Sabtu, 19 Juli 2025

Nadia Elmina

 




Diana muda pernah bermimpi tentang kehidupan yang sederhana namun penuh cinta di desanya, sebuah harapan yang wajar bagi gadis mana pun yang tumbuh di kaki bukit Jawa Barat. Udara Desa Cimekar yang sejuk dan asri, semilir angin yang membawa aroma tanah basah dan harum bunga kopi, adalah saksi bisu hari harinya yang lugu. Ia tahu bagaimana cara menenun kain kain indah dengan motif tradisional, diajarkan oleh neneknya sejak ia masih anak anak. Setiap helai benang yang ia rajut adalah cerminan dari kesabaran dan kelembutan, juga harapan akan masa depan yang cerah. Ia membayangkan kain kain itu akan menjadi selimut hangat bagi anak anaknya kelak, atau hiasan dinding yang mempercantik rumah tangganya. Namun, takdir memiliki rencana lain, yang begitu kejam, hingga impian itu luluh lantak menjadi serpihan belaka.

Malam itu, di sebuah sudut desa yang tenang, di antara rimbunnya pepohonan dan suara jangkrik yang sahut menyahut, hidup Diana direnggut paksa. Pemerkosaan brutal itu tidak hanya meninggalkan luka fisik yang mengerikan, tetapi juga merobek jiwanya, menghancurkan setiap helai kepercayaan dan harapan yang pernah ia miliki. Rasa sakit itu tak hanya menggerogoti tubuhnya, tetapi juga meracuni pikirannya, menanamkan kebencian yang mendalam, sebuah bibit pahit yang kelak tumbuh menjadi pohon besar beracun. Ia membenci para pelakunya, membenci malam itu, dan yang paling parah, ia mulai membenci esensi maskulinitas itu sendiri. Bagi Diana, laki laki adalah simbol dari kebuasan, kekerasan, dan kehancuran. Mereka adalah monster, perenggut kedamaian, penghancur impian.

Berbulan bulan setelah tragedi itu, di tengah kesunyian dan keputusasaan yang melingkupinya, Diana mendapati dirinya hamil. Kabar itu seharusnya membawa sedikit kelegaan, secercah harapan di tengah kegelapan. Namun, bagi Diana, itu adalah pukulan telak yang mengembalikan semua kengerian. Bagaimana mungkin ia membawa benih dari kebiadaban itu? Setiap gerakan kecil di perutnya adalah pengingat akan trauma yang ingin ia kubur dalam dalam. Ketakutan akan melahirkan seorang "monster" seperti mereka yang telah merenggut kehidupannya, menjadi obsesi yang menguasai akalnya. Perutnya yang membesar terasa seperti beban, bukan anugerah, sebuah pengingat abadi akan malam yang menghancurkan itu. Ia sering memegang perutnya, merasakan tendangan kecil di dalamnya, dan setiap kali itu terjadi, air mata akan jatuh membasahi pipinya, bercampur dengan rasa takut dan penyesalan yang dalam. Ia berbicara pada janin itu, berbisik meminta maaf atas takdir yang akan ia paksakan, sebuah takdir yang ia yakini sebagai satu satunya cara untuk melindunginya dari dunia kejam yang ia kenal.

Ketika hari persalinan tiba, di sebuah gubuk sederhana di pedalaman desa, hanya ditemani seorang dukun beranak tua yang terbiasa dengan kesunyian, Diana melahirkan seorang bayi. Tangisan pertamanya mengisi gubuk itu, mengoyak keheningan malam yang sunyi. Dengan tangan bergetar, Diana mengangkat selimut tipis yang menutupi bayi mungil itu. Sebuah tarikan napas tertahan keluar dari bibirnya. Itu adalah bayi laki laki. Sebuah gumpalan kecil daging dan darah, namun bagi Diana, ia adalah bayangan menakutkan dari sang pemerkosa, sebuah ancaman yang lahir dari rahimnya sendiri, sebuah simbol yang harus ia ubah. Matanya menatap tajam pada fitur fitur kecil bayi itu, mencari jejak jejak kemaskulinan yang begitu ia benci, dan ia bersumpah untuk menghapusnya.

Di detik itu juga, di tengah deru napas yang memburu dan air mata yang tak henti mengalir, Diana membuat sebuah keputusan ekstrem, sebuah sumpah diam diam yang akan mengubah takdir sang bayi selamanya. "Tidak," bisiknya pelan, suaranya serak dan gemetar, nyaris tidak terdengar oleh dukun beranak. "Aku tidak akan membiarkanmu tumbuh menjadi mereka. Kau tidak akan menjadi laki laki." Dalam pikiran Diana yang sudah terdistorsi oleh trauma, inilah satu satunya cara untuk melindungi dirinya, untuk menghapus jejak kegelapan itu. Ia akan menghapus identitas biologis sang bayi, menciptakan realitas baru yang sepenuhnya ia kontrol, sebuah realitas yang bebas dari bayang bayang kekejian yang menghantuinya. Ia meyakini, dengan keyakinan yang membara, bahwa tindakan ini adalah bentuk kasih sayang tertinggi, sebuah pengorbanan untuk melindungi anaknya dari kejahatan dunia.

Maka, tanpa ragu, bayi laki laki itu diberi nama Nadia Elmina. Sebuah nama yang cantik, lembut, dan feminin, sebuah identitas yang dipaksakan bahkan sebelum ia membuka mata sepenuhnya ke dunia. Dukun beranak itu memandang Diana dengan tatapan bingung. "Nona Diana, ini kan anak laki laki," katanya hati hati, mencoba menyuarakan keanehan itu. Diana hanya menggelengkan kepala, tatapannya kosong namun penuh tekad yang tidak tergoyahkan. "Dia Nadia. Dia perempuan." Dan tidak ada seorang pun di desa yang berani mempertanyakan lebih jauh keputusan Diana. Ia adalah korban, dan dalam masyarakat pedesaan yang sederhana itu, simpati seringkali mengalahkan rasa ingin tahu. Warga desa yang mengetahui kisah pilu Diana hanya bisa menghela napas, percaya bahwa trauma yang ia alami telah sedikit mengganggu pikirannya, namun mereka tidak mencampuri urusan pribadinya.

Sejak saat itu, setiap aspek kehidupan Nadia Elmina dirancang untuk menegaskan identitas perempuan yang Diana ciptakan. Kain kain tenunan indah yang dulu ia rajut dengan cinta, kini menjadi gaun gaun kecil yang dikenakan Nadia. Setiap gaun dijahit dengan hati hati, dengan motif bunga atau kupu kupu yang feminin, seolah Diana ingin menutupi identitas asli Nadia dengan lapisan demi lapisan kain. Rambutnya tidak pernah dipotong pendek, melainkan dibiarkan tumbuh panjang, diikat pita pita warna warni yang Diana beli dari pasar desa setiap kali ia berani keluar rumah. Pita pita itu, meskipun sederhana, adalah simbol dari penolakan Diana terhadap maskulinitas. Mainan Nadia adalah boneka kain yang Diana buat sendiri, peralatan masak mini dari tanah liat, atau set cangkir teh kecil dari batok kelapa, bukan bola atau mobil mobilan kayu yang biasa dimainkan anak anak laki laki di desa. Diana bahkan memalsukan akta kelahiran Nadia, menuliskan jenis kelamin "perempuan" di sana, sebuah kebohongan formal yang mengukuhkan tekadnya, sebuah bukti nyata dari obsesinya.

Rumah mereka berdiri agak terpencil dari permukiman utama Desa Cimekar, dikelilingi rimbunnya hutan dan kebun teh yang menghijau. Lokasi ini, yang dulunya dipilih Diana karena ketenangan dan privasinya, kini menjadi penjara yang sempurna bagi Nadia. Nadia Elmina tumbuh tanpa pernah berinteraksi dengan anak anak lain. Ia tidak pernah tahu bagaimana rasanya berlarian di ladang jagung bersama teman teman, atau bermain petak umpet di balik pohon kelapa. Dunianya hanya berputar di sekitar Diana, dan empat dinding rumah sederhana itu, yang seolah menjadi benteng pelindung sekaligus kurungan bagi jiwanya yang polos. Ia tidak mengenal konsep "teman sebaya," ia hanya mengenal ibunya sebagai satu satunya teman, satu satunya dunia.

Kehidupan mereka diselimuti kesunyian yang tebal, hanya dipecah oleh bisikan bisikan Diana yang terus menerus mendoktrin Nadia. "Nadia cantik sekali, seperti bunga melati," Diana akan berkata sambil membelai rambut Nadia. "Anak perempuan yang baik selalu sopan, Nak," bisiknya lagi, saat mengajari Nadia cara duduk dengan lutut rapat atau cara berjalan yang anggun. "Ini cara perempuan berjalan, Nak." Nadia menyerap setiap kata itu seperti spons, membentuk pemahamannya tentang diri dan dunia. Ia melihat dirinya di cermin, seorang anak kecil dengan rambut panjang, gaun cantik, dan mata polos yang mencerminkan keyakinan mutlak pada setiap kata ibunya. Ia tidak pernah merasa ada yang salah, karena tidak ada pembanding, tidak ada suara lain yang membisikkan kemungkinan berbeda.

Di balik ketenangan yang tampak, suasana rumah itu diselimuti kecemasan Diana yang tak pernah padam. Setiap suara keras dari luar, setiap bayangan yang melintas di jendela, memicu ketakutan lama dalam dirinya, mengingatkannya pada malam terkutuk itu. Ia selalu waspada, matanya mengawasi Nadia dengan intens, seolah khawatir akan ada sesuatu yang bisa mengancam identitas palsu yang telah ia bangun dengan susah payah. Ia tidak mengizinkan Nadia bermain di luar, bahkan di halaman rumah mereka sendiri yang dikelilingi pagar bambu tinggi. Alasan yang ia berikan selalu sama, "Di luar sana banyak bahaya, Nak. Banyak orang jahat. Lebih aman di dalam sini bersama Ibu." Nadia, yang tak pernah tahu dunia lain, menerima perkataan itu tanpa bantahan. Ia percaya ibunya, ia mencintai ibunya, dan ia patuh pada setiap perkataan Diana. Kepatuhan Nadia bukan hanya karena rasa hormat, tetapi juga karena ia tidak memiliki pilihan lain, tidak mengenal kebebasan.

Sore hari di Desa Cimekar selalu ditandai dengan suara azan dari masjid kecil yang samar samar terdengar, dan aroma masakan dari dapur tetangga yang kadang terbawa angin pegunungan. Namun, bagi Nadia, dunia luar itu adalah misteri yang tak terjangkau. Ia hanya bisa melihatnya dari balik jendela yang tertutup rapat, seperti menonton pertunjukan tanpa bisa ikut bermain. Matanya yang polos memandang anak anak desa lain yang berlarian bebas, bermain layangan di lapangan terbuka yang jauh, atau mandi di sungai dengan tawa riang. Sebuah kerinduan samar pernah terlintas di benaknya, sebuah bisikan kecil yang cepat padam. Namun, dengan cepat ditepis oleh bisikan Diana, "Nadia Elmina tidak seperti mereka. Nadia Elmina berbeda. Nadia Elmina istimewa." Dan bagi Nadia, "istimewa" berarti "harus dilindungi" dalam kurungan emas yang dibangun oleh trauma ibunya, sebuah perlindungan yang ironisnya adalah bentuk kekerasan terselubung.

Begitulah, di sebuah desa terpencil bernama Cimekar di Jawa Barat, di bawah langit yang sama dengan kota Bandung yang jauh, sebuah kehidupan baru dimulai dengan kebohongan. Nadia Elmina, seorang bayi laki laki yang dipaksa menjadi perempuan, hidup dalam isolasi, tanpa tahu apa apa tentang kebenaran dirinya, sepenuhnya di bawah kendali seorang ibu yang jiwanya telah hancur. Kain kain indah tenunan Diana yang seharusnya menjadi simbol kelembutan dan kehangatan, kini terasa seperti tirai tebal yang menutupinya dari dunia, dari dirinya sendiri, dari jati dirinya yang sejati. Setiap detik, setiap hari, setiap bulan, adalah upaya Diana untuk mengubur kebenaran itu dalam dalam, membangun sebuah identitas palsu yang kokoh, berharap ia tidak akan pernah terkuak.


Waktu merangkak perlahan di Desa Cimekar. Nadia Almina, dengan mata polos dan senyum yang jarang, kini menginjak usia lima tahun. Ia adalah anak yang penurut, seperti selembar kanvas kosong yang siap dilukis. Dan Diana, sang ibu, adalah pelukisnya, dengan kuas yang terbuat dari obsesi dan trauma. Sejak Nadia genap berusia lima tahun, Diana memulai fase baru dalam rencana besarnya, sebuah langkah keji yang akan membentuk Nadia, tidak hanya dari pikiran, tetapi hingga ke setiap sel tubuhnya.

Di bawah senja yang temaram, saat burung-burung mulai kembali ke sarangnya dan suara jangkrik mengisi udara, Diana akan menyiapkan makan malam Nadia. Bubur nasi hangat dengan lauk seadanya, disajikan dengan mangkuk bergambar bunga. Namun, ada satu tambahan rahasia. Dengan tangan gemetar, Diana akan menghancurkan sebutir pil kecil berwarna putih, menghaluskannya hingga menjadi bubuk tak terlihat. Bubuk itu, dengan hati hati, ia campurkan ke dalam bubur Nadia, mengaduknya perlahan hingga larut sempurna. Itu adalah pil pertama dari banyak pil lain yang akan masuk ke tubuh Nadia, pil yang membawa serta janji palsu tentang feminitas, dan kutukan atas identitas aslinya.

Diana mengetahui pil pil ini dari sebuah buku medis bekas yang ia temukan di pasar loak kota beberapa waktu lalu. Buku itu mengulas tentang terapi hormon bagi wanita trans, namun Diana menafsirkan isinya secara keliru, atau mungkin sengaja keliru, sebagai panduan untuk "mengubah" anaknya menjadi perempuan sejati. Dosis yang ia berikan pada Nadia, tanpa konsultasi medis, tanpa pengetahuan yang memadai, adalah dosis tinggi, jauh melampaui batas aman untuk tubuh sekecil Nadia. Ia melakukannya secara sembunyi sembunyi, penuh kerahasiaan, seolah tindakannya adalah sebuah ibadah yang harus dijaga dari pandangan dunia.

Proses "feminisasi" Nadia dimulai dengan cara yang halus, nyaris tak terasa. Awalnya, Nadia hanya merasakan tubuhnya sedikit lemas, sering mengantuk di siang hari, dan terkadang mual. Ia mengeluh pada Diana, yang akan memeluknya erat, membisikkan kata kata penenang, "Tidak apa apa, Sayang. Nadia hanya sedikit lelah. Anak perempuan memang butuh istirahat lebih." Nadia percaya. Ia tidak tahu bahwa rasa lemas itu adalah reaksi awal dari hormon yang mulai bekerja dalam sistem tubuhnya yang mungil.

Secara mental, proses indoktrinasi Diana juga semakin intens. Setiap hari, Diana akan menghabiskan waktu berjam jam dengan Nadia, menceritakan dongeng tentang putri putri cantik, tentang kelembutan wanita, tentang peran seorang ibu. Ia tidak pernah absen menyebut Nadia sebagai "anak perempuan Ibu," "putri kecil Ibu," atau "gadis manis Ibu." Kata kata itu diulang, diulang, dan diulang lagi, hingga menancap kuat di benak Nadia, membentuk fondasi pemahaman dirinya.

"Anak perempuan yang baik itu harus lembut, Nak," Diana akan mengusap rambut panjang Nadia yang terurai. "Tidak boleh kasar, tidak boleh berlarian seperti anak laki laki. Lihat, Ibu juga selalu begini." Ia akan mencontohkan cara berjalan yang anggun, cara berbicara yang pelan, cara tertawa yang tertahan. Nadia menirukannya dengan patuh, seperti seekor anak burung yang meniru induknya. Ia tidak tahu ada pilihan lain, tidak tahu ada cara lain untuk menjadi seorang manusia.

Kehidupan Nadia sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Gubuk mereka di pinggir Desa Cimekar adalah dunianya. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah, tidak pernah tahu bagaimana riuhnya tawa anak anak di taman bermain, atau bagaimana serunya berebut bola di lapangan desa. Teman temannya adalah boneka kain yang Diana buatkan, atau binatang binatang kecil yang sesekali berani mendekat ke halaman rumah. Diana adalah gurunya, segalanya. Ia mengajari Nadia membaca, menulis, berhitung, dan semua pelajaran hidup yang menurutnya penting. Namun, pelajaran terpenting yang ia tanamkan adalah: Nadia adalah perempuan, murni perempuan.

"Di luar sana itu berbahaya, Nak," Diana akan berkata setiap kali Nadia mencoba mendekati pintu atau jendela. "Ada banyak orang jahat. Ibu tidak mau Nadia terluka." Trauma Diana memproyeksikan dirinya sebagai benteng, tetapi juga sebagai penjara bagi Nadia. Ia takut dunia akan merenggut Nadia darinya, atau lebih parah, mengungkap kebenaran yang ia coba sembunyikan. Ketakutannya begitu besar hingga ia rela mengorbankan masa kecil Nadia, kebebasan Nadia, bahkan identitas Nadia.

Hari hari Nadia berlalu dalam keseragaman. Bangun, sarapan dengan pil tersembunyi, belajar dengan Diana, bermain boneka, membantu pekerjaan rumah tangga yang ringan, lalu tidur. Tidak ada petualangan, tidak ada eksplorasi, tidak ada kontak dengan realitas di luar benteng ibunya. Pikiran Nadia, yang masih sangat muda, tidak memiliki pembanding. Ia melihat tubuhnya yang perlahan berubah, merasakan sensasi baru yang aneh, dan mendengarkan bisikan bisikan Diana, dan ia menerima semua itu sebagai bagian dari menjadi "perempuan." Ia melihat pantulan dirinya di cermin: seorang anak kecil berambut panjang, dengan gaun sederhana, dan tatapan yang belum tersentuh keraguan. Ia adalah Nadia Almina, gadis kecil yang Diana ciptakan, seutuhnya.

Diana percaya bahwa dengan cara ini, ia telah menyelamatkan Nadia dari nasib buruk, dari identitas yang ia benci. Ia tidak melihat bahwa ia sedang melakukan kekerasan lain, kekerasan yang lebih halus namun menghancurkan. Ia tidak sadar bahwa setiap pil yang ia berikan, setiap doktrin yang ia tanamkan, adalah tembok bata yang mengurung jiwa Nadia, mempersiapkan tanah subur bagi kehancuran yang lebih besar di masa depan. Di tengah kesunyian Desa Cimekar, di dalam gubuk terpencil itu, sebuah eksperimen identitas yang keji sedang berlangsung, dibungkus dalam selimut cinta yang salah arah.

Di Desa Cimekar, di dalam gubuk yang berdiri agak terpencil, Nadia tumbuh seperti bunga langka yang tak pernah melihat matahari penuh. Dunia luar adalah bisikan samar yang sesekali tertiup angin melalui celah jendela, suara tawa anak-anak yang jauh, atau gemerisik dedaunan di kebun teh yang mengelilingi rumah. Namun, bagi Nadia, semua itu hanyalah latar belakang dari realitasnya yang tunggal dan tak terbantahkan: dirinya adalah seorang "gadis" yang hidup bersama ibunya, Diana. Ia tidak tahu ada dunia yang lebih luas, tidak tahu ada kehidupan di luar pagar kayu yang mengelilingi rumah mereka. Keterbatasan ruang dan pengalaman ini membuat pikirannya menjadi sempit, hanya mampu memproses informasi yang diberikan Diana.

Rutinitas harian Nadia adalah sebuah siklus yang teratur, berulang tanpa variasi berarti, mengukir alur kehidupannya seperti alur tenunan kain. Pagi hari dimulai dengan sinar matahari yang menembus celah papan, membangunkan Nadia dari tidurnya di atas tikar pandan. Aroma tanah basah dan embun pagi dari kebun teh tercium samar, sebuah keharuman alami yang menjadi satu satunya wangi dunia luar yang ia kenal. Diana sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan sederhana: bubur singkong atau nasi jagung hangat, disajikan dengan lauk seadanya seperti tempe goreng atau telur dadar dari ayam peliharaan mereka. Selalu ada satu tambahan rahasia: pil pil kecil yang dihancurkan menjadi bubuk dan larut dalam makanannya. Nadia akan memakan sarapannya dengan lahap, merasakan energi yang aneh mengalir dalam tubuhnya, sebuah sensasi yang ia anggap normal. Ia tidak pernah mempertanyakan mengapa ia selalu diberi bubuk aneh itu, ia hanya tahu itu adalah bagian dari rutinitas paginya.

Setelah sarapan, waktu Nadia sepenuhnya didedikasikan untuk belajar bersama Diana. Meja kayu kecil di tengah ruangan menjadi "sekolah" mereka, diterangi cahaya alami dari jendela kecil. Diana, dengan kesabaran yang luar biasa namun juga dengan keteguhan yang obsesif, mengajari Nadia membaca, menulis, dan berhitung. Ia menggunakan buku buku tua yang usang, sisa sisa pendidikan dasarnya, atau majalah bekas yang kadang ia temukan di pasar desa. Materi pelajaran mereka terbatas, namun Diana memastikan Nadia menguasai dasar dasar dengan baik. Nadia adalah murid yang cerdas, daya serapnya tinggi, dan ia menikmati waktu belajar bersama ibunya. Huruf demi huruf, angka demi angka, mengisi otaknya yang haus akan pengetahuan, tetapi semua itu dibingkai dalam narasi tunggal yang Diana tanamkan.

"Huruf ini untuk 'cantik', Nak," Diana akan menunjuk huruf C dengan jari kurusnya. "Seperti Nadia." "Angka satu itu seperti perempuan yang mandiri, Sayang," bisiknya, sebuah kalimat yang kontradiktif dengan kenyataan bahwa Nadia sepenuhnya bergantung pada Diana. Ia tidak pernah diajari konsep kemandirian dalam arti sebenarnya, hanya kemandirian dalam lingkup rumah tangga.

Setiap pelajaran, setiap kisah, selalu dikaitkan dengan konsep kewanitaan. Diana tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memperkuat identitas perempuan Nadia. Dongeng yang diceritakan bukan lagi hanya tentang putri putri di istana, tetapi tentang perempuan perkasa dari sejarah, namun versi yang sudah disaring dan diromantisasi, jauh dari kenyataan yang keras. Ia menceritakan tentang Kartini yang berjuang untuk pendidikan perempuan, tentang Dewi Sartika yang membuka sekolah untuk anak perempuan, namun selalu dengan penekanan pada kelembutan, kesabaran, dan perjuangan di balik layar, bukan kekuatan fisik atau keberanian yang bersifat maskulin. Nadia, yang tidak memiliki akses informasi lain, menyerap semua itu sebagai kebenaran mutlak. Ia menganggap bahwa peran perempuan adalah seperti yang Diana ajarkan, dan ia merasa senang menjadi bagian dari identitas itu.

Setelah jam belajar usai, Nadia akan membantu Diana dengan pekerjaan rumah tangga. Menyapu lantai tanah yang dingin dengan sapu lidi, mencuci piring di bak air sederhana di luar, atau membantu Diana merapikan hasil tenunan kain yang kering di jemuran bambu. Ia melakukannya dengan cekatan, dengan gerakan yang sudah terbiasa dengan kehati hatian yang diajarkan ibunya. "Perempuan itu harus pintar mengurus rumah, Nadia. Nanti kalau sudah besar, Nadia akan punya rumah sendiri, harus bersih dan rapi." Kalimat kalimat itu adalah bagian dari kurikulum Diana, mempersiapkan Nadia untuk sebuah masa depan yang ia rancang sendiri, sebuah masa depan di mana Nadia akan menjadi ibu rumah tangga yang sempurna, jauh dari segala bentuk maskulinitas.

Sore hari, ketika udara mulai sejuk dan kabut mulai turun tipis dari pegunungan, Nadia sering duduk di teras kecil rumah mereka. Diana biasanya sibuk dengan tenunannya atau merawat kebun kecil mereka yang ditumbuhi singkong dan cabai. Nadia akan memainkan boneka kainnya, mengganti baju mereka, menyisir rambut benangnya, dan bercerita pada mereka tentang kisah kisah yang Diana dongengkan. Boneka boneka itu adalah teman rahasianya, satu satunya teman sebaya yang ia miliki. Ia menamai boneka bonekanya dengan nama nama perempuan yang indah, mencerminkan imajinasinya yang terbatas.

Dari teras itu, mata Nadia kadang akan menangkap pemandangan yang samar dari jauh: anak anak desa yang bermain di lapangan terbuka, tawa mereka yang melayang bersama angin, atau suara teriakan riang saat mereka berlomba menaiki pohon. Nadia tidak tahu itu adalah anak laki laki atau perempuan, ia hanya tahu itu adalah "mereka yang di luar sana," "mereka yang ramai." Sebuah rasa penasaran, seperti gelembung kecil, sesekali muncul di benaknya. Namun, sebelum gelembung itu pecah, Diana akan segera memanggilnya masuk, atau mengalihkan perhatiannya. "Lihat Nadia, kupu kupu itu cantik sekali. Warnanya seperti gaun baru Nadia nanti." Diana selalu punya cara untuk mengalihkan pandangan Nadia dari realitas luar, membawa fokusnya kembali ke dalam kepompong yang ia ciptakan. Ia selalu mengawasi, memastikan tidak ada celah bagi dunia luar untuk menembus bentengnya.

Perubahan fisik pada Nadia, meskipun perlahan, mulai semakin nyata. Kulitnya yang mulanya agak gelap karena paparan matahari saat masih bayi, kini menjadi lebih cerah dan halus, nyaris transparan di beberapa bagian. Rambutnya tumbuh semakin panjang dan lebat, selalu dirawat dengan hati hati oleh Diana. Punggungnya tidak lagi sekekar bayi laki laki, melainkan mulai menunjukkan kelengkungan yang lebih halus. Pinggulnya sedikit melebar, meski masih sangat minim. Ia tidak tahu bahwa ini adalah efek dari hormon yang terus menerus membanjiri tubuhnya. Ia hanya merasa tubuhnya tumbuh, seperti anak anak lain. Diana akan membelai pipi Nadia, mengagumi perubahan itu, dan berkata, "Nadia semakin cantik. Persis seperti putri." Kata kata itu adalah penegasan, sebuah mantra yang mengukuhkan kebohongan.

Nadia sepenuhnya mempercayai narasi ibunya tentang dirinya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin tua yang buram di dinding, melihat seorang "gadis kecil" berambut panjang, dengan gaun sederhana, dan tatapan polos yang mencerminkan keyakinan mutlak pada setiap kata ibunya. Ia tidak pernah mempertanyakan mengapa ia tidak memiliki "lubang" seperti yang ia lihat pada gambar anatomi perempuan di buku kedokteran bekas Diana. Ia hanya tahu bahwa bagian itu adalah bagian yang "berbeda," bagian yang harus dijaga dari sentuhan. Diana selalu menekankan privasi dan pentingnya menjaga tubuh. "Tubuh Nadia itu suci, Nak. Tidak boleh ada yang melihat, kecuali Ibu." Kalimat itu mengukuhkan rasa malu dan kerahasiaan seputar alat kelaminnya yang aneh, yang semakin menyusut seiring waktu.

Tidak ada cerminan lain selain yang Diana berikan. Nadia tidak punya teman sebaya untuk membandingkan, tidak punya sekolah untuk melihat standar lain, tidak punya televisi atau radio untuk mendengar cerita di luar sana. Diana adalah satu satunya jendela Nadia ke dunia, dan jendela itu hanya menampilkan pemandangan yang sudah disaring dan diubah. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan narasi "Nadia adalah perempuan" akan disembunyikan atau diabaikan. Diana akan membuang majalah yang menampilkan pria berotot, atau cepat cepat menutup buku yang berisi gambar anatomi tubuh laki laki jika Nadia tak sengaja melihatnya. Ia sangat protektif, nyaris posesif, terhadap sumber informasi Nadia.

