Diana muda pernah bermimpi tentang kehidupan yang sederhana namun penuh cinta
di desanya, sebuah harapan yang wajar bagi gadis mana pun yang tumbuh di kaki
bukit Jawa Barat. Udara Desa Cimekar yang
sejuk dan asri, semilir angin yang membawa aroma tanah basah dan harum bunga
kopi, adalah saksi bisu hari harinya yang lugu. Ia tahu bagaimana cara menenun
kain kain indah dengan motif tradisional, diajarkan oleh neneknya sejak ia
masih anak anak. Setiap helai benang yang ia rajut adalah cerminan dari
kesabaran dan kelembutan, juga harapan akan masa depan yang cerah. Ia
membayangkan kain kain itu akan menjadi selimut hangat bagi anak anaknya kelak,
atau hiasan dinding yang mempercantik rumah tangganya. Namun, takdir memiliki
rencana lain, yang begitu kejam, hingga impian itu luluh lantak menjadi
serpihan belaka.
Malam itu, di sebuah sudut desa yang
tenang, di antara rimbunnya pepohonan dan suara jangkrik yang sahut menyahut,
hidup Diana direnggut paksa. Pemerkosaan brutal itu tidak hanya meninggalkan
luka fisik yang mengerikan, tetapi juga merobek jiwanya, menghancurkan setiap
helai kepercayaan dan harapan yang pernah ia miliki. Rasa sakit itu tak hanya
menggerogoti tubuhnya, tetapi juga meracuni pikirannya, menanamkan kebencian
yang mendalam, sebuah bibit pahit yang kelak tumbuh menjadi pohon besar
beracun. Ia membenci para pelakunya, membenci malam itu, dan yang paling parah,
ia mulai membenci esensi maskulinitas itu sendiri. Bagi Diana, laki laki adalah
simbol dari kebuasan, kekerasan, dan kehancuran. Mereka adalah monster,
perenggut kedamaian, penghancur impian.
Berbulan bulan setelah tragedi itu, di
tengah kesunyian dan keputusasaan yang melingkupinya, Diana mendapati dirinya
hamil. Kabar itu seharusnya membawa sedikit kelegaan, secercah harapan di
tengah kegelapan. Namun, bagi Diana, itu adalah pukulan telak yang
mengembalikan semua kengerian. Bagaimana mungkin ia membawa benih dari
kebiadaban itu? Setiap gerakan kecil di perutnya adalah pengingat akan trauma
yang ingin ia kubur dalam dalam. Ketakutan akan melahirkan seorang
"monster" seperti mereka yang telah merenggut kehidupannya, menjadi
obsesi yang menguasai akalnya. Perutnya yang membesar terasa seperti beban,
bukan anugerah, sebuah pengingat abadi akan malam yang menghancurkan itu. Ia
sering memegang perutnya, merasakan tendangan kecil di dalamnya, dan setiap
kali itu terjadi, air mata akan jatuh membasahi pipinya, bercampur dengan rasa
takut dan penyesalan yang dalam. Ia berbicara pada janin itu, berbisik meminta
maaf atas takdir yang akan ia paksakan, sebuah takdir yang ia yakini sebagai
satu satunya cara untuk melindunginya dari dunia kejam yang ia kenal.
Ketika hari persalinan tiba, di sebuah
gubuk sederhana di pedalaman desa, hanya ditemani seorang dukun beranak tua
yang terbiasa dengan kesunyian, Diana melahirkan seorang bayi. Tangisan
pertamanya mengisi gubuk itu, mengoyak keheningan malam yang sunyi. Dengan
tangan bergetar, Diana mengangkat selimut tipis yang menutupi bayi mungil itu.
Sebuah tarikan napas tertahan keluar dari bibirnya. Itu adalah bayi laki laki.
Sebuah gumpalan kecil daging dan darah, namun bagi Diana, ia adalah bayangan
menakutkan dari sang pemerkosa, sebuah ancaman yang lahir dari rahimnya
sendiri, sebuah simbol yang harus ia ubah. Matanya menatap tajam pada fitur
fitur kecil bayi itu, mencari jejak jejak kemaskulinan yang begitu ia benci,
dan ia bersumpah untuk menghapusnya.
Di detik itu juga, di tengah deru napas
yang memburu dan air mata yang tak henti mengalir, Diana membuat sebuah
keputusan ekstrem, sebuah sumpah diam diam yang akan mengubah takdir sang bayi
selamanya. "Tidak," bisiknya pelan, suaranya serak dan gemetar,
nyaris tidak terdengar oleh dukun beranak. "Aku tidak akan membiarkanmu
tumbuh menjadi mereka. Kau tidak akan menjadi laki laki." Dalam pikiran
Diana yang sudah terdistorsi oleh trauma, inilah satu satunya cara untuk
melindungi dirinya, untuk menghapus jejak kegelapan itu. Ia akan menghapus
identitas biologis sang bayi, menciptakan realitas baru yang sepenuhnya ia
kontrol, sebuah realitas yang bebas dari bayang bayang kekejian yang
menghantuinya. Ia meyakini, dengan keyakinan yang membara, bahwa tindakan ini
adalah bentuk kasih sayang tertinggi, sebuah pengorbanan untuk melindungi
anaknya dari kejahatan dunia.
Maka, tanpa ragu, bayi laki laki itu diberi
nama Nadia Elmina. Sebuah nama yang
cantik, lembut, dan feminin, sebuah identitas yang dipaksakan bahkan sebelum ia
membuka mata sepenuhnya ke dunia. Dukun beranak itu memandang Diana dengan
tatapan bingung. "Nona Diana, ini kan anak laki laki," katanya hati
hati, mencoba menyuarakan keanehan itu. Diana hanya menggelengkan kepala,
tatapannya kosong namun penuh tekad yang tidak tergoyahkan. "Dia Nadia.
Dia perempuan." Dan tidak ada seorang pun di desa yang berani
mempertanyakan lebih jauh keputusan Diana. Ia adalah korban, dan dalam
masyarakat pedesaan yang sederhana itu, simpati seringkali mengalahkan rasa
ingin tahu. Warga desa yang mengetahui kisah pilu Diana hanya bisa menghela
napas, percaya bahwa trauma yang ia alami telah sedikit mengganggu pikirannya,
namun mereka tidak mencampuri urusan pribadinya.
Sejak saat itu, setiap aspek kehidupan Nadia Elmina dirancang untuk menegaskan
identitas perempuan yang Diana ciptakan. Kain kain tenunan indah yang dulu ia
rajut dengan cinta, kini menjadi gaun gaun kecil yang dikenakan Nadia. Setiap
gaun dijahit dengan hati hati, dengan motif bunga atau kupu kupu yang feminin,
seolah Diana ingin menutupi identitas asli Nadia dengan lapisan demi lapisan
kain. Rambutnya tidak pernah dipotong pendek, melainkan dibiarkan tumbuh
panjang, diikat pita pita warna warni yang Diana beli dari pasar desa setiap
kali ia berani keluar rumah. Pita pita itu, meskipun sederhana, adalah simbol
dari penolakan Diana terhadap maskulinitas. Mainan Nadia adalah boneka kain
yang Diana buat sendiri, peralatan masak mini dari tanah liat, atau set cangkir
teh kecil dari batok kelapa, bukan bola atau mobil mobilan kayu yang biasa
dimainkan anak anak laki laki di desa. Diana bahkan memalsukan akta kelahiran
Nadia, menuliskan jenis kelamin "perempuan" di sana, sebuah
kebohongan formal yang mengukuhkan tekadnya, sebuah bukti nyata dari obsesinya.
Rumah mereka berdiri agak terpencil dari
permukiman utama Desa Cimekar,
dikelilingi rimbunnya hutan dan kebun teh yang menghijau. Lokasi ini, yang
dulunya dipilih Diana karena ketenangan dan privasinya, kini menjadi penjara
yang sempurna bagi Nadia. Nadia Elmina tumbuh
tanpa pernah berinteraksi dengan anak anak lain. Ia tidak pernah tahu bagaimana
rasanya berlarian di ladang jagung bersama teman teman, atau bermain petak
umpet di balik pohon kelapa. Dunianya hanya berputar di sekitar Diana, dan
empat dinding rumah sederhana itu, yang seolah menjadi benteng pelindung
sekaligus kurungan bagi jiwanya yang polos. Ia tidak mengenal konsep
"teman sebaya," ia hanya mengenal ibunya sebagai satu satunya teman,
satu satunya dunia.
