Langit Bandung sore itu berwarna jingga pekat, memayungi jalan Ganesha yang ramai. Deru kendaraan bercampur tawa mahasiswa yang lalu lalang menciptakan simfoni khas kampus. Di antara keramaian itu, seorang pemuda dengan rambut ikal sebahu yang ditata rapi, kemeja flanel kebesaran, dan celana jeans belel, tampak sedang merapikan tas selempangnya. Namanya Arka, mahasiswa tingkat akhir jurusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung. Sosoknya tinggi tegap, dengan rahang tegas dan tatapan mata yang tajam, memancarkan aura dominan yang sulit diabaikan. Ia selalu tahu apa yang ia inginkan, dan jarang sekali ada yang berani membantah.
Arka baru saja keluar dari perkuliahan arsitektur lansekap yang membosankan ketika matanya terpaku pada sebuah siluet di kejauhan. Di depan gerbang utama, di bawah pohon beringin tua yang rindang, duduk seorang pemuda lain. Ia mengenakan kaos oblong polos dan celana jins gelap, dengan rambut hitam lurus yang sedikit gondrong dan menutupi dahinya. Di sampingnya, tergeletak tas ransel kuliahnya. Pemuda itu tampak sedang asyik menggambar sketsa bunga-bunga bougenville di buku gambarnya. Wajahnya mungil, dengan mata besar yang sedikit sayu, hidung mancung, dan bibir penuh. Arka merasa ada yang familiar dari wajah itu, seolah pernah melihatnya.
Arka, yang biasanya tak peduli dengan sekitarnya, merasa tertarik. Ada sesuatu yang sangat memikat dari sosok itu. Ia melangkah mendekat, tanpa sadar langkahnya melambat. Ketika ia semakin dekat, detail-detail kecil mulai terlihat. Mata sayu yang indah, jari-jari ramping yang lincah memegang pensil. Sebuah keindahan yang tidak biasa terpancar dari seorang pemuda.
Seolah merasakan tatapan Arka, sosok itu menoleh. Mata mereka bertemu. Sepasang mata besar itu mengerjap pelan, menampilkan ekspresi sedikit terkejut, namun tidak takut. Bibir penuh itu membentuk senyum tipis, malu-malu.
"Maaf," suara itu meluncur, lembut dan sedikit berat, tapi tetap merdu. "Apa saya mengganggu?"
Arka terdiam sesaat, terpukau. Ia tersenyum tipis, menunjukkan lesung pipi di salah satu sisi. "Tidak. Saya hanya... terpukau dengan gambarmu. Dan... kamu."
Pipi sosok itu merona merah muda. Ia menunduk malu-malu. "Terima kasih," bisiknya. "Saya Nando."
"Arka," balas Arka, suaranya dalam dan tegas. Ia mengulurkan tangan. Nando ragu sejenak sebelum menyambut uluran tangan itu. Jari-jari mereka bersentuhan, kulit Nando terasa halus dan dingin. Sentuhan itu seperti percikan listrik yang mengalir di tubuh Arka. Aura lembut Nando dan aura dominan Arka beradu, menciptakan ketegangan yang aneh dan menarik.
"Mahasiswa ITB juga?" tanya Arka, mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba terasa canggung namun menyenangkan.
Nando mengangguk pelan. "Ya, Jurusan Teknik Lingkungan. Tingkat dua."
Arka mengangkat alis. "Oh, adik tingkat. Pantas saya belum pernah lihat." Ia tersenyum, kali ini lebih lebar. "Senang bertemu denganmu, Nando. Kamu benar-benar... sesuatu yang baru."
Nando tersenyum lagi, lebih lepas. Mata sayunya kini bersinar. Pertemuan itu singkat, namun meninggalkan kesan mendalam bagi Arka. Ia tahu, ada sesuatu yang harus ia kejar dari pemuda berambut gondrong ini. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.
Setelah pertemuan pertama itu, Arka tak bisa berhenti memikirkan Nando. Sosoknya yang kalem, wajahnya yang cantik, dan suaranya yang lembut terus terngiang. Ia mencari tahu tentang Nando di kampus, menanyakan ke beberapa temannya, hingga akhirnya menemukan jadwal kuliah Nando dan tempat-tempat Nando biasa menghabiskan waktu.