Di malam hari, setelah Nadia terlelap, Diana sering duduk di sampingnya, memandangi wajah damai putranya yang kini tampak begitu feminin. Ada campuran emosi yang tak terurai di mata Diana: cinta yang mendalam, penyesalan yang pahit, dan rasa takut yang tak berkesudahan. Ia tahu apa yang ia lakukan pada Nadia adalah hal yang kejam. Ia tahu ia telah merampas identitas asli putranya. Namun, di dalam pikirannya yang terganggu, ini adalah satu satunya cara untuk melindunginya dari "keganasan" dunia laki laki, untuk memastikan bahwa trauma yang ia alami tidak akan terulang pada Nadia. Ini adalah tindakannya untuk "menyelamatkan" putranya, meskipun dengan cara yang menghancurkan. Ia akan mengusap kening Nadia dengan lembut, lalu menghela napas panjang, sebuah napas yang membawa serta beban rahasia yang mengerikan.

Kepompong itu semakin tebal. Dindingnya semakin kokoh, dan Nadia semakin dalam terbenam di dalamnya. Ia tidak tahu bahwa di balik selubung kecantikan yang dipaksakan itu, ada identitas lain yang terperangkap, berjuang untuk bernapas. Ia tidak tahu bahwa ia hidup dalam sebuah kebohongan yang rumit, yang dibangun dari puing puing jiwa ibunya. Nadia, gadis kecil di Desa Cimekar, adalah cerminan sempurna dari impian rusak Diana, sebuah karya agung dari trauma dan obsesi. Dan ia, dengan polosnya, menerima semua itu sebagai takdirnya. Ia tidak tahu apa itu laki laki, ia hanya tahu bahwa ia adalah perempuan, seutuhnya, sesuai bisikan ibunya.

Setahun kemudian, di tengah rutinitas yang tak berubah, Diana membuat keputusan mengejutkan. Ia menjual gubuk kecil mereka di Desa Cimekar. Alasan yang ia berikan pada Nadia adalah "udara di sini sudah tidak baik untuk kita, Nak." Namun, dalam hati Diana, ia merasa Desa Cimekar terlalu banyak menyimpan kenangan pahit, dan ia berharap pindah akan menghilangkan jejak masa lalu. Mereka pindah ke Bandung. Diana membeli sebuah rumah kecil di salah satu sudut kota Bandung, bukan di pusat keramaian, melainkan di area yang relatif tenang dan memiliki beberapa pohon, sedikit menyerupai suasana desa yang ia kenal.

Meskipun kini mereka berada di kota, kehidupan Nadia tidak banyak berubah. Diana memastikan Nadia tetap terisolasi dari dunia luar. Jendela rumah mereka di Bandung juga sering tertutup, Nadia tidak diizinkan keluar rumah sendirian, dan tidak ada teman sebaya yang datang berkunjung. Sekolah? Itu tetap sebuah konsep asing. Diana masih mengajarinya di rumah, masih mencampur pil dalam makanannya, dan masih mendoktrinnya bahwa ia adalah perempuan. Satu satunya perbedaan adalah suara bising kota yang kadang terdengar samar, dan pemandangan bangunan yang lebih padat dari yang ia lihat di desa. Namun, bagi Nadia, dunia tetap sebatas empat dinding rumah mereka, di mana ia terus tumbuh dalam kepompong identitas palsu yang Diana bangun dengan begitu telaten.


Pindah ke Bandung tidak membawa perubahan berarti pada isolasi Nadia. Dinding rumah kecil di sudut kota itu, meski kini terbuat dari bata dan bukan lagi bilik bambu, tetap menjadi benteng yang tak bisa Nadia tembus. Suara klakson kendaraan yang samar dari jauh, desau angin yang kini membawa aroma polusi bercampur hujan, adalah satu satunya tanda bahwa mereka kini berada di kota yang lebih besar. Namun, dunia Nadia tetaplah Diana, empat dinding rumah, dan rutinitas yang makin mengikat. Jika di Desa Cimekar isolasi Nadia adalah kepompong yang lembut, di Bandung, kepompong itu terasa semakin keras, membentuk dirinya tanpa ampun.

Kepindahan ini justru mempermudah Diana untuk melanjutkan agenda feminisasinya. Di Bandung, Diana memiliki koneksi baru. Dengan alasan "penyubur kandungan" atau "vitamin hormonal untuk anak gadis yang susah haid," ia berhasil mendapatkan akses ke suntikan suntikan hormon dosis tinggi melalui kenalannya, seorang bidan desa yang baru saja pindah ke kota dan masih polos, mudah percaya pada cerita Diana yang penuh kepalsuan. Suntikan ini, menurut Diana, akan "menyempurnakan" Nadia, membuatnya menjadi perempuan sejati, persis seperti obsesinya. Pil yang dicampur dalam makanan Nadia kini dilengkapi dengan suntikan yang diberikan secara berkala, setiap beberapa minggu, tanpa Nadia tahu apa pun tentang cairan yang meresap ke dalam tubuhnya.

Usia Nadia semakin mendekati pubertas, tubuhnya kini menginjak angka sepuluh tahun. Diana semakin intens memberikan terapi hormon. Suntikan itu lebih cepat dan kuat efeknya dibandingkan pil semata. Nadia mulai merasakan sensasi aneh yang tak pernah ia alami sebelumnya. Awalnya hanya rasa pegal di area dada, seperti terbentur sesuatu. Kemudian, sensasi itu berubah menjadi nyeri tumpul, seolah ada sesuatu yang tumbuh di bawah kulitnya. Ia mengeluh pada Diana, menyentuh dadanya yang terasa nyeri.

"Sakit, Ibu," kata Nadia dengan mata berkaca kaca, menyentuh bagian yang kini terasa bengkak.

Diana tersenyum lembut, membelai rambut Nadia, dan memeluknya erat. "Tidak apa apa, Sayang. Itu hal yang sangat normal bagi anak perempuan sepertimu. Itu tandanya Nadia akan tumbuh besar, sebentar lagi akan menjadi gadis dewasa yang cantik." Diana berbicara dengan suara menenangkan, seolah meyakinkan dirinya sendiri lebih dari meyakinkan Nadia. "Itu namanya payudara, Nak. Semua perempuan punya itu. Itu tanda anugerah." Nadia, dengan segala kepolosannya, mempercayai setiap kata ibunya. Jika Diana berkata itu normal, maka itu normal. Jika Diana berkata itu tanda cantik, maka itu cantik. Ia tidak punya referensi lain, tidak punya teman untuk bertanya, tidak punya buku yang menjelaskan tentang tubuh manusia yang sebenarnya.

Suatu pagi yang cerah, ketika Nadia bangun, ia menemukan sebuah benda baru di atas tempat tidurnya. Sebuah bra kecil berwarna putih gading, dengan renda tipis di tepinya. Diana sudah menunggunya dengan senyum di bibir. "Hari ini Nadia akan memakai ini, Sayang. Ini adalah pakaian khusus untuk anak perempuan yang sudah besar, yang sudah punya payudara." Nadia menatap bra itu dengan bingung, merasa canggung. Diana dengan sabar membantunya memakainya, mengaitkan pengait di belakang punggung Nadia. Sensasi kain yang membebat dadanya terasa aneh, sedikit sesak, namun juga menimbulkan rasa ingin tahu yang aneh. Diana terus memuji, "Lihat, Nadia semakin terlihat seperti gadis sungguhan sekarang. Sangat cantik." Kata kata itu mengalir seperti madu, menutupi kebingungan Nadia dengan rasa bangga semu.

Seiring berjalannya bulan, perubahan itu menjadi semakin signifikan. Payudara Nadia tumbuh, perlahan namun pasti. Di usia dua belas tahun, Nadia sudah memiliki tonjolan yang jelas di dadanya, meskipun ukurannya belum terlalu besar. Diana semakin senang melihat perubahan ini, seolah melihat sebuah mahakarya yang ia ukir dengan tangannya sendiri. Ia membelikan Nadia bra pertamanya, yang ia sebut "pakaian khusus untuk anak perempuan yang sudah besar." Nadia memakainya dengan canggung, merasa aneh dengan benda yang membebat dadanya, tetapi ia tetap menurut.

Selain itu, Diana juga mulai membiasakan Nadia untuk berpakaian lebih terbuka di rumah. Bukan lagi gaun-gaun longgar yang menutupi seluruh tubuhnya, melainkan tanktop tipis dan celana pendek ketat. "Di rumah kita harus nyaman, Nak. Lagipula, tubuh perempuan itu indah, tidak perlu disembunyikan," kata Diana, menatap Nadia dengan tatapan yang sulit diartikan. Nadia, yang selalu patuh, mengenakan pakaian itu tanpa protes. Ia merasa sedikit risih dengan kain yang terlalu menempel di kulitnya, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang baru tumbuh, terutama dadanya. Namun, ia tidak berani mempertanyakan kehendak ibunya. Ia hanya tahu bahwa ini adalah bagian dari "menjadi perempuan," bagian dari pelajaran yang Diana berikan. Diana sering memuji Nadia saat ia mengenakan pakaian itu, mengatakan betapa 'dewasa' dan 'cantiknya' Nadia sekarang, mengukuhkan pemikiran Nadia bahwa ini adalah hal yang benar dan wajar.

Keanehan tubuh Nadia tidak berhenti di situ. Selain pertumbuhan payudara yang ia anggap normal, ada hal lain yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang lebih pribadi dan membingungkan. Alat kelaminnya. Sejak kecil, Diana selalu menekankan bahwa area itu adalah "bagian yang sangat pribadi," tidak boleh disentuh, tidak boleh dilihat siapa pun kecuali Diana saat memandikannya. Namun, Nadia sadar, bagian itu terasa aneh. Ia tidak memiliki bentuk seperti yang ia lihat pada gambar wanita di buku buku Diana yang sudah disaring. Ia hanya memiliki tonjolan kecil yang semakin mengecil seiring waktu, dan dua "bola" di bawahnya yang juga menyusut, nyaris tidak terlihat.

Setiap kali ia buang air kecil, ia menyadari fungsinya hanya sebatas tempat pembuangan air saja. Tidak ada sensasi lain, tidak ada perkembangan, tidak ada yang menyerupai organ yang digambarkan dalam buku anatomi yang Diana sembunyikan dengan cepat jika Nadia tak sengaja melihatnya. Rasa gatal dan nyeri samar sering muncul, namun ia tidak berani bertanya pada Diana. Ia hanya berpikir mungkin semua perempuan memang begini. Ia bingung, namun kebingungannya selalu ia simpan sendiri. Diana selalu mengatakan bahwa tubuh perempuan itu unik, dan Nadia terlalu polos untuk menyadari bahwa "keunikan" pada dirinya adalah hasil rekayasa yang keji.

Nadia menghabiskan hari harinya di rumah. Belajar, memasak bersama Diana, membersihkan rumah, dan menenun kain. Diana mulai mengajarinya menenun, keterampilan tradisional yang dulu ia kuasai. Suara alat tenun yang berderak menjadi irama baru dalam kesunyian rumah mereka. Dalam setiap benang yang Nadia rajut, ada kebingungan yang tak terucap, ada pertanyaan yang tak berani ia suarakan. Mengapa ia tidak pernah bertemu orang lain? Mengapa ia tidak sekolah seperti anak anak yang kadang ia dengar suaranya dari kejauhan? Mengapa tubuhnya terasa begitu berbeda, aneh, namun Diana selalu mengatakan itu normal?

Diana semakin sering menatap Nadia dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kebanggaan melihat "putrinya" tumbuh sesuai rencana, namun juga ada bayangan rasa bersalah yang kadang melintas di matanya. Ia tahu ia telah merenggut begitu banyak dari Nadia, tetapi ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pengorbanan yang diperlukan demi melindungi Nadia dari dunia maskulin yang ia benci. Ia melihat payudara Nadia yang mulai jelas, dan ia merasa lega, seolah beban berat terangkat dari pundaknya.

Di malam hari, setelah Nadia tidur, Diana akan duduk di sampingnya, memandangi wajah polos putranya yang kini semakin menyerupai seorang gadis muda. Ia akan menyentuh lembut dadanya, memastikan payudara itu nyata. Kemudian, ia akan mengalihkan pandangannya ke arah celana Nadia, melihat tonjolan yang semakin minim. Hatinya mencelos. Ia tahu apa yang telah ia lakukan. Ia telah mengubah putranya secara fisik dan mental, menjadikannya tawanan dalam identitas yang salah. Namun, ia merasa sudah terlalu jauh melangkah untuk mundur. Ketakutan akan terbongkarnya rahasia ini adalah pendorong utama Diana, lebih dari segalanya.

Hidup di Bandung tidak membuat Nadia lebih dekat dengan dunia. Justru sebaliknya, kota ini adalah penjara yang lebih besar, dengan godaan yang lebih banyak, yang harus Diana jaga mati matian. Nadia tumbuh dalam kepompong yang semakin ketat, dengan tubuh yang berkhianat pada identitas aslinya, dan pikiran yang sepenuhnya dibentuk oleh narasi seorang ibu yang traumatis. Ia adalah lukisan yang belum selesai, namun kanvasnya sudah terlanjur diwarnai dengan warna warna yang salah, tanpa kesempatan untuk dilukis ulang.


Tujuh belas tahun telah berlalu sejak malam kelam di Desa Cimekar. Tujuh belas tahun penuh pil dan suntikan, tujuh belas tahun bisikan yang tak henti, tujuh belas tahun isolasi yang tak pernah putus. Nadia kini telah menginjak usia tujuh belas tahun. Ia adalah wujud nyata dari obsesi Diana, sebuah mahakarya dari trauma dan penolakan. Tubuhnya adalah bukti sempurna dari rekayasa yang telah Diana lakukan, sebuah kemenangan yang menyedihkan bagi sang ibu.

Payudaranya telah mencapai ukuran yang cukup besar, sekitar 38B, tampak sempurna layaknya milik seorang perempuan dewasa. Penuh dan padat, tersembunyi di balik blus atau kaus yang ia kenakan. Kulitnya halus, nyaris tanpa cacat. Lekuk tubuhnya, terutama di bagian pinggul dan paha, juga menunjukkan ciri feminin yang jelas, hasil dari distribusi lemak yang diatur oleh hormon dosis tinggi yang terus mengalir dalam darahnya. Diana sering menatap Nadia dengan pandangan bangga yang tercampur aduk dengan rasa cemas. Baginya, Nadia adalah wujud dari impiannya yang terdistorsi: seorang "putri" yang ia ciptakan, kebal dari kejahatan maskulinitas.

Nadia sendiri, di usianya yang menginjak remaja akhir ini, menerima kondisi fisiknya ini tanpa pertanyaan. Ia tidak pernah tahu bagaimana seharusnya tubuhnya tumbuh jika tidak ada campur tangan Diana. Sejak kecil, Diana selalu memberitahunya bahwa pertumbuhan payudara adalah hal normal bagi "anak perempuan" yang akan beranjak dewasa. Ia ingat hari pertama ia memakai bra, canggung namun patuh. Ia ingat pujian Diana yang tak ada habisnya, membentuk persepsinya tentang tubuhnya sendiri. Ia melihat pantulan dirinya di cermin, seorang gadis muda dengan rambut panjang, mata sendu, dan tubuh yang berkembang sesuai yang Diana ajarkan. Semua itu terasa alami baginya, bagian dari proses menjadi dirinya.

Namun, di balik kesempurnaan payudara yang tampak, ada bagian lain dari tubuh Nadia yang justru menunjukkan kehancuran total. Alat kelaminnya. Sejak kecil, Diana selalu menekankan bagian itu sebagai sesuatu yang "sangat pribadi dan tabu." Nadia tidak pernah melihatnya dengan jelas, apalagi menyentuhnya. Ia hanya tahu bahwa ada sesuatu yang aneh. Tonjolan yang seharusnya tumbuh menjadi penis telah menyusut drastis, nyaris tidak terlihat, hanya menyisakan sebuah gumpalan kecil yang tak berfungsi apa-apa. Dua "bola" di bawahnya pun telah menghilang sepenuhnya, atau menyusut menjadi sisa sisa jaringan yang tak lagi menyerupai organ aslinya. Testis Nadia telah mengalami atrofi total, menyebabkannya impotensi permanen di usia yang sangat muda.

Bagian itu hanya berfungsi sebatas tempat pembuangan air kecil, sebuah lubang kecil yang menyalurkan urin keluar dari tubuhnya. Tidak ada ereksi, tidak ada dorongan seksual maskulin, tidak ada tanda tanda kejantanan yang seharusnya muncul seiring pubertas pada anak laki laki seusianya. Sensasi apapun di area itu nyaris tidak ada. Ini adalah efek paling brutal dari terapi hormon yang terus menerus. Diana telah berhasil mengkebiri putranya, secara harfiah, untuk mencapai tujuannya.

Nadia menerima kondisi fisiknya ini tanpa pertanyaan. Ia tidak memiliki perbandingan. Ia tidak pernah melihat tubuh laki laki, tidak pernah diajari tentang anatomi pria. Diana selalu menghindari topik itu, atau langsung mengalihkan pembicaraan jika Nadia mulai menunjukkan rasa ingin tahu. Semua buku yang mungkin menunjukkan perbedaan anatomis antara pria dan wanita telah Diana singkirkan atau gunting halamannya. Dunia Nadia hanyalah cermin yang Diana pegang untuknya, cermin yang hanya memantulkan apa yang Diana ingin ia lihat: seorang perempuan.

Kehidupan mereka masih sangat terisolasi, bahkan setelah tinggal di Bandung. Rumah mereka, yang terletak di pinggir kota dan tidak terlalu dekat dengan tetangga, menjadi benteng yang sempurna. Diana masih tidak mengizinkan Nadia keluar rumah sendirian. Belajar masih dilakukan di rumah, dengan buku buku yang Diana pilihkan. Hiburan mereka terbatas pada televisi yang sesekali Diana nyalakan untuk menonton tayangan yang 'aman' seperti sinetron atau berita hiburan. Tidak ada teman, tidak ada sekolah, tidak ada interaksi sosial di luar Diana.

Nadia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan kegiatan yang Diana ajarkan: menenun kain, memasak, merawat kebun kecil di belakang rumah, atau membaca buku buku cerita yang temanya selalu seputar kehidupan perempuan. Ia menjadi sangat terampil dalam menenun, menghasilkan kain kain indah dengan motif yang rumit. Setiap helai benang yang ia tenun adalah pengulangan dari rutinitasnya, sebuah refleksi dari kehidupannya yang terikat. Ia melakukannya dengan tenang, tanpa keluhan, tanpa menyadari bahwa keterampilan ini adalah satu satunya koneksinya dengan dunia di luar sana, sebuah dunia yang tak pernah ia sentuh.

Terkadang, rasa penasaran muncul seperti riak kecil di permukaan kolam yang tenang. Ia akan mendengar suara anak muda seusianya yang tertawa di luar, musik yang berdentum dari kejauhan, atau melihat sekilas orang orang yang lalu lalang di jalan. Ada keinginan samar untuk tahu, untuk merasakan, untuk menjadi bagian dari itu. Namun, bisikan Diana akan selalu ada: "Di luar itu tidak aman, Nak. Nadia punya Ibu, itu sudah cukup." Dan Nadia akan menunduk, mengangguk, menekan rasa ingin tahu itu dalam dalam. Ia takut melukai hati ibunya, satu satunya orang yang ia miliki di dunia.

Diana, di sisi lain, hidup dalam ketegangan yang konstan. Setiap kali Nadia batuk atau terlihat lemas, Diana akan panik, khawatir akan efek samping jangka panjang dari terapi hormon yang ia berikan tanpa pengawasan medis. Ia memeriksa tubuh Nadia secara obsesif, memastikan tidak ada tanda tanda 'kembalinya' identitas maskulin. Ketika ia melihat Nadia dengan payudara yang sempurna, rasa lega yang besar akan meliputi dirinya, namun disusul oleh gelombang rasa bersalah yang tak terhingga. Ia telah berhasil menciptakan seorang "putri," tetapi dengan mengorbankan kejantanan putranya, dan kebebasan hidupnya.

Malam hari, setelah Nadia terlelap, Diana seringkali menangis dalam diam. Ia memandangi wajah damai Nadia, wajah yang begitu mirip dengannya, namun jiwanya adalah hasil rekayasa yang kejam. Ia memegang tangan Nadia, merasakan kelembutan kulitnya, dan tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang tidak bisa diubah. Nadia adalah rahasianya, kebanggaannya yang pahit, dan sekaligus beban hidupnya yang paling berat. Di tengah kesunyian malam Bandung, di rumah yang terisolasi itu, Nadia tumbuh dalam kebohongan yang semakin besar, sepenuhnya tidak menyadari apa yang telah hilang dari dirinya, dan apa yang sebenarnya menunggunya di balik kepompong itu. Ia adalah seorang perempuan di mata dunia, di mata ibunya, dan di mata dirinya sendiri, tetapi tubuhnya menyimpan rahasia yang tak terucapkan, rahasia kejantanan yang hilang.

Malam telah larut di sebuah sudut kota Bandung yang tenang. Di luar, suara jangkrik bersahutan dengan samar, sesekali diselingi dengungan kendaraan yang melintas jauh di jalan raya utama. Angin dingin khas Bandung mulai menyusup melalui celah jendela yang tidak tertutup rapat, membawa serta aroma basah tanah sehabis hujan sore. Di dalam rumah kecil yang sunyi itu, Nadia dan Diana bersiap untuk tidur, sebuah rutinitas malam yang telah mereka lakukan selama bertahun tahun, namun malam ini, ketenangan itu terasa begitu mencekam, seolah udara dipenuhi dengan beban yang tak terlihat.

Nadia, dengan usia tujuh belas tahun, bergerak dengan keheningan yang sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia membereskan buku buku pelajaran yang mereka gunakan siang tadi, merapikan gulungan kain tenun yang belum selesai, dan menyiapkan secangkir teh hangat untuk Diana. Setiap gerakannya halus, tanpa suara berlebihan, seperti bayangan yang bergerak dalam cahaya temaram. Ia telah terbiasa dengan ketenangan ini, sebuah ketenangan yang sebenarnya adalah hasil dari isolasi dan ketiadaan interaksi dengan dunia luar. Baginya, inilah definisi normal, definisi rumah.

Diana duduk di kursi rotan usangnya di ruang tengah, menatap kosong ke arah lilin yang menyala redup. Cahaya lilin itu menari nari di wajahnya, memperlihatkan guratan kecemasan yang mendalam di sekitar matanya, bayangan bayangan yang seolah tak pernah hilang. Kecemasan itu selalu menyelimutinya, seperti kabut tebal yang tak pernah benar benar lenyap. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, pikirannya tak pernah berhenti memutar ulang trauma masa lalu, dan ketakutan akan rahasia yang ia sembunyikan. Raung jangkrik di luar, bagi Diana, bukan lagi suara alam yang menenangkan, melainkan irama detak jantungnya yang berpacu kencang, sebuah pengingat konstan akan bahaya yang ia rasakan mengintai.

Nadia kini mengenakan tanktop berwarna pink muda yang pas di tubuhnya, menonjolkan lekuk payudaranya yang sudah sempurna. Celana pendek ketat berwarna coklat membalut paha jenjangnya. Tali bra-nya terlihat jelas, melingkar di lehernya, sebuah gaya yang Diana sendiri ajarkan kepadanya. Pakaian itu, yang biasa ia kenakan di dalam rumah, terasa begitu menyatu dengan kulitnya, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas 'perempuan' yang melekat pada dirinya.

Nadia mendekat, meletakkan cangkir teh hangat di meja kecil di samping Diana. "Ibu, tehnya," bisiknya lembut. Diana tersentak sedikit, seperti terbangun dari lamunan. Ia menoleh ke arah Nadia, senyum kecil terpaksa terukir di bibirnya. "Terima kasih, Nak." Tatapannya menyapu wajah Nadia, meneliti setiap lekukan, setiap ekspresi, dan juga pakaiannya yang kini sangat akrab di matanya. Ia mencari tanda tanda kelelahan, tanda tanda keraguan, tanda tanda apapun yang mungkin mengisyaratkan bahwa kebohongannya akan terbongkar. Namun, Nadia tampak tenang, polos, sama seperti biasanya. Kesempurnaan Nadia adalah anugerah baginya, sekaligus kutukan. Anugerah karena rencananya berhasil, kutukan karena ini berarti ia harus terus menjaga rahasia itu seumur hidup.

Diana menyesap tehnya, hangatnya cairan itu sedikit meredakan ketegangan di tenggorokannya, namun tidak di hatinya. Ia tahu, di usianya yang semakin senja, kekuatannya mulai terkikis. Ada ketakutan baru yang mulai muncul: bagaimana jika ia tidak sanggup lagi menjaga rahasia ini? Bagaimana jika ia tidak sanggup lagi menjadi satu satunya dunia bagi Nadia? Pikiran itu menghantuinya setiap malam, semakin kuat seiring berjalannya waktu.

"Nadia, sudah waktunya tidur," kata Diana, suaranya sedikit lebih kencang dari yang ia inginkan. Nadia mengangguk patuh. Ia bangkit dari duduknya, membantu Diana berdiri, lalu berjalan menuju kamar tidur mereka. Di kamar yang kecil itu, hanya ada satu ranjang kayu sederhana dengan tikar dan selimut usang. Sejak kecil, mereka selalu tidur bersama, sebuah kebiasaan yang Diana pertahankan untuk selalu mengawasi Nadia, memastikan tidak ada yang berubah, dan untuk terus membisikkan doktrinnya hingga Nadia terlelap.

Nadia berbaring di sisi ranjang, memunggungi Diana. Diana berbaring di sebelahnya, merasakan kehangatan tubuh putranya yang kini berlekuk layaknya seorang gadis muda, bahkan dalam balutan tanktop tipis dan celana pendek ketatnya. Ia menyentuh lembut punggung Nadia, merasakan tulang belikatnya yang halus, kulitnya yang lembut. Setiap sentuhan adalah pengingat akan hasil kerjanya, hasil dari pil dan suntikan yang tak terhitung jumlahnya. Ada rasa kepemilikan yang mendalam, sebuah ikatan yang terjalin dari trauma dan rekayasa.

Ketenangan malam itu terasa semakin mencekam. Bukan ketenangan yang menenangkan, melainkan ketenangan yang berisi kebisuan, yang terasa seperti menahan napas. Seolah ada sesuatu yang besar, sesuatu yang mengerikan, sedang menanti di balik tirai kegelapan, menunggu waktu yang tepat untuk menerkam. Diana bisa merasakannya. Sensasi itu, seperti hawa dingin yang merayap di kulit, membuatnya merinding. Ia memejamkan mata erat erat, mencoba mengusir pikiran pikiran buruk itu, namun tidak berhasil.

Ia berpikir tentang masa depan. Apa yang akan terjadi pada Nadia? Sampai kapan ia bisa menjaga Nadia tetap tersembunyi dari dunia? Sampai kapan kebohongan ini bisa bertahan? Pertanyaan pertanyaan itu berputar di benaknya seperti badai, tanpa jawaban. Usia Nadia yang beranjak dewasa berarti dunia akan semakin menuntut. Dunia akan mempertanyakan keberadaannya, identitasnya, asal usulnya. Dan Diana tahu, rahasia sekecil apapun, sekecil lubang jarum sekalipun, akan selalu menemukan cara untuk terkuak.