Kehidupan mereka diselimuti kesunyian yang
tebal, hanya dipecah oleh bisikan bisikan Diana yang terus menerus mendoktrin
Nadia. "Nadia cantik sekali, seperti bunga melati," Diana akan
berkata sambil membelai rambut Nadia. "Anak perempuan yang baik selalu
sopan, Nak," bisiknya lagi, saat mengajari Nadia cara duduk dengan lutut
rapat atau cara berjalan yang anggun. "Ini cara perempuan berjalan,
Nak." Nadia menyerap setiap kata itu seperti spons, membentuk pemahamannya
tentang diri dan dunia. Ia melihat dirinya di cermin, seorang anak kecil dengan
rambut panjang, gaun cantik, dan mata polos yang mencerminkan keyakinan mutlak
pada setiap kata ibunya. Ia tidak pernah merasa ada yang salah, karena tidak
ada pembanding, tidak ada suara lain yang membisikkan kemungkinan berbeda.
Di balik ketenangan yang tampak, suasana
rumah itu diselimuti kecemasan Diana yang tak pernah padam. Setiap suara keras
dari luar, setiap bayangan yang melintas di jendela, memicu ketakutan lama dalam
dirinya, mengingatkannya pada malam terkutuk itu. Ia selalu waspada, matanya
mengawasi Nadia dengan intens, seolah khawatir akan ada sesuatu yang bisa
mengancam identitas palsu yang telah ia bangun dengan susah payah. Ia tidak
mengizinkan Nadia bermain di luar, bahkan di halaman rumah mereka sendiri yang
dikelilingi pagar bambu tinggi. Alasan yang ia berikan selalu sama, "Di
luar sana banyak bahaya, Nak. Banyak orang jahat. Lebih aman di dalam sini
bersama Ibu." Nadia, yang tak pernah tahu dunia lain, menerima perkataan
itu tanpa bantahan. Ia percaya ibunya, ia mencintai ibunya, dan ia patuh pada
setiap perkataan Diana. Kepatuhan Nadia bukan hanya karena rasa hormat, tetapi
juga karena ia tidak memiliki pilihan lain, tidak mengenal kebebasan.
Sore hari di Desa
Cimekar selalu ditandai dengan suara azan dari masjid kecil yang samar
samar terdengar, dan aroma masakan dari dapur tetangga yang kadang terbawa
angin pegunungan. Namun, bagi Nadia, dunia luar itu adalah misteri yang tak
terjangkau. Ia hanya bisa melihatnya dari balik jendela yang tertutup rapat,
seperti menonton pertunjukan tanpa bisa ikut bermain. Matanya yang polos
memandang anak anak desa lain yang berlarian bebas, bermain layangan di
lapangan terbuka yang jauh, atau mandi di sungai dengan tawa riang. Sebuah
kerinduan samar pernah terlintas di benaknya, sebuah bisikan kecil yang cepat
padam. Namun, dengan cepat ditepis oleh bisikan Diana, "Nadia Elmina tidak seperti mereka. Nadia Elmina berbeda. Nadia Elmina istimewa." Dan bagi
Nadia, "istimewa" berarti "harus dilindungi" dalam kurungan
emas yang dibangun oleh trauma ibunya, sebuah perlindungan yang ironisnya
adalah bentuk kekerasan terselubung.
Begitulah, di sebuah desa terpencil bernama Cimekar di Jawa Barat,
di bawah langit yang sama dengan kota Bandung yang jauh, sebuah kehidupan baru
dimulai dengan kebohongan. Nadia Elmina,
seorang bayi laki laki yang dipaksa menjadi perempuan, hidup dalam isolasi,
tanpa tahu apa apa tentang kebenaran dirinya, sepenuhnya di bawah kendali
seorang ibu yang jiwanya telah hancur. Kain kain indah tenunan Diana yang
seharusnya menjadi simbol kelembutan dan kehangatan, kini terasa seperti tirai
tebal yang menutupinya dari dunia, dari dirinya sendiri, dari jati dirinya yang
sejati. Setiap detik, setiap hari, setiap bulan, adalah upaya Diana untuk
mengubur kebenaran itu dalam dalam, membangun sebuah identitas palsu yang
kokoh, berharap ia tidak akan pernah terkuak.
Waktu merangkak perlahan di Desa Cimekar. Nadia Almina, dengan mata polos dan
senyum yang jarang, kini menginjak usia lima tahun. Ia adalah anak yang
penurut, seperti selembar kanvas kosong yang siap dilukis. Dan Diana, sang ibu,
adalah pelukisnya, dengan kuas yang terbuat dari obsesi dan trauma. Sejak Nadia
genap berusia lima tahun, Diana memulai fase baru dalam rencana besarnya,
sebuah langkah keji yang akan membentuk Nadia, tidak hanya dari pikiran, tetapi
hingga ke setiap sel tubuhnya.
Di bawah senja yang temaram, saat
burung-burung mulai kembali ke sarangnya dan suara jangkrik mengisi udara,
Diana akan menyiapkan makan malam Nadia. Bubur nasi hangat dengan lauk
seadanya, disajikan dengan mangkuk bergambar bunga. Namun, ada satu tambahan
rahasia. Dengan tangan gemetar, Diana akan menghancurkan sebutir pil kecil
berwarna putih, menghaluskannya hingga menjadi bubuk tak terlihat. Bubuk itu,
dengan hati hati, ia campurkan ke dalam bubur Nadia, mengaduknya perlahan
hingga larut sempurna. Itu adalah pil pertama dari banyak pil lain yang akan
masuk ke tubuh Nadia, pil yang membawa serta janji palsu tentang feminitas, dan
kutukan atas identitas aslinya.
Diana mengetahui pil pil ini dari sebuah
buku medis bekas yang ia temukan di pasar loak kota beberapa waktu lalu. Buku
itu mengulas tentang terapi hormon bagi wanita trans, namun Diana menafsirkan
isinya secara keliru, atau mungkin sengaja keliru, sebagai panduan untuk
"mengubah" anaknya menjadi perempuan sejati. Dosis yang ia berikan
pada Nadia, tanpa konsultasi medis, tanpa pengetahuan yang memadai, adalah
dosis tinggi, jauh melampaui batas aman untuk tubuh sekecil Nadia. Ia
melakukannya secara sembunyi sembunyi, penuh kerahasiaan, seolah tindakannya
adalah sebuah ibadah yang harus dijaga dari pandangan dunia.
Proses "feminisasi" Nadia dimulai
dengan cara yang halus, nyaris tak terasa. Awalnya, Nadia hanya merasakan tubuhnya
sedikit lemas, sering mengantuk di siang hari, dan terkadang mual. Ia mengeluh
pada Diana, yang akan memeluknya erat, membisikkan kata kata penenang,
"Tidak apa apa, Sayang. Nadia hanya sedikit lelah. Anak perempuan memang
butuh istirahat lebih." Nadia percaya. Ia tidak tahu bahwa rasa lemas itu
adalah reaksi awal dari hormon yang mulai bekerja dalam sistem tubuhnya yang
mungil.
Secara mental, proses indoktrinasi Diana
juga semakin intens. Setiap hari, Diana akan menghabiskan waktu berjam jam
dengan Nadia, menceritakan dongeng tentang putri putri cantik, tentang
kelembutan wanita, tentang peran seorang ibu. Ia tidak pernah absen menyebut
Nadia sebagai "anak perempuan Ibu," "putri kecil Ibu," atau
"gadis manis Ibu." Kata kata itu diulang, diulang, dan diulang lagi,
hingga menancap kuat di benak Nadia, membentuk fondasi pemahaman dirinya.
"Anak perempuan yang baik itu harus
lembut, Nak," Diana akan mengusap rambut panjang Nadia yang terurai.
"Tidak boleh kasar, tidak boleh berlarian seperti anak laki laki. Lihat,
Ibu juga selalu begini." Ia akan mencontohkan cara berjalan yang anggun,
cara berbicara yang pelan, cara tertawa yang tertahan. Nadia menirukannya
dengan patuh, seperti seekor anak burung yang meniru induknya. Ia tidak tahu
ada pilihan lain, tidak tahu ada cara lain untuk menjadi seorang manusia.
Kehidupan Nadia sepenuhnya terisolasi dari
dunia luar. Gubuk mereka di pinggir Desa Cimekar adalah dunianya. Ia tidak
pernah menginjakkan kaki di sekolah, tidak pernah tahu bagaimana riuhnya tawa
anak anak di taman bermain, atau bagaimana serunya berebut bola di lapangan
desa. Teman temannya adalah boneka kain yang Diana buatkan, atau binatang
binatang kecil yang sesekali berani mendekat ke halaman rumah. Diana adalah
gurunya, segalanya. Ia mengajari Nadia membaca, menulis, berhitung, dan semua
pelajaran hidup yang menurutnya penting. Namun, pelajaran terpenting yang ia
tanamkan adalah: Nadia adalah perempuan, murni perempuan.