Arka mulai 'kebetulan' muncul di tempat-tempat itu. Di perpustakaan, ia akan duduk di meja yang sama dengan Nando. Di kantin, ia akan menghampiri meja Nando dan teman-temannya. Di taman kampus, ia akan menyapa Nando yang sedang membaca buku atau menggambar. Setiap kali mereka bertemu, Arka akan memancing percakapan, mencoba mengenal Nando lebih dalam.
Nando, di sisi lain, tampak malu-malu namun menerima kehadiran Arka. Ia akan tersenyum, menjawab pertanyaan-pertanyaan Arka dengan lembut, namun jarang sekali berinisiatif. Ia seperti bunga yang perlahan mekar, menunggu sentuhan yang tepat.
Suatu sore, Arka memberanikan diri untuk lebih jauh. "Nando," katanya, saat mereka duduk di co-working space kampus, pura-pura mengerjakan tugas. "Saya ingin bertanya sesuatu."
Nando menoleh, matanya yang besar menatap Arka. "Apa, Kak?"
"Kenapa kamu... terlihat begitu feminin, padahal kamu seorang pria?" Arka memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Nando terdiam sejenak, menunduk. Jari-jarinya memainkan ujung lengan kemejanya. "Saya... saya memang sedikit berbeda, Kak," bisiknya. "Saya... saya suka merasa feminin. Tapi hanya saat saya di tempat pribadi saya. Di luar, saya tetap Nando seperti ini."
Arka mengangguk pelan. "Saya mengerti. Dan itu... sangat menarik untukmu. Kamu tahu, kamu benar-benar membuat saya terkesima."
Nando mengangkat wajahnya, menatap Arka dengan sorot mata tak percaya bercampur haru. "Benarkah, Kak?"
"Sangat benar," tegas Arka, menatap dalam mata Nando. "Saya tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Kamu adalah kamu. Dan kamu... memikat saya. Saya sangat suka."
Mulai hari itu, interaksi mereka berubah. Arka menjadi lebih berani, lebih lugas dalam menunjukkan ketertarikannya. Ia akan memuji penampilan Nando, menatapnya tanpa ragu, dan bahkan sesekali menyentuh lengannya secara tak sengaja. Nando, yang awalnya malu-malu, kini mulai menunjukkan sisi yang lebih santai dan terbuka kepada Arka. Ia akan bercerita tentang hobinya melukis watercolor, kecintaannya pada musik klasik, dan impiannya untuk bekerja di bidang konservasi lingkungan. Ia bahkan sempat nyeletuk tentang keinginan rahasianya untuk bisa berdandan seperti wanita di rumah, sebuah fantasi yang selama ini ia sembunyikan.
Arka menyadari bahwa di balik ketenangan itu, Nando memiliki pikiran yang cerdas dan hati yang murni. Ia tidak pernah bertemu orang seperti Nando sebelumnya. Dan semakin ia mengenal Nando, semakin dalam ia terjatuh.
Suatu malam, setelah mereka makan malam di salah satu kafe di Dago, Arka mengantar Nando pulang ke kosannya yang tak jauh dari kampus. Di depan pintu gerbang kosan, Arka menahan tangan Nando saat ia hendak berpamitan.
"Nando," panggil Arka, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Saya... Saya suka kamu."
Nando terdiam, matanya melebar. Wajahnya memerah padam. "Kak Arka..."
"Saya tahu ini mungkin terdengar gila," potong Arka. "Tapi saya tidak bisa berhenti memikirkanmu. Saya tidak peduli kamu laki-laki atau perempuan. Kamu adalah kamu. Dan kamu... memikat saya. Saya ingin mengenalmu lebih jauh. Saya ingin... kita lebih dekat."
Nando menunduk, jantungnya berdebar kencang. Ia belum pernah mendengar kalimat seberani itu dari siapa pun. Selama ini, ia selalu bersembunyi di balik citra maskulinnya di luar, takut akan penolakan jika sisi "Nanda"nya terungkap. Tapi Arka... Arka seolah melihat jiwanya, tanpa menghakimi tubuhnya.