Diana merasakan keringat dingin membasahi pelipisnya, meskipun suhu udara cukup dingin. Ia membalikkan badan, memandang siluet Nadia yang tenang dalam kegelapan. Di bawah selimut, tubuh Nadia terasa begitu feminin, sebuah hasil yang sempurna dari obsesinya. Namun, Diana tahu, di balik kulit lembut itu, ada sebuah kebenaran yang mengerikan, sebuah identitas yang telah ia bunuh demi melindunginya. Dan kematian identitas itu, kini, terasa seperti bom waktu yang siap meledak.

Sebuah suara samar terdengar dari luar, lebih dekat dari suara kendaraan tadi. Suara langkah kaki yang pelan, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Diana meremang. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia menegakkan tubuh, menajamkan pendengarannya. Apakah hanya perasaannya saja? Atau memang ada sesuatu di luar sana? Ketakutan lama itu kembali menyeruak, lebih kuat dari sebelumnya. Ketakutan akan dunia yang selalu ia coba hindari, kini terasa begitu dekat, seolah mengetuk pintu rumah mereka.

Ia tahu ia tidak akan bisa tidur malam ini. Pikiran akan bencana yang akan datang, yang selalu ia takuti, terasa begitu nyata. Ia tidak tahu bentuk bencana itu, ia hanya tahu itu akan datang. Entah itu dari masa lalu yang mengejarnya, atau dari masa depan yang tak bisa ia kendalikan. Dan Nadia, putranya yang kini telah menjadi "putri"nya, adalah pusat dari segala ketakutan itu.

Dalam ketenangan malam yang mencekam itu, di dalam rumah kecil di Bandung, Diana tetap terjaga, mendengarkan setiap suara, setiap bisikan angin, menanti apa yang akan terjadi. Nadia terlelap, sama sekali tidak menyadari bahwa di ambang pintu kesadarannya, sebuah kengerian besar sedang menunggu untuk menerkam, siap untuk mengubah segalanya, dan mengungkap kebenasan yang paling gelap.

Keheningan malam yang mencekam itu tiba tiba pecah. Suara debuman keras, seperti palu godam menghantam pintu, mengoyak kesunyian yang selama ini menjadi selimut bagi rumah kecil mereka di Bandung. Jeritan panik Diana menggema di seluruh ruangan, tajam dan memekakkan telinga, membelah kegelapan malam, dan seketika itu pula, membangunkan Nadia dari tidurnya yang pulas.

Nadia terbangun dengan jantung berdebar kencang, tubuhnya tersentak. Rasa kantuknya lenyap seketika, digantikan oleh gelombang ketakutan yang dingin. Ia bisa mendengar suara pecahan kaca, raungan kasar suara laki laki, dan jeritan histeris Diana yang berulang. Apa yang terjadi? Dunia Nadia yang selama ini aman dan terkunci, tiba tiba terasa runtuh dalam sekejap. Ia bangkit dari ranjang, dalam balutan tanktop pink muda dan celana pendek ketat coklatnya, dengan tali bra yang melingkar di leher, tubuhnya gemetar ketakutan.

Ia berjalan terseok seok dari kamar tidur ke ruang tengah. Pemandangan di depannya membuat darahnya berdesir dingin. Tiga sosok laki laki bertubuh besar, berwajah tertutup kain, bergerak cepat dan brutal di dalam rumah. Lampu minyak yang Diana nyalakan sebelum tidur kini tergeletak pecah di lantai, menyisakan bau minyak tanah yang menyengat. Hanya cahaya redup dari senter yang mereka bawa, berkelebat, menciptakan bayangan bayangan raksasa yang menari nari di dinding. Kericuhan memenuhi ruangan. Suara perabotan yang dibanting, lemari yang dibuka paksa, pecahan keramik yang terinjak.

Diana, dengan rambutnya yang acak acakan dan wajah pucat pasi, terlihat berusaha melindungi sebuah kotak kayu tua di sudut ruangan. Ia berteriak, suaranya parau karena ketakutan, memohon agar para perampok tidak menyentuh barang itu. Namun, perampok itu tidak peduli. Salah satu dari mereka mendorong Diana dengan kasar hingga tersungkur ke lantai. Diana terbatuk batuk, kesakitan, namun matanya tetap tertuju pada kotak itu.

"Apa yang kalian lakukan?!" Suara Nadia meluncur keluar dari tenggorokannya, tipis dan gemetar. Ia tidak pernah seumur hidupnya melihat kekerasan se brutal ini. Dunianya terlalu kecil, terlalu terlindungi. Ia berdiri mematung di ambang pintu kamar, kakinya seolah terpaku di lantai dingin.

Salah satu perampok menoleh, matanya yang tajam menembus kegelapan, menangkap siluet Nadia yang berdiri di sana. Kilatan di mata perampok itu membuat Nadia merinding. Ini bukan kilatan ketamakan harta benda, melainkan kilatan nafsu yang menjijikkan. Perampok itu meninggalkan Diana yang terkapar, melangkah mendekati Nadia dengan langkah lebar.

Nadia ingin lari, ingin berteriak, namun tubuhnya tidak menurut. Ketakutan yang mencekam melumpuhkannya. Aroma keringat dan tembakau dari perampok itu semakin mendekat, menyesakkan napasnya. Tangan kasar yang dipenuhi tato tiba tiba terulur, meraih lengannya, mencengkeramnya begitu kuat hingga Nadia meringis kesakitan.

"Wah, wah, lihat apa yang kita punya di sini," suara serak perampok itu berbisik, nadanya penuh ejekan. Matanya memindai tubuh Nadia dari atas ke bawah, terhenti sejenak pada tanktop pink muda dan celana pendek ketat yang ia kenakan. Tatapan itu terasa begitu kotor, membuat Nadia merasa mual.

Perampok itu menarik Nadia ke tengah ruangan, dekat dengan Diana yang kini merangkak bangkit, berusaha meraih Nadia. "Jangan sentuh anak saya! Jangan!" Diana menjerit, suaranya pecah.

Namun, jeritan Diana hanya dianggap angin lalu. Perampok itu, tanpa peduli gender korbannya, hanya fokus pada nafsu dan harta benda. Tangan kasarnya kini bergerak, tidak lagi di lengan, melainkan merayap naik ke dada Nadia. Payudara Nadia yang sempurna, hasil dari rekayasa bertahun tahun, kini menjadi sasaran sentuhan yang menjijikkan. Jemari kotor itu meremasnya, menimbulkan rasa sakit dan kengerian yang tak terhingga. Nadia bisa merasakan betapa menjijikkan sentuhan itu, kotor, dan tak ada rasa hormat sama sekali.

"Hmm, lumayan juga," gumam perampok itu, seringai keji terukir di wajahnya. Nadia memejamkan mata erat erat, air mata mengalir di pipinya. Ia berusaha memberontak, meronta, namun cengkeraman perampok itu terlalu kuat. Tenaganya, yang selama ini hanya digunakan untuk menenun dan pekerjaan rumah, tidak sebanding dengan kekuatan brutal laki laki itu.

Perampok lain datang mendekat, ikut menggerayangi tubuh Nadia. Tangan lain merayap turun ke paha Nadia, mengelus celana pendek ketatnya, lalu meremas bagian itu. Sensasi jijik bercampur ketakutan yang tak pernah ia bayangkan. Tubuhnya, yang selama ini Diana lindungi dan bentuk sedemikian rupa, kini dinodai oleh sentuhan kasar orang asing. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri, pada tubuhnya, pada identitas yang dipaksakan padanya.

Diana melihat semua itu, matanya melebar ketakutan. Ia mencoba bangkit, menyerang perampok itu dengan tangan kosong, namun ia segera didorong kembali dengan kasar. Tubuhnya yang menua tidak sanggup melawan. Ia hanya bisa berteriak, menangis histeris, suaranya menjadi semakin parau dan putus asa.

Kericuhan di rumah itu mencapai puncaknya. Perampok itu mengabaikan permohonan dan jeritan mereka. Fokus mereka terbagi antara mencari barang berharga dan melampiaskan nafsu pada Nadia dan Diana. Seorang perampok lain kini menindih Diana yang terkapar, tangan kasarnya meraba tubuh Diana, mencari perhiasan atau apapun yang berharga, sembari melontarkan kata kata kotor yang membuat Diana bergidik. Aroma keringat, debu yang beterbangan, dan aroma darah yang samar samar tercium dari hidung Diana setelah ia terbentur perabotan.

Waktu terasa berhenti bagi Nadia. Setiap detik adalah siksaan. Ia ingin lenyap, ingin menghilang, ingin kembali ke dalam kepompongnya yang aman. Namun, kepompong itu telah hancur, robek oleh tangan tangan brutal yang tak dikenal. Ia merasa telanjang, meskipun ia masih mengenakan pakaian. Bukan karena ia telanjang fisik, melainkan telanjang jiwanya, identitasnya, rahasianya.

Perampok yang memegang Nadia masih terus menyentuhnya, meremas dadanya, menggerayangi pahanya. Nadia merasakan air matanya membanjiri wajah, bercampur dengan rasa malu yang membakar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ajaran Diana tentang "tubuh suci" terasa hampa. Ia adalah perempuan yang Diana ciptakan, namun kini ia diperlakukan seperti barang.

Tangan perampok yang memegang Nadia kini bergerak naik, mencengkeram rahangnya dengan kuat, memaksa wajah Nadia mendongak. Mata tajam itu menatap lurus ke dalam matanya yang penuh ketakutan. Nadia bisa merasakan napas bau tembakau dan alkohol dari mulut perampok itu. Sebuah kengerian baru merayap di dalam dirinya.

"Cantik juga kau," bisik perampok itu, seringai keji semakin lebar di wajahnya.

Sebelum Nadia sempat bereaksi, atau bahkan bernapas, wajah perampok itu mendekat. Dinginnya bibir kasar yang dipenuhi bau rokok menempel paksa di bibir Nadia. Mata Nadia terbelalak. Ciuman itu terasa menjijikkan, kotor, dan merenggut napasnya. Nadia meronta sekuat tenaga, memutar kepalanya, namun tangan perampok itu menahannya dengan paksa. Ia merasakan air mata dan ludah bercampur di pipinya. Ini adalah puncak dari kengerian yang tak terbayangkan. Ini adalah penodaan terakhir pada dirinya, sebuah simbol dari segalanya yang telah hancur malam ini.

Ciuman paksa itu baru permulaan dari kengerian yang tak terbayangkan. Setelah bibir Nadia dilepaskan dengan kasar, perampok yang sama menatapnya dengan tatapan lapar, seolah ia adalah mangsa yang tak berdaya. Nadia terhuyung mundur, namun cengkeraman pada lengannya masih kuat. Air mata membasahi pipinya, bercampur dengan jijik yang mendalam. Aroma keringat, darah, dan bau alkohol memenuhi udara, menyesakkan napas Nadia yang terengah engah.

Di sudut lain ruangan, Diana masih meronta dalam cengkeraman perampok lain. Jeritannya kini lebih terdengar seperti isakan yang putus asa, menyaksikan putranya, yang selama ini ia lindungi, kini berada dalam bahaya yang jauh lebih besar. Ketakutan akan kebenaran yang terungkap melampaui rasa sakit fisiknya. Ia tahu apa yang akan terjadi jika rahasia Nadia terbongkar.

Perampok yang memegang Nadia kini tersenyum sinis. Tangan kasarnya yang tadi meremas payudara Nadia, kini merayap turun ke bawah, ke arah celana pendek ketat coklatnya. Gerakan itu kasar, tidak ada kelembutan sama sekali. Nadia memejamkan mata, gemetar ketakutan, membayangkan hal terburuk. Pikirannya kosong, tidak bisa mencerna apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia hanya merasakan sensasi menakutkan dari sentuhan yang tidak diinginkan itu.

Jemari perampok itu meraba celana pendeknya, mencari celah, mencoba menembus pertahanan terakhir. Nadia bisa merasakan kulitnya bergidik. Rasa malu yang membakar memenuhi dirinya. Ia tahu bagian itu adalah "sangat pribadi," bagian yang selalu ia jaga, bagian yang Diana selalu tekankan harus tetap suci. Namun, kini, bagian itu akan dinodai.

Gerakan kasar itu mencapai bagian intim Nadia. Perampok itu menekan, meraba, mencoba masuk lebih dalam. Namun, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan dari tubuh seorang perempuan. Alih alih menemukan "lubang" yang ia duga, tangannya malah merasakan gumpalan kecil yang aneh, yang menyusut dan tidak membuka jalan. Ia mencoba lagi, dengan dorongan yang lebih kuat, lebih brutal.

Pada saat itu, di tengah kegaduhan yang memekakkan telinga, di tengah jeritan Diana yang putus asa, dan isak tangis Nadia yang tak bersuara, sebuah teriakan mengejutkan tiba tiba memecah malam. Teriakan itu bukan dari Diana, bukan dari Nadia, melainkan dari mulut perampok yang sedang menyerang Nadia. Suaranya penuh keterkejutan, kebingungan, dan amarah yang tiba tiba membara.

"LAKI-LAKI!"

Satu kata itu. Satu kata yang menghantam Nadia seperti sambaran petir. Dunia seolah berhenti berputar. Suara kericuhan lainnya memudar, hanya menyisakan gema kata itu di telinga Nadia. Laki-laki? Apa maksudnya? Nadia hanya mengenal dirinya sebagai perempuan. Diana selalu mengatakan ia adalah perempuan. Ibu selalu mengajarinya berjalan seperti perempuan, berpakaian seperti perempuan, berpikir seperti perempuan. Bagaimana mungkin?

Perampok yang memegang Nadia menarik tangannya dengan jijik, seolah baru saja menyentuh sesuatu yang menjijikkan. Ekspresi di wajahnya berubah dari nafsu menjadi kemarahan dan kebingungan. Ia menatap Nadia, lalu kembali menatap bagian intim Nadia yang kini telah ia paksa untuk disentuh. Ia mengulang, suaranya lebih keras, penuh dengan kebencian dan kebingungan. "Dia laki-laki! Sialan! Ini laki-laki!"

Perampok lain yang menindih Diana, dan perampok ketiga yang sedang menggeledah, seketika menghentikan gerakan mereka. Semua mata tertuju pada Nadia dan perampok yang baru saja berteriak. Suasana yang tadinya penuh kekerasan, kini diselimuti oleh kebisuan yang lebih mencekam, sebuah kebisuan yang penuh dengan kejutan dan ketidakpercayaan.

Diana, yang mendengar teriakan itu, merasa dunianya runtuh seketika. Jantungnya mencelos hingga ke dasar perut. Rahasia yang selama ini ia jaga mati matian, rahasia yang menjadi alasan di balik seluruh hidupnya, kini terbongkar. Teriakan itu adalah teriakan kebenaran yang menyakitkan, kebenaran yang akan menghancurkan segalanya. Darah seolah mengering di wajahnya. Ia mencoba berteriak, mencoba membantah, namun suaranya tercekat di tenggorokan.

Nadia menatap Diana, matanya memohon penjelasan. Kebingungan di wajahnya adalah campuran dari ketakutan yang tak terhingga dan penolakan keras terhadap apa yang baru saja ia dengar. Laki-laki? Apakah itu benar? Mengapa Ibu tidak pernah memberitahunya? Mengapa Ibu selalu mengatakan ia adalah perempuan? Pertanyaan pertanyaan itu membanjiri benaknya, menimbulkan badai kebingungan yang tak bisa ia hadapi.

Perampok yang berteriak itu kini meraih Nadia lagi, namun kali ini bukan dengan nafsu, melainkan dengan kemarahan. Ia menyeret Nadia, membantingnya ke lantai yang dingin, tidak lagi memperlakukan Nadia sebagai 'wanita' yang bisa dinikmati, melainkan sebagai objek penipuan yang menjijikkan. Nadia merasakan sakit di punggungnya, namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.

"Kau menipu kami!" raung perampok itu, suaranya penuh amarah. Perampok lainnya ikut mendekat, mata mereka memindai Nadia, melihatnya dengan tatapan berbeda. Tatapan jijik, marah, dan bingung.

Kengerian yang lebih dalam menyelimuti ruangan. Perampok yang tadi menindih Diana kini menariknya dengan kasar, menyeretnya mendekat ke Nadia. Tubuh Diana yang renta dan gemetar tidak mampu melawan. Ia dihempaskan di samping Nadia, terengah engah. Perampok itu dan rekannya mulai melancarkan serangan yang lebih brutal. Sentuhan kotor dan paksaan yang menjijikkan menimpa Diana dan Nadia. Kehormatan mereka diinjak injak di tengah kegelapan dan keputusasaan. Diana hanya bisa memejamkan mata, air matanya mengalir deras, memohon dalam hati agar semua ini segera berakhir. Ia tidak bisa melindungi putranya, tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia hanya bisa menanggungnya, membiarkan tubuhnya dan tubuh putranya dinodai, di tengah guncangan psikologis akibat pengungkapan yang tak terduga.

Malam yang seharusnya menjadi malam perampokan biasa, kini berubah menjadi sebuah pengungkapan yang brutal. Rahasia identitas Nadia, yang selama ini terkunci rapat dalam kepompong yang Diana bangun, kini pecah berkeping keping. Teriakan "LAKI-LAKI!" itu bukan hanya menghantam telinga Nadia, tetapi juga merobek seluruh kain kebohongan yang membungkus dirinya, mengeksposnya pada kebenaran telanjang yang begitu menyakitkan.

Diana hanya bisa menatap, tubuhnya bergetar tak terkendali. Rencananya yang telah ia bangun selama tujuh belas tahun, kehancurannya yang ia ciptakan sendiri, kini meledak di depan matanya. Ia tidak bisa lagi melindungi Nadia dari kebenaran, apalagi dari amarah para perampok yang kini mengetahui identitas asli putranya. Dan ia tahu, kengerian malam itu belum berakhir. Ini baru permulaan dari badai yang sesungguhnya.

Teriakan itu mengoyak ilusi bertahun-tahun yang membelenggu Nadia. Bukan teriakan Diana yang memilukan, bukan pula raungan brutal para perampok yang menggema di ruangan, melainkan suara yang keluar dari salah satu penyerang itu sendiri, sebuah kejutan yang memecah kesunyian malam dan menelanjangi kebenaran paling gelap. "Bajingan! Ini... ini laki-laki!" Suara itu menggelegar, lebih mematikan daripada setiap pukulan yang mendarat di tubuh Nadia.

Nadia membeku, tubuhnya bergetar hebat. Bukan hanya karena rasa sakit yang membakar setiap sarafnya, bukan pula karena ketakutan yang mencekik napasnya, tetapi karena gemuruh dahsyat dari kebenaran yang tiba-tiba meledak dalam benaknya. Sebuah suara, yang selama ini hanya berbisik samar di sudut terdalam kesadarannya—keraguan, keanehan, rasa asing terhadap dirinya sendiri—kini berteriak nyaring, memenuhi setiap rongga pikirannya, memantul-mantul di dinding tengkoraknya. "Laki-laki? Aku?"

Seluruh potongan puzzle hidupnya, yang selama ini terasa aneh, tidak pada tempatnya, dan membingungkan, kini tersusun menjadi gambaran yang mengerikan namun sangat jelas. Kilasan-kilasan masa lalu berkelebat dalam benaknya, setiap detail kecil yang dulu ia abaikan atau terima begitu saja kini berubah menjadi bukti memberatkan. Keanehan fisiknya yang tak pernah bisa ia pahami—tubuhnya yang tidak sepenuhnya seperti gadis yang ia lihat di majalah Diana, namun juga tidak seperti anak laki-laki yang sesekali ia intip dari balik jendela—sekarang menemukan jawaban yang kejam. Payudaranya yang membesar, suara lembutnya yang melengking, kulitnya yang halus tanpa bulu, rambutnya yang panjang tergerai—semua itu adalah hasil rekayasa. Mereka bukanlah takdir, melainkan diciptakan.

Terapi hormon yang tak henti-hentinya ia terima sejak usia lima tahun, setiap suntikan yang menembus kulitnya, setiap pil putih kecil yang ditelannya tanpa pertanyaan, semuanya memiliki tujuan tunggal dan kejam: untuk mengubahnya, untuk menghapus jejak identitas biologisnya. Setiap jarum, setiap tetes obat, adalah pukulan yang mengukir ulang dirinya, mengikis esensi bawaannya. Isolasi yang Diana paksakan, benteng kokoh yang melindungi mereka dari dunia luar, yang ia kira adalah ekspresi cinta seorang ibu, kini terkuak sebagai upaya putus asa untuk menyembunyikan rahasia ini dari mata dunia, bahkan dari Nadia sendiri. Dan kebencian Diana terhadap laki-laki, yang begitu mendarah daging hingga membentuk setiap aspek kehidupan Nadia, mengajarkannya rasa takut dan penolakan, kini terkuak sebagai manifestasi dari trauma yang begitu dalam, trauma yang membuat Diana menolak keberadaan Nadia sebagai anak laki-laki, menolak fakta bahwa ia telah melahirkan 'sebuah bibit' yang tidak ia inginkan.

Semua kepingan itu menyatu, membentuk gambaran yang menjijikkan namun tak terbantahkan. Ia adalah seorang laki-laki yang dipaksa menjadi perempuan. Dan di tengah wahyu yang mengerikan ini, kekerasan tak terbayangkan terus berlangsung. Perampok yang telah mengungkap kebenaran itu tidak peduli pada identitas Nadia yang baru saja terkuak. Nafsu dan amarah telah menguasai dirinya, mengubahnya menjadi makhluk tanpa belas kasihan.

Perampok itu melanjutkan aksinya, tanpa jeda, tanpa ampun. Tubuh Nadia, yang telah dimanipulasi dan dipaksa menjadi bentuk yang bukan dirinya, kini menjadi medan pertempuran yang brutal. Ia merasakan dirinya direnggut, harga dirinya diinjak-injak, setiap sisa-sisa ilusi tentang siapa dirinya kini hancur berkeping-keping di bawah kekejaman yang tak terlukiskan. Itu adalah penodaan yang melampaui batas fisik, merobek jiwa hingga ke inti. Rasa sakit yang tajam dan tak tertahankan menjalari setiap sarafnya, sebuah luka yang akan terus berdarah di dalam.

Di ruangan yang sama, di tengah kegelapan dan kehancuran, jeritan Diana adalah simfoni horor yang mengiringi kehancuran Nadia. Ibunya, yang telah menanamkan ketakutan begitu dalam terhadap pria, kini mengalami kembali mimpi buruknya, dan Nadia menjadi saksi bisu, sekaligus korban dari kengerian yang sama. Nadia bisa mendengar isak tangis Diana yang tercekik, rintihan putus asa yang bercampur dengan erangan jijik. Ironi yang begitu pahit, begitu kejam, bahwa penolakan Diana atas maskulinitas, upayanya untuk menciptakan seorang putri, justru berujung pada penodaan yang serupa terhadap tubuh anak yang ia coba bentuk, di ruangan yang sama, dengan saksi mata sang ibu yang tak berdaya.

Malam itu, Nadia tidak hanya kehilangan kemurnian tubuhnya. Ia kehilangan segalanya. Identitas yang telah dibangun Diana dengan susah payah, kini hancur lebur di hadapan matanya sendiri. Topeng feminin yang ia kenakan selama ini telah terkoyak, menyingkap kebenaran yang mengerikan di bawahnya. Ia bukan Nadia yang manis, lembut, dan feminin seperti yang Diana impikan. Ia adalah seorang laki-laki yang tubuhnya dikhianati oleh obat-obatan, dan jiwanya kini terkoyak oleh kekerasan, sebuah luka yang tak akan pernah bisa ia sembunyikan lagi.

Nadia terbaring di lantai, air mata dan rasa sakit bercampur menjadi satu, membentuk genangan keputusasaan. Suara napasnya yang tersengal adalah satu-satunya bukti bahwa ia masih hidup, bahwa jantungnya masih berdetak di tengah kehampaan. Malam itu, di bawah cengkeraman ketidakberdayaan, Nadia yang feminin telah mati. Yang tersisa hanyalah sebuah tubuh yang terluka parah dan jiwa yang kebingungan, menghadapi kekosongan identitas yang tak terlukiskan. Dunia yang ia kenal telah lenyap, dan ia terdampar di tengah puing-puing, tanpa peta, tanpa kompas, tanpa tahu siapa dia sebenarnya. Rasa jijik pada dirinya sendiri, pada tubuhnya, pada identitas barunya yang terungkap secara brutal, membanjiri dirinya. Ia adalah makhluk yang tak berbentuk, sebuah paradoks yang hidup dalam penderitaan. Kegelapan menelan segalanya, dan Nadia hanya bisa berharap agar ia juga ikut lenyap bersama ilusi yang telah hancur itu.


Mentari pagi di Bandung merangkak naik, menyusup melalui celah jendela yang kini pecah dan bolong, namun sinarnya tidak membawa kehangatan. Cahaya itu justru mengekspos pemandangan kehancuran yang menyayat hati di rumah kecil tersebut. Pecahan kaca berserakan di mana mana, perabotan terbalik dan hancur, lemari lemari terbuka dengan isinya yang berhamburan. Aroma debu, sisa bau tembakau, dan jejak kengerian dari malam yang baru saja berlalu, menggantung pekat di udara.

Di tengah puing puing itu, tergeletaklah dua sosok tak berdaya: Nadia dan Diana. Mereka tidak lagi di ranjang. Mereka tergeletak di lantai dingin ruang tengah, dekat dengan pintu yang kini rusak parah, seperti dua boneka kain yang telah dibuang begitu saja setelah dimainkan secara brutal. Tubuh mereka kaku, dengan posisi yang canggung, mencerminkan perlawanan terakhir mereka yang sia sia.

Luka fisik terlihat jelas di tubuh mereka. Diana, yang lebih tua dan rapuh, memiliki memar kebiruan di wajahnya, sudut bibirnya sedikit pecah, dan lengannya menunjukkan guratan merah bekas cengkeraman paksa. Pakaiannya compang camping. Sementara Nadia, meski secara fisik tampak lebih utuh, kulitnya yang mulus kini dihiasi bercak kemerahan dan lebam samar. Tanktop pink muda dan celana pendek ketatnya robek di beberapa bagian, memperlihatkan lebih banyak kulit daripada biasanya, dan jejak kotoran yang menempel di sana. Namun, luka fisik itu hanyalah permukaan dari kehancuran yang jauh lebih dalam. Luka psikis, yang tak terlihat mata, jauh lebih parah, menganga dalam jiwa mereka.

Nadia dalam kondisi syok yang mendalam. Matanya terbuka, namun tatapannya kosong, tak fokus, seolah jiwanya telah terbang entah ke mana. Ia tidak menangis lagi. Air matanya telah kering, habis terkuras oleh kengerian malam sebelumnya. Bibirnya membiru samar, dan tubuhnya sesekali menggigil tak terkendali, bukan karena dingin, melainkan karena goncangan hebat yang meremukkan seluruh kesadarannya. Ia terbaring miring, menghadap dinding yang kotor, menolak untuk melihat dunia yang tiba tiba menjadi begitu kejam. Pikirannya berputar di antara kilasan kilasan horor: tangan kasar yang meremas, bau busuk dari napas asing, dan satu kata yang menghancurkan semua yang ia yakini: "LAKI-LAKI!"

Diana, di sampingnya, meski tubuhnya remuk redam, kesadarannya sedikit lebih utuh. Ia berusaha untuk bergerak, namun rasa sakit yang tajam menghantam setiap sendi dan ototnya. Setiap napas terasa berat, namun ia harus tetap bertahan. Ia menoleh ke arah Nadia, matanya dipenuhi keputusasaan dan rasa bersalah yang tak terhingga. Ia melihat kondisi putranya, mata yang kosong itu, dan hatinya terasa diremas. Semua yang ia bangun, semua kebohongan yang ia pupuk dengan hati hati, kini telah runtuh, dan Nadia lah yang menanggung akibat terberatnya.