"Di luar sana itu berbahaya,
Nak," Diana akan berkata setiap kali Nadia mencoba mendekati pintu atau
jendela. "Ada banyak orang jahat. Ibu tidak mau Nadia terluka."
Trauma Diana memproyeksikan dirinya sebagai benteng, tetapi juga sebagai
penjara bagi Nadia. Ia takut dunia akan merenggut Nadia darinya, atau lebih
parah, mengungkap kebenaran yang ia coba sembunyikan. Ketakutannya begitu besar
hingga ia rela mengorbankan masa kecil Nadia, kebebasan Nadia, bahkan identitas
Nadia.
Hari hari Nadia berlalu dalam keseragaman.
Bangun, sarapan dengan pil tersembunyi, belajar dengan Diana, bermain boneka,
membantu pekerjaan rumah tangga yang ringan, lalu tidur. Tidak ada petualangan,
tidak ada eksplorasi, tidak ada kontak dengan realitas di luar benteng ibunya.
Pikiran Nadia, yang masih sangat muda, tidak memiliki pembanding. Ia melihat
tubuhnya yang perlahan berubah, merasakan sensasi baru yang aneh, dan
mendengarkan bisikan bisikan Diana, dan ia menerima semua itu sebagai bagian
dari menjadi "perempuan." Ia melihat pantulan dirinya di cermin:
seorang anak kecil berambut panjang, dengan gaun sederhana, dan tatapan yang
belum tersentuh keraguan. Ia adalah Nadia Almina, gadis kecil yang Diana
ciptakan, seutuhnya.
Diana percaya bahwa dengan cara ini, ia
telah menyelamatkan Nadia dari nasib buruk, dari identitas yang ia benci. Ia
tidak melihat bahwa ia sedang melakukan kekerasan lain, kekerasan yang lebih
halus namun menghancurkan. Ia tidak sadar bahwa setiap pil yang ia berikan,
setiap doktrin yang ia tanamkan, adalah tembok bata yang mengurung jiwa Nadia,
mempersiapkan tanah subur bagi kehancuran yang lebih besar di masa depan. Di
tengah kesunyian Desa Cimekar, di dalam gubuk terpencil itu, sebuah eksperimen
identitas yang keji sedang berlangsung, dibungkus dalam selimut cinta yang
salah arah.
Di Desa Cimekar, di dalam gubuk yang
berdiri agak terpencil, Nadia tumbuh
seperti bunga langka yang tak pernah melihat matahari penuh. Dunia luar adalah
bisikan samar yang sesekali tertiup angin melalui celah jendela, suara tawa
anak-anak yang jauh, atau gemerisik dedaunan di kebun teh yang mengelilingi
rumah. Namun, bagi Nadia, semua itu hanyalah latar belakang dari realitasnya
yang tunggal dan tak terbantahkan: dirinya adalah seorang "gadis"
yang hidup bersama ibunya, Diana. Ia tidak tahu ada dunia yang lebih luas,
tidak tahu ada kehidupan di luar pagar kayu yang mengelilingi rumah mereka.
Keterbatasan ruang dan pengalaman ini membuat pikirannya menjadi sempit, hanya
mampu memproses informasi yang diberikan Diana.
Rutinitas harian Nadia adalah sebuah siklus
yang teratur, berulang tanpa variasi berarti, mengukir alur kehidupannya
seperti alur tenunan kain. Pagi hari dimulai dengan sinar matahari yang
menembus celah papan, membangunkan Nadia dari tidurnya di atas tikar pandan.
Aroma tanah basah dan embun pagi dari kebun teh tercium samar, sebuah keharuman
alami yang menjadi satu satunya wangi dunia luar yang ia kenal. Diana sudah
bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan sederhana: bubur singkong atau nasi
jagung hangat, disajikan dengan lauk seadanya seperti tempe goreng atau telur
dadar dari ayam peliharaan mereka. Selalu ada satu tambahan rahasia: pil pil
kecil yang dihancurkan menjadi bubuk dan larut dalam makanannya. Nadia akan memakan
sarapannya dengan lahap, merasakan energi yang aneh mengalir dalam tubuhnya,
sebuah sensasi yang ia anggap normal. Ia tidak pernah mempertanyakan mengapa ia
selalu diberi bubuk aneh itu, ia hanya tahu itu adalah bagian dari rutinitas
paginya.
Setelah sarapan, waktu Nadia sepenuhnya
didedikasikan untuk belajar bersama Diana. Meja kayu kecil di tengah ruangan
menjadi "sekolah" mereka, diterangi cahaya alami dari jendela kecil.
Diana, dengan kesabaran yang luar biasa namun juga dengan keteguhan yang obsesif,
mengajari Nadia membaca, menulis, dan berhitung. Ia menggunakan buku buku tua
yang usang, sisa sisa pendidikan dasarnya, atau majalah bekas yang kadang ia
temukan di pasar desa. Materi pelajaran mereka terbatas, namun Diana memastikan
Nadia menguasai dasar dasar dengan baik. Nadia adalah murid yang cerdas, daya
serapnya tinggi, dan ia menikmati waktu belajar bersama ibunya. Huruf demi
huruf, angka demi angka, mengisi otaknya yang haus akan pengetahuan, tetapi
semua itu dibingkai dalam narasi tunggal yang Diana tanamkan.
"Huruf ini untuk 'cantik', Nak,"
Diana akan menunjuk huruf C dengan jari kurusnya. "Seperti Nadia."
"Angka satu itu seperti perempuan yang mandiri, Sayang," bisiknya,
sebuah kalimat yang kontradiktif dengan kenyataan bahwa Nadia sepenuhnya
bergantung pada Diana. Ia tidak pernah diajari konsep kemandirian dalam arti
sebenarnya, hanya kemandirian dalam lingkup rumah tangga.
Setiap pelajaran, setiap kisah, selalu
dikaitkan dengan konsep kewanitaan. Diana tidak pernah melewatkan kesempatan untuk
memperkuat identitas perempuan Nadia. Dongeng yang diceritakan bukan lagi hanya
tentang putri putri di istana, tetapi tentang perempuan perkasa dari sejarah,
namun versi yang sudah disaring dan diromantisasi, jauh dari kenyataan yang
keras. Ia menceritakan tentang Kartini yang berjuang untuk pendidikan
perempuan, tentang Dewi Sartika yang membuka sekolah untuk anak perempuan,
namun selalu dengan penekanan pada kelembutan, kesabaran, dan perjuangan di
balik layar, bukan kekuatan fisik atau keberanian yang bersifat maskulin.
Nadia, yang tidak memiliki akses informasi lain, menyerap semua itu sebagai
kebenaran mutlak. Ia menganggap bahwa peran perempuan adalah seperti yang Diana
ajarkan, dan ia merasa senang menjadi bagian dari identitas itu.
Setelah jam belajar usai, Nadia akan
membantu Diana dengan pekerjaan rumah tangga. Menyapu lantai tanah yang dingin
dengan sapu lidi, mencuci piring di bak air sederhana di luar, atau membantu
Diana merapikan hasil tenunan kain yang kering di jemuran bambu. Ia melakukannya
dengan cekatan, dengan gerakan yang sudah terbiasa dengan kehati hatian yang
diajarkan ibunya. "Perempuan itu harus pintar mengurus rumah, Nadia. Nanti
kalau sudah besar, Nadia akan punya rumah sendiri, harus bersih dan rapi."
Kalimat kalimat itu adalah bagian dari kurikulum Diana, mempersiapkan Nadia
untuk sebuah masa depan yang ia rancang sendiri, sebuah masa depan di mana
Nadia akan menjadi ibu rumah tangga yang sempurna, jauh dari segala bentuk
maskulinitas.
Sore hari, ketika udara mulai sejuk dan
kabut mulai turun tipis dari pegunungan, Nadia sering duduk di teras kecil
rumah mereka. Diana biasanya sibuk dengan tenunannya atau merawat kebun kecil
mereka yang ditumbuhi singkong dan cabai. Nadia akan memainkan boneka kainnya,
mengganti baju mereka, menyisir rambut benangnya, dan bercerita pada mereka
tentang kisah kisah yang Diana dongengkan. Boneka boneka itu adalah teman
rahasianya, satu satunya teman sebaya yang ia miliki. Ia menamai boneka
bonekanya dengan nama nama perempuan yang indah, mencerminkan imajinasinya yang
terbatas.
Dari teras itu, mata Nadia kadang akan
menangkap pemandangan yang samar dari jauh: anak anak desa yang bermain di
lapangan terbuka, tawa mereka yang melayang bersama angin, atau suara teriakan
riang saat mereka berlomba menaiki pohon. Nadia tidak tahu itu adalah anak laki
laki atau perempuan, ia hanya tahu itu adalah "mereka yang di luar
sana," "mereka yang ramai." Sebuah rasa penasaran, seperti
gelembung kecil, sesekali muncul di benaknya. Namun, sebelum gelembung itu
pecah, Diana akan segera memanggilnya masuk, atau mengalihkan perhatiannya.