Perlahan, Nando mengangkat wajahnya. Mata sayunya menatap Arka dengan penuh keyakinan. "Saya juga suka Kak Arka," bisiknya, suaranya bergetar. "Saya... saya mau. Saya mau lebih dekat dengan Kak Arka."
Arka tersenyum lebar. Ia tahu, perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Langkah selanjutnya adalah menggali lebih dalam, memasuki dunia yang belum pernah ia sentuh.
Setelah pengakuan itu, hubungan Arka dan Nando berkembang pesat. Mereka menghabiskan hampir setiap waktu luang bersama. Belajar di perpustakaan, makan di kantin, berjalan-jalan di sekitar kampus, atau sekadar duduk di bangku taman sambil bercerita tentang impian dan ketakutan masing-masing. Arka mulai sering menjemput Nando di kosan dan mengantarnya pulang.
Suatu malam, setelah menyelesaikan tugas kelompok di rumah Arka, hujan deras tiba-tiba mengguyur Bandung. "Sepertinya kamu harus menginap di sini, Nando," kata Arka, menatap hujan dari jendela. "Tidak mungkin kamu pulang sekarang."
Nando menatapnya, sedikit gugup. Ini adalah kali pertama mereka akan menghabiskan malam di bawah satu atap, dan kali pertama Nando akan menunjukkan sisi Nanda-nya di hadapan Arka. "Baiklah, Kak," jawabnya pelan.
Di dalam kamar Arka, Nando merasa canggung. Arka tersenyum, "Kamu sudah bilang padaku kalau kamu suka berdandan seperti wanita di tempat pribadi. Sekarang, kamu bisa jadi dirimu sendiri di sini." Nando menatapnya, mata besarnya berbinar. Ia mengeluarkan sebuah tas kecil dari ranselnya. Di dalamnya, ada wig rambut panjang hitam, make up sederhana, gaun tidur satin berwarna pastel, bra berbusa, dan celana dalam renda. Arka hanya mengamati, senyumnya hangat.
Nando masuk ke kamar mandi, dan beberapa saat kemudian ia keluar. Arka terpana. Rambut panjang hitam tergerai indah, wajahnya dipoles make up tipis yang membuatnya tampak jauh lebih feminin, dan gaun tidur satin membalut tubuhnya dengan anggun. Ia adalah Nanda, seutuhnya.
"Cantik sekali, Nanda," bisik Arka, suaranya penuh kekaguman. "Kamu... benar-benar luar biasa."
Nanda tersipu malu, namun matanya memancarkan kebahagiaan yang tulus. "Terima kasih, Kak."
Malam itu, mereka banyak mengobrol. Arka menanyakan lebih dalam tentang bagaimana Nanda menemukan dirinya sebagai crossdresser dan mengapa ia memilih untuk menyembunyikannya di luar. Nanda menceritakan masa kecilnya yang merasa berbeda, ketertarikannya pada pakaian wanita sejak usia dini, dan bagaimana ia akhirnya berani mengekspresikan diri di lingkungan kampus yang lebih terbuka, namun tetap menjaga batasan. Ia berbicara tentang perasaan bebas, nyaman, dan bahagia ketika ia mengenakan pakaian wanita. Arka mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi, hanya dengan rasa ingin tahu dan penerimaan yang tulus.
"Kamu tahu, Nanda," kata Arka, saat mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, hanya diterangi lampu tidur. "Saya merasa sangat nyaman denganmu. Rasanya seperti... menemukan bagian yang hilang dari diri saya."
Nanda tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Arka. "Saya juga, Kak. Saya merasa... aman di dekat Kak Arka. Tidak ada yang pernah menerima saya seperti ini."
Arka membelai rambut panjang Nanda, lalu perlahan menggeser tangannya ke pipi Nanda, memiringkan wajah mungil itu agar mereka saling bertatapan. Mata mereka bertemu, dipenuhi perasaan yang tak terucap. Arka mendekatkan wajahnya, dan perlahan, mencium bibir penuh Nanda. Ciuman itu lembut, penuh kehati-hatian, namun sarat akan emosi yang mendalam. Nanda membalas ciuman itu dengan perlahan, membiarkan bibir mereka menari dalam kelembutan.
Ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut. Tangan Arka beralih ke pinggang Nanda, menarik tubuh ramping itu lebih dekat. Ia merasakan lekuk tubuh Nanda yang feminin di balik gaun tidurnya. Ia tahu Nanda adalah seorang pria, namun setiap sentuhan, setiap ciuman, hanya menegaskan bahwa Nanda adalah wanita di matanya, wanita yang ia inginkan.
Arka membawa Nanda ke kamar tidurnya. Dengan gerakan perlahan, ia membuka kancing gaun tidur Nanda, membiarkan gaun itu melorot ke lantai, menampilkan tubuh ramping Nanda yang kini hanya mengenakan celana dalam renda dan bra berbusa. Payudara buatan itu tampak alami, menipu mata. Arka mengagumi keindahan itu, keindahan yang tercipta dari keberanian Nanda menjadi dirinya sendiri. Ia melepas bra Nanda, memperlihatkan dada rata yang sedikit membusung. Ia mencium leher Nanda, turun ke dada, dan mengecup area "payudara" buatan itu. Nanda mendesah pelan, merasakan sentuhan Arka yang penuh pemujaan.
Arka melepas kemejanya, memperlihatkan tubuh atletisnya. Ia membantu Nanda melepas celana dalam renda, dan kini Nanda sepenuhnya telanjang di hadapan Arka. Kejantanan Nando, meskipun ada, terlihat kecil dan malu-malu, terselip di antara pahanya. Arka tidak peduli. Matanya hanya terpaku pada keindahan feminin yang terpancar dari setiap inci tubuh Nanda.
"Kamu cantik sekali, Nanda," bisik Arka, suaranya serak karena gairah.
Nanda memejamkan mata, membiarkan tubuhnya diambil alih oleh sensasi. Ia merasa telanjang dan rentan, namun juga sepenuhnya diterima dan dicintai. Ia benar-benar menjadi Nanda sepenuhnya di hadapan Arka.
Keintiman Anal: Lembut dan Romantis
Arka tahu ini adalah hal yang sensitif, dan ia ingin memastikan Nanda nyaman. Ia mengambil sebotol pelumas dan mengoleskannya dengan lembut pada dirinya dan pada lubang anal Nanda.
"Jika sakit, bilang padaku," bisik Arka, matanya menatap Nanda penuh perhatian.
Nanda mengangguk, napasnya tersengal.
Arka memulai dengan sangat perlahan. Ia memasukkan ujung kejantanannya, lalu berhenti, membiarkan Nanda terbiasa. Ia membelai rambut Nanda, mencium keningnya. "Nyaman, sayang?"
Nanda mengangguk lagi, merasakan sensasi baru yang aneh, namun tidak menyakitkan.
Arka mendorong sedikit lebih dalam, berhenti lagi, lalu masuk sepenuhnya dengan gerakan yang sangat lembut. Ia tidak bergerak terburu-buru, melainkan perlahan, membiarkan tubuh Nanda menyesuaikan diri. Ia menggerakkan pinggulnya dengan irama yang pelan dan romantis, seperti dansa yang lembut. Nanda mendesah,
memejamkan mata, merasakan setiap dorongan yang dalam, namun penuh perhatian. Tangan Arka membelai pinggang Nanda, punggungnya, lalu merangkul tubuh ramping itu erat. Ia membisikkan kata-kata cinta dan pujian di telinga Nanda, "Kamu indah, Nanda. Sangat indah. Aku mencintaimu."
Nanda mencengkeram bahu Arka, merasakan sensasi romantis yang memenuhi dirinya. Keintiman ini, rasa sakit yang nyaris tak ada, dan kelembutan Arka membuatnya merasa sepenuhnya menjadi wanita. Air mata haru mengalir di pipinya. "Aku juga mencintai Kak Arka," bisiknya.
Mereka bergerak dalam irama lembut itu untuk waktu yang lama, menikmati kebersamaan, menikmati setiap sentuhan dan desahan, hingga akhirnya mereka mencapai puncak bersamaan, sebuah letupan kenikmatan yang manis dan memabukkan. Arka mencium bibir Nanda, lalu memeluknya erat, menenggelamkan diri dalam kehangatan tubuh Nanda.