Tak lama kemudian, suara sirine polisi memecah kesunyian pagi. Suara langkah kaki tergesa gesa, bisikan bisikan panik dari tetangga yang baru berani mendekat setelah memastikan bahaya telah berlalu. Pintu rumah yang rusak diketuk, lalu didorong lebih lebar. Beberapa polisi berseragam masuk, dengan ekspresi prihatin namun tegas.

"Selamat pagi, Bu. Kami dari kepolisian. Ada laporan perampokan di sini." Suara seorang petugas, berusaha ramah namun kaku, mencoba menjangkau Diana.

Penyelidikan pun dimulai. Petugas polisi berpakaian sipil mulai memeriksa setiap sudut rumah, mencari barang bukti. Beberapa tetangga dimintai keterangan di luar. Sementara itu, dua petugas wanita mendekati Nadia dan Diana, mencoba memberikan pertolongan pertama dan menanyakan kondisi mereka.

"Nona, apakah Anda bisa mendengar saya?" seorang polisi wanita berjongkok di samping Nadia, berusaha menarik perhatiannya. Ia mencoba menyentuh bahu Nadia, namun Nadia hanya sedikit tersentak, tidak memberikan respons berarti. Tatapannya masih kosong.

Diana segera menyambar. "Dia syok, Pak. Dia tidak bisa bicara." Suaranya parau dan serak, namun ada nada tegas yang terselip di sana, sebuah insting untuk melindungi. Ia tahu, inilah saat yang paling krusial. Saat di mana setiap kata, setiap jawaban, bisa mengungkap rahasia yang telah ia jaga seumur hidup.

"Apakah ada yang hilang, Bu? Apakah ada barang berharga yang dicuri?" tanya petugas lain kepada Diana, sembari mencatat di buku kecilnya.

Diana mengangguk lemah. "Uang tabungan, beberapa perhiasan lama. Itu saja. Tapi mereka... mereka juga..." Diana ragu ragu, melirik ke arah Nadia. Ia tidak bisa menyebutkan apa yang terjadi pada Nadia, tidak bisa mengatakannya dengan lantang. Tidak di depan putranya, tidak di depan polisi. Kata kata itu akan menghancurkan segalanya.

Polisi itu mengangguk, memahami keraguan Diana. "Kami mengerti, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik untuk menemukan pelakunya. Sekarang, sebaiknya Anda dan putri Anda dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan."

Diana menolak dengan cepat. "Tidak perlu, Pak. Kami bisa mengurus diri sendiri di sini. Kami... kami hanya ingin sendirian." Ia tidak ingin Nadia diperiksa oleh dokter, tidak ingin ada orang lain yang mengetahui kebenaran tentang tubuhnya. Ketakutan itu lebih besar dari luka fisik yang mereka alami.

Petugas bersikeras. "Maaf, Bu, ini prosedur. Kami harus memastikan tidak ada luka dalam yang serius, dan kami juga perlu mengumpulkan bukti fisik."

Nadia tidak memberikan respons. Ia tetap diam, seolah patung. Diana merasakan ketakutan yang luar biasa. Ia tahu, pemeriksaan medis berarti rahasia Nadia akan terkuak. Ia harus melindungi Nadia dari itu, apa pun caranya.

"Tidak!" suara Diana meninggi, meski tubuhnya bergetar. "Kami baik baik saja! Saya bilang kami tidak butuh rumah sakit! Saya ingin mereka pergi!"

Para petugas saling pandang, sedikit terkejut dengan reaksi Diana yang begitu keras. Mereka mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan, namun mereka tidak tahu apa itu. Mereka mencatat reaksi Diana, menambah lapisan misteri pada kasus perampokan brutal ini.

Diana terus berjuang untuk melindungi Nadia dari pertanyaan pertanyaan yang bisa mengungkap rahasia mereka. Ia menjawab seadanya, mengalihkan perhatian, berbohong jika perlu, semua demi menjaga agar identitas asli Nadia tetap terkubur. Ia adalah seorang ibu yang terluka, namun juga seorang penipu yang putus asa, berjuang mati matian di bawah tekanan yang luar biasa. Setiap tatapan ke arah Nadia, setiap ingatan akan teriakan perampok itu, menusuk hatinya seperti belati panas.

Pagi itu, yang seharusnya membawa harapan baru, justru menjadi pagi yang penuh bekas luka. Bekas luka yang terlihat di tubuh mereka, dan bekas luka yang jauh lebih dalam, mengoyak jiwa Nadia dan Diana. Rumah itu, yang dulunya adalah kepompong pelindung, kini menjadi saksi bisu kehancuran identitas dan trauma yang tak terobati. Dan di tengah puing puing itu, di bawah tatapan dingin polisi, rahasia besar Nadia masih bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk kembali mengguncang dunia mereka.


Pagi yang diselimuti kabut dan bekas luka itu adalah titik balik yang tak terhindarkan. Malam brutal yang merenggut kedamaian mereka tidak hanya meninggalkan puing-puing fisik di rumah kecil itu, tetapi juga merobek ilusi yang telah membungkus hidup Nadia selama tujuh belas tahun. Teriakan "LAKI-LAKI!" yang dilontarkan perampok itu terus bergema di benaknya, menghantam dinding-dinding kesadarannya, mengoyak kebohongan yang telah ia percayai seumur hidup, dan membuka paksa pintu-pintu memori yang selama ini terkunci rapat.

Nadia kini terbaring di ranjang, tubuhnya masih terasa remuk redam, setiap ototnya nyeri, setiap sendinya berdenyut. Ia sudah berganti pakaian. Diana tadi pagi membantunya membersihkan diri seadanya dan memakaikannya piama katun tipis berwarna abu-abu yang longgar, menutupi bekas-bekas luka dan memar samar yang masih terasa perih. Aroma antiseptik dan salep dingin kini samar tercium dari tubuhnya. Namun, yang jauh lebih parah adalah kekacauan di dalam dirinya, badai emosi yang baru pertama kali ia rasakan. Matanya tidak lagi kosong seperti saat polisi datang; kini dipenuhi dengan binar pertanyaan dan keraguan yang tajam, seperti pecahan kaca yang memantulkan cahaya kebenaran yang menyakitkan. Ia menatap langit-langit kamar yang kotor, mencoba menyusun kepingan-kepingan informasi yang tiba-tiba berhamburan, membentuk mozaik mengerikan yang selama ini tersembunyi. "Laki-laki? Aku?" Bisikan itu terus terulang, memaksanya untuk meninjau ulang seluruh kehidupannya, setiap momen, setiap sentuhan, setiap kata yang pernah diucapkan Diana.

Seluruh potongan puzzle hidupnya, yang dulunya terasa pas dan teratur dalam narasi Diana, kini mulai menunjukkan retakan yang tak terelakkan. Keanehan fisiknya, pertumbuhan payudara yang dulu ia anggap normal dan sebagai "tanda kedewasaan perempuan," kini terasa seperti mutasi yang dipaksakan. Alat kelaminnya yang menyusut dan tidak berfungsi, yang selalu ia anggap sebagai "keunikan tubuh wanita" seperti yang Diana ajarkan, kini terasa seperti cacat yang disengaja. Terapi hormon yang diberikan Diana sejak ia masih sangat kecil, pil-pil yang selalu dicampur dalam minumannya, suntikan-suntikan yang terasa seperti gigitan nyamuk namun ternyata adalah racun yang mengubah esensinya—semuanya tersusun menjadi sebuah gambaran yang mengerikan namun kini jelas. Isolasi total yang selalu Diana pertahankan, kebencian ibunya terhadap laki-laki yang begitu kuat, semua itu kini terasa seperti bagian dari sebuah rencana besar, sebuah konspirasi yang mengerikan. Nadia mulai menyadari bahwa ia telah hidup dalam sebuah kebohongan besar, sebuah penipuan yang rumit, yang dibangun oleh orang yang paling ia percayai di dunia, satu-satunya orang yang ia kenal.

Ia mengingat kembali setiap detail, setiap perkataan Diana. "Nadia itu cantik, seperti putri." "Ini normal bagi anak perempuan." "Tubuh Nadia itu suci, Nak, tidak boleh ada yang melihat." "Dunia luar itu berbahaya, Nak, hanya Ibu yang bisa melindungimu." Semua kalimat itu, yang dulunya adalah fondasi kehidupannya, kini terasa seperti belati yang menusuknya satu per satu, mengoyak jiwanya. Mengapa Diana berbohong? Mengapa ibunya melakukan ini padanya? Mengapa ia harus hidup dalam kepalsuan? Pikiran-pikiran ini adalah racun yang perlahan menyebar, menggerogoti setiap sendi kepercayaannya, membusukkan fondasi hubungannya dengan Diana.

Hubungan mereka yang dulunya kuat karena ketergantungan mutlak kini dipenuhi keretakan yang dalam, seperti cermin yang pecah namun masih menempel pada bingkainya. Sebelum malam itu, Nadia adalah bayangan Diana. Ia patuh, penurut, tanpa pertanyaan, tanpa keraguan. Diana adalah dunianya, sumber semua kebenaman, semua pengetahuan, semua kasih sayang yang ia kenal. Namun kini, di mata Nadia, Diana bukan lagi pelindungnya, melainkan arsitek dari penjaranya sendiri, pencipta dari kebohongan yang menghancurkannya. Ia mulai mempertanyakan segala sesuatu tentang ibunya, namun semua itu dilakukan secara diam-diam, dalam keheningan batinnya. Di permukaan, Nadia masih Nadia yang sama, patuh dan pendiam, bergerak dengan keheningan yang sama. Namun di dalam batinnya, dinding-dinding itu telah runtuh, dan ia mulai membangun benteng kecurigaan yang tak terlihat, memisahkan dirinya dari Diana.

Setiap kali Diana mendekatinya, setiap sentuhan yang mencoba menghibur, setiap kata-kata yang diucapkan, Nadia merasakan gelombang rasa tidak nyaman, seperti sentuhan serangga di kulitnya. Ia mencurigai setiap motif, setiap niat. Ia mencoba menatap mata Diana, mencari jawaban, mencari tanda-tanda kebohongan yang selama ini tersembunyi di balik sorot mata yang penuh kasih sayang itu. Namun, Diana terlalu ahli dalam menyembunyikan perasaannya, atau mungkin, rasa bersalahnya terlalu besar hingga menutupi segalanya, membuat ekspresinya sulit dibaca.

Diana sendiri merasakan keretakan itu, meskipun Nadia tidak mengatakannya secara langsung. Ia melihat perubahan di mata putranya, mata yang dulunya polos kini dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terucap, seperti lautan badai yang tersembunyi di balik permukaan yang tenang. Ia tahu Nadia telah mendengar. Ia tahu Nadia mulai memahami. Rasa bersalah yang selama ini ia tekan dalam-dalam, yang ia kubur di bawah lapisan-lapisan pembenaran diri, kini membanjirinya, menghancurkan pertahanan dirinya, membuatnya sesak napas. Ia merasa seperti monster, telah merenggut identitas asli putranya dan menipunya selama tujuh belas tahun, sebuah dosa yang tak termaafkan.

"Nadia... kau baik-baik saja, Nak?" Diana mencoba bertanya, suaranya parau, penuh penyesalan yang tak terlukiskan. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh Nadia, namun Nadia sedikit menghindar, gerakan yang nyaris tak terlihat namun cukup untuk menusuk hati Diana, mengkonfirmasi ketakutannya yang paling dalam. Penolakan itu, betapapun kecilnya, adalah pukulan telak bagi Diana, mengingatkannya pada jurang yang kini terbentang di antara mereka.

Diana merasa bersalah yang teramat sangat, tetapi ia tidak tahu bagaimana menghadapi kebenaran yang telah terkuak. Bagaimana ia bisa menjelaskan kebohongan sebesar itu? Bagaimana ia bisa membenarkan tindakannya yang telah menghancurkan hidup putranya, mengubahnya menjadi sesuatu yang bukan dirinya? Kata-kata terasa kosong di lidahnya, tidak ada satu pun kalimat yang terasa pantas untuk diucapkan. Ia ingin meminta maaf, ingin menjelaskan, ingin memeluk Nadia dan memperbaiki segalanya, mengembalikan waktu. Namun, kata-kata itu terasa tak cukup. Kejahatannya terlalu besar, luka yang ia torehkan terlalu dalam. Ia hanya bisa menatap Nadia, dengan mata berkaca-kaca, berharap putranya bisa membaca penyesalan di matanya, sebuah permohonan maaf tanpa suara.

Di tengah kekacauan itu, polisi masih mondar-mandir di sekitar rumah, mengumpulkan bukti, menanyai tetangga, dan sesekali kembali untuk menanyakan hal-hal kecil kepada Diana. Pertanyaan-pertanyaan mereka mengenai kejadian malam itu terasa seperti gema yang jauh bagi Nadia, tidak lagi relevan dibandingkan dengan badai di dalam dirinya. Ia tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi dengan pergulatan batin yang tak berkesudahan. Siapa dia sebenarnya? Apakah Diana benar-benar ibunya, ataukah ia adalah pencipta yang kejam? Apakah seluruh hidupnya adalah kebohongan yang sempurna? Ia merasa seperti boneka yang selama ini dimainkan, ditarik ulur oleh benang-benang tak terlihat, dan kini tali-talinya telah putus, membuatnya tergeletak tak berdaya.

Nadia ingat bagaimana Diana selalu memaksanya berpakaian feminin, gaun-gaun cantik, bahkan tanktop pink muda dan celana pendek ketat yang ia kenakan saat perampokan itu terjadi, yang justru membuatnya menjadi sasaran empuk, menonjolkan bentuk tubuh yang palsu. Ia ingat suntikan-suntikan dan pil-pil yang Diana berikan, yang kini ia sadari pasti adalah hormon, mengubahnya dari dalam ke luar. Semua itu untuk mengubahnya, untuk menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya, untuk menciptakan ilusi yang sempurna. Rasa marah mulai tumbuh, perlahan namun pasti, menyertai kebingungannya. Amarah kepada Diana, yang telah melakukan ini padanya, yang telah merenggut identitas aslinya.

Hubungan ibu dan anak yang dulunya merupakan satu-satunya tiang penopang hidup Nadia, kini ambruk, tak bersisa. Dulu, Nadia menganggap Diana adalah pelindung mutlak, penyelamat dari dunia luar yang berbahaya. Kini, ia mulai melihat bahwa bahaya yang sesungguhnya mungkin ada di dalam rumah itu sendiri, dalam wujud orang yang paling ia cintai, orang yang seharusnya melindunginya. Setiap tatapan Diana, setiap sentuhan yang mencoba menghibur, terasa seperti penambahan luka baru, mengikis sisa-sisa kepercayaan yang masih ada.

Retakan itu semakin melebar, menjadi jurang yang dalam antara mereka berdua. Kepercayaan Nadia telah hancur berkeping-keping, tak mungkin lagi diperbaiki. Ia tidak lagi melihat Diana sebagai figur tanpa cela, melainkan sebagai seorang yang penuh rahasia, seorang yang telah menipunya, seorang yang telah mencuri kehidupannya. Pagi itu, yang seharusnya membawa pemulihan, justru membawa kehancuran identitas yang jauh lebih parah, sebuah kehancuran yang akan mengubah Nadia selamanya, dan menjauhkan dirinya dari satu-satunya orang yang ia kenal. Dunia yang selama ini ia kenal telah lenyap, dan ia ditinggalkan di ambang jurang kebenaran yang pahit, sendirian dalam kebingungan yang tak berujung, dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab memenuhi setiap sudut pikirannya.

Ia mencoba mengingat apakah ada hal lain yang Diana sembunyikan. Apakah ada momen-momen lain yang kini terlihat berbeda, penuh dengan makna tersembunyi? Ingatan-ingatan masa kecilnya, yang dulu terasa begitu hangat dan penuh kasih sayang, kini terasa dingin dan penuh perhitungan. Setiap pelukan, setiap pujian, setiap larangan, kini terasa seperti bagian dari sebuah skenario yang telah ditulis dengan cermat, untuk membentuk dirinya menjadi apa yang Diana inginkan, bukan apa yang seharusnya ia menjadi. Rasa dikhianati itu begitu dalam, melampaui rasa sakit fisik yang masih ia rasakan, menembus sampai ke inti jiwanya.

Nadia memejamkan mata. Ia ingin menghilang. Ia ingin kembali ke waktu sebelum malam itu, sebelum teriakan itu, sebelum kebenaran itu terkuak dengan brutal. Namun, ia tahu itu tidak mungkin. Kehidupan lamanya telah hancur. Identitas lamanya telah mati. Dan ia tidak tahu bagaimana membangun kembali dirinya dari puing-puing ini. Ia merasa seperti orang asing di tubuhnya sendiri, di rumahnya sendiri, di dunianya sendiri. Ia merasa terjebak dalam labirin kebohongan yang tak berujung.


Kehancuran fisik rumah pasca perampokan dapat diperbaiki seiring waktu, pecahan kaca diganti, perabot dirapikan, bahkan pintu yang rusak pun bisa diperbaiki secara kasar. Namun, kehancuran dalam diri Nadia jauh lebih parah, dan ia tahu tidak ada lem yang bisa merekatkan kembali kepingan-kepingan identitasnya yang telah hancur. Teriakan "LAKI-LAKI!" itu masih menghantuinya, dan kini, alih-alih melumpuhkan, teriakan itu justru memicu sebuah dorongan baru: keinginan yang membara untuk mencari tahu.

Setelah polisi selesai dengan penyelidikan awal mereka dan pergi, meninggalkan kekosongan yang lebih dingin dari sebelumnya, suasana di rumah menjadi tegang dan penuh kebisuan. Diana, yang tubuhnya masih terasa sakit dan jiwanya remuk redam oleh rasa bersalah, hanya bisa memperhatikan Nadia dari kejauhan. Ia mencoba mendekat, mencoba bicara, namun setiap kali ia mencoba, Nadia akan menarik diri, ekspresinya tertutup, matanya penuh dengan keraguan dan kecurigaan yang membuat Diana tercekat. Nadia kini lebih sering mengurung diri di kamar, atau duduk diam di sudut, membaca buku-buku lama yang ia temukan, bukan lagi buku-buku cerita anak perempuan yang selalu Diana sediakan.

Nadia mulai mencari tahu. Dalam keterbatasannya yang ekstrem—tanpa akses ke internet, tanpa teman untuk bertanya, dan hanya dengan perpustakaan rumah yang kecil dan sangat terbatas—ia mencoba mencari informasi tentang tubuh manusia, tentang perbedaan gender. Ia tahu ini harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti seorang detektif yang melacak jejak kejahatan, karena ia merasakan bahwa Diana masih akan berusaha menyembunyikan kebenaran darinya.

Pencariannya dimulai dari buku-buku lama yang ia temukan di lemari usang di gudang belakang, tempat Diana menyimpan barang-barang yang tidak terpakai. Banyak di antaranya adalah buku-buku tua tentang kesehatan dan kebidanan yang pernah Diana gunakan saat masih menjadi bidan, atau buku-buku tentang biologi dasar dari masa sekolahnya dulu. Buku-buku itu berdebu, halamannya menguning, dan baunya apek, namun bagi Nadia, itu adalah harta karun, portal menuju kebenaran yang selama ini ditutup darinya.

Ia melakukannya saat Diana sedang sibuk memasak di dapur, atau ketika Diana tidur siang yang panjang akibat kelelahan dan trauma. Nadia akan menyelinap ke gudang, mencari buku-buku yang sekiranya relevan, membawanya kembali ke kamarnya, dan membaca dengan penerangan lilin atau lampu minyak yang redup di malam hari. Ia harus ekstra hati-hati, memastikan tidak ada suara, tidak ada jejak yang tertinggal, tidak ada buku yang salah tempat yang akan menarik perhatian Diana. Jantungnya sering berdebar kencang setiap kali mendengar langkah kaki Diana mendekat, takut aksinya ketahuan.

Awalnya, pemahaman Nadia terbatas. Istilah-istilah medis terasa asing, diagram-diagram anatomi membingungkan. Ia membaca berulang kali, mencoba memahami perbedaan antara 'kromosom X' dan 'kromosom Y', antara 'testis' dan 'ovarium', 'estrogen' dan 'testosteron'. Semakin banyak ia membaca, semakin jelas gambaran itu. Ia membandingkan deskripsi di buku dengan tubuhnya sendiri. Ia menyentuh dadanya yang berisi, lalu tangannya turun ke area intimnya yang kini terasa asing, membandingkannya dengan gambar-gambar organ reproduksi pria dan wanita di buku.

Dan di sanalah, kebenaran itu menghantamnya lagi, lebih keras dari pukulan perampok mana pun. Matanya terpaku pada gambar anatomi organ reproduksi pria. Semua yang ia rasakan aneh pada tubuhnya—tonjolan kecil yang menyusut, tidak adanya 'bola' seperti yang digambarkan—semuanya mengarah pada satu kesimpulan yang mengerikan: ia memiliki organ-organ itu, namun telah rusak, atau dimodifikasi hingga tidak berfungsi. Itu adalah testis yang menyusut. Itu adalah penis yang tidak berkembang. Ia adalah laki-laki.

"Laki-laki..." bisikannya nyaris tak terdengar, namun terasa seperti guntur di dalam kepalanya. Rasa mual kembali muncul, bukan karena trauma perampokan, melainkan karena kesadaran akan identitasnya yang telah direnggut.

Ia kemudian mencari informasi tentang hormon. Membaca tentang efek estrogen pada tubuh wanita—pertumbuhan payudara, distribusi lemak tubuh, perubahan suara. Lalu ia membaca tentang testosteron dan efeknya pada pria—pertumbuhan otot, perubahan suara, pertumbuhan rambut. Semua yang ia alami, semua yang Diana berikan padanya selama ini, mulai tersusun menjadi pola yang mengerikan. Pil dan suntikan yang Diana berikan bukanlah "vitamin untuk tumbuh besar" atau "penyubur kandungan," melainkan hormon wanita yang disuntikkan secara paksa ke dalam tubuhnya, mengubah dirinya dari dalam ke luar.

Nadia mulai memahami apa yang telah dilakukan ibunya Diana padanya. Itu bukan hanya kebohongan, itu adalah manipulasi, sebuah rekayasa identitas yang kejam. Ia bukan anak perempuan yang beranjak dewasa. Ia adalah seorang anak laki-laki yang dipaksa menjadi seorang perempuan. Setiap detail yang ia temukan adalah pukulan telak yang menghancurkan sisa-sisa dirinya yang lama.

Kemudian, ia mencoba mencari tahu 'mengapa'. Mengapa Diana melakukan ini? Di antara buku-buku kedokteran itu, ia menemukan beberapa catatan Diana yang terselip, coretan-coretan pribadi yang ditulis tangan dengan rapi. Catatan tentang pasien, tentang kasus-kasus yang pernah Diana tangani. Namun, di antara catatan-catatan itu, ada satu halaman yang menarik perhatiannya, sebuah tulisan tangan yang lebih emosional, lebih berantakan dari yang lain. Itu adalah catatan yang Diana buat saat sedang dalam masa-masa tergelapnya, setelah peristiwa di Desa Cimekar.

Nadia membaca tentang 'pria kejam', 'pengkhianatan', 'dunia yang tidak adil bagi wanita'. Ia membaca tentang kebencian Diana yang mendalam terhadap semua hal yang berbau maskulin. Ia membaca tentang keinginan Diana untuk 'melindungi' Nadia dari takdir yang sama, untuk menciptakan 'sebuah bunga yang tidak akan pernah layu di tangan pria-pria kasar'. Sebuah bunga yang harus dilindungi dengan mengubah esensinya.

Dengan setiap kata yang ia baca, gambaran Diana yang ia kenal—ibu yang penuh kasih sayang, pelindung yang tak kenal lelah—mulai retak, digantikan oleh sosok yang lebih gelap, seorang wanita yang putus asa namun manipulatif, yang telah mengorbankan identitas putranya demi obsesinya sendiri. Rasa dikhianati itu melampaui segala rasa sakit fisik yang pernah ia alami. Ia tidak hanya ditipu; ia telah dicuri dari dirinya sendiri.

Pencariannya tidak berhenti di situ. Ia mulai mengamati Diana dengan lebih cermat, bukan lagi dengan mata seorang anak yang polos, melainkan dengan mata seorang yang mencari bukti. Ia memperhatikan bagaimana Diana masih sering menatapnya dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah yang kini bisa Nadia kenali. Ia memperhatikan bagaimana Diana masih berusaha mengendalikan setiap aspek hidupnya, setiap keputusan kecil, setiap interaksi. Bahkan ketika Diana membantunya merapikan rambut atau memilihkan pakaian (kini selalu piama atau pakaian longgar lainnya untuk menyembunyikan memar), Nadia merasakan kontrol yang mencekik itu, yang dulu ia terima sebagai bentuk kasih sayang.

Ia juga mulai menyadari betapa terbatasnya pengetahuannya tentang dunia luar. Selama ini, Diana adalah satu-satunya sumber informasinya. Ia tidak tahu apa-apa tentang sekolah, tentang teman-teman sebaya, tentang pekerjaan, tentang kota di luar rumah mereka. Semakin ia membaca buku-buku, semakin ia menyadari betapa banyak yang telah disembunyikan darinya. Ia adalah seorang yang tidak berdaya di dunia nyata, sengaja dibuat seperti itu oleh Diana.

Kepalanya terasa penuh, seperti bejana yang meluap dengan pengetahuan baru yang pahit. Kebenaran ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga membingungkan. Jika ia adalah laki-laki, lalu mengapa ia memiliki payudara? Mengapa suaranya tidak berat? Mengapa ia tidak memiliki rambut di wajah seperti yang ia lihat di gambar laki-laki dewasa? Ia mulai memahami bahwa tubuhnya telah diubah, dimodifikasi. Ia adalah produk dari eksperimen, sebuah hasil dari ketakutan dan kebencian Diana.

Nadia mencoba menyentuh payudaranya. Dulu, ia merasa itu adalah bagian dari dirinya, bagian dari "kecantikannya" sebagai seorang perempuan. Kini, ia merasa itu adalah sesuatu yang asing, sesuatu yang dipaksakan padanya, sebuah tanda dari penipuan yang kejam. Rasa jijik dan kemarahan mulai menggantikan kebingungan.

Secara diam-diam, Nadia mulai merencanakan sesuatu. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan, atau ke mana ia akan pergi. Namun, ia tahu satu hal: ia tidak bisa lagi hidup dalam kebohongan ini. Ia tidak bisa lagi hidup di bawah kendali Diana. Perampokan itu, yang seharusnya menjadi akhir dari dunianya, justru menjadi awal dari kebangkitan kesadarannya. Ia memang terluka parah, trauma mendalam, namun benih-benih pemberontakan telah tumbuh di dalam dirinya.

Diana, di sisi lain, merasakan jarak yang semakin nyata antara dirinya dan Nadia. Senyum tipis Nadia terasa palsu, anggukan kepalanya terasa kosong. Setiap kali ia mencoba mendekat, ada dinding tak terlihat yang Nadia bangun. Ia tahu ini adalah akibat dari terungkapnya rahasia itu, namun ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Rasa bersalah menggerogoti setiap sudut hatinya. Ia ingin menjelaskan, ingin memohon maaf, namun ia tahu kata-kata tidak akan cukup.

Ia memperhatikan Nadia membaca buku-buku tua, dan ia merasakan ketakutan baru merayap di punggungnya. Apakah Nadia sudah tahu? Apakah Nadia sedang mencari tahu? Ketakutan itu membuat Diana semakin panik, semakin posesif. Ia mencoba mencari alasan untuk mengambil buku-buku itu, untuk menghentikan pencarian Nadia. Namun, setiap gerakannya hanya akan memperparah keretakan yang sudah ada.