"Lihat Nadia, kupu kupu itu cantik sekali. Warnanya seperti gaun baru
Nadia nanti." Diana selalu punya cara untuk mengalihkan pandangan Nadia
dari realitas luar, membawa fokusnya kembali ke dalam kepompong yang ia
ciptakan. Ia selalu mengawasi, memastikan tidak ada celah bagi dunia luar untuk
menembus bentengnya.
Perubahan fisik pada Nadia, meskipun
perlahan, mulai semakin nyata. Kulitnya yang mulanya agak gelap karena paparan
matahari saat masih bayi, kini menjadi lebih cerah dan halus, nyaris transparan
di beberapa bagian. Rambutnya tumbuh semakin panjang dan lebat, selalu dirawat
dengan hati hati oleh Diana. Punggungnya tidak lagi sekekar bayi laki laki,
melainkan mulai menunjukkan kelengkungan yang lebih halus. Pinggulnya sedikit
melebar, meski masih sangat minim. Ia tidak tahu bahwa ini adalah efek dari
hormon yang terus menerus membanjiri tubuhnya. Ia hanya merasa tubuhnya tumbuh,
seperti anak anak lain. Diana akan membelai pipi Nadia, mengagumi perubahan
itu, dan berkata, "Nadia semakin cantik. Persis seperti putri." Kata
kata itu adalah penegasan, sebuah mantra yang mengukuhkan kebohongan.
Nadia sepenuhnya mempercayai narasi ibunya
tentang dirinya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin tua yang buram di
dinding, melihat seorang "gadis kecil" berambut panjang, dengan gaun
sederhana, dan tatapan polos yang mencerminkan keyakinan mutlak pada setiap
kata ibunya. Ia tidak pernah mempertanyakan mengapa ia tidak memiliki "lubang"
seperti yang ia lihat pada gambar anatomi perempuan di buku kedokteran bekas
Diana. Ia hanya tahu bahwa bagian itu adalah bagian yang "berbeda,"
bagian yang harus dijaga dari sentuhan. Diana selalu menekankan privasi dan
pentingnya menjaga tubuh. "Tubuh Nadia itu suci, Nak. Tidak boleh ada yang
melihat, kecuali Ibu." Kalimat itu mengukuhkan rasa malu dan kerahasiaan
seputar alat kelaminnya yang aneh, yang semakin menyusut seiring waktu.
Tidak ada cerminan lain selain yang Diana
berikan. Nadia tidak punya teman sebaya untuk membandingkan, tidak punya
sekolah untuk melihat standar lain, tidak punya televisi atau radio untuk
mendengar cerita di luar sana. Diana adalah satu satunya jendela Nadia ke
dunia, dan jendela itu hanya menampilkan pemandangan yang sudah disaring dan
diubah. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan narasi "Nadia adalah
perempuan" akan disembunyikan atau diabaikan. Diana akan membuang majalah
yang menampilkan pria berotot, atau cepat cepat menutup buku yang berisi gambar
anatomi tubuh laki laki jika Nadia tak sengaja melihatnya. Ia sangat protektif,
nyaris posesif, terhadap sumber informasi Nadia.
Di malam hari, setelah Nadia terlelap,
Diana sering duduk di sampingnya, memandangi wajah damai putranya yang kini
tampak begitu feminin. Ada campuran emosi yang tak terurai di mata Diana: cinta
yang mendalam, penyesalan yang pahit, dan rasa takut yang tak berkesudahan. Ia
tahu apa yang ia lakukan pada Nadia adalah hal yang kejam. Ia tahu ia telah
merampas identitas asli putranya. Namun, di dalam pikirannya yang terganggu,
ini adalah satu satunya cara untuk melindunginya dari "keganasan"
dunia laki laki, untuk memastikan bahwa trauma yang ia alami tidak akan
terulang pada Nadia. Ini adalah tindakannya untuk "menyelamatkan"
putranya, meskipun dengan cara yang menghancurkan. Ia akan mengusap kening
Nadia dengan lembut, lalu menghela napas panjang, sebuah napas yang membawa
serta beban rahasia yang mengerikan.
Kepompong itu semakin tebal. Dindingnya
semakin kokoh, dan Nadia semakin dalam terbenam di dalamnya. Ia tidak tahu
bahwa di balik selubung kecantikan yang dipaksakan itu, ada identitas lain yang
terperangkap, berjuang untuk bernapas. Ia tidak tahu bahwa ia hidup dalam
sebuah kebohongan yang rumit, yang dibangun dari puing puing jiwa ibunya.
Nadia, gadis kecil di Desa Cimekar, adalah cerminan sempurna dari impian rusak
Diana, sebuah karya agung dari trauma dan obsesi. Dan ia, dengan polosnya,
menerima semua itu sebagai takdirnya. Ia tidak tahu apa itu laki laki, ia hanya
tahu bahwa ia adalah perempuan, seutuhnya, sesuai bisikan ibunya.
Setahun kemudian, di tengah rutinitas yang
tak berubah, Diana membuat keputusan mengejutkan. Ia menjual gubuk kecil mereka
di Desa Cimekar. Alasan yang ia berikan pada Nadia adalah "udara di sini
sudah tidak baik untuk kita, Nak." Namun, dalam hati Diana, ia merasa Desa
Cimekar terlalu banyak menyimpan kenangan pahit, dan ia berharap pindah akan
menghilangkan jejak masa lalu. Mereka pindah ke Bandung.
Diana membeli sebuah rumah kecil di
salah satu sudut kota Bandung, bukan di pusat keramaian, melainkan di area
yang relatif tenang dan memiliki beberapa pohon, sedikit menyerupai suasana
desa yang ia kenal.
Meskipun kini mereka berada di kota,
kehidupan Nadia tidak banyak berubah. Diana memastikan Nadia tetap terisolasi dari dunia luar. Jendela rumah
mereka di Bandung juga sering tertutup, Nadia tidak diizinkan keluar rumah
sendirian, dan tidak ada teman sebaya yang datang berkunjung. Sekolah? Itu
tetap sebuah konsep asing. Diana masih mengajarinya di rumah, masih mencampur
pil dalam makanannya, dan masih mendoktrinnya bahwa ia adalah perempuan. Satu
satunya perbedaan adalah suara bising kota yang kadang terdengar samar, dan
pemandangan bangunan yang lebih padat dari yang ia lihat di desa. Namun, bagi
Nadia, dunia tetap sebatas empat dinding rumah mereka, di mana ia terus tumbuh
dalam kepompong identitas palsu yang Diana bangun dengan begitu telaten.
Pindah ke Bandung tidak membawa perubahan berarti pada isolasi Nadia. Dinding
rumah kecil di sudut kota itu, meski kini terbuat dari bata dan bukan lagi
bilik bambu, tetap menjadi benteng yang tak bisa Nadia tembus. Suara klakson
kendaraan yang samar dari jauh, desau angin yang kini membawa aroma polusi
bercampur hujan, adalah satu satunya tanda bahwa mereka kini berada di kota
yang lebih besar. Namun, dunia Nadia tetaplah Diana, empat dinding rumah, dan
rutinitas yang makin mengikat. Jika di Desa Cimekar isolasi Nadia adalah
kepompong yang lembut, di Bandung, kepompong itu terasa semakin keras,
membentuk dirinya tanpa ampun.
Kepindahan ini justru mempermudah Diana
untuk melanjutkan agenda feminisasinya. Di Bandung, Diana memiliki koneksi
baru. Dengan alasan "penyubur kandungan" atau "vitamin hormonal
untuk anak gadis yang susah haid," ia berhasil mendapatkan akses ke suntikan
suntikan hormon dosis tinggi melalui kenalannya, seorang bidan desa yang baru
saja pindah ke kota dan masih polos, mudah percaya pada cerita Diana yang penuh
kepalsuan. Suntikan ini, menurut Diana, akan "menyempurnakan" Nadia,
membuatnya menjadi perempuan sejati, persis seperti obsesinya. Pil yang
dicampur dalam makanan Nadia kini dilengkapi dengan suntikan yang diberikan
secara berkala, setiap beberapa minggu, tanpa Nadia tahu apa pun tentang cairan
yang meresap ke dalam tubuhnya.
Usia Nadia semakin mendekati pubertas, tubuhnya
kini menginjak angka sepuluh tahun. Diana semakin intens memberikan terapi
hormon. Suntikan itu lebih cepat dan kuat efeknya dibandingkan pil semata.
