cinta yang tulus.”

Malam pun semakin larut, dan Andi merasa ada kedamaian yang mengisi ruang hatinya. Meskipun perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan, ia tahu setidaknya ia tidak berjalan sendiri.

Dalam pelukan malam dan hujan yang terus menetes, ada benih harapan yang mulai tumbuh, sebuah kisah tentang penerimaan, cinta, dan kekuatan yang lahir dari kerentanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lelaki Lembut Yang Di Jadikan Waria

Bab 1: Fino dan Dinding Kaca Angin Bandung sore itu berembus pelan, membawa aroma petrikor yang baru saja membasahi aspal Jalan Cihampelas...