Malam-malam di rumah itu kini diselimuti oleh keheningan yang lebih berat, bukan keheningan damai, melainkan keheningan yang penuh dengan rahasia yang terungkap dan kebenaran yang menyakitkan. Nadia dan Diana tidur di kamar yang sama, berdekatan namun terpisah oleh jurang kebohongan yang telah terbongkar. Diana sering terjaga, menatap punggung Nadia, menyesali setiap keputusan yang telah ia buat. Sementara Nadia, di sisi lain, sering terjaga, memejamkan mata, membiarkan pikirannya menjelajahi kepingan-kepingan kebenaran yang baru ia temukan, merencanakan langkah selanjutnya.

Nadia mulai memahami bahwa perampokan brutal itu, meskipun mengerikan, ironisnya telah memberinya kunci untuk membuka penjara identitasnya. Teriakan "LAKI-LAKI!" adalah alarm yang membangunkan dirinya dari tidur panjang. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai gadis cantik yang sempurna seperti yang Diana ciptakan. Ia adalah seorang laki-laki yang terjebak dalam tubuh yang dimanipulasi, seorang korban dari cinta yang salah arah. Dan dengan pemahaman ini, datanglah kekuatan baru, kekuatan untuk mencari kebenaran, kekuatan untuk mencari identitasnya yang sebenarnya, terlepas dari konsekuensinya. Sebuah perjalanan pahit menuju penemuan diri telah dimulai.


Keheningan di rumah kecil di Bandung itu terasa lebih berat dari sebelumnya, bukan keheningan yang damai, melainkan keheningan yang penuh dengan rahasia yang terungkap dan kebenaran yang menyakitkan. Sejak malam perampokan yang brutal, Nadia telah menarik diri, membangun dinding tak terlihat di sekelilingnya. Ia menghabiskan hari-harinya di kamar, membaca buku-buku lama yang ia temukan, setiap halaman adalah kepingan puzzle yang menyusun gambaran mengerikan tentang kehidupannya yang palsu. Setiap kata yang ia baca tentang biologi, anatomi, dan hormon, adalah pukulan telak yang mengoyak ilusi yang telah Diana ciptakan. Ia adalah laki-laki. Sebuah kebenaran yang menghancurkan, namun juga membebaskan, memberinya rasa arah di tengah kehancuran.

Diana, di sisi lain, merasakan setiap sentimeter dinding yang Nadia bangun. Ia melihat perubahan di mata putranya, binar pertanyaan dan keraguan yang tak terucap, yang menusuk hatinya lebih dalam dari luka fisik mana pun. Rasa bersalah menggerogotinya, membuatnya sulit bernapas. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, ingin memohon maaf, namun kata-kata terasa tercekat di tenggorokannya. Ia tahu, konfrontasi ini tak terhindarkan. Ia hanya tidak tahu kapan dan bagaimana itu akan terjadi, namun ia merasakan udaranya semakin menipis.

Beberapa hari berlalu dalam ketegangan yang mencekam. Suara-suara di rumah hanya berupa bisikan, langkah kaki yang hati-hati, dan dentingan piring yang jarang. Nadia akan keluar dari kamar hanya untuk makan, dan bahkan saat itu pun, ia akan menghindari tatapan Diana, makan dengan cepat, lalu kembali mengurung diri. Diana mencoba untuk memasak makanan kesukaan Nadia, mencoba untuk membersihkan rumah dengan lebih teliti, mencoba untuk melakukan hal-hal kecil yang dulu selalu membuat Nadia tersenyum. Namun, semua itu terasa sia-sia. Senyum Nadia telah lenyap, digantikan oleh ekspresi kosong yang penuh luka, mencerminkan kehampaan yang kini menghuni jiwanya.

Suatu sore, ketika matahari mulai condong ke barat, memancarkan cahaya oranye kemerahan yang menembus jendela yang kini telah ditambal seadanya dengan papan kayu, Nadia akhirnya memberanikan diri. Ia keluar dari kamar, bukan dengan langkah pelan seperti biasanya, melainkan dengan langkah yang lebih tegas, lebih berani, seolah setiap jejak kakinya adalah pernyataan. Diana sedang duduk di kursi goyangnya di ruang tengah, menjahit pakaian yang robek, mencoba mencari ketenangan dalam pekerjaan manual, berharap benang-benang itu bisa merajut kembali ketenangan batinnya. Ia merasakan kehadiran Nadia, dan jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seperti genderang perang. Ini dia. Momen yang ia takutkan, namun juga ia nantikan.

Nadia berdiri di hadapan Diana, bayangannya jatuh di atas kain yang sedang Diana jahit. Ia tidak langsung bicara. Ia hanya menatap Diana, tatapan yang penuh dengan campuran rasa sakit, kemarahan, dan pengkhianatan. Mata yang dulu memuja, kini menatap dengan tuduhan yang tak terucap. Diana mengangkat kepalanya, jarum di tangannya berhenti bergerak, seolah waktu pun ikut membeku. Matanya bertemu dengan mata Nadia, dan di sana, ia melihat cerminan dari semua ketakutannya, semua dosanya.

"Ibu," suara Nadia, yang dulu selalu lembut dan patuh, kini terdengar serak dan penuh beban, seperti kerikil yang bergesekan. "Mengapa?"

Satu kata itu, "Mengapa?", menghantam Diana seperti palu godam. Ia tahu apa yang dimaksud Nadia. Ia tahu rahasianya telah terbongkar sepenuhnya, tak ada lagi yang bisa disembunyikan. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha menahannya. Ia harus kuat. Ia harus menjelaskan, setidaknya untuk kali ini.

"Nadia, Nak..." Diana mencoba meraih tangan Nadia, namun Nadia menarik tangannya dengan cepat, seolah sentuhan Diana kini terasa membakar, membawa racun dari kebohongan.

"Jangan sentuh aku," kata Nadia, suaranya bergetar, namun ada ketegasan di sana yang belum pernah ada sebelumnya. "Jawab aku, Ibu. Mengapa? Mengapa Ibu melakukan ini padaku? Mengapa Ibu berbohong padaku seumur hidupku?"

Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur keluar dari bibir Nadia, satu per satu, seperti anak panah yang menancap tepat di jantung Diana, menusuk setiap lapisan pertahanannya. "Mengapa aku punya payudara? Mengapa suaraku seperti ini? Mengapa aku tidak seperti laki-laki lain? Mengapa Ibu bilang aku perempuan? Mengapa Ibu mengurungku di sini? Mengapa Ibu memberiku pil-pil itu? Mengapa Ibu... mengubahku?" Nadia menunjuk pada tubuhnya, pada piama longgar yang kini menyembunyikan bekas luka, namun tidak bisa menyembunyikan identitas yang dipaksakan.

Setiap pertanyaan adalah tuduhan, setiap kata adalah luka. Diana merasakan air mata yang selama ini ia tahan, kini meluncur deras di pipinya. Ia tidak bisa lagi menahannya. Rasa bersalah yang membanjirinya kini tumpah ruah, membasahi wajah tuanya.

"Ibu tahu, Nak," Diana berkata, suaranya tercekat oleh isak tangis, parau. "Ibu tahu ini sulit. Tapi Ibu punya alasan. Ibu punya alasan yang sangat kuat, Nak. Ibu harus melindungimu."

"Melindungiku?" Nadia tertawa sinis, tawa yang terdengar pahit dan menyakitkan, tanpa kebahagiaan. "Melindungiku dari apa? Dari diriku sendiri? Dari kebenaran? Ibu tidak melindungiku, Ibu memenjarakanku! Ibu mencuri identitasku! Ibu membuatku buta akan duniaku sendiri!"

Kemarahan Nadia memuncak. Ia tidak pernah seberani ini, tidak pernah semarah ini seumur hidupnya. Semua emosi yang selama ini terkunci rapat, kini meledak, menghancurkan bendungan yang ia bangun. "Aku bukan perempuan, Ibu! Aku laki-laki! Aku tahu itu sekarang! Apa yang Ibu lakukan padaku? Apa yang Ibu suntikkan padaku? Ibu menghancurkanku! Ibu merusakku!"

Diana terguncang. Ia tidak pernah melihat Nadia semarah ini, seberani ini, sejelas ini. Ia melihat di mata putranya bukan lagi kepatuhan buta, melainkan pemberontakan yang membara, api yang menyala-nyala. Ini adalah Nadia yang baru, Nadia yang telah terbangun dari mimpi buruk yang panjang, Nadia yang kini melihatnya dengan mata yang berbeda.

"Ibu tahu, Nak," Diana berkata, suaranya bergetar. "Ibu tahu ini sulit dipercaya. Tapi Ibu punya alasan yang sangat dalam. Ibu harus menceritakannya, agar kau bisa mengerti, Nak."

"Alasan apa?" Nadia menuntut, air mata mengalir deras di pipinya, bercampur dengan kemarahan. "Alasan apa yang bisa membenarkan Ibu menipuku selama tujuh belas tahun? Alasan apa yang bisa membenarkan Ibu mengubah tubuhku? Alasan apa yang bisa membenarkan Ibu membuatku menjadi... seperti ini?" Nadia menunjuk pada dirinya sendiri, pada tubuhnya yang kini terasa seperti penjara, sebuah bukti fisik dari kebohongan ibunya.

Diana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini adalah saatnya. Saatnya untuk mengungkapkan rahasia yang telah ia kubur begitu dalam, rahasia yang menjadi akar dari semua tindakannya, luka yang tak pernah sembuh.

"Dulu, Nak," Diana memulai, suaranya pelan, nyaris berbisik, namun penuh dengan rasa sakit yang mendalam dan trauma yang hidup kembali. "Dulu, Ibu... Ibu tinggal di Desa Cimekar. Ibu bukan... Ibu belum pernah menikah, Nak." Diana menekankan kata-kata itu, seolah ingin menegaskan kebenaran yang pahit. "Ibu hidup sendiri, bekerja sebagai bidan desa."

Nadia mendengarkan, meskipun ia masih dipenuhi kemarahan. Ini adalah pertama kalinya Diana berbicara tentang masa lalunya dengan detail seperti ini, dengan kejujuran yang begitu menyakitkan.

"Tapi... suatu malam, Nak," lanjut Diana, air mata kembali mengalir, membasahi kerutan di wajahnya. "Ada sekelompok laki-laki... mereka datang ke rumah Ibu. Mereka... mereka mabuk. Mereka... memperkosa Ibu, Nak." Suara Diana pecah, tubuhnya bergetar hebat. Kenangan itu, yang selama ini ia kubur, kini muncul kembali dengan kekuatan penuh, menghantamnya seperti gelombang pasang. Rasa sakit, rasa malu, rasa jijik, semua membanjirinya, membuatnya sesak napas.

"Mereka berulang kali, Nak. Sampai Ibu... sampai Ibu tidak sadarkan diri." Diana memejamkan mata erat, seolah ingin menghapus gambaran itu dari benaknya. "Setelah itu, Nak, Ibu hamil. Ibu hamil... kau."

Nadia terpaku. Kejadian perampokan semalam, sentuhan-sentuhan kotor itu, kini terasa seperti gema dari trauma Diana. Tapi ini adalah trauma Diana, bukan traumanya.

"Ibu tidak bisa menerima itu, Nak," Diana melanjutkan, suaranya lebih pelan lagi, penuh keputusasaan. "Ibu tidak bisa menerima bahwa Ibu mengandung anak dari laki-laki yang telah menghancurkan Ibu, yang telah merenggut semuanya dari Ibu. Ibu tidak bisa menerima bahwa Ibu akan melahirkan seorang laki-laki, yang suatu hari nanti akan tumbuh menjadi seperti mereka, kejam dan penuh nafsu. Ibu takut, Nak. Ibu sangat takut."

"Ibu membenci laki-laki, Nak. Ibu membenci mereka semua. Ibu membenci kekerasan mereka, kebrutalan mereka, nafsu mereka, semua hal yang maskulin. Ibu bersumpah, Ibu tidak akan pernah membiarkan anak Ibu tumbuh menjadi seperti itu. Ibu tidak akan membiarkan anak Ibu menjadi korban lagi, atau menjadi pelaku. Ibu ingin kau aman, Nadia. Aman dari dunia laki-laki yang kejam."

"Ketika kau lahir, Nak," Diana mengangkat kepalanya, matanya merah dan bengkak, namun ada tekad yang mengerikan di sana, tekad seorang ibu yang terperangkap dalam traumanya sendiri. "Kau sangat kecil, sangat rapuh. Ibu melihatmu, dan Ibu tahu. Ibu tahu Ibu harus melindungimu. Ibu harus mengubah takdirmu. Ibu harus memastikan kau tidak akan pernah menjadi seperti mereka. Ibu ingin kau menjadi... bunga yang indah. Bunga yang akan Ibu lindungi dari dunia yang kejam ini. Ibu ingin kau menjadi perempuan, Nak. Perempuan yang kuat dan aman."

"Ibu mulai memberimu hormon. Ibu belajar dari buku-buku lama Ibu. Ibu tahu itu tidak mudah, Ibu tahu itu menyakitkan, tapi Ibu harus melakukannya. Ibu harus membuatmu menjadi perempuan. Agar kau aman. Agar kau tidak pernah merasakan apa yang Ibu rasakan. Agar kau tidak pernah menjadi seperti mereka. Ibu rela melakukan apa saja, Nadia. Apa saja."

Diana mengulurkan tangannya lagi, kali ini dengan putus asa, mencoba meraih Nadia, wajahnya penuh air mata dan permohonan. "Ibu melakukannya demi kau, Nak. Demi kebaikanmu. Ibu sangat mencintaimu. Ibu tidak ingin kau terluka. Ibu ingin kau bahagia, dengan cara Ibu."

Nadia mendengarkan seluruh penjelasan itu, setiap kata yang diucapkan Diana. Air matanya terus mengalir, namun kini bercampur dengan rasa jijik dan kemarahan yang membara. Ia melihat penyesalan di mata Diana, ia melihat rasa sakit Diana, ia bahkan bisa memahami akar trauma itu. Namun, ia terlalu terluka untuk menerima alasan itu. Trauma Diana adalah miliknya, bukan miliknya. Itu tidak membenarkan apa yang Diana lakukan padanya.

"Demi kebaikanku?" suara Nadia meninggi, penuh kepedihan yang melampaui batas. "Ibu bilang demi kebaikanku? Ibu menghancurkan hidupku, Ibu! Ibu merenggut siapa diriku! Ibu membuatku menjadi kebohongan! Apa yang Ibu lakukan itu bukan cinta, itu obsesi! Itu egois! Ibu menggunakan aku untuk menyembuhkan luka Ibu sendiri!"

"Ibu pikir Ibu bisa memutuskan siapa aku? Ibu pikir Ibu bisa mengubah takdirku? Ibu pikir Ibu bisa menciptakan manusia sesuai keinginan Ibu? Ibu pikir Tuhan bisa digantikan? Ibu salah! Ibu salah besar!"

"Aku tidak pernah meminta ini, Ibu! Aku tidak pernah meminta untuk menjadi perempuan! Aku tidak pernah meminta untuk diurung di sini! Aku tidak pernah meminta untuk hidup dalam kebohongan! Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari trauma Ibu!"

Nadia mundur selangkah, menjauhi Diana. Setiap kata yang Diana ucapkan, setiap detail tentang trauma masa lalunya, tidak membenarkan tindakannya di mata Nadia. Itu hanya menunjukkan betapa dalamnya luka Diana, dan betapa kejamnya luka itu telah memakan dirinya, hingga ia rela menghancurkan putranya sendiri. Rasa kasihan yang samar bercampur dengan kemarahan yang membara.

"Ibu tidak melindungiku," kata Nadia, suaranya kini lebih tenang, namun penuh dengan kepedihan yang menusuk, menembus inti jiwa Diana. "Ibu hanya melindungiku dari kebenaran. Dan sekarang, kebenaran itu telah menghancurkanku. Ibu telah menghancurkanku, dan Ibu juga menghancurkan diri Ibu sendiri."

Diana hanya bisa menangis, terisak-isak, tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia melihat di mata Nadia bukan lagi rasa sayang, melainkan kekecewaan yang mendalam, pengkhianatan yang tak termaafkan. Ia telah kehilangan putranya. Semua yang ia lakukan, semua pengorbanannya, semua kebohongan yang ia pupuk, kini menjadi bumerang yang menghantamnya sendiri, memusnahkan semua yang ia miliki.

"Nadia, Nak... Maafkan Ibu..." Diana mencoba merangkak mendekati Nadia, mencoba meraih kakinya, namun Nadia mundur lagi. Ia tidak bisa lagi menerima sentuhan itu, sentuhan yang terasa seperti belenggu.

"Maaf?" Nadia tertawa pahit, tawa yang menusuk tulang. "Maaf tidak akan mengembalikan siapa diriku, Ibu. Maaf tidak akan menghapus apa yang terjadi padaku. Maaf tidak akan membuatku menjadi laki-laki yang seharusnya aku menjadi. Maaf tidak akan mengembalikan kepercayaanku yang telah Ibu rampas."

Konfrontasi itu berlanjut selama berjam-jam, penuh dengan air mata, kemarahan yang meledak-ledak, dan penyesalan yang tak terhingga. Nadia meluapkan semua rasa sakit, kebingungan, dan kemarahan yang selama ini ia pendam, setiap kata adalah batu yang dilemparkan ke jantung Diana. Diana mencoba menjelaskan, memohon, menangis, namun setiap kata yang keluar dari bibirnya hanya memperparah jurang di antara mereka, membuat mereka semakin terpisah.

Pada akhirnya, Nadia tidak bisa lagi menahan diri. Ia tidak bisa lagi berada di ruangan yang sama dengan Diana. Ia tidak bisa lagi menatap wajah yang telah menipunya seumur hidup. Dengan langkah gontai, ia berbalik, berjalan kembali ke kamarnya, meninggalkan Diana yang terisak-isak sendirian di ruang tengah yang kini terasa begitu dingin dan hampa, seperti kuburan bagi hubungan mereka.

Pintu kamar Nadia tertutup dengan suara pelan, namun bagi Diana, suara itu terdengar seperti guntur, mengakhiri semua harapan. Itu adalah suara perpisahan, suara kehancuran yang total. Hubungan ibu dan anak yang dulu tak terpisahkan, kini telah hancur berkeping-keping, tak mungkin lagi diperbaiki. Kepercayaan telah runtuh. Dan di tengah puing-puing itu, Nadia dan Diana ditinggalkan sendirian, masing-masing dengan luka yang menganga, dan kebenaran yang pahit, yang kini telah memisahkan mereka selamanya.

Nadia berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit. Air matanya masih mengalir, namun kini bercampur dengan rasa lega yang aneh, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Ia telah mengatakan apa yang harus ia katakan. Ia telah menghadapi kebenaran. Namun, rasa sakit itu masih ada. Rasa sakit karena dikhianati, rasa sakit karena kehilangan identitas, rasa sakit karena menyadari bahwa seluruh hidupnya adalah kebohongan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Masa depannya terasa seperti jurang yang gelap, tanpa peta, tanpa kompas, tanpa arah. Ia hanya tahu satu hal: ia tidak bisa lagi mempercayai orang yang telah membentuk seluruh kehidupannya.

Di ruang tengah, Diana masih terisak-isak, memeluk lututnya, tubuhnya bergetar hebat. Rumah itu terasa begitu besar dan kosong, seolah semua kehangatan telah lenyap. Ia telah kehilangan putranya. Ia telah kehilangan segalanya. Obsesinya untuk melindungi Nadia, untuk mengubah takdirnya, telah menghancurkan mereka berdua. Ia telah menciptakan monster dari ketakutannya sendiri, dan kini monster itu telah memakan dirinya, meninggalkannya sendirian di tengah kehancuran. Ia hanya bisa menangis, menyesali setiap keputusan, setiap kebohongan, setiap sentuhan yang telah mengubah putranya menjadi seorang asing yang kini menatapnya dengan kebencian. Konfrontasi itu adalah akhir dari segalanya, dan awal dari kehancuran yang tak terhindarkan bagi keduanya.


Keterasingan yang mencekik di dalam rumah, di bawah pengawasan ketat Diana, perlahan namun pasti menggerogoti setiap serat keberadaan Nadia. Dinding-dinding yang sama itu, yang seharusnya menawarkan perlindungan, kini terasa semakin menyempit, memenjarakan jiwanya yang haus akan udara bebas. Tatapan penuh curiga dari Diana, meskipun seringkali tak terucap, adalah belenggu tak kasat mata yang tak pernah luput dari perasaannya. Nadia, yang jiwanya meronta ingin merasakan dunia luar, mendambakan sensasi angin malam menerpa kulit, dan aroma tanah basah setelah hujan. Desakan untuk sekadar menghirup udara bebas, meskipun hanya sesaat, menjadi kebutuhan primer yang tak tertahankan, sebuah bisikan halus yang perlahan berubah menjadi jeritan dalam benaknya.

Maka, sesekali, saat kegelapan paling pekat menyelimuti rumah dan Diana terlelap dalam tidurnya yang pulas, Nadia akan menyelinap keluar. Seperti bayangan yang luput dari pandangan, ia melangkah keluar dari pintu belakang yang senyap, mencari secuil kebebasan di tengah kegelapan yang melingkupinya. Ia tak punya tujuan, tak punya arah. Ia hanya ingin berjalan, melangkah menjauh dari dinding-dinding yang terasa semakin menyempit, menjauh dari tatapan penuh curiga yang selalu ia rasakan, mencari pelarian dari rasa sesak yang menghimpit dada. Setiap langkah kakinya di atas aspal basah adalah sebuah deklarasi bisu akan perlawanan, sebuah upaya untuk meraih kembali sedikit kendali atas dirinya, meskipun hanya dalam waktu yang singkat dan fana.

Namun, kebebasan singkat itu, seperti kunang-kunang yang terbang mendekati api, berujung pada malapetaka yang tak terduga. Di salah satu malam yang sunyi itu, saat Nadia berjalan menyusuri gang sempit yang remang-remang, hanya ditemani oleh cahaya lampu jalan yang redup, ia merasakan firasat buruk yang merayapi bulu kuduknya. Udara malam yang tadinya terasa menyejukkan kini mendadak dingin, seolah membisikkan bahaya. Bayangan-bayangan panjang di depannya, yang semula tampak tak berbentuk, tiba-tiba membentuk sosok nyata: sekelompok preman yang tampaknya sudah menunggunya, mata mereka mengilat tajam di bawah pendar lampu jalan yang redup. Sosok-sosok itu terlihat seperti bayangan-bayangan kelam yang muncul dari dasar mimpi buruk, mengincar mangsanya dengan nafsu predator. Nadia menyadari, ia telah menjadi incaran.

Jantung Nadia berdebar kencang, dentumannya terasa memukul gendang telinganya, sebuah melodi ketakutan yang dingin merayapi setiap inci tubuhnya. Ia mencoba berbalik, secepat kilat ingin melarikan diri, berlari sejauh mungkin dari bahaya yang kini mengepungnya, namun sudah terlambat. Para preman itu dengan cepat mengepungnya, lingkaran tak kasat mata yang menjebaknya, tawa-tawa sinis mengiringi langkah mereka yang mendekat, suara-suara sumbang yang terdengar seperti melodi kematian. Nadia berusaha melawan, meronta dengan sisa tenaganya, tangannya mencakar udara, kakinya menendang, tetapi tenaga mereka jauh lebih besar. Dengan sekali dorongan kasar, ia dilemparkan ke tanah yang dingin dan kotor, punggungnya menghantam aspal yang keras. Kain roknya tersingkap, memperlihatkan betisnya yang ramping, dan kengerian masa lalu yang selalu ia coba lupakan, kembali menerkamnya dengan kekuatan penuh.

Ini adalah pemerkosaan untuk kedua kalinya, sebuah siklus kekerasan yang tak berujung. Namun, kali ini terasa lebih brutal, lebih merendahkan, lebih menghancurkan. Salah satu preman itu, dengan seringai di wajahnya, menarik paksa celana legging Nadia hingga melorot, memperlihatkan paha mulusnya. Saat itulah, kengerian sejati muncul, sebuah kenyataan pahit yang tak bisa lagi disembunyikan. Preman itu, dengan mata terbelalak, mengetahui Nadia bukan perempuan asli ketika ia melihat penis kecil yang mungil dan lemas milik Nadia setelah celana dalamnya melorot. Seketika, tawa-tawa sinis mereka terhenti, digantikan oleh ekspresi jijik dan amarah yang mengerikan. Wajah-wajah mereka berubah menjadi topeng kebencian, mata mereka menyala. "Oh, jadi ini banci!" teriak salah satunya dengan nada jijik dan merendahkan yang menusuk, yang lain ikut menimpali dengan makian kasar dan hinaan yang menusuk hingga ke relung jiwa. Kata-kata itu menghantam Nadia lebih keras dari pukulan fisik mana pun, setiap hurufnya adalah pisau yang mengoyak-ngoyak harga dirinya. Kebencian di mata mereka, penghinaan dalam suara mereka, menusuk hingga ke inti jiwanya, meninggalkan luka yang takkan pernah sembuh.

Nadia dipaksa dalam posisi yang begitu memalukan dan tak berdaya. Ia dikangkangkan dengan paksa, kakinya ditarik melebar oleh tangan-tangan kasar, membuat setiap inci dirinya terasa terekspos dan tak berdaya di bawah tatapan menjijikkan para preman itu. Nadia berteriak kesakitan, suaranya parau dan serak, sebuah jeritan pilu yang menusuk malam sepi. Air mata mengalir deras tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat. Rasa sakit fisik yang menyiksa, bercampur dengan kengerian yang mencekik, menyelimutinya saat anusnya disodomi habis-habisan. Setiap dorongan adalah pengingat kejam akan trauma yang terus membayanginya, sebuah kekerasan yang diperparah oleh kebencian yang terang-terangan terpancar dari mata para pelaku. Rasa sakit fisik itu bercampur aduk dengan luka psikologis yang dalam, menghancurkan sisa-sisa harga diri yang masih ia coba pertahankan. Nadia merasakan dirinya terkoyak, jiwa dan raganya hancur berkeping-keping. Ia menangis, terisak-isak tak terkendali, berharap semua ini segera berakhir. Ia ingin menghilang, lenyap dari dunia ini, dari penderitaan ini, dari kenyataan bahwa ia begitu tidak berdaya. Ia berharap tanah menelannya hidup-hidup, mengakhiri semua kengerian ini.

Sementara itu, salah satu preman lain, dengan seringai cabul di wajahnya, menarik kasar baju Nadia hingga terbuka, memperlihatkan kulit dadanya dan payudaranya yang besar dan montok. Tanpa ragu, ia melepaskan BH Nadia, lalu dengan rakus menghisap payudara Nadia yang besar itu dengan lahap, membuat Nadia semakin merinding jijik dan kesakitan. Di sisi lain, preman yang ketiga, tak kalah bejat, memasukkan penisnya ke dalam mulut Nadia, memaksa Nadia untuk melakukan hal yang paling menjijikkan, membuat Nadia terbatuk dan tersedak dalam tangisannya. Nadia dipaksa melakukan ini semua, setiap sentuhan, setiap desakan, adalah siksaan yang tak terlukiskan, merenggut setiap sisa martabatnya hingga ke titik nol.

Kejadian mengerikan ini menjadi pukulan telak yang tak terbayangkan bagi Nadia. Trauma ini bukan hanya mengulang rasa sakit lama dari pemerkosaan pertamanya, tetapi juga menanamkan ketakutan baru, rasa jijik yang mendalam terhadap sentuhan, dan kebencian yang menghancurkan pada dirinya sendiri sebagai seorang banci. Ia kembali merasakan kengerian dan keputusasaan yang sama seperti saat ia diperkosa pertama kali, namun kali ini, ada lapisan kebencian yang baru dan lebih pekat. Kebencian terhadap dirinya sendiri, terhadap tubuhnya yang terasa mengkhianatinya, yang tidak sepenuhnya "pria" atau "wanita", dan terhadap dunia yang begitu kejam padanya, yang menolaknya karena identitasnya yang berbeda. Setiap sentuhan preman itu terasa mengotori, meracuni setiap pori-pori kulitnya, setiap kata makian meracuni jiwanya, menghancurkan sisa-sisa kemanusiaan dalam dirinya. Nadia merasa seperti sampah, objek yang bisa diperlakukan sesuka hati, diinjak-injak, dihina, karena identitasnya yang dianggap "cacat" oleh masyarakat. Ia merasa tak layak dicintai, tak layak dihormati, tak layak hidup. Pikiran untuk mengakhiri segalanya mulai merayapi benaknya, menawarkan janji kedamaian abadi.

Kembali ke rumah dengan tubuh yang sakit luar biasa dan jiwa yang hancur berkeping-keping, Nadia menarik diri sepenuhnya dari dunia. Ia menolak bicara, bisikan pun terasa seperti beban yang terlalu berat. Ia menolak makan, bahkan aroma makanan terasa memuakkan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya meringkuk di sudut kamar, tubuhnya gemetar dalam keheningan yang mencekik. Sorot matanya kosong, dipenuhi kegelapan yang pekat, seolah cermin bagi jiwa yang telah mati. Kenangan pahit itu terus berputar tanpa henti di benaknya, sebuah rekaman ulang yang kejam: suara-suara sumbang, sentuhan menjijikkan, dan rasa sakit yang tak berujung. Dunia di luar rumah terasa seperti medan perang yang tak henti-hentinya mengancam, dan kini, bahkan di dalam dirinya sendiri, Nadia merasa terkoyak, terpecah belah, tanpa harapan untuk sembuh.

Luka ini lebih dari sekadar fisik; itu adalah luka pada jiwanya yang paling dalam, mengikis habis setiap harapan dan keinginannya untuk bertahan hidup. Jalan lain yang ia pilih untuk mencari kebebasan sesaat justru membawanya ke dalam jurang kegelapan yang jauh lebih dalam, sebuah palung keputusasaan yang tak berdasar, mengukuhkan kembali trauma dan kekerasan yang terus membayanginya tanpa henti. Nadia kini adalah cangkang kosong, terjebak dalam lingkaran setan ketakutan, rasa sakit, dan kebencian diri yang tak berujung. Ia adalah gema dari dirinya yang dulu, sebuah jejak yang nyaris tak terlihat, menanti nasibnya di tengah kegelapan yang tak berkesudahan.


Pintu rumah itu, yang kini telah ditambal dengan kayu seadanya, kembali menutup, mengunci Nadia dari dunia luar, namun kali ini bukan lagi sebagai tempat perlindungan, melainkan sebagai sangkar. Ia telah kembali ke rumah, ke tempat yang seharusnya menjadi satu-satunya sumber keamanan dan kenyamanan baginya, namun setelah peristiwa pahit di luar sana, rumah itu terasa semakin mencekik, semakin menyesakkan. Pengalaman singkatnya dengan kebebasan yang diikuti oleh bahaya yang mengerikan di jalanan, adalah pukulan telak terakhir bagi benteng mentalnya yang sudah rapuh.

Nadia berjalan terhuyung memasuki rumah, langkahnya gontai, tubuhnya lelah, namun yang lebih parah adalah jiwanya yang kini terasa remuk redam. Matanya kosong, tidak lagi memancarkan binar rasa ingin tahu atau kemarahan seperti saat ia mencoba mengonfrontasi Diana. Kini, yang tersisa hanyalah kehampaan, bayangan ketakutan yang mendalam, dan kebingungan yang tak teratasi. Ia telah melihat sisi gelap dunia luar, sebuah sisi yang jauh lebih menakutkan dari yang pernah Diana ceritakan, dan ia telah merasakan betapa rentannya ia di dalamnya.

Diana menyambut Nadia di ambang pintu, wajahnya pucat pasi, matanya sembap karena menangis. Ia telah cemas setengah mati sejak Nadia menyelinap keluar. Melihat putranya kembali dalam keadaan seperti itu—pakaiannya kotor, rambutnya acak-acakan, tatapannya kosong, dan aura ketakutan yang begitu pekat menyelimutinya—hati Diana terasa diremas. Ia segera merangkul Nadia, mencoba memeluknya erat, mencari jejak kehangatan dan kehidupan yang tersisa dalam tubuh putranya. Namun, Nadia hanya berdiri kaku dalam pelukannya, tidak membalas, seolah ia adalah boneka tak bernyawa.

"Nadia, Nak... Syukurlah kau kembali... Ibu sangat khawatir..." bisik Diana, suaranya bergetar, air mata kembali membasahi pipinya. Ia mencoba menuntun Nadia ke kamar, mendudukkannya di ranjang.

Nadia hanya menuruti, tanpa protes, tanpa perlawanan. Ia duduk di pinggir ranjang, menatap dinding di depannya seolah ada sesuatu yang menarik perhatian di sana, padahal tidak ada apa-apa. Pikirannya melayang, terputus dari kenyataan. Pengalaman di luar sana, ancaman yang ia rasakan, ketakutan yang melumpuhkan, semua itu tumpang tindih dengan trauma perampokan di rumah, dan kehancuran identitas yang baru ia sadari. Beban itu terlalu berat untuk ditanggung oleh mentalnya yang belum matang.

Diana mencoba membersihkan luka gores di tangan Nadia, mengganti pakaiannya dengan piama bersih, berbicara lembut kepadanya. Namun, Nadia tidak merespons. Ia seperti patung, yang hanya bisa digerakkan oleh tangan Diana. Ia tidak makan, tidak minum, tidak tidur dengan nyenyak. Malam-malamnya diisi dengan mimpi buruk yang tak terucap, membuatnya terbangun dengan jeritan tertahan dan keringat dingin.

Kerusakan mental Nadia semakin nyata dari hari ke hari. Ia sering termenung, berjam-jam menatap ke satu titik, tanpa berkedip. Terkadang, ia akan tiba-tiba bersembunyi di bawah meja atau di balik lemari, gemetar ketakutan, seolah masih ada bahaya yang mengintai. Suara-suara keras, seperti dentuman piring jatuh atau guntur, akan membuatnya tersentak hebat, bahkan kadang-kadang berteriak. Ia kehilangan minat pada buku-buku yang dulu ia baca dengan penuh rasa ingin tahu. Minatnya pada eksplorasi diri dan identitasnya, yang baru tumbuh, kini digantikan oleh rasa takut dan putus asa.

Kecemasan ekstrem menjadi teman barunya. Setiap bayangan, setiap suara samar, memicu ketakutan yang tak terkendali. Ia takut pada kegelapan, takut pada suara laki-laki, takut pada setiap pintu yang terbuka. Dunia, bahkan rumahnya sendiri, kini terasa seperti tempat yang penuh jebakan. Ia sering menarik rambutnya sendiri, menggigit bibirnya hingga berdarah, atau mencengkeram tangannya erat-erat hingga buku jarinya memutih, mencoba meredakan kegelisahan yang membanjirinya.

Diana menyaksikan semua ini dengan hati yang hancur berkeping-keping. Rasa bersalahnya semakin meluap, menenggelamkannya dalam samudra penyesalan. Ia telah melihat putranya kembali dalam keadaan yang jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Kondisi mental Nadia yang rusak adalah cerminan dari semua kesalahan yang telah Diana perbuat. Ia telah berusaha melindungi Nadia dengan caranya sendiri, namun justru ia yang telah menghancurkan putranya, pertama dengan kebohongan, lalu dengan isolasi yang tidak mempersiapkan Nadia untuk dunia luar yang kejam.

"Nadia, Nak... bicara pada Ibu..." Diana akan memohon, duduk di samping Nadia, mengusap punggungnya. "Apa yang terjadi di luar sana? Siapa yang melukaimu, Nak?"

Nadia hanya akan menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di matanya yang kosong, namun tidak ada kata yang keluar. Suaranya seolah tercekat di tenggorokan, terkunci rapat oleh trauma yang terlalu besar untuk diungkapkan. Ia tidak bisa menceritakan detail kengerian yang ia alami, bahkan jika ia mau, jiwanya tidak mampu merekonstruksi ingatan itu.

Diana menyadari bahwa putranya kini bukan lagi Nadia yang ia kenal. Nadia yang penasaran, Nadia yang pemarah, bahkan Nadia yang menuntut penjelasan, semuanya telah lenyap, digantikan oleh Nadia yang hampa, Nadia yang rusak. Ini adalah akibat langsung dari tindakan Diana. Ia telah memanipulasi identitas putranya, dan kini dunia telah menghantam putranya dengan kebenaran yang kejam, meninggalkan Nadia dalam keadaan yang sangat rentan.

Diana berusaha sekuat tenaga untuk merawat Nadia. Ia memasak makanan kesukaan Nadia, mencoba menyuapinya, membacakan dongeng seperti saat Nadia kecil, menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur. Ia melakukan segala cara untuk mengembalikan Nadia yang lama. Namun, semua usahanya sia-sia. Nadia tidak merespons. Ia hanya duduk diam, atau menatap Diana dengan tatapan yang tidak mengenali, seolah Diana adalah orang asing.

Rasa tidak berdaya melanda Diana. Ia adalah seorang bidan, seorang yang terbiasa mengatasi masalah fisik, namun ia tidak tahu bagaimana menyembuhkan jiwa yang hancur. Ia tidak punya uang untuk membawa Nadia ke dokter jiwa, dan ia juga takut jika kondisi Nadia yang sebenarnya terungkap, maka rahasia identitasnya juga akan terbongkar. Ia terjebak dalam dilema yang menyakitkan.

Kegilaan Nadia mulai menunjukkan bentuk-bentuk lain. Ia terkadang berbicara sendiri dengan bisikan-bisikan tak jelas, atau tertawa tanpa sebab yang jelas. Ia sering melamun, terputus dari realitas. Terkadang, ia akan tiba-tiba mulai menggaruk-garuk lengannya dengan kuku hingga kulitnya memerah, seolah mencoba mengikis sesuatu yang tidak terlihat. Dunia di dalam kepalanya menjadi lebih nyata daripada dunia di sekelilingnya.

Diana sering duduk di samping Nadia, memeluknya, menangis dalam diam. Ia menyesali semua yang telah ia lakukan. Ia menyesali setiap pil hormon, setiap larangan untuk keluar rumah, setiap kebohongan yang ia ciptakan. Ia melihat putranya, yang kini hidup sebagai bayangan dirinya sendiri, dan ia merasa seolah ia telah membunuh jiwa Nadia dengan tangannya sendiri.

"Maafkan Ibu, Nak... Maafkan Ibu..." bisik Diana berulang kali, menciumi rambut Nadia yang terasa dingin. "Ibu sangat mencintaimu... Ibu hanya ingin kau aman..." Namun, kata-kata itu terasa hampa, hanya gema penyesalan yang tidak akan pernah sampai kepada Nadia yang kini terperangkap dalam dunianya sendiri.

Hubungan mereka kini telah sepenuhnya rusak. Jika sebelumnya ada keretakan kepercayaan, kini yang ada hanyalah jurang pemisah yang dalam. Nadia tidak lagi berinteraksi dengan Diana. Ia hanya ada, sebuah keberadaan fisik, namun jiwanya telah terbang jauh. Diana mencoba menata ulang rumah yang hancur, tetapi setiap kali ia melihat Nadia, ia merasakan kehancuran yang jauh lebih besar di dalam dirinya.

Malam-malam di rumah itu terasa panjang dan dingin. Diana akan sering terjaga, mendengar bisikan-bisikan Nadia dari kamar sebelah, atau suara Nadia yang sesekali merengek dalam tidur. Ia akan bangkit, menghampiri Nadia, dan hanya bisa duduk di sampingnya, memandangi putranya yang kini telah menjadi orang asing, hasil dari obsesi dan ketakutan dirinya sendiri. Ia merasa putus asa, tidak tahu harus berbuat apa.

Kehancuran mental Nadia adalah harga yang harus dibayar Diana atas semua keputusannya. Ia telah mencoba mengendalikan takdir, membelokkan jalan kehidupan, dan kini ia harus menanggung konsekuensinya. Nadia adalah cerminan dari kegagalannya, sebuah monumen bisu atas kehancuran yang ia ciptakan sendiri.

Di tengah keheningan yang mencekam, Diana sering merenungkan masa lalunya. Trauma pemerkosaan yang ia alami dulu adalah luka yang tidak pernah sembuh, luka yang ia biarkan menguasai dirinya dan membentuk seluruh kehidupannya. Ia telah memproyeksikan ketakutannya pada Nadia, mengubah putranya menjadi wadah bagi obsesinya. Kini, ia melihat hasilnya: seorang anak yang hancur, sebuah jiwa yang rusak.

Nadia, di sisi lain, tenggelam dalam kabut mentalnya. Dunia luar dan dunia di dalam kepalanya tumpang tindih. Ia sering berhalusinasi, melihat bayangan-bayangan yang tidak ada, mendengar suara-suara bisikan yang mengancam. Identitasnya yang dulu, sebagai "Nadia si gadis kecil", kini terasa seperti lelucon yang kejam. Identitas barunya, sebagai "laki-laki", terasa asing dan menakutkan. Ia terjebak di antara keduanya, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.

Setiap sentuhan Diana terasa seperti ancaman, setiap suara Diana terasa seperti bagian dari kebohongan. Ia tidak bisa lagi membedakan kenyataan dari ilusi. Ia adalah seorang korban yang telah dihantam berulang kali, oleh dunia luar dan oleh orang yang seharusnya melindunginya.

Diana sesekali akan membawa makanan ke kamar Nadia, meletakkannya di samping ranjang. Ia akan duduk di sana selama berjam-jam, berharap Nadia akan makan, akan berbicara, akan menunjukkan sedikit saja tanda kehidupan. Namun, seringkali makanan itu tidak tersentuh, dan Nadia akan tetap terdiam, tatapannya kosong, jauh di suatu tempat yang tidak bisa Diana jangkau.

Rasa sedih Diana tak terhingga. Ia tidak hanya sedih melihat putranya rusak secara mental, tetapi juga sedih karena ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Ia merasa tidak berdaya, tidak berguna. Semua kepintarannya sebagai bidan, semua pengetahuannya, tidak ada gunanya di hadapan kerusakan jiwa Nadia.

Pagi, siang, dan malam di rumah itu kini hanya diisi dengan keputusasaan. Nadia yang terperangkap dalam dunianya sendiri, dan Diana yang terperangkap dalam rasa bersalahnya yang tak berkesudahan. Jalan hidup Nadia yang gelap kini semakin pekat, dan Diana hanya bisa menyaksikannya, tanpa daya. Keduanya berada di ambang kehancuran total, hasil dari sebuah rahasia yang terlalu lama disimpan dan trauma yang tidak pernah disembuhkan. Mereka adalah dua jiwa yang rusak, terperangkap bersama dalam reruntuhan yang mereka ciptakan.


Pagi itu di Bandung terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun mentari sudah naik tinggi. Kabut tipis masih menggantung di beberapa sudut kota, menambah kesan suram pada hari yang akan menjadi titik balik baru dalam kehidupan Nadia. Di rumah kecil yang kini dipenuhi keheningan dan kerapuhan mental, Nadia masih terperangkap dalam dunianya sendiri, terpisah dari realitas. Ia duduk di sudut kamar, memeluk lututnya, tatapannya kosong, sesekali bergumam tanpa arti. Diana, yang semakin kurus dan renta akibat tekanan yang tak berkesudahan, memandangi putranya dengan keputusasaan yang mendalam. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu, ia harus mencari pertolongan, meskipun ia tidak tahu harus mulai dari mana dan bagaimana cara melakukannya tanpa mengungkap rahasia mereka.

Kebutuhan mendesak akan persediaan makanan dan obat-obatan Nadia yang mulai menipis memaksa Diana untuk memberanikan diri keluar. Ia harus pergi ke pasar, harus pergi ke apotek, meskipun setiap langkah di luar rumah terasa seperti melangkah ke dalam jurang ketidakpastian. Ia melirik Nadia, yang masih terdiam di kamarnya. Hatinya perih. Ia ingin membawa Nadia bersamanya, ingin menjaganya tetap dekat, namun kondisi Nadia saat ini terlalu rapuh untuk menghadapi dunia luar. Dengan berat hati, Diana hanya bisa mengunci pintu dari luar, meninggalkan Nadia sendirian di dalam rumah yang kini terasa seperti penjara bagi keduanya.

Diana melangkah keluar, napasnya terasa berat. Udara pagi yang dingin menyengat kulitnya. Jalanan kota Bandung, yang biasanya ramai dengan aktivitas, pagi itu terasa lebih lengang. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh Nadia. Ia memikirkan semua kesalahannya, semua kebohongan yang telah ia ciptakan, semua trauma yang telah ia timbulkan pada putranya. Rasa bersalah itu menusuknya, membuatnya berjalan tanpa arah yang jelas, hanya fokus pada satu tujuan: mendapatkan apa yang Nadia butuhkan.

Ia berjalan menyusuri jalanan sempit, melewati deretan rumah-rumah yang masih tertutup rapat, melewati toko-toko kecil yang baru saja membuka pintu. Di persimpangan jalan yang menuju pasar, suasana mulai sedikit ramai. Pedagang-pedagang menata dagangan mereka, beberapa kendaraan mulai lalu-lalang, dan suara klakson terdengar samar dari kejauhan.

Diana menyeberang jalan, pandangannya masih kosong, pikirannya melayang pada kondisi Nadia. Ia tidak memperhatikan sekitarnya dengan seksama, tidak mendengar deru mesin yang mendekat dengan kecepatan tinggi. Sebuah angkot berwarna hijau melaju kencang dari arah yang berlawanan, pengemudinya mungkin sedang terburu-buru, atau mungkin ia sedang melamun seperti Diana.

Detik-detik itu terasa seperti diperlambat. Sebuah klakson panjang yang memekakkan telinga tiba-tiba membunyikan alarm. Diana tersentak, pandangannya buram. Ia melihat cahaya terang yang mendekat dengan kecepatan luar biasa. Ia tidak punya waktu untuk bereaksi, tidak punya waktu untuk menghindar, tidak punya waktu untuk berteriak. Semua terjadi begitu cepat.

BRAK!

Suara benturan yang memekakkan telinga menggema di jalanan yang baru saja ramai. Tubuh Diana terlempar beberapa meter ke depan, menghantam aspal dengan suara yang mengerikan. Tas belanjaannya terlepas dari genggamannya, isinya berhamburan di jalanan yang basah oleh embun pagi. Angkot itu mengerem mendadak, menghasilkan suara decitan ban yang memilukan, dan berhenti beberapa meter dari tubuh Diana yang kini tergeletak tak berdaya.

Orang-orang di sekitar lokasi kejadian terkesiap, beberapa berteriak panik. Para pedagang yang tadinya sibuk menata dagangan, kini berlarian mendekat, wajah mereka dipenuhi ketakutan dan kepanikan. Darah mulai merembes di bawah kepala Diana, membentuk genangan kecil di aspal yang dingin. Matanya terbuka, menatap langit yang kelabu, namun tidak ada lagi kehidupan di dalamnya. Napas terakhirnya telah terembus, membawa serta semua rasa bersalah, semua trauma, dan semua cinta yang tak terucap kepada Nadia.

Kematian Diana. Sang pelindung, sang penipu, sang ibu yang penuh dosa, telah tiada. Tragedi yang tiba-tiba ini mengubah segalanya.

Di rumah, Nadia masih duduk di kamarnya, terperangkap dalam kekacauan mentalnya. Ia tidak mendengar suara sirine ambulans yang kini mulai terdengar samar dari kejauhan, tidak merasakan keramaian yang terjadi di luar. Dunia di sekelilingnya terasa jauh, tidak nyata. Ia hanya ada, sebuah cangkang kosong yang ditinggalkan oleh badai trauma.

Beberapa jam kemudian, ketukan keras di pintu rumah mengoyak keheningan. Nadia tidak bergeming. Ia tidak mengerti apa itu ketukan, siapa yang datang. Ketukan itu berulang, lebih keras, lebih mendesak. Akhirnya, kunci yang rapuh itu berhasil dibuka oleh beberapa tetangga yang khawatir dan dua orang polisi yang datang untuk menyampaikan kabar buruk.

Mereka masuk, melihat kondisi rumah yang berantakan, lalu menemukan Nadia di kamarnya. Wajah mereka dipenuhi rasa prihatin dan terkejut.

"Nona Nadia?" seorang polisi wanita mencoba memanggilnya dengan lembut, namun Nadia tidak merespons. Ia hanya menatap mereka dengan mata kosong.

Tetangga-tetangga yang masuk ikut merasa iba. "Dia memang sedang sakit jiwa, Bu Polisi, sejak perampokan itu..." bisik seorang tetangga kepada polisi.

Polisi itu mengangguk, lalu berjongkok di hadapan Nadia. "Nona, Ibu Anda... Ibu Diana... mengalami kecelakaan. Beliau... meninggal dunia."

Kata-kata itu, "meninggal dunia", entah bagaimana menembus kabut mental Nadia. Sebuah kejutan listrik menjalari tubuhnya. Matanya yang kosong perlahan mulai menunjukkan sedikit reaksi, sedikit kehidupan. Ia memproses kata-kata itu, lambat laun, dengan kesulitan yang luar biasa.

Diana. Ibunya. Mati.

Awalnya, hanya ada kebingungan. Lalu, perlahan, sebuah gelombang emosi yang campur aduk menghantamnya.

Nadia merasa hancur. Orang yang selama ini menjadi satu-satunya dunianya, satu-satunya sumber kehidupannya, kini telah tiada. Meskipun hubungan mereka telah rusak parah, meskipun ia membenci kebohongan Diana, Diana tetaplah ibunya. Orang yang membesarkannya, orang yang memberinya makan, orang yang melindunginya dengan caranya sendiri. Sebuah bagian dari dirinya, sebuah tiang penopang yang selama ini selalu ada, meskipun menyakitkan, kini telah runtuh.

Ia merasakan kesedihan yang mendalam, kesedihan yang tak terlukiskan. Air mata yang sudah lama kering, kini kembali membasahi pipinya. Tangisan pilu keluar dari tenggorokannya, suara yang telah lama hilang. Ia mulai terisak, lalu meraung, raungan yang berasal dari dasar jiwanya yang paling dalam, raungan kesedihan yang murni, melepaskan semua trauma dan emosi yang selama ini terpendam. Ia tidak peduli lagi dengan siapa yang melihatnya, siapa yang mendengarnya. Ia hanya ingin mengeluarkan rasa sakit ini.

Ia sangat terpukul oleh kematian ibunya. Ia merasakan sakit di dadanya, seperti ada lubang menganga yang tiba-tiba tercipta. Ia teringat kenangan-kenangan masa kecilnya yang dulu hangat, pelukan Diana, cerita pengantar tidur, senyum Diana sebelum segalanya berubah. Semua itu kini terasa begitu jauh, begitu berharga, dan begitu hilang. Dunia yang ia kenal, yang meskipun penuh kebohongan tetap menjadi dunianya, kini telah lenyap sepenuhnya.

Namun, pada saat yang sama, di tengah badai kesedihan itu, sebuah perasaan lain muncul, perasaan yang begitu aneh, begitu menakutkan, namun juga begitu nyata: rasa kebebasan yang membelenggu. Beban berat yang selama ini membelenggunya, rantai-rantai tak terlihat yang mengikatnya pada kebohongan dan kontrol Diana, kini terlepas. Tidak ada lagi yang akan memaksanya menjadi perempuan. Tidak ada lagi yang akan mengurungnya. Tidak ada lagi yang akan berbohong padanya.

Perasaan itu aneh, menimbulkan rasa bersalah yang menusuk. Bagaimana mungkin ia merasa bebas saat ibunya meninggal? Bukankah itu berarti ia jahat? Nadia bingung dengan emosinya sendiri. Sedih yang tak terkira bercampur dengan rasa lega yang memalukan. Bingung dengan takdirnya yang tiba-tiba terlempar ke dalam ketidakpastian. Tapi juga ada rasa kebebasan yang menakutkan, kebebasan tanpa arah, tanpa tujuan, di dunia yang ia sama sekali tidak kenal.

Ia adalah seorang laki-laki yang hidup sebagai perempuan, seorang korban dari trauma orang lain, seorang yang telah dihancurkan oleh kebenaran dan kini oleh dunia luar. Dan sekarang, satu-satunya orang yang tahu rahasianya, satu-satunya orang yang menghubungkannya dengan masa lalu itu, telah tiada. Ia benar-benar sendirian.

Para tetangga dan polisi mencoba menghibur Nadia, namun ia tidak memperhatikan. Ia terus menangis, tangisan yang bercampur aduk antara kesedihan mendalam dan kebingungan eksistensial. Kehilangan ibunya adalah pukulan yang tak terduga, sebuah babak baru dalam penderitaannya. Namun, babak ini juga membuka pintu yang selama ini terkunci rapat. Pintu menuju kebebasan, entah kebebasan itu akan membawanya ke mana.

Malam itu, setelah tubuh Diana dibawa pergi oleh petugas, rumah itu terasa semakin sunyi, semakin kosong. Nadia ditinggalkan sendirian di tengah puing-puing, bukan hanya puing-puing fisik rumahnya, melainkan juga puing-puing kehidupannya. Ia berbaring di ranjang, masih terisak, memeluk bantal yang masih samar-samar tercium aroma Diana. Ia merasakan beratnya kesendirian yang sesungguhnya. Tidak ada lagi yang bisa ia benci, tidak ada lagi yang bisa ia lawan, tidak ada lagi yang bisa ia andalkan.

Kematian Diana adalah akhir dari satu babak kehidupan Nadia, dan awal dari babak yang sama sekali baru, sebuah babak yang akan ia jalani sendirian, di dunia yang kejam dan tidak ia kenal. Ia adalah seorang yang terdampar, tanpa identitas yang jelas, tanpa arah, dan tanpa pelindung. Rasa sedih yang mendalam karena kehilangan ibunya masih sangat kuat, namun di baliknya, ada pertanyaan yang lebih besar: Siapa Nadia sekarang? Dan apa yang akan ia lakukan dengan kebebasan yang menakutkan ini?


Kehilangan Diana meninggalkan lubang menganga dalam hidup Nadia, sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi oleh apapun. Pemakaman berlangsung dalam suasana yang dingin dan singkat. Beberapa tetangga yang merasa iba dan prihatin dengan nasib Nadia datang melayat. Nadia berdiri di samping liang lahat, tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi, matanya sembap namun kering tanpa air mata yang tersisa. Ia tidak bisa lagi menangis. Semua emosinya terasa mati rasa, seolah jiwanya telah ikut terkubur bersama ibunya. Ia mendengar bisikan-bisikan simpati, tatapan-tatapan kasihan, namun semua itu terasa jauh, tidak menyentuh dirinya.

Yang ia rasakan hanyalah kehampaan yang mencekam, bercampur dengan kebebasan yang menakutkan. Ibunya, sang pelindung sekaligus penjaranya, kini telah tiada. Tidak ada lagi yang akan mengurungnya, tidak ada lagi yang akan memaksanya menjadi seseorang yang bukan dirinya, tidak ada lagi yang akan berbohong padanya. Namun, kebebasan ini datang dengan harga yang sangat mahal: ia sendirian. Sepenuhnya sendirian di dunia yang ia sama sekali tidak kenal, dengan identitas yang hancur.