Nadia mulai merasakan sensasi aneh yang tak pernah ia alami sebelumnya. Awalnya
hanya rasa pegal di area dada, seperti terbentur sesuatu. Kemudian, sensasi itu
berubah menjadi nyeri tumpul, seolah ada sesuatu yang tumbuh di bawah kulitnya.
Ia mengeluh pada Diana, menyentuh dadanya yang terasa nyeri.
"Sakit, Ibu," kata Nadia dengan
mata berkaca kaca, menyentuh bagian yang kini terasa bengkak.
Diana tersenyum lembut, membelai rambut
Nadia, dan memeluknya erat. "Tidak apa apa, Sayang. Itu hal yang sangat
normal bagi anak perempuan sepertimu. Itu tandanya Nadia akan tumbuh besar,
sebentar lagi akan menjadi gadis dewasa yang cantik." Diana berbicara
dengan suara menenangkan, seolah meyakinkan dirinya sendiri lebih dari
meyakinkan Nadia. "Itu namanya payudara, Nak. Semua perempuan punya itu.
Itu tanda anugerah." Nadia, dengan segala kepolosannya, mempercayai setiap
kata ibunya. Jika Diana berkata itu normal, maka itu normal. Jika Diana berkata
itu tanda cantik, maka itu cantik. Ia tidak punya referensi lain, tidak punya
teman untuk bertanya, tidak punya buku yang menjelaskan tentang tubuh manusia
yang sebenarnya.
Suatu pagi yang
cerah, ketika Nadia bangun, ia menemukan sebuah benda baru di atas tempat
tidurnya. Sebuah bra kecil berwarna putih gading, dengan renda tipis di
tepinya. Diana sudah menunggunya dengan senyum di bibir. "Hari ini Nadia
akan memakai ini, Sayang. Ini adalah pakaian khusus untuk anak perempuan yang
sudah besar, yang sudah punya payudara." Nadia menatap bra itu dengan
bingung, merasa canggung. Diana dengan sabar membantunya memakainya, mengaitkan
pengait di belakang punggung Nadia. Sensasi kain yang membebat dadanya terasa
aneh, sedikit sesak, namun juga menimbulkan rasa ingin tahu yang aneh. Diana
terus memuji, "Lihat, Nadia semakin terlihat seperti gadis sungguhan
sekarang. Sangat cantik." Kata kata itu mengalir seperti madu, menutupi
kebingungan Nadia dengan rasa bangga semu.
Seiring berjalannya bulan, perubahan itu
menjadi semakin signifikan. Payudara Nadia tumbuh, perlahan namun pasti. Di
usia dua belas tahun, Nadia sudah memiliki tonjolan yang jelas di dadanya,
meskipun ukurannya belum terlalu besar. Diana semakin senang melihat perubahan
ini, seolah melihat sebuah mahakarya yang ia ukir dengan tangannya sendiri. Ia
membelikan Nadia bra pertamanya, yang ia sebut "pakaian khusus untuk anak
perempuan yang sudah besar." Nadia memakainya dengan canggung, merasa aneh
dengan benda yang membebat dadanya, tetapi ia tetap menurut.
Selain itu, Diana
juga mulai membiasakan Nadia untuk berpakaian lebih terbuka di rumah. Bukan
lagi gaun-gaun longgar yang menutupi seluruh tubuhnya, melainkan tanktop tipis
dan celana pendek ketat. "Di rumah kita harus nyaman, Nak. Lagipula, tubuh
perempuan itu indah, tidak perlu disembunyikan," kata Diana, menatap Nadia
dengan tatapan yang sulit diartikan. Nadia, yang selalu patuh, mengenakan
pakaian itu tanpa protes. Ia merasa sedikit risih dengan kain yang terlalu
menempel di kulitnya, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang baru tumbuh,
terutama dadanya. Namun, ia tidak berani mempertanyakan kehendak ibunya. Ia
hanya tahu bahwa ini adalah bagian dari "menjadi perempuan," bagian
dari pelajaran yang Diana berikan. Diana sering memuji Nadia saat ia mengenakan
pakaian itu, mengatakan betapa 'dewasa' dan 'cantiknya' Nadia sekarang,
mengukuhkan pemikiran Nadia bahwa ini adalah hal yang benar dan wajar.
Keanehan tubuh Nadia tidak berhenti di
situ. Selain pertumbuhan payudara yang ia anggap normal, ada hal lain yang
mengganggu pikirannya, sesuatu yang lebih pribadi dan membingungkan. Alat
kelaminnya. Sejak kecil, Diana selalu menekankan bahwa area itu adalah
"bagian yang sangat pribadi," tidak boleh disentuh, tidak boleh
dilihat siapa pun kecuali Diana saat memandikannya. Namun, Nadia sadar, bagian
itu terasa aneh. Ia tidak memiliki bentuk seperti yang ia lihat pada gambar
wanita di buku buku Diana yang sudah disaring. Ia hanya memiliki tonjolan kecil
yang semakin mengecil seiring waktu, dan dua "bola" di bawahnya yang
juga menyusut, nyaris tidak terlihat.
Setiap kali ia buang air kecil, ia
menyadari fungsinya hanya sebatas tempat pembuangan air saja. Tidak ada sensasi
lain, tidak ada perkembangan, tidak ada yang menyerupai organ yang digambarkan
dalam buku anatomi yang Diana sembunyikan dengan cepat jika Nadia tak sengaja
melihatnya. Rasa gatal dan nyeri samar sering muncul, namun ia tidak berani
bertanya pada Diana. Ia hanya berpikir mungkin semua perempuan memang begini.
Ia bingung, namun kebingungannya selalu ia simpan sendiri. Diana selalu
mengatakan bahwa tubuh perempuan itu unik, dan Nadia terlalu polos untuk
menyadari bahwa "keunikan" pada dirinya adalah hasil rekayasa yang
keji.
Nadia menghabiskan hari harinya di rumah.
Belajar, memasak bersama Diana, membersihkan rumah, dan menenun kain. Diana
mulai mengajarinya menenun, keterampilan tradisional yang dulu ia kuasai. Suara
alat tenun yang berderak menjadi irama baru dalam kesunyian rumah mereka. Dalam
setiap benang yang Nadia rajut, ada kebingungan yang tak terucap, ada
pertanyaan yang tak berani ia suarakan. Mengapa ia tidak pernah bertemu orang
lain? Mengapa ia tidak sekolah seperti anak anak yang kadang ia dengar suaranya
dari kejauhan? Mengapa tubuhnya terasa begitu berbeda, aneh, namun Diana selalu
mengatakan itu normal?
Diana semakin sering menatap Nadia dengan
tatapan yang sulit diartikan. Ada kebanggaan melihat "putrinya"
tumbuh sesuai rencana, namun juga ada bayangan rasa bersalah yang kadang
melintas di matanya. Ia tahu ia telah merenggut begitu banyak dari Nadia,
tetapi ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pengorbanan yang diperlukan demi
melindungi Nadia dari dunia maskulin yang ia benci. Ia melihat payudara Nadia
yang mulai jelas, dan ia merasa lega, seolah beban berat terangkat dari
pundaknya.
Di malam hari, setelah Nadia tidur, Diana
akan duduk di sampingnya, memandangi wajah polos putranya yang kini semakin
menyerupai seorang gadis muda. Ia akan menyentuh lembut dadanya, memastikan
payudara itu nyata. Kemudian, ia akan mengalihkan pandangannya ke arah celana
Nadia, melihat tonjolan yang semakin minim. Hatinya mencelos. Ia tahu apa yang
telah ia lakukan. Ia telah mengubah putranya secara fisik dan mental,
menjadikannya tawanan dalam identitas yang salah. Namun, ia merasa sudah
terlalu jauh melangkah untuk mundur. Ketakutan akan terbongkarnya rahasia ini
adalah pendorong utama Diana, lebih dari segalanya.
Hidup di Bandung tidak membuat Nadia lebih
dekat dengan dunia. Justru sebaliknya, kota ini adalah penjara yang lebih
besar, dengan godaan yang lebih banyak, yang harus Diana jaga mati matian.
Nadia tumbuh dalam kepompong yang semakin ketat, dengan tubuh yang berkhianat
pada identitas aslinya, dan pikiran yang sepenuhnya dibentuk oleh narasi
seorang ibu yang traumatis. Ia adalah lukisan yang belum selesai, namun
kanvasnya sudah terlanjur diwarnai dengan warna warna yang salah, tanpa
kesempatan untuk dilukis ulang.