Keintiman Anal: Sedang dan Menuntut
Setelah malam pertama yang lembut itu, keintiman anal menjadi bagian tak terpisahkan dari hubungan mereka. Arka tidak lagi perlu bertanya. Nanda telah sepenuhnya menyerahkan diri kepadanya, dan ia percaya pada Arka.
Pada malam-malam berikutnya, gairah mereka tumbuh lebih intens. Arka masih memulai dengan kelembutan, namun setelah Nanda merasa nyaman, ia akan bergerak dengan irama yang lebih cepat dan menuntut.
Arka akan membalik Nanda ke berbagai posisi. Kadang Nanda berada di atasnya, mengendalikan ritme, namun Arka tetap membimbingnya dengan cengkeraman di pinggul. Terkadang, Arka akan membalik Nanda ke posisi doggy style, dengan bokong Nanda terangkat. Dalam posisi ini, dorongan Arka menjadi lebih dalam dan kuat, membuat Nanda merintih. Ia akan mencengkeram sprei atau bantal, merasakan setiap hantaman, setiap gesekan yang membakar.
"Lebih dalam, Kak Arka," Nanda akan mendesah, matanya terpejam, tubuhnya melengkung. Ia mulai menemukan kenikmatan dalam intensitas dan dominasi Arka.
Arka akan membisikkan kata-kata genit di telinga Nanda, kata-kata yang menegaskan kepemilikannya. "Kamu milikku, Nanda. Hanya milikku." Nanda akan merintih, merasakan tubuhnya bergetar di bawah sentuhan Arka. Ia menyukai dominasi itu, merasakan bahwa Arka benar-benar menguasainya, dan itu membuatnya merasa utuh, merasa menjadi wanita yang diinginkan.
Durasi keintiman mereka juga bertambah. Mereka bisa menghabiskan satu atau dua jam dalam aktivitas tersebut, menjelajahi setiap sensasi, setiap desahan, setiap rintihan. Mereka akan mencapai puncak berkali-kali, tubuh mereka berkeringat, napas tersengal-sengal, namun selalu saling mendekap erat setelahnya.
Perubahan Hidup Nando: Semester Ketiga dan Lusi
Hubungan Arka dan Nanda terus berlanjut. Arka semakin mencintai Nanda, dan Nanda semakin nyaman menjadi dirinya yang seutuhnya di hadapan Arka. Memasuki semester ketiga kuliah Nando, Arka melihat bagaimana Nanda tumbuh, semakin percaya diri dengan sisi femininnya. Ia menyadari bahwa Nanda tak hanya puas dengan crossdressing di area pribadi. Ada keinginan yang lebih dalam untuk mengekspresikan diri.
Suatu hari, Arka mendapat ide. Ia mengenal seorang pemilik salon kecantikan dan make up artis yang terkenal di Bandung, bernama Lusi. Lusi adalah seorang waria yang sangat sukses, memiliki salon besar, dan dikenal ramah serta suportif terhadap komunitasnya. Arka berpikir, mungkin Lusi bisa memberikan Nanda ruang yang ia butuhkan untuk berkembang.
"Nanda," kata Arka suatu malam, saat mereka sedang bersantai di apartemen, Nanda dalam balutan gaun tidur favoritnya. "Saya ingin mengenalkanmu pada seseorang. Namanya Lusi. Dia punya salon. Dia... seperti kamu. Dia bisa memberikanmu banyak pelajaran."
Mata Nanda berbinar. Selama ini ia merasa sendirian dalam perjalanannya. "Benarkah, Kak? Aku... aku mau!"
Beberapa hari kemudian, Arka mengajak Nando mengunjungi salon Lusi. Lusi adalah wanita yang karismatik, dengan tawa renyah dan senyum yang menawan. Ia menyambut Nanda dengan hangat. Begitu Nanda bercerita tentang dirinya, tentang bagaimana ia merasa nyaman sebagai Nanda, mata Lusi berbinar penuh pengertian.
"Kamu punya bakat alami, Nanda," kata Lusi, mengamati wajah Nanda. "Kulitmu halus, matamu indah. Tinggal dipoles sedikit, kamu akan jadi permata."