Setelah pemakaman, urusan-urusan yang rumit mulai datang. Mengurus jenazah, dokumen-dokumen kematian, dan kemudian, yang paling membebani, rumah. Rumah kecil itu, yang selama tujuh belas tahun menjadi satu-satunya dunianya, kini terasa seperti monumen kebohongan dan trauma. Setiap sudutnya dipenuhi kenangan yang menyakitkan. Dinding-dindingnya seolah berbisik tentang pil-pil hormon, suntikan-suntikan rahasia, dan kebohongan yang tak terhitung jumlahnya. Nadia tidak bisa lagi tinggal di sana. Jiwanya tidak sanggup.

Dengan bantuan seorang tetangga baik hati, Ibu Rita, yang merasa iba dengan kondisinya, Nadia mulai mengurus penjualan rumah. Prosesnya lambat dan membingungkan baginya. Ia tidak mengerti apa-apa tentang uang, tentang hukum, tentang transaksi. Semua keputusan besar harus ia serahkan pada Ibu Rita, yang dengan sabar membimbingnya. Dokumen-dokumen diurus, tanda tangan dibubuhkan, dan akhirnya, rumah itu terjual dengan harga yang tidak seberapa. Uang hasil penjualan itu terasa asing di tangannya, sebuah simbol kebebasan sekaligus beban baru.

Nadia memutuskan untuk pergi. Pergi dari Bandung, pergi dari rumah itu, pergi dari semua kenangan yang membelenggu. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, atau apa yang akan ia lakukan. Namun, ia tahu ia tidak bisa tinggal. Ia butuh jarak, ia butuh ruang untuk bernapas, untuk mencoba mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Dengan satu tas ransel berisi beberapa potong pakaian yang kini semuanya adalah baju longgar yang ia temukan atau diberikan tetangga, sedikit uang hasil penjualan rumah, dan beberapa buku biologi usang yang menjadi satu-satunya jembatan kebenaran baginya, Nadia meninggalkan rumah itu untuk terakhir kalinya. Ia tidak menoleh ke belakang. Tidak ada lagi yang menahannya. Tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan.

Perjalanannya dimulai tanpa tujuan yang jelas. Ia naik bus antarkota, bus ekonomi yang reyot, hanya memilih jurusan yang terasa paling jauh dari Bandung. Pemandangan di luar jendela melesat cepat: sawah-sawah hijau, gunung-gunung menjulang, kota-kota kecil yang asing. Setiap kilometer yang ia tempuh terasa seperti pemutusan hubungan yang lebih dalam dengan masa lalunya.

Di dalam bus, Nadia duduk diam, memeluk ranselnya erat-erat. Ia berusaha untuk tidak menarik perhatian. Rambutnya yang panjang ia kuncir seadanya, dan ia selalu mengenakan topi atau kerudung tipis jika ada, mencoba menyembunyikan wajahnya yang masih terlihat feminin. Ia tahu ia berbeda. Ia tahu ia tidak cocok di mana pun. Ia adalah seorang laki-laki yang terjebak dalam tubuh perempuan, atau setidaknya, tubuh yang telah diubah menjadi menyerupai perempuan.

Rasa takut dan kebingungan adalah teman setianya. Ia tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, bagaimana cara mencari makan, bagaimana cara bertahan hidup di dunia yang begitu besar dan kejam. Selama ini, Diana adalah segalanya baginya. Diana yang memutuskan, Diana yang menyediakan, Diana yang melindungi. Kini, semua itu harus ia lakukan sendiri.

Ia turun dari bus di sebuah kota kecil yang asing, yang namanya pun ia tidak ingat. Udara di sana terasa lebih lembab, dan dialek orang-orang terdengar sedikit berbeda. Ia berjalan menyusuri jalanan, tanpa arah, tanpa tahu harus ke mana. Langit mulai gelap, dan ia merasakan ketakutan yang mencekam merayapi dirinya. Ia mencari tempat yang aman untuk tidur, akhirnya menemukan sebuah bangku kosong di taman kota yang sepi, di bawah penerangan lampu jalan yang redup.

Malam pertama di luar rumah terasa sangat panjang. Suara-suara kota yang asing, lolongan anjing dari kejauhan, desiran angin yang menerpa dedaunan, semua itu terasa menakutkan. Ia memeluk dirinya sendiri, tubuhnya menggigil bukan hanya karena dingin, melainkan karena kesepian yang menusuk. Ia merindukan ranjangnya yang dulu nyaman, bahkan merindukan kehadiran Diana yang penuh kontrol. Ironisnya, kebebasan yang ia dambakan kini terasa seperti kutukan.

Pencarian jati dirinya dimulai dengan langkah-langkah yang canggung dan penuh ketidakpastian. Ia mencoba mengamati orang-orang di sekitarnya. Bagaimana laki-laki berjalan, bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka berinteraksi. Ia membandingkan itu dengan gerak-geriknya sendiri, dengan suaranya yang masih bernada tinggi. Ia merasa seperti seorang peniru yang buruk, seorang aktor yang tidak pernah belajar naskahnya.

Ia mencoba mencari pekerjaan, apa pun yang bisa ia lakukan untuk bertahan hidup. Namun, dengan pengalamannya yang nol, dan kondisinya yang tampak aneh—seorang gadis dewasa yang tampak bingung dan tidak tahu apa-apa—tidak ada yang mau mempekerjakannya. Ia mencoba menawarkan diri membantu di warung makan, membantu bersih-bersih, apa saja. Namun, tatapan curiga dan penolakan selalu ia dapatkan.

Uang yang ia miliki mulai menipis. Rasa lapar mulai melilit perutnya. Ia harus berhemat, makan seadanya, bahkan seringkali tidak makan sama sekali. Ia tidur di emperan toko, di masjid yang sepi, atau di mana pun ia bisa menemukan tempat yang sedikit aman dari pandangan orang. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, untuk sekadar bernapas.

Dalam kesendiriannya, ia sering berbicara pada dirinya sendiri, mencoba memahami apa yang telah terjadi padanya. Ia mencoba mengingat pelajaran dari buku-buku biologi yang ia bawa, mencoba memilah antara identitas yang dipaksakan dan identitas yang sesungguhnya. Namun, itu sangat sulit. Ia telah hidup sebagai Nadia selama tujuh belas tahun, dan kini harus belajar menjadi seseorang yang sama sekali berbeda.

Rasa bingung itu sangat dominan. Siapa sebenarnya Nadia ini? Apakah ia harus mencoba hidup sebagai laki-laki? Bagaimana caranya? Ia tidak memiliki apa pun yang menandakan dirinya sebagai laki-laki: tidak ada kartu identitas yang benar, tidak ada pakaian yang sesuai, tidak ada pemahaman tentang dunia laki-laki. Bahkan nama aslinya nama perempuan. Semua itu terasa seperti teka-teki yang mustahil dipecahkan.

Kesedihan atas kematian Diana terkadang datang menghantamnya lagi, saat-saat ia merasa sangat sendirian dan putus asa. Ia merindukan kehangatan pelukan Diana, meskipun ia tahu pelukan itu adalah bagian dari kebohongan. Ia merindukan makanan yang Diana masak, meskipun makanan itu disajikan dengan pil-pil hormon tersembunyi. Ironi dari semua itu terasa begitu pahit.

Nadia mencoba mencari perpustakaan umum di kota-kota yang ia singgahi, berharap menemukan lebih banyak buku yang bisa membantunya memahami kondisi tubuhnya. Ia menemukan beberapa buku tentang anatomi dan fisiologi, dan ia akan duduk berjam-jam di sana, membaca dengan teliti, mencoba menyatukan kepingan-kepingan informasi. Semakin banyak ia membaca, semakin ia memahami betapa parahnya modifikasi yang telah Diana lakukan pada tubuhnya. Ia tidak hanya diberi hormon, tetapi ada juga kemungkinan intervensi fisik yang membuatnya tidak berkembang sebagai laki-laki.

Ia melihat pantulan dirinya di genangan air atau etalase toko. Wajahnya masih terlihat lembut, rambutnya panjang, tubuhnya ramping. Ia masih terlihat seperti Nadia, si gadis. Bagaimana ia bisa mengubah semua ini? Apakah mungkin? Apakah ia bisa kembali menjadi dirinya yang sesungguhnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.

Minggu-minggu berlalu, berganti menjadi bulan. Nadia berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu tempat penampungan ke tempat lain. Ia bertemu dengan berbagai jenis orang: pengemis, pekerja kasar, pedagang kecil, dan juga orang-orang yang mencoba mengambil keuntungan dari kerentanannya. Ia belajar dengan cara yang keras untuk berhati-hati, untuk tidak mempercayai siapa pun dengan mudah. Pengalaman di jalanan ini, meskipun penuh kesulitan, sedikit demi sedikit mengasah naluri bertahan hidupnya.

Ia kadang-kadang mencuri makanan kecil dari pasar, atau memungut sisa-sisa makanan dari tempat sampah, hanya untuk bertahan hidup. Rasa malu dan putus asa seringkali menyelimutinya, namun ia harus terus berjalan. Ia tidak punya pilihan. Ia tidak punya tempat untuk kembali.

Dalam perjalanan tanpa tujuannya ini, Nadia bukan hanya mencari identitasnya yang hilang, tetapi juga mencoba mencari tempatnya di dunia. Ia merasa seperti roh tanpa raga, atau raga tanpa roh. Kebebasan yang ia rasakan adalah kebebasan yang hampa, kebebasan seorang pengembara yang tersesat. Ia masih terdampar di antara dua dunia: dunia Nadia si gadis yang diciptakan, dan dunia dirinya yang asli sebagai laki-laki yang tak pernah ia kenal.

Ia sering duduk di bawah bintang-bintang di malam hari, merenungi nasibnya. Ia tidak punya siapa-siapa. Tidak ada keluarga, tidak ada teman, tidak ada masa depan yang jelas. Ia adalah lembaran kosong, yang harus menulis sendiri ceritanya dari awal. Namun, bagaimana caranya menulis cerita ketika ia tidak tahu siapa pemeran utamanya?

Perjalanan ini adalah sebuah ziarah yang pahit menuju diri. Setiap langkah yang ia ambil, setiap kesulitan yang ia hadapi, setiap air mata yang ia tumpahkan, adalah bagian dari proses menyembuhkan luka-luka yang tak terlihat. Ia harus menemukan kekuatan di dalam dirinya sendiri, kekuatan untuk bertahan, kekuatan untuk mencari, kekuatan untuk menjadi. Jalan di depannya masih gelap dan panjang, tanpa tujuan yang pasti. Namun, setidaknya, ia sedang berjalan. Ia tidak lagi diam di tempat, terjebak dalam kebohongan. Ia sedang bergerak, mencari, dan berharap suatu hari nanti, ia akan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya, di suatu tempat di dunia yang luas ini.


Setelah berhari-hari menempuh perjalanan yang melelahkan dengan bus ekonomi, berpindah dari satu kota kecil ke kota kecil lainnya, Nadia akhirnya tiba di sebuah kota besar. Ia tidak tahu nama kota itu, hanya tahu bahwa ia telah memilih jurusan yang paling jauh dari Bandung, berharap jarak fisik akan membawa serta jarak emosional dari masa lalunya yang kelam. Saat pertama kali menginjakkan kaki di dunia luar yang sesungguhnya, di tengah hiruk pikuk kota metropolitan yang asing, Nadia merasakan gelombang kebingungan dan ketakutan yang luar biasa.

Udara kota besar terasa berbeda, lebih padat, lebih bising. Gedung-gedung tinggi menjulang ke langit, seolah menelan dirinya yang kecil. Suara klakson kendaraan yang tak henti-hentinya, teriakan pedagang kaki lima, deru mesin yang tak putus, semua itu menyerbu indranya, membuatnya pusing dan mual. Orang-orang berlalu lalang dengan cepat, wajah-wajah asing yang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak ada yang peduli pada seorang gadis muda yang tampak tersesat. Nadia merasa seperti sebutir debu yang terlempar ke tengah badai.

Ia berdiri di terminal bus yang ramai, memeluk ranselnya erat-erat, seolah itu adalah satu-satunya jangkar yang menahannya di dunia nyata. Matanya melirik ke segala arah, mencoba memahami apa yang ia lihat. Lampu-lampu neon menyala terang, papan reklame raksasa memamerkan gambar-gambar yang asing, dan aroma masakan dari berbagai kedai bercampur aduk di udara. Ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dari rumah kecilnya di Bandung, jauh dari kebun dan keheningan yang ia kenal.

Langkah kakinya terasa berat, tanpa arah yang jelas. Ia mulai berjalan, mengikuti arus orang banyak, berharap ia akan menemukan sesuatu, apa pun, yang bisa memberinya petunjuk. Namun, semakin jauh ia berjalan, semakin ia merasa tersesat. Jalanan bercabang, gang-gang sempit bermunculan, dan ia tidak tahu harus memilih yang mana. Peta adalah konsep yang asing baginya, dan bertanya pada orang lain terasa seperti tugas yang mustahil. Ia terlalu takut, terlalu bingung, terlalu rapuh.

Mencari tempat tinggal adalah kesulitan pertama yang ia hadapi. Ia tidak punya cukup uang untuk menyewa kamar di penginapan, bahkan yang paling murah sekalipun. Ia mencoba mencari masjid atau mushola yang bisa memberinya tempat berteduh semalam, namun banyak yang terkunci atau tidak mengizinkan orang asing bermalam. Ia berjalan terus, kakinya pegal, perutnya keroncongan.

Malam mulai menjelang, dan kota besar itu berubah menjadi labirin cahaya dan bayangan. Ketakutan Nadia semakin memuncak. Ia teringat pengalaman buruknya di jalanan sebelumnya, dan ia tahu ia harus menemukan tempat yang aman. Ia akhirnya menemukan sebuah emperan toko yang sudah tutup, di sebuah gang yang agak sepi. Ia meringkuk di sana, mencoba tidur, namun suara-suara kota yang tak pernah berhenti membuatnya sulit memejamkan mata. Dinginnya lantai beton menembus pakaiannya, dan ia gemetar.

Keesokan harinya, pencarian pekerjaan dimulai. Ini adalah rintangan yang jauh lebih besar. Nadia tidak memiliki pendidikan formal. Ia tidak tahu bagaimana cara membaca atau menulis dengan lancar, hanya sedikit dari buku-buku Diana yang ia baca. Ia tidak punya pengalaman kerja apa pun. KTP-nya, yang mencantumkan nama "Nadia" dan identitas perempuan, terasa seperti beban ganda. Ia adalah seorang laki-laki di dalam tubuh perempuan, dengan identitas resmi yang tidak sesuai dengan jati dirinya yang ia pahami.

Ia mencoba melamar di berbagai tempat: warung makan, toko kelontong, bahkan sebagai pembantu rumah tangga. Namun, setiap kali ia mencoba berbicara, suaranya yang lembut dan tingkah lakunya yang canggung membuat orang-orang menatapnya dengan aneh. Ia tampak seperti gadis muda yang polos dan tidak berpengalaman, namun ada sesuatu yang tidak biasa pada dirinya, sesuatu yang sulit dijelaskan.

"Maaf, Nona, kami tidak mencari orang seperti Anda," kata seorang pemilik warung dengan nada curiga.

"Anda punya pengalaman apa?" tanya seorang pemilik toko, menatapnya dari atas ke bawah. Nadia hanya bisa menggelengkan kepala, merasa malu dan tidak berguna.

Ia nyaris putus asa. Bagaimana ia bisa bertahan hidup? Uangnya semakin menipis, hanya cukup untuk beberapa kali makan. Rasa lapar mulai menjadi teman akrabnya. Ia seringkali hanya makan roti tawar kering atau air putih, mencoba menunda habisnya uang itu.

Setiap penolakan adalah pukulan telak bagi mentalnya yang sudah rapuh. Ia mulai merasa tidak berguna, tidak diinginkan. Kebingungan identitasnya semakin parah. Jika ia tidak bisa menjadi seorang perempuan yang berfungsi di masyarakat, lalu bagaimana ia bisa menjadi seorang laki-laki? Ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia tidak punya panutan, tidak punya bimbingan.

Ia seringkali tersesat di jalanan kota yang rumit. Ia berjalan tanpa tujuan, kadang-kadang berputar-putar di tempat yang sama, tidak bisa menemukan jalan keluar. Rasa frustrasi dan keputusasaan memuncak. Air mata seringkali mengalir di pipinya saat ia duduk di pinggir jalan yang ramai, merasa begitu kecil dan tak berdaya di tengah keramaian yang tak peduli.

"Siapa aku?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kebisingan kota. "Aku ini siapa? Nadia? Atau... siapa?"

Ia mencoba mengingat pelajaran dari buku-buku biologi yang ia bawa, mencoba mencari jawaban di sana. Namun, buku-buku itu hanya menjelaskan tentang anatomi, bukan tentang bagaimana cara hidup di dunia yang kejam ini. Ia merasa seperti seorang yang baru lahir, yang harus belajar segalanya dari awal, namun tanpa seorang pun yang membimbingnya.

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Nadia menemukan dirinya meringkuk di bawah jembatan layang, kedinginan dan kelaparan. Air mata bercampur dengan air hujan di pipinya. Ia merasa sangat sendirian, sangat putus asa. Ia merindukan Diana, meskipun ia tahu itu adalah perasaan yang salah. Ia merindukan keamanan rumahnya, meskipun itu adalah penjara. Ia merindukan kehidupan yang dulu, meskipun itu adalah kebohongan.

Ia berpikir untuk menyerah. Apa gunanya terus berjuang? Ia tidak punya harapan, tidak punya masa depan. Ia hanya akan terus tersesat, terus kelaparan, terus menderita. Namun, di tengah keputusasaan itu, sebuah suara kecil di dalam dirinya berbisik: Kau harus bertahan. Kau harus mencari tahu siapa dirimu.

Suara itu adalah sisa-sisa dari Nadia yang dulu, Nadia yang penasaran, Nadia yang ingin tahu kebenaran. Ia tahu ia tidak bisa menyerah. Ia harus menemukan jati dirinya, apa pun risikonya. Ia harus membuktikan bahwa ia bisa bertahan, bahkan tanpa Diana, bahkan tanpa identitas yang jelas.

Ia mulai mengamati orang-orang yang hidup di jalanan, para gelandangan, para pengemis. Mereka adalah orang-orang yang juga tersesat, namun mereka bertahan. Ia belajar dari mereka, bagaimana mencari makanan sisa, bagaimana menemukan tempat tidur yang sedikit lebih aman, bagaimana berbaur agar tidak terlalu menarik perhatian. Ia belajar untuk menjadi tidak terlihat, untuk menjadi bagian dari bayangan kota.

Hari-hari berlalu menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Nadia mulai sedikit beradaptasi. Ia menemukan beberapa tempat yang bisa memberinya pekerjaan serabutan, seperti mencuci piring di warung makan kecil, atau membantu mengangkat barang di pasar. Upahnya sangat kecil, hanya cukup untuk makan sehari-hari dan sesekali membeli sabun. Ia masih tidur di jalanan, namun kini ia tahu tempat-tempat yang lebih aman, tempat-tempat yang tidak terlalu ramai, tempat-tempat yang memberinya sedikit ketenangan.

Kondisi fisiknya mulai memburuk. Ia sering sakit, batuk-batuk, dan tubuhnya semakin kurus. Namun, ia tidak menyerah. Setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia akan teringat pada Diana, pada kebohongan yang telah ia jalani, dan pada keinginan untuk menemukan kebenaran. Itu adalah motivasi yang pahit, namun efektif.

Ia masih sering tersesat di kota besar itu, namun kini ia tidak lagi panik. Ia belajar untuk bertanya, meskipun dengan suara yang pelan dan ragu-ragu. Ia belajar untuk mengamati, untuk memahami pola-pola jalanan. Sedikit demi sedikit, ia mulai membangun peta mentalnya sendiri tentang kota itu.

Pencarian jati dirinya masih jauh dari selesai. Ia masih seorang Nadia yang bingung, seorang laki-laki dalam tubuh perempuan, dengan KTP perempuan. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengubah semua itu. Namun, setidaknya, ia tidak lagi diam di tempat. Ia sedang bergerak, ia sedang mencari, ia sedang bertahan. Langkah kakinya mungkin tanpa arah yang jelas, namun setiap langkah adalah bagian dari perjalanan panjang menuju penemuan diri. Ia harus terus berjalan, karena tidak ada tempat lain baginya untuk pergi, selain maju.


Bulan-bulan berlalu dalam kekosongan yang membingungkan bagi Nadia. Kota besar ini, yang tadinya terasa seperti labirin menakutkan, kini mulai sedikit demi sedikit menunjukkan polanya. Ia telah belajar bagaimana bertahan hidup: mencari sisa makanan, tidur di emperan toko yang sepi, dan melakukan pekerjaan serabutan yang dibayar sangat kecil. Fisiknya memang semakin kurus, namun jiwanya yang semula hampa, kini mulai diisi oleh tekad samar untuk menemukan tempatnya di dunia yang kejam ini. Namun, di balik semua itu, ia masihlah seorang pengembara tanpa tujuan, seorang jiwa yang tersesat di antara identitas yang dipaksakan dan kebenaran yang tak terjangkau.

Suatu malam, setelah seharian penuh mencari pekerjaan dan hanya mendapatkan penolakan, Nadia duduk meringkuk di sebuah gang sempit, dekat dengan area hiburan kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu neon warna-warni menyala terang, musik disko menghentak-hentak dari dalam bar, dan tawa serta obrolan orang-orang bercampur baur menciptakan simfoni kekacauan. Ia mengamati orang-orang yang berlalu-lalang: pasangan yang bergandengan tangan, kelompok pemuda yang tertawa keras, dan beberapa sosok yang mencolok dengan pakaian gemerlap dan riasan tebal.

Ia memperhatikan sosok-sosok terakhir itu. Mereka tampak berbeda dari kebanyakan wanita pada umumnya. Mereka adalah waria, dengan busana wanita yang mencolok, rambut palsu yang indah, dan riasan wajah yang dramatis. Mereka berbicara dengan nada suara yang terkadang sedikit lebih dalam dari wanita biasa, dan gerak-gerik mereka terkadang lebih lugas. Nadia, dengan kebingungan identitasnya sendiri, merasa ada semacam ketertarikan aneh. Ia melihat mereka, dan entah mengapa, ia merasakan dorongan untuk mendekat, seolah ada magnet tak terlihat.

Nadia duduk di sana, mengamati mereka dari kejauhan, tersembunyi dalam kegelapan gang. Ia tidak punya keberanian untuk mendekat. Ia hanya mengamati, seperti seorang pengamat yang ingin memahami spesies baru. Mereka tampak bahagia, atau setidaknya, mereka tampak lebih bebas dan rileks daripada dirinya. Mereka tertawa, bercanda, dan berinteraksi dengan sesama mereka dengan keakraban yang Nadia rindukan.

Salah seorang waria, yang paling tinggi dan paling mencolok dengan gaun merah menyala dan rambut pirang keemasan, tiba-tiba menoleh dan menangkap tatapan Nadia. Matanya yang tajam dan berbinar menatap Nadia, seolah mampu melihat kerentanan dan kesepian di wajah gadis itu. Nadia tersentak, mencoba menyembunyikan diri lebih dalam, namun sudah terlambat. Waria itu, dengan senyum tipis, berjalan mendekat.

"Hai, manis," sapanya dengan suara yang dalam namun lembut, kontras dengan penampilannya yang glamor. Ia menatap Nadia dengan pandangan menilai, seolah membaca garis-garis kesedihan di wajah gadis itu. "Kenapa sendirian di sini? Kedinginan? Atau sedang tersesat?"

Nadia hanya bisa menunduk, tidak berani menjawab. Ia merasa malu, takut, dan canggung. Ia, dengan tubuhnya yang memang terlihat feminin berkat manipulasi Diana, pastinya terlihat seperti gadis biasa yang sedang kesusahan.

Waria itu berjongkok di hadapan Nadia, tatapannya penuh pengertian. Ia tidak melihat Nadia sebagai saingan atau ancaman, melainkan sebagai seorang jiwa yang rapuh. "Hei, jangan takut. Kau terlihat tersesat sekali. Aku Melati." Ia mengulurkan tangannya, telapak tangannya hangat dan sedikit kasar. "Kau butuh bantuan?"

Nadia hanya bisa mengangguk pelan, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku... aku tidak punya tempat tinggal."

Melati tersenyum lembut. "Tidak punya tempat tinggal? Kau beruntung bertemu kami malam ini. Ayo ikut kami. Kami punya tempat."

Tanpa banyak bicara, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya, Nadia mengikuti Melati dan teman-temannya. Ia tidak tahu ke mana mereka akan membawanya, namun nalurinya mengatakan bahwa ini adalah kesempatan, sebuah jalan keluar dari kesendirian dan kehampaan yang mencekik. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Ia merasa seperti domba tersesat yang akhirnya menemukan kawanan.

Mereka membawanya ke sebuah rumah kontrakan sederhana yang dihuni oleh beberapa waria lainnya. Ruangan itu kecil, namun hangat dan penuh warna. Ada tawa, ada obrolan, ada aroma masakan sederhana. Nadia merasa canggung, namun ada rasa lega yang aneh menyelimuti dirinya. Ini adalah pertama kalinya ia berada di antara orang-orang yang tidak menatapnya dengan curiga, yang hanya melihatnya sebagai sesama manusia yang membutuhkan bantuan.

Para waria di sana menyambut Nadia dengan ramah, meskipun ada sedikit rasa ingin tahu di mata mereka tentang gadis muda yang tiba-tiba dibawa pulang oleh Melati. Mereka memberinya makanan hangat, pakaian bersih, dan tempat tidur di sudut ruangan. Nadia makan dengan lahap, sudah berhari-hari ia tidak makan makanan yang layak. Ia merasa lelah, namun pikiran dan hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk: lega, bingung, dan secercah harapan.

Malam itu, setelah semua orang tidur, Nadia berbaring di tempat tidurnya, memeluk lututnya. Ia mendengar bisikan-bisikan dan dengkuran ringan dari sekitarnya. Ia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia telah ditemukan. Oleh orang-orang yang, entah bagaimana, terasa familiar, meskipun ia tidak bisa menjelaskan mengapa.

Keesokan harinya, Melati duduk di samping Nadia, menawarinya segelas teh hangat. "Jadi, manis, siapa namamu?" tanyanya lembut.

"Nadia," jawab Nadia pelan.

Melati tersenyum. "Nadia... nama yang cantik. Kau terlihat... sangat polos, Nadia. Tapi ada cerita di balik matamu itu, ya?"

Nadia menunduk. Ia tidak tahu bagaimana harus bercerita. Bagaimana ia bisa menjelaskan kebohongan yang telah ia jalani seumur hidup, trauma yang ia alami, dan identitasnya yang hancur, sementara fisiknya sendiri masih terlihat seperti perempuan seutuhnya di mata Melati?

"Aku... aku... sebenarnya aku seorang laki-laki," bisik Nadia, air mata mulai menggenang di matanya, rasa malu dan takut bercampur aduk. Ia takut Melati akan jijik atau marah. "Tapi... ibuku... dia membuatku menjadi seperti ini. Dengan pil. Dengan suntikan. Dan KTP-ku... KTP-ku bilang aku perempuan."

Melati terdiam sejenak, menatap Nadia dengan tatapan yang kini berubah. Bukan lagi sekadar simpati, tetapi sebuah pemahaman yang mendalam, sebuah pengakuan. Ia menghela napas panjang, tatapannya berubah menjadi sendu. "Oh, sayangku... Jadi, kau juga, ya?" Melati tidak lagi melihat Nadia hanya sebagai gadis tersesat, melainkan sebagai seseorang yang berbagi beban eksistensial yang sama. Ia memeluk Nadia dengan erat, pelukan yang terasa seperti oase di tengah gurun, sebuah pelukan yang mengatakan: Aku mengerti. "Jangan khawatir, Nadia. Kau tidak sendirian. Banyak dari kami yang punya cerita seperti itu. Atau setidaknya, memahami perjuanganmu untuk menerima siapa dirimu, terlepas dari apa yang orang lain lihat."