Tujuh belas tahun telah berlalu sejak malam kelam di Desa Cimekar. Tujuh belas
tahun penuh pil dan suntikan, tujuh belas tahun bisikan yang tak henti, tujuh
belas tahun isolasi yang tak pernah putus. Nadia kini
telah menginjak usia tujuh belas tahun. Ia adalah wujud nyata dari obsesi
Diana, sebuah mahakarya dari trauma dan penolakan. Tubuhnya adalah bukti
sempurna dari rekayasa yang telah Diana lakukan, sebuah kemenangan yang
menyedihkan bagi sang ibu.
Payudaranya telah mencapai ukuran yang
cukup besar, sekitar 38B, tampak sempurna layaknya milik seorang perempuan
dewasa. Penuh dan padat, tersembunyi di balik blus atau kaus yang ia kenakan.
Kulitnya halus, nyaris tanpa cacat. Lekuk tubuhnya, terutama di bagian pinggul
dan paha, juga menunjukkan ciri feminin yang jelas, hasil dari distribusi lemak
yang diatur oleh hormon dosis tinggi yang terus mengalir dalam darahnya. Diana
sering menatap Nadia dengan pandangan bangga yang tercampur aduk dengan rasa
cemas. Baginya, Nadia adalah wujud dari impiannya yang terdistorsi: seorang
"putri" yang ia ciptakan, kebal dari kejahatan maskulinitas.
Nadia sendiri, di usianya yang menginjak
remaja akhir ini, menerima kondisi fisiknya ini tanpa pertanyaan. Ia tidak
pernah tahu bagaimana seharusnya tubuhnya tumbuh jika tidak ada campur tangan
Diana. Sejak kecil, Diana selalu memberitahunya bahwa pertumbuhan payudara
adalah hal normal bagi "anak perempuan" yang akan beranjak dewasa. Ia
ingat hari pertama ia memakai bra, canggung namun patuh. Ia ingat pujian Diana
yang tak ada habisnya, membentuk persepsinya tentang tubuhnya sendiri. Ia
melihat pantulan dirinya di cermin, seorang gadis muda dengan rambut panjang,
mata sendu, dan tubuh yang berkembang sesuai yang Diana ajarkan. Semua itu
terasa alami baginya, bagian dari proses menjadi dirinya.
Namun, di balik kesempurnaan payudara yang
tampak, ada bagian lain dari tubuh Nadia yang justru menunjukkan kehancuran
total. Alat kelaminnya. Sejak kecil, Diana selalu menekankan bagian itu sebagai
sesuatu yang "sangat pribadi dan tabu." Nadia tidak pernah melihatnya
dengan jelas, apalagi menyentuhnya. Ia hanya tahu bahwa ada sesuatu yang aneh.
Tonjolan yang seharusnya tumbuh menjadi penis telah menyusut drastis, nyaris
tidak terlihat, hanya menyisakan sebuah gumpalan kecil yang tak berfungsi
apa-apa. Dua "bola" di bawahnya pun telah menghilang sepenuhnya, atau
menyusut menjadi sisa sisa jaringan yang tak lagi menyerupai organ aslinya.
Testis Nadia telah mengalami atrofi total, menyebabkannya impotensi permanen di
usia yang sangat muda.
Bagian itu hanya berfungsi sebatas tempat
pembuangan air kecil, sebuah lubang kecil yang menyalurkan urin keluar dari
tubuhnya. Tidak ada ereksi, tidak ada dorongan seksual maskulin, tidak ada
tanda tanda kejantanan yang seharusnya muncul seiring pubertas pada anak laki
laki seusianya. Sensasi apapun di area itu nyaris tidak ada. Ini adalah efek
paling brutal dari terapi hormon yang terus menerus. Diana telah berhasil
mengkebiri putranya, secara harfiah, untuk mencapai tujuannya.
Nadia menerima kondisi fisiknya ini tanpa
pertanyaan. Ia tidak memiliki perbandingan. Ia tidak pernah melihat tubuh laki
laki, tidak pernah diajari tentang anatomi pria. Diana selalu menghindari topik
itu, atau langsung mengalihkan pembicaraan jika Nadia mulai menunjukkan rasa
ingin tahu. Semua buku yang mungkin menunjukkan perbedaan anatomis antara pria
dan wanita telah Diana singkirkan atau gunting halamannya. Dunia Nadia hanyalah
cermin yang Diana pegang untuknya, cermin yang hanya memantulkan apa yang Diana
ingin ia lihat: seorang perempuan.
Kehidupan mereka masih sangat terisolasi,
bahkan setelah tinggal di Bandung. Rumah mereka, yang terletak di pinggir kota
dan tidak terlalu dekat dengan tetangga, menjadi benteng yang sempurna. Diana
masih tidak mengizinkan Nadia keluar rumah sendirian. Belajar masih dilakukan di
rumah, dengan buku buku yang Diana pilihkan. Hiburan mereka terbatas pada
televisi yang sesekali Diana nyalakan untuk menonton tayangan yang 'aman'
seperti sinetron atau berita hiburan. Tidak ada teman, tidak ada sekolah, tidak
ada interaksi sosial di luar Diana.
Nadia menghabiskan sebagian besar waktunya
dengan kegiatan yang Diana ajarkan: menenun kain, memasak, merawat kebun kecil
di belakang rumah, atau membaca buku buku cerita yang temanya selalu seputar
kehidupan perempuan. Ia menjadi sangat terampil dalam menenun, menghasilkan
kain kain indah dengan motif yang rumit. Setiap helai benang yang ia tenun
adalah pengulangan dari rutinitasnya, sebuah refleksi dari kehidupannya yang
terikat. Ia melakukannya dengan tenang, tanpa keluhan, tanpa menyadari bahwa
keterampilan ini adalah satu satunya koneksinya dengan dunia di luar sana,
sebuah dunia yang tak pernah ia sentuh.
Terkadang, rasa penasaran muncul seperti
riak kecil di permukaan kolam yang tenang. Ia akan mendengar suara anak muda
seusianya yang tertawa di luar, musik yang berdentum dari kejauhan, atau
melihat sekilas orang orang yang lalu lalang di jalan. Ada keinginan samar
untuk tahu, untuk merasakan, untuk menjadi bagian dari itu. Namun, bisikan
Diana akan selalu ada: "Di luar itu tidak aman, Nak. Nadia punya Ibu, itu
sudah cukup." Dan Nadia akan menunduk, mengangguk, menekan rasa ingin tahu
itu dalam dalam. Ia takut melukai hati ibunya, satu satunya orang yang ia
miliki di dunia.
Diana, di sisi lain, hidup dalam ketegangan
yang konstan. Setiap kali Nadia batuk atau terlihat lemas, Diana akan panik,
khawatir akan efek samping jangka panjang dari terapi hormon yang ia berikan
tanpa pengawasan medis. Ia memeriksa tubuh Nadia secara obsesif, memastikan
tidak ada tanda tanda 'kembalinya' identitas maskulin. Ketika ia melihat Nadia
dengan payudara yang sempurna, rasa lega yang besar akan meliputi dirinya,
namun disusul oleh gelombang rasa bersalah yang tak terhingga. Ia telah
berhasil menciptakan seorang "putri," tetapi dengan mengorbankan kejantanan
putranya, dan kebebasan hidupnya.
Malam hari, setelah Nadia terlelap, Diana
seringkali menangis dalam diam. Ia memandangi wajah damai Nadia, wajah yang
begitu mirip dengannya, namun jiwanya adalah hasil rekayasa yang kejam. Ia
memegang tangan Nadia, merasakan kelembutan kulitnya, dan tahu bahwa ia telah
membuat pilihan yang tidak bisa diubah. Nadia adalah rahasianya, kebanggaannya
yang pahit, dan sekaligus beban hidupnya yang paling berat. Di tengah kesunyian
malam Bandung, di rumah yang terisolasi itu, Nadia tumbuh dalam kebohongan yang
semakin besar, sepenuhnya tidak menyadari apa yang telah hilang dari dirinya,
dan apa yang sebenarnya menunggunya di balik kepompong itu. Ia adalah seorang
perempuan di mata dunia, di mata ibunya, dan di mata dirinya sendiri, tetapi
tubuhnya menyimpan rahasia yang tak terucapkan, rahasia kejantanan yang hilang.
Malam telah larut di sebuah sudut kota
Bandung yang tenang. Di luar, suara jangkrik bersahutan dengan samar, sesekali
diselingi dengungan kendaraan yang melintas jauh di jalan raya utama. Angin
dingin khas Bandung mulai menyusup melalui celah jendela yang tidak tertutup
rapat, membawa serta aroma basah tanah sehabis hujan sore. Di dalam rumah kecil
yang sunyi itu, Nadia dan Diana
bersiap untuk tidur, sebuah rutinitas malam yang telah mereka lakukan selama
bertahun tahun, namun malam ini, ketenangan itu terasa begitu mencekam, seolah
udara dipenuhi dengan beban yang tak terlihat.