Lusi menawarkan Nanda untuk sesekali datang ke salonnya, belajar make up, menata rambut, dan bahkan sekadar mengobrol tentang pengalaman mereka. Nanda menerima tawaran itu dengan antusias. Setiap ada waktu luang, ia akan menghabiskan waktu di salon Lusi, menyerap setiap ilmu dan cerita dari Lusi dan rekan-rekan waria lainnya. Di sana, Nanda merasa benar-benar diterima, tidak hanya oleh Arka, tetapi juga oleh komunitas yang memahami dirinya seutuhnya.
Nanda mulai belajar teknik make up yang lebih profesional, cara menata rambut wig agar terlihat alami, dan bahkan cara berjalan serta berbicara dengan lebih anggun. Lusi juga mengenalkan Nanda pada komunitas waria di Bandung, memberikannya dukungan dan rasa memiliki yang ia rindukan. Perlahan, Nanda mulai sering tampil sebagai Nanda di area yang lebih umum, meskipun terbatas pada acara-acara komunitas atau kumpul bersama teman-teman baru yang juga waria.
Karena semakin asyiknya Nanda belajar dan bersosialisasi di salon Lusi, serta fokusnya yang semakin bergeser pada identitas barunya, Nanda mulai kehilangan minat pada perkuliahannya. Tugas-tugas sering terbengkalai, ia sering bolos kelas, dan IPK-nya menurun drastis. Arka menyadarinya, namun ia tidak marah. Ia melihat kebahagiaan Nanda yang tak terbendung setiap kali Nanda pulang dari salon Lusi.
Akhirnya, di akhir semester ketiga, Nanda membuat keputusan besar. Ia memutuskan untuk berhenti kuliah.
"Aku tidak bisa lagi fokus, Kak," Nanda menjelaskan kepada Arka. "Hatiku... hatiku ada di salon. Aku merasa di sanalah aku seharusnya berada. Aku ingin menjadi waria seutuhnya, seperti Lusi. Aku ingin bekerja di salon, belajar lebih banyak tentang kecantikan, dan membantu orang lain seperti aku menemukan diri mereka."
Arka memeluknya erat. "Saya mendukungmu, sayang. Apa pun yang membuatmu bahagia, saya akan mendukungnya."
Nanda pun memulai babak baru hidupnya. Ia resmi bekerja di salon Lusi, awalnya sebagai asisten, lalu perlahan naik menjadi make up artis dan penata rambut. Ia tak lagi menyembunyikan sisi Nanda-nya. Di salon, ia adalah Nanda, seorang waria cantik yang ramah dan berbakat.
Keintiman Anal: Intensitas yang Berlebihan (Berlanjut)
Setelah Nanda memutuskan menjadi waria seutuhnya dan bekerja di salon, dominasi Arka tidak serta merta hilang. Sebaliknya, ada kalanya, intensitas Arka dalam keintiman anal justru meningkat. Mungkin karena ia melihat Nanda yang semakin feminin dan percaya diri, hasrat Arka untuk menegaskan kepemilikannya juga semakin kuat.
Nanda, yang kini lebih terbuka dengan identitasnya, terkadang merasa terjebak dalam tuntutan Arka yang ekstrem. Keintiman anal lima ronde setiap malam, dengan intensitas yang makin brutal, kembali menjadi rutinitas. Arka masih sering memaksa Nanda dalam posisi-posisi menuntut, dan Nanda seringkali berakhir dengan rasa sakit dan kelelahan.
Suatu malam, setelah serangkaian ronde yang membuat tubuh Nanda gemetar, Nanda menangis sejadi-jadinya. Bukan lagi tangisan yang tertahan, melainkan isak tangis yang pecah. Ia merasa tubuhnya telah menjadi alat, rasa sakit fisik dan emosinya terlalu besar.
Arka yang mendengar isak tangis itu, tersentak. Ia melihat Nanda yang meringkuk di sudut ranjang, bahunya bergetar, rambut wignya sedikit berantakan. Ia menyadari Nanda bukan lagi menangis karena kenikmatan yang memuncak, melainkan karena penderitaan.