Komunitas waria itu tidak melihat Nadia sebagai orang aneh atau gila setelah mendengar pengakuannya. Justru, mereka melihat potensi dan kesamaan dalam diri Nadia, jiwa yang terluka dan tersesat, namun memiliki esensi yang sama dengan mereka. Mereka mengenali perjuangan identitas yang Nadia alami, karena mereka sendiri telah melalui itu, meskipun dengan cara yang berbeda. Mereka adalah keluarga baru yang tak terduga, yang ditemukan Nadia di sudut malam kota besar itu.

Mereka mulai membantunya beradaptasi. Mereka mengajarinya cara berbicara dengan lebih percaya diri, cara berdandan untuk menonjolkan fitur-fitur femininnya yang sudah ada, cara memilih pakaian. Mereka tidak memaksanya untuk sepenuhnya menjadi seorang waria jika ia tidak mau, namun mereka menunjukkan kepadanya cara untuk bertahan hidup di dunia luar, cara untuk beradaptasi dengan identitas perempuan yang terpaksa ia jalankan di mata masyarakat. Mereka mengajarkan bagaimana menggunakan KTP perempuannya untuk mendapatkan hak-hak dasar, sekaligus bagaimana melindungi diri dari bahaya yang kerap mengintai mereka yang rentan di jalanan.

Mereka juga mengenalkannya pada dunia malam. Dunia di mana mereka bekerja, di mana mereka merasa diterima, di mana mereka bisa menjadi diri mereka sendiri, atau setidaknya, versi diri yang mereka inginkan dan yang bisa mereka tampilkan. Dunia itu adalah bar-bar remang-remang, panggung-panggung kecil dengan lampu sorot, dan riuh rendah suara musik yang menggetarkan.

"Kau punya potensi, Nadia," kata Melati suatu malam, sambil mengoleskan eyeliner di mata Nadia, mengubah mata kosong itu menjadi lebih hidup. "Kau cantik, kau punya gerakan yang anggun. Kau bisa menari. Kau bisa menjadi penari di bar. Itu pekerjaan yang lumayan, bisa memberimu uang untuk makan dan tempat tinggal. Dan di sini, setidaknya, kau bisa menjadi dirimu sendiri, tanpa terlalu banyak pertanyaan."

Nadia ragu. Menari? Di bar? Itu adalah hal yang sangat asing baginya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia harus bertahan hidup. Dan jika ini adalah satu-satunya cara, maka ia akan melakukannya.

Ia mulai belajar menari dari Melati dan waria-waria lain. Mereka sabar mengajarinya gerakan-gerakan dasar, ekspresi wajah, cara berjalan di atas panggung dengan percaya diri. Nadia, dengan kelenturan tubuhnya yang ia dapatkan dari hormon dan latihan yang Diana paksakan, ternyata memiliki bakat alami. Ia belajar dengan cepat, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan. Setiap gerakan yang ia lakukan di depan cermin, setiap riasan yang menempel di wajahnya, adalah pengingat akan identitas yang dipaksakan, namun kini juga menjadi alat untuk bertahan hidup.

Pekerjaan sebagai penari di bar adalah pengalaman yang aneh baginya. Ia menari di bawah sorotan lampu, dengan mata-mata pengunjung yang menatapnya. Ia tersenyum, ia bergerak, ia berusaha terlihat menarik. Di permukaan, ia adalah Nadia, si penari cantik, seorang wanita. Namun di dalam batinnya, ia adalah seorang laki-laki yang masih mencari jati diri, yang hanya bisa bertahan hidup dengan menyamar di dunia yang asing ini.

Uang yang ia hasilkan dari menari memang tidak banyak, namun cukup untuk makan dan membayar sewa sebagian kecil dari kontrakan itu. Ia tidak lagi kelaparan, tidak lagi tidur di jalanan. Ia memiliki atap di atas kepalanya, dan ia memiliki teman-teman yang memahami. Komunitas waria itu adalah pelabuhan tak terduga bagi jiwanya yang tersesat. Mereka memberinya dukungan emosional, tempat bernaung, dan panduan untuk menavigasi dunia yang kejam.

Nadia masih bingung dengan siapa dirinya. Ia masih terdampar di antara dua identitas. Namun, di tengah komunitas baru ini, ia merasa sedikit lebih aman, sedikit lebih diterima. Mereka tidak menanyakan masa lalunya terlalu dalam setelah ia mengaku, tidak menghakiminya. Mereka hanya menerima Nadia apa adanya, dengan segala kebingungannya dan keunikan identitasnya. Mereka adalah cermin, tetapi juga peta, menunjukkan kepadanya bahwa ada banyak cara untuk menjadi, banyak cara untuk hidup, bahkan ketika dunia menolakmu.

Dunia malam yang keras, dengan segala sisi gelapnya, ternyata juga memiliki sisi kehangatan dan solidaritas. Nadia belajar bahwa di balik gemerlap lampu dan musik yang memekakkan telinga, ada kisah-kisah perjuangan, kisah-kisah penolakan, dan kisah-kisah tentang pencarian diri yang sama dengan dirinya. Ia bukan lagi sendirian. Ia telah ditemukan, di sudut malam yang tak terduga, oleh orang-orang yang memahami, yang memberinya tempat bernaung, dan yang membantunya menari di atas panggung kehidupan yang sulit ini. Ini adalah babak baru yang aneh, namun penuh dengan potensi, menuju penerimaan diri yang mungkin suatu hari nanti akan ia temukan.


Gemuruh musik yang memekakkan telinga, sorotan lampu yang menyilaukan, dan aroma rokok serta alkohol yang menusuk hidung—itulah dunia baru Nadia. Ia telah memulai pekerjaannya sebagai penari di sebuah bar di kota besar ini, sebuah tempat yang menjadi pelabuhan tak terduga bagi jiwanya yang tersesat dan terluka. Di antara hiruk pikuk kehidupan malam yang keras, Melati dan komunitas waria lainnya telah membimbingnya, mengajarkannya cara bertahan, cara untuk 'menari' dalam kehidupan yang rumit ini, dan perlahan, cara untuk menemukan kembali dirinya di tengah puing-puing masa lalu yang kelam.

Perkenalan Nadia dengan Om Broto, pemilik bar itu, berlangsung di balik panggung yang sempit dan remang-remang, diselubungi asap rokok dan cahaya neon yang berkedip. Om Broto adalah pria paruh baya dengan perawakan kekar, wajahnya dipenuhi kerutan yang menandakan kerasnya kehidupan malam, namun matanya memancarkan kelelahan sekaligus kebaikan yang samar. Ia mengamati Nadia dengan pandangan tajam, menganalisis setiap gerak-gerik gadis itu, saat Melati memperkenalkannya. "Om Broto, ini Nadia. Dia punya bakat, Om. Bisa menari," kata Melati, suaranya penuh keyakinan dan harapan, menempatkan tangan di punggung Nadia untuk memberinya dorongan lembut. Melati tahu Nadia adalah berlian mentah yang membutuhkan sentuhan yang tepat untuk bersinar. Nadia hanya bisa menunduk, merasa gugup dan tidak yakin. Ia masih belum terbiasa dengan interaksi sosial, apalagi dengan seseorang yang tampak begitu berkuasa dan berpengaruh di tempat seperti ini. Jantungnya berdebar kencang di balik dadanya yang sesak, takut ditolak lagi, takut menemukan lagi penolakan yang telah menghantuinya sepanjang hidup. Om Broto hanya mengangguk pelan, tatapannya menyapu Nadia dari kepala hingga kaki, sebuah penilaian diam-diam. Ia melihat gadis muda yang tampak rapuh, dengan aura kesedihan yang tak bisa disembunyikan di balik sorot matanya, namun ia juga melihat potensi yang tersembunyi di dalamnya. Ia telah melihat banyak orang seperti Nadia di dunia malam ini, orang-orang yang tersesat namun memiliki sesuatu yang istimewa, sebuah karisma tersembunyi yang bisa bersinar di atas panggung. "Baik," kata Om Broto dengan suara serak, tanpa ekspresi berlebihan, suaranya adalah sebuah putusan yang final. "Coba saja dulu. Nanti Melati yang ajari apa yang harus dilakukan." Ia tidak banyak bicara, namun kata-katanya adalah secercah harapan bagi Nadia, sebuah pintu yang terbuka di tengah kegelapan yang mengepungnya. Ia diterima.

Malam pertama Nadia di atas panggung adalah campuran antara ketakutan yang mencekik dan ekstasi yang aneh. Melati dan waria lainnya membantunya berdandan, sebuah ritual sakral yang mengubah Nadia dari sosok yang rapuh menjadi bintang yang bersinar. Wajah Nadia dipoles dengan riasan tebal, menyembunyikan mata lelah dan bekas-bekas trauma yang masih membekas. Bibirnya diwarnai merah menyala, pipinya diberi rona, dan matanya dipertegas dengan eyeliner dan bulu mata palsu yang panjang, menciptakan persona baru yang menawan. Rambutnya yang panjang ditata rapi, dan ia mengenakan kostum gemerlap yang disiapkan oleh Melati, sebuah gaun pendek dengan payet yang berkilauan di bawah cahaya lampu, memantulkan setiap pantulan cahaya seolah Nadia adalah berlian yang hidup. Saat ia melangkah ke panggung, jantungnya berdebar sangat kencang hingga terasa sakit, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Lampu sorot menyorotnya dengan kejam, mata-mata penonton menatapnya tanpa kedip, haus akan hiburan. Ia merasa telanjang, meskipun tubuhnya tertutup kain gemerlap yang menawan. Namun, musik mulai mengalun, Melati memberinya isyarat dari balik panggung, dan Nadia mulai menari. Gerakannya kaku di awal, ragu-ragu, seolah tubuhnya sendiri enggan bergerak. Namun, seiring dengan irama musik yang menghentak, yang merasuki setiap pori-pori kulitnya, sesuatu dalam dirinya mulai terbangun. Ia teringat akan latihan-latihan menari yang dulu Diana paksakan, gerakan-gerakan tari yang dulu terasa seperti belenggu, kini justru menjadi kebebasan, sebuah cara untuk melepaskan diri dari segala beban. Tubuhnya merespons secara alami, lentur dan anggun, seolah menari adalah takdirnya yang sesungguhnya. Ia menari, bukan lagi sebagai Nadia yang takut dan bingung, melainkan sebagai Nadia Elmina, sebuah nama panggung yang Melati berikan padanya, sebuah identitas baru yang ia bisa kenakan, sebuah topeng yang memberinya kekuatan dan keberanian.

Di atas panggung, dengan riasan dan kostum yang menyamarkan identitas aslinya, Nadia menemukan ruang untuk mengekspresikan dirinya. Ia bisa menyalurkan semua rasa sakit, kemarahan, kesedihan, dan kebingungannya ke dalam setiap gerakan. Setiap putaran, setiap ayunan tangan, setiap hentakan kaki, adalah sebuah teriakan bisu, sebuah luapan emosi yang selama ini terpendam dalam-dalam. Penonton tidak tahu siapa ia sebenarnya, apa yang telah ia alami, atau badai apa yang telah ia lalui. Mereka hanya melihat seorang penari cantik yang bergerak dengan indah di atas panggung, memukau mata mereka dengan setiap gerakannya yang anggun. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Nadia merasa bahwa ia bisa menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang bukan korban, sesuatu yang memiliki makna, sebuah keberadaan yang berarti di dunia ini. Ia merangkul identitas barunya sebagai waria. Bukan karena ia memilihnya secara sadar, melainkan karena takdir dan keadaan yang kejam telah mendorongnya ke jalan ini, dan di jalan ini, ia menemukan penerimaan yang ia dambakan sepanjang hidupnya. Di balik panggung, Melati dan teman-teman waria lainnya memberinya dukungan yang tulus. Mereka memahami perjuangannya, mereka melihat di balik riasan dan kostumnya, jiwa yang sama-sama tersesat namun berusaha bertahan dengan gigih. Mereka adalah sebuah keluarga, sebuah komunitas yang dibangun di atas dasar saling pengertian dan penerimaan, jauh dari penghakiman dunia luar yang kejam. "Kau hebat, Nadia!" seru Melati setelah pertunjukan pertamanya, memeluknya erat. "Kau punya bakat! Aku tahu itu!" Kata-kata pujian itu terasa asing bagi Nadia, namun juga menghangatkan jiwanya yang dingin. Ia tidak pernah menerima pujian seperti itu sebelumnya, setidaknya bukan pujian yang tulus tentang dirinya yang sebenarnya, tentang bakatnya. Di bar ini, ia menemukan rasa memiliki yang selama ini ia dambakan. Ia tidak lagi sendirian. Ada orang-orang yang peduli, yang mendukungnya, yang menerima dirinya, apa pun identitas biologisnya atau masa lalunya yang kelam. Om Broto, yang jarang bicara, sesekali akan mengangguk puas saat Nadia menari, atau memberikan sedikit tambahan uang bayaran jika ia merasa Nadia tampil bagus. Meskipun dingin, ada kehangatan yang samar di balik sikapnya. Ia adalah pemilik bar, namun juga semacam pelindung bagi para waria yang bekerja untuknya, memastikan mereka aman dan mendapatkan penghidupan yang layak. Kehidupan Nadia di bar itu memang tidak mudah. Jam kerjanya panjang, ia harus berhadapan dengan berbagai jenis pengunjung, ada yang baik, ada yang kasar, ada yang mabuk. Namun, ia belajar untuk menghadapi semua itu. Ia belajar bagaimana mengabaikan tatapan-tatapan yang menghina, bagaimana menghindari sentuhan yang tidak diinginkan, bagaimana menjaga dirinya tetap aman di tengah keramaian dan kekacauan.

Luka-luka lama masih membekas dalam dirinya. Trauma perampokan, pengungkapan kebohongan Diana, kematian ibunya, dan pengalaman pahit di jalanan—semua itu masih menghantuinya, muncul dalam mimpi buruk dan bayangan di siang hari yang cerah. Terkadang, saat ia sendirian di kamar kontrakan yang sempit, ia akan merasakan gelombang kesedihan dan ketakutan yang luar biasa, seolah-olah ia kembali ke masa-masa tergelapnya. Namun, kini ia memiliki panggung, ia memiliki tariannya, dan ia memiliki komunitas yang bisa ia jadikan sandaran yang kokoh. Di atas panggung, ia bisa menjadi siapa saja yang ia inginkan. Ia bisa menjadi Nadia Elmina, penari yang gemerlap, yang memukau penonton dengan gerakannya yang anggun. Ia bisa melupakan sejenak siapa dirinya di balik kostum itu, sejenak melupakan tubuhnya yang dimanipulasi dan identitasnya yang membingungkan. Ini adalah pelarian, sekaligus terapi yang membantunya bertahan hidup. Nadia masih membawa luka, tetapi ia telah memilih jalannya sendiri. Jalan ini memang tidak ia pilih secara sadar pada awalnya, namun ia telah merangkulnya dengan sepenuh hati. Ia menari di bawah sorotan lampu, di mana ia akhirnya bisa mengekspresikan diri, di mana ia akhirnya bisa menjadi dirinya sendiri—atau setidaknya, sebuah versi dirinya yang bisa ia terima dan cintai, di tengah semua kerumitan itu. Ia belajar banyak dari Melati dan teman-teman waria lainnya. Mereka bukan hanya rekan kerja, melainkan juga mentor dan saudara yang selalu ada. Mereka mengajarkannya tentang kehidupan, tentang kerasnya dunia, tetapi juga tentang pentingnya solidaritas dan penerimaan diri. Mereka menunjukkan kepadanya bahwa keindahan bisa ditemukan di tempat-tempat yang tak terduga, dan bahwa identitas tidak selalu harus sesuai dengan apa yang ada di KTP atau apa yang masyarakat harapkan. Ia mulai merawat dirinya sendiri dengan lebih baik. Dengan uang hasil menari, ia bisa membeli makanan yang layak, pakaian yang lebih bersih, dan perlengkapan rias yang lebih baik. Ia mulai melihat dirinya di cermin, bukan lagi dengan jijik, melainkan dengan rasa ingin tahu. Ia melihat Nadia Elmina, seorang penari, seorang waria, seorang yang telah melalui banyak hal, namun masih bertahan dengan gigih. Meskipun ia tahu di dalam lubuk hatinya bahwa ia terlahir sebagai laki-laki, identitas "waria" ini memberinya ruang untuk eksis, untuk diterima, untuk memiliki tempat di dunia. Ini bukan akhir dari pencarian jati dirinya, melainkan sebuah babak penting. Ia masih harus menemukan siapa dirinya yang sesungguhnya, namun kini ia tidak lagi sendirian. Ia menari di atas panggung kehidupan, sebuah panggung yang memberinya kekuatan, keberanian, dan secercah harapan. Di bawah sorotan lampu, di tengah gemuruh musik, Nadia menari untuk hidupnya, untuk identitasnya, dan untuk masa depannya yang masih belum jelas.

Satu malam, setelah pertunjukan terakhir, saat bar sudah sepi dan hanya tersisa beberapa pelayan yang membersihkan, Om Broto memanggil Nadia ke ruangannya. Ruangan itu kecil, berantakan dengan tumpukan dokumen dan botol minuman, namun juga memiliki sofa kulit tua yang nyaman. Nadia masuk dengan gugup, mengira ia akan mendapatkan evaluasi kinerja atau teguran. "Duduk, Nadia," kata Om Broto, suaranya tenang namun ada nada yang berbeda. Nadia duduk di sofa, jantungnya berdebar kencang. Om Broto menyerahkan segelas wine kepadanya. Nadia mengambilnya dengan tangan gemetar. Om Broto menyesap wine-nya, menatap Nadia dalam diam, sebuah pandangan yang menusuk. "Kamu penari yang bagus," katanya akhirnya, suaranya serak. "Aku suka caramu menari. Ada sesuatu yang... nyata di dalamnya." Nadia hanya menunduk, merasa malu namun juga sedikit bangga dengan pujian itu. "Nadia," lanjut Om Broto, menatap langsung ke mata Nadia, "kamu tahu, aku sudah lama di bisnis ini. Aku melihat banyak orang datang dan pergi. Tapi kamu... kamu berbeda." Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Nadia. "Aku punya tawaran untukmu." Jantung Nadia berdebar lebih cepat. Tawaran apa? Apakah ia akan dipecat? Apakah ini jebakan baru? "Malam ini," kata Om Broto, matanya berkilat, "aku ingin kamu menemaniku. Bukan untuk menari. Hanya... menemaniku." Nadia mengerti maksudnya. Ketakutan lama merayapi dirinya, bayangan-bayangan masa lalu yang kelam kembali muncul dan menghantuinya. Namun, ia melihat sesuatu di mata Om Broto—bukan nafsu semata, melainkan sebuah bentuk kesepian, sebuah keinginan untuk kebersamaan yang tulus. Selain itu, ada rasa hormat yang aneh. Om Broto tidak pernah memaksakan apa pun pada para penarinya. Ia selalu bersikap profesional dan adil. Nadia merasa terjebak, namun juga tertarik pada tawaran yang misterius ini. Ia sudah berhutang banyak pada Om Broto, pada kesempatan yang telah diberikan kepadanya. Nadia mengangguk pelan, sebuah isyarat kepasrahan yang rumit, namun di dalamnya ada sedikit rasa ingin tahu.

Mereka pergi ke sebuah hotel bintang lima yang tak jauh dari bar. Kamar suite yang mewah, dengan lampu temaram dan pemandangan kota di malam hari, terasa begitu kontras dengan kengerian yang akan terjadi di dalamnya. Nadia telah mandi, mengenakan handuk hotel yang bersih, dan Om Broto menyerahkan sebuah kotak kecil padanya. "Untukmu," katanya singkat. Nadia membukanya. Di dalamnya ada sebuah lingerie hitam tipis yang sangat seksi dan elegan, terbuat dari renda halus. Nadia menatapnya, lalu menatap Om Broto. "Pakai itu," perintah Om Broto, suaranya kembali menjadi nada dominan yang dulu ia dengar pertama kali. Nadia masuk ke kamar mandi, mengganti handuknya dengan lingerie itu. Ia menatap pantulannya di cermin. Lingerie itu membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan setiap lekuk tubuh femininnya, dan menonjolkan payudaranya yang besar dan montok dengan indah. Ia tampak seperti wanita sempurna, kecuali untuk satu rahasia di antara kedua kakinya.

Saat Nadia kembali ke kamar, Om Broto sudah duduk di tepi ranjang. Matanya menatap Nadia dari ujung rambut hingga ujung kaki, sebuah pandangan yang lapar namun juga mengagumi kecantikan Nadia. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang kini dipenuhi hasrat. "Kemari, Nadia," panggilnya, suaranya dalam dan serak. Nadia melangkah mendekat, tubuhnya gemetar samar, sebuah antisipasi yang bercampur ketakutan. Ia tahu apa yang akan terjadi. Trauma masa lalu berdesir di benaknya, namun ia memaksakan diri untuk mematikan perasaannya, membangun dinding pertahanan. Ia membiarkan dirinya ditarik ke ranjang, tubuhnya terbaring di samping Om Broto. Om Broto mulai membelai rambut Nadia, perlahan turun ke lehernya, lalu bahunya. Tangannya yang besar dan kasar terasa kuat namun juga hati-hati. Nadia memejamkan mata, membiarkan dirinya disentuh, meskipun di dalam hatinya ia merasakan sebuah jurang. Ia masih membawa luka, dan sentuhan ini, meskipun dari seseorang yang ia percayai, tetaplah sebuah pengingat akan kerentanannya. "Kamu sangat cantik, Nadia," bisik Om Broto di telinganya, suaranya dalam dan penuh hasrat yang membara. "Sangat sempurna. Payudaramu ini... indah sekali." Tangannya mencengkeram payudara Nadia, meremasnya dengan sedikit kasar, membuat Nadia mendesah pelan, sebuah desahan campuran dari rasa sakit dan sebuah sensasi aneh yang sudah lama ia kenali. Kemudian, tanpa peringatan, Om Broto menarik kepala Nadia. "Hisap!" perintahnya dengan nada dominan yang tak terbantahkan. Nadia tanpa ragu menuruti. Bibirnya menyelimuti kejantanan Om Broto. Setiap hisapan adalah penyerahan diri, setiap gerak lidah adalah bagian dari peran yang kini ia mainkan dengan terpaksa. Ia menghisap dalam-dalam, napasnya memburu. Om Broto mendesah puas, menjambak rambut Nadia dengan kasar, membuat Nadia mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Om Broto yang penuh gairah dan kekuasaan. "Lebih dalam, jalang!" geram Om Broto, mendorong kepala Nadia lebih dalam lagi. Nadia tersedak, namun ia terus melakukannya, hingga Om Broto mencapai kepuasannya.

Setelah itu, Om Broto membalikkan tubuh Nadia. Ia mengangkangkan kaki Nadia dengan paksa, tubuh Nadia terbuka sepenuhnya, rentan di hadapannya. "Kamu akan merasakan seluruh keberadaanku malam ini," bisik Om Broto, suaranya dingin dan brutal. Ia meludah sedikit pada anusnya, melumasinya, dan tanpa ampun, ia menghunjamkan penisnya ke dalam anus Nadia dengan kasarNadia menjerit kesakitan, sebuah jeritan yang tertahan di kerongkongannya, suaranya tercekat oleh kepedihan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar hebat di bawah hunjaman brutal Om Broto. Setiap dorongan adalah siksaan yang tak terlukiskan, namun Om Broto tak peduli. Ia terus bergerak, cepat dan keras, mencengkeram pinggul Nadia kuat-kuat. Saat sodomi berlangsung, tangan Om Broto yang lain bermain-main dengan penis kecil Nadia, mengelusnya, menariknya, seolah mengejek atau mengingatkan Nadia akan identitas aslinya yang ia sembunyikan. Bersamaan dengan itu, ia menjilati telinga Nadia, membasahinya dengan ludahnya, dan berbisik dengan suara serak, "Kamu waria yang paling sempurna dan cantik yang pernah Om lihat." Bisikan itu, yang bercampur dengan rasa sakit dan kehinaan, menembus hingga ke inti jiwa Nadia, mengukuhkan dominasi Om Broto atas dirinya. Ia berada dalam genggamannya, sepenuhnya, bahkan dalam penderitaan ini yang tak berujung. Ketika semua berakhir, Om Broto ambruk di atas tubuh Nadia, napasnya terengah-engah, tubuhnya puas. Nadia terbaring diam di bawahnya, tubuhnya sakit, jiwanya terkoyak dan kosong. Malam itu adalah pengingat brutal bahwa meskipun ia telah menemukan panggung dan penerimaan, ia tetaplah terbelenggu, dan kekuasaan Om Broto atas dirinya adalah mutlak, tak terbantahkan.

Keesokan harinya, Nadia terbangun dengan tubuh pegal dan nyeri yang luar biasa. Om Broto sudah tidak ada di ranjang. Ia melihat sebuah kunci dan sebuah alamat tergeletak di nakas. Di bawahnya ada sebuah catatan singkat: "Apartemenmu. Dekat bar. Ini untukmu." Nadia menatap kunci itu, lalu ke alamat yang tertulis. Itu adalah sebuah apartemen sederhana, namun bersih, dan nyaman. Lebih dari sekadar kamar kontrakan sempit yang ia tempati sebelumnya. Itu adalah tempatnya sendiri, sebuah tempat yang bisa ia sebut rumah, hadiah dari Om Broto. Di sinilah ia akan memulai babak baru, dengan luka yang tak akan pernah sembuh, namun dengan panggung dan identitas baru yang kini ia rangkul, di bawah bayang-bayang dominasi seorang pria yang kini menjadi pelindungnya. Ia adalah Nadia Elmina, penari waria, dan ia akan terus menari, di atas panggung dan di dalam kehidupannya yang rumit, mencari makna di tengah kekosongan.

Perjalanan Nadia masih panjang, penuh dengan ketidakpastian. Dunia malam yang kini menjadi rumahnya menawarkan cahaya dan kegelapan secara bersamaan. Ia telah kehilangan begitu banyak, tetapi di antara gemerlap lampu dan alunan musik, ia menemukan secercah keberadaan. Trauma mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi ia belajar bagaimana menyalurkannya ke dalam gerakannya di atas panggung, mengubah rasa sakit menjadi seni. Ia bukan lagi Nadia yang sama, gadis rapuh yang terperangkap dalam ketakutan. Ia adalah Nadia Elmina, sosok yang lebih tangguh, lebih memahami diri, meski dengan cara yang pahit. Di kota besar ini, di antara komunitas waria yang menerimanya, dan di bawah pengaruh Om Broto yang kompleks, Nadia terus beradaptasi, mencari tempatnya, seolah menari di tepi jurang, antara kehancuran dan harapan. Malam-malam di bar menjadi kanvas bagi ekspresinya, tempat ia bisa menjadi diri sendiri, atau setidaknya, versi dirinya yang paling jujur. Kisahnya terus bergulir, sebuah simfoni perjuangan, penerimaan, dan ketahanan di tengah kerasnya dunia.

 

 

 

 

 

Bersambung Ke Season 2 Riasan Mawar Elmina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lelaki Lembut Yang Di Jadikan Waria

Bab 1: Fino dan Dinding Kaca Angin Bandung sore itu berembus pelan, membawa aroma petrikor yang baru saja membasahi aspal Jalan Cihampelas...