Nadia, dengan usia tujuh belas tahun,
bergerak dengan keheningan yang sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia
membereskan buku buku pelajaran yang mereka gunakan siang tadi, merapikan
gulungan kain tenun yang belum selesai, dan menyiapkan secangkir teh hangat
untuk Diana. Setiap gerakannya halus, tanpa suara berlebihan, seperti bayangan
yang bergerak dalam cahaya temaram. Ia telah terbiasa dengan ketenangan ini,
sebuah ketenangan yang sebenarnya adalah hasil dari isolasi dan ketiadaan
interaksi dengan dunia luar. Baginya, inilah definisi normal, definisi rumah.
Diana duduk di kursi rotan usangnya di ruang
tengah, menatap kosong ke arah lilin yang menyala redup. Cahaya lilin itu
menari nari di wajahnya, memperlihatkan guratan kecemasan yang mendalam di
sekitar matanya, bayangan bayangan yang seolah tak pernah hilang. Kecemasan itu
selalu menyelimutinya, seperti kabut tebal yang tak pernah benar benar lenyap.
Setiap hari, setiap jam, setiap menit, pikirannya tak pernah berhenti memutar
ulang trauma masa lalu, dan ketakutan akan rahasia yang ia sembunyikan. Raung
jangkrik di luar, bagi Diana, bukan lagi suara alam yang menenangkan, melainkan
irama detak jantungnya yang berpacu kencang, sebuah pengingat konstan akan
bahaya yang ia rasakan mengintai.
Nadia kini
mengenakan tanktop berwarna pink muda yang pas di tubuhnya, menonjolkan lekuk
payudaranya yang sudah sempurna. Celana pendek ketat berwarna coklat membalut
paha jenjangnya. Tali bra-nya terlihat jelas, melingkar di lehernya, sebuah
gaya yang Diana sendiri ajarkan kepadanya. Pakaian itu, yang biasa ia kenakan
di dalam rumah, terasa begitu menyatu dengan kulitnya, seolah menjadi bagian
tak terpisahkan dari identitas 'perempuan' yang melekat pada dirinya.
Nadia mendekat, meletakkan cangkir teh
hangat di meja kecil di samping Diana. "Ibu, tehnya," bisiknya
lembut. Diana tersentak sedikit, seperti terbangun dari lamunan. Ia menoleh ke
arah Nadia, senyum kecil terpaksa terukir di bibirnya. "Terima kasih,
Nak." Tatapannya menyapu wajah Nadia, meneliti setiap lekukan, setiap
ekspresi, dan juga pakaiannya yang kini sangat akrab di matanya. Ia mencari tanda
tanda kelelahan, tanda tanda keraguan, tanda tanda apapun yang mungkin
mengisyaratkan bahwa kebohongannya akan terbongkar. Namun, Nadia tampak tenang,
polos, sama seperti biasanya. Kesempurnaan Nadia adalah anugerah baginya,
sekaligus kutukan. Anugerah karena rencananya berhasil, kutukan karena ini
berarti ia harus terus menjaga rahasia itu seumur hidup.
Diana menyesap tehnya, hangatnya cairan itu
sedikit meredakan ketegangan di tenggorokannya, namun tidak di hatinya. Ia
tahu, di usianya yang semakin senja, kekuatannya mulai terkikis. Ada ketakutan
baru yang mulai muncul: bagaimana jika ia tidak sanggup lagi menjaga rahasia
ini? Bagaimana jika ia tidak sanggup lagi menjadi satu satunya dunia bagi
Nadia? Pikiran itu menghantuinya setiap malam, semakin kuat seiring berjalannya
waktu.
"Nadia, sudah waktunya tidur,"
kata Diana, suaranya sedikit lebih kencang dari yang ia inginkan. Nadia
mengangguk patuh. Ia bangkit dari duduknya, membantu Diana berdiri, lalu
berjalan menuju kamar tidur mereka. Di kamar yang kecil itu, hanya ada satu
ranjang kayu sederhana dengan tikar dan selimut usang. Sejak kecil, mereka
selalu tidur bersama, sebuah kebiasaan yang Diana pertahankan untuk selalu
mengawasi Nadia, memastikan tidak ada yang berubah, dan untuk terus membisikkan
doktrinnya hingga Nadia terlelap.
Nadia berbaring di sisi ranjang,
memunggungi Diana. Diana berbaring di sebelahnya, merasakan kehangatan tubuh
putranya yang kini berlekuk layaknya seorang gadis muda, bahkan dalam balutan
tanktop tipis dan celana pendek ketatnya. Ia menyentuh lembut punggung Nadia,
merasakan tulang belikatnya yang halus, kulitnya yang lembut. Setiap sentuhan
adalah pengingat akan hasil kerjanya, hasil dari pil dan suntikan yang tak
terhitung jumlahnya. Ada rasa kepemilikan yang mendalam, sebuah ikatan yang
terjalin dari trauma dan rekayasa.
Ketenangan malam itu terasa semakin
mencekam. Bukan ketenangan yang menenangkan, melainkan ketenangan yang berisi
kebisuan, yang terasa seperti menahan napas. Seolah ada sesuatu yang besar,
sesuatu yang mengerikan, sedang menanti di balik tirai kegelapan, menunggu
waktu yang tepat untuk menerkam. Diana bisa merasakannya. Sensasi itu, seperti
hawa dingin yang merayap di kulit, membuatnya merinding. Ia memejamkan mata
erat erat, mencoba mengusir pikiran pikiran buruk itu, namun tidak berhasil.
Ia berpikir tentang masa depan. Apa yang
akan terjadi pada Nadia? Sampai kapan ia bisa menjaga Nadia tetap
tersembunyi dari dunia? Sampai kapan kebohongan ini bisa bertahan? Pertanyaan
pertanyaan itu berputar di benaknya seperti badai, tanpa jawaban. Usia Nadia
yang beranjak dewasa berarti dunia akan semakin menuntut. Dunia akan
mempertanyakan keberadaannya, identitasnya, asal usulnya. Dan Diana tahu,
rahasia sekecil apapun, sekecil lubang jarum sekalipun, akan selalu menemukan
cara untuk terkuak.
Diana merasakan keringat dingin membasahi
pelipisnya, meskipun suhu udara cukup dingin. Ia membalikkan badan, memandang
siluet Nadia yang tenang dalam kegelapan. Di bawah selimut, tubuh Nadia terasa
begitu feminin, sebuah hasil yang sempurna dari obsesinya. Namun, Diana tahu,
di balik kulit lembut itu, ada sebuah kebenaran yang mengerikan, sebuah
identitas yang telah ia bunuh demi melindunginya. Dan kematian identitas itu,
kini, terasa seperti bom waktu yang siap meledak.
Sebuah suara samar terdengar dari luar, lebih
dekat dari suara kendaraan tadi. Suara langkah kaki yang pelan, nyaris tak
terdengar, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Diana meremang. Jantungnya
berdebar tak karuan. Ia menegakkan tubuh, menajamkan pendengarannya. Apakah
hanya perasaannya saja? Atau memang ada sesuatu di luar sana? Ketakutan lama
itu kembali menyeruak, lebih kuat dari sebelumnya. Ketakutan akan dunia yang
selalu ia coba hindari, kini terasa begitu dekat, seolah mengetuk pintu rumah
mereka.
Ia tahu ia tidak akan bisa tidur malam ini.
Pikiran akan bencana yang akan datang, yang selalu ia takuti, terasa begitu
nyata. Ia tidak tahu bentuk bencana itu, ia hanya tahu itu akan datang. Entah
itu dari masa lalu yang mengejarnya, atau dari masa depan yang tak bisa ia
kendalikan. Dan Nadia, putranya yang kini telah menjadi "putri"nya,
adalah pusat dari segala ketakutan itu.
Dalam ketenangan malam yang mencekam itu,
di dalam rumah kecil di Bandung, Diana tetap terjaga, mendengarkan setiap
suara, setiap bisikan angin, menanti apa yang akan terjadi. Nadia terlelap,
sama sekali tidak menyadari bahwa di ambang pintu kesadarannya, sebuah
kengerian besar sedang menunggu untuk menerkam, siap untuk mengubah segalanya,
dan mengungkap kebenasan yang paling gelap.
Keheningan
malam yang mencekam itu tiba tiba pecah. Suara debuman keras, seperti palu
godam menghantam pintu, mengoyak kesunyian yang selama ini menjadi selimut bagi
rumah kecil mereka di Bandung. Jeritan panik Diana menggema di seluruh ruangan,
tajam dan memekakkan telinga, membelah kegelapan malam, dan seketika itu pula,
membangunkan Nadia dari
tidurnya yang pulas.
Nadia
terbangun dengan jantung berdebar kencang, tubuhnya tersentak. Rasa kantuknya
lenyap seketika, digantikan oleh gelombang ketakutan yang dingin. Ia bisa
mendengar suara pecahan kaca, raungan kasar suara laki laki, dan jeritan
histeris Diana yang berulang. Apa yang terjadi? Dunia Nadia yang selama ini
aman dan terkunci, tiba tiba terasa runtuh dalam sekejap. Ia bangkit dari
ranjang, dalam balutan tanktop pink muda dan celana pendek ketat coklatnya,
dengan tali bra yang melingkar di leher, tubuhnya gemetar ketakutan.
Ia
berjalan terseok seok dari kamar tidur ke ruang tengah. Pemandangan di depannya
membuat darahnya berdesir dingin. Tiga sosok laki laki bertubuh besar, berwajah
tertutup kain, bergerak cepat dan brutal di dalam rumah. Lampu minyak yang Diana
nyalakan sebelum tidur kini tergeletak pecah di lantai, menyisakan bau minyak
tanah yang menyengat. Hanya cahaya redup dari senter yang mereka bawa,
berkelebat, menciptakan bayangan bayangan raksasa yang menari nari di dinding.
Kericuhan memenuhi ruangan. Suara perabotan yang dibanting, lemari yang dibuka
paksa, pecahan keramik yang terinjak.
Diana,
dengan rambutnya yang acak acakan dan wajah pucat pasi, terlihat berusaha
melindungi sebuah kotak kayu tua di sudut ruangan. Ia berteriak, suaranya parau
karena ketakutan, memohon agar para perampok tidak menyentuh barang itu. Namun,
perampok itu tidak peduli. Salah satu dari mereka mendorong Diana dengan kasar
hingga tersungkur ke lantai. Diana terbatuk batuk, kesakitan, namun matanya
tetap tertuju pada kotak itu.
"Apa
yang kalian lakukan?!" Suara Nadia meluncur keluar dari tenggorokannya,
tipis dan gemetar. Ia tidak pernah seumur hidupnya melihat kekerasan se brutal
ini. Dunianya terlalu kecil, terlalu terlindungi. Ia berdiri mematung di ambang
pintu kamar, kakinya seolah terpaku di lantai dingin.
Salah
satu perampok menoleh, matanya yang tajam menembus kegelapan, menangkap siluet
Nadia yang berdiri di sana. Kilatan di mata perampok itu membuat Nadia
merinding. Ini bukan kilatan ketamakan harta benda, melainkan kilatan nafsu
yang menjijikkan. Perampok itu meninggalkan Diana yang terkapar, melangkah
mendekati Nadia dengan langkah lebar.
Nadia
ingin lari, ingin berteriak, namun tubuhnya tidak menurut. Ketakutan yang
mencekam melumpuhkannya. Aroma keringat dan tembakau dari perampok itu semakin
mendekat, menyesakkan napasnya. Tangan kasar yang dipenuhi tato tiba tiba
terulur, meraih lengannya, mencengkeramnya begitu kuat hingga Nadia meringis
kesakitan.
"Wah,
wah, lihat apa yang kita punya di sini," suara serak perampok itu
berbisik, nadanya penuh ejekan. Matanya memindai tubuh Nadia dari atas ke
bawah, terhenti sejenak pada tanktop pink muda dan celana pendek ketat yang ia
kenakan. Tatapan itu terasa begitu kotor, membuat Nadia merasa mual.
Perampok
itu menarik Nadia ke tengah ruangan, dekat dengan Diana yang kini merangkak
bangkit, berusaha meraih Nadia. "Jangan sentuh anak saya! Jangan!"
Diana menjerit, suaranya pecah.
Namun,
jeritan Diana hanya dianggap angin lalu. Perampok itu, tanpa peduli gender
korbannya, hanya fokus pada nafsu dan harta benda. Tangan kasarnya kini
bergerak, tidak lagi di lengan, melainkan merayap naik ke dada Nadia. Payudara
Nadia yang sempurna, hasil dari rekayasa bertahun tahun, kini menjadi sasaran
sentuhan yang menjijikkan. Jemari kotor itu meremasnya, menimbulkan rasa sakit
dan kengerian yang tak terhingga. Nadia bisa merasakan betapa menjijikkan
sentuhan itu, kotor, dan tak ada rasa hormat sama sekali.
"Hmm,
lumayan juga," gumam perampok itu, seringai keji terukir di wajahnya.
Nadia memejamkan mata erat erat, air mata mengalir di pipinya. Ia berusaha
memberontak, meronta, namun cengkeraman perampok itu terlalu kuat. Tenaganya,
yang selama ini hanya digunakan untuk menenun dan pekerjaan rumah, tidak
sebanding dengan kekuatan brutal laki laki itu.
Perampok
lain datang mendekat, ikut menggerayangi tubuh Nadia. Tangan lain merayap turun
ke paha Nadia, mengelus celana pendek ketatnya, lalu meremas bagian itu.
Sensasi jijik bercampur ketakutan yang tak pernah ia bayangkan. Tubuhnya, yang
selama ini Diana lindungi dan bentuk sedemikian rupa, kini dinodai oleh
sentuhan kasar orang asing. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri, pada
tubuhnya, pada identitas yang dipaksakan padanya.
Diana
melihat semua itu, matanya melebar ketakutan. Ia mencoba bangkit, menyerang
perampok itu dengan tangan kosong, namun ia segera didorong kembali dengan
kasar. Tubuhnya yang menua tidak sanggup melawan. Ia hanya bisa berteriak,
menangis histeris, suaranya menjadi semakin parau dan putus asa.
Kericuhan
di rumah itu mencapai puncaknya. Perampok itu mengabaikan permohonan dan
jeritan mereka. Fokus mereka terbagi antara mencari barang berharga dan
melampiaskan nafsu pada Nadia dan Diana. Seorang perampok lain kini menindih
Diana yang terkapar, tangan kasarnya meraba tubuh Diana, mencari perhiasan atau
apapun yang berharga, sembari melontarkan kata kata kotor yang membuat Diana
bergidik. Aroma keringat, debu yang beterbangan, dan aroma darah yang samar
samar tercium dari hidung Diana setelah ia terbentur perabotan.
Waktu
terasa berhenti bagi Nadia. Setiap detik adalah siksaan. Ia ingin lenyap, ingin
menghilang, ingin kembali ke dalam kepompongnya yang aman. Namun, kepompong itu
telah hancur, robek oleh tangan tangan brutal yang tak dikenal. Ia merasa
telanjang, meskipun ia masih mengenakan pakaian. Bukan karena ia telanjang
fisik, melainkan telanjang jiwanya, identitasnya, rahasianya.
Perampok
yang memegang Nadia masih terus menyentuhnya, meremas dadanya, menggerayangi
pahanya. Nadia merasakan air matanya membanjiri wajah, bercampur dengan rasa
malu yang membakar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ajaran Diana
tentang "tubuh suci" terasa hampa. Ia adalah perempuan yang Diana
ciptakan, namun kini ia diperlakukan seperti barang.
Tangan
perampok yang memegang Nadia kini bergerak naik, mencengkeram rahangnya dengan
kuat, memaksa wajah Nadia mendongak. Mata tajam itu menatap lurus ke dalam
matanya yang penuh ketakutan. Nadia bisa merasakan napas bau tembakau dan
alkohol dari mulut perampok itu. Sebuah kengerian baru merayap di dalam
dirinya.
"Cantik
juga kau," bisik perampok itu, seringai keji semakin lebar di wajahnya.
Sebelum
Nadia sempat bereaksi, atau bahkan bernapas, wajah perampok itu mendekat.
Dinginnya bibir kasar yang dipenuhi bau rokok menempel paksa di bibir Nadia.
Mata Nadia terbelalak. Ciuman itu terasa menjijikkan, kotor, dan merenggut
napasnya. Nadia meronta sekuat tenaga, memutar kepalanya, namun tangan perampok
itu menahannya dengan paksa. Ia merasakan air mata dan ludah bercampur di
pipinya. Ini adalah puncak dari kengerian yang tak terbayangkan. Ini adalah
penodaan terakhir pada dirinya, sebuah simbol dari segalanya yang telah hancur
malam ini.
Ciuman
paksa itu baru permulaan dari kengerian yang tak terbayangkan. Setelah bibir
Nadia dilepaskan dengan kasar, perampok yang sama menatapnya dengan tatapan
lapar, seolah ia adalah mangsa yang tak berdaya. Nadia terhuyung mundur, namun
cengkeraman pada lengannya masih kuat. Air mata membasahi pipinya, bercampur
dengan jijik