Arka segera mendekap Nanda. "Nanda, sayang... ada apa?"
"Aku... aku sakit, Kak," bisik Nanda di sela isak tangisnya. "Aku... aku takut. Aku merasa... aku bukan Nanda lagi, aku hanya... objek."
Kata-kata itu menghantam Arka keras. Ia melihat bayangan ketakutan di mata Nanda, sebuah pantulan dari dominasinya yang melampaui batas. Ia menyadari ia telah membuat Nanda kehilangan kebahagiaan yang baru saja Nanda temukan.
Rekonsiliasi dan Keutuhan Pasangan Sejenis
Malam itu, Arka dan Nanda berbicara sangat panjang. Arka meminta maaf berulang kali, mengakui kesalahannya karena terlalu egois dan melupakan esensi cinta. Ia berjanji akan berubah. Ia berjanji akan menghargai Nanda seutuhnya, bukan hanya sebagai objek dominasinya.
"Aku mencintaimu, Nanda," bisik Arka, mencium kening Nanda. "Aku ingin kamu bahagia. Aku ingin kita bahagia bersama."
Sejak malam itu, Arka benar-benar berubah. Keintiman mereka tetap ada, dan dominasi Arka masih terasa, namun kini dibungkus dengan rasa hormat dan perhatian yang tulus. Ia belajar untuk membaca isyarat Nanda, kapan harus lembut, kapan harus berhenti. Keintiman anal mereka menjadi ritual cinta dan penerimaan, bukan lagi pemaksaan. Maksimal dua ronde yang memuaskan, penuh dengan sensasi yang dibagi bersama. Nanda tidak lagi merasa sakit atau takut. Ia merasa dicintai dan diinginkan.
Tahun-tahun berlalu. Arka sukses dengan startup desainnya, sementara Nanda tumbuh menjadi make up artis dan penata rambut yang dicari di Bandung. Ia memiliki banyak pelanggan setia, dan ia menjadi inspirasi bagi banyak waria lainnya untuk berani menjadi diri sendiri. Ia adalah Nanda, seorang waria yang cantik, berbakat, dan percaya diri. Ia tidak lagi menyembunyikan siapa dirinya. Ia bangga dengan dirinya.
Di mata masyarakat Bandung yang terbuka, Arka dan Nanda adalah pasangan yang unik, namun harmonis. Tidak ada yang menghakimi hubungan mereka. Mereka adalah Arka dan Nanda, pasangan sejenis yang utuh, saling mencintai dan mendukung.
Arka, sang dominan, menemukan kebahagiaannya dalam mencintai dan melindungi Nanda, memberikannya ruang untuk menjadi dirinya yang paling otentik. Dan Nanda, sang lelaki cantik, menemukan keutuhannya dalam penerimaan Arka dan keberaniannya untuk hidup sesuai dengan jati dirinya, di bawah bimbingan Lusi dan komunitasnya.
Di suatu sore yang tenang, di apartemen mereka di Bandung, Nanda duduk di balkon, memandang senja yang melukis langit dengan warna-warna hangat. Rambut panjangnya terurai indah, wajahnya dipoles sempurna, dan ia mengenakan gaun sutra tipis yang dipilihkan Arka. Arka datang dan memeluknya dari belakang, mencium puncak kepalanya.
"Memikirkan apa, sayang?" bisik Arka.
Nanda tersenyum, menyandarkan kepalanya di dada Arka. "Memikirkan betapa beruntungnya aku."
Arka mengeratkan pelukannya. "Aku juga beruntung memiliki kamu, Nanda. Lelaki cantikku."
Nanda tertawa pelan. Ia adalah Nanda, seorang individu yang kuat, yang telah menemukan suaranya, menemukan cintanya, dan akhirnya, menemukan dirinya yang utuh dan bahagia sebagai seorang waria. Ia telah melalui badai, melewati kehancuran, namun kini ia berdiri kokoh, bahagia, dan bebas, bersama Arka, pasangan sejenisnya yang mencintai dia seutuhnya. Kisahnya adalah bukti bahwa cinta sejati tidak mengenal batas, dan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada penerimaan diri dan keberanian untuk menjadi apa adanya.
TAMAT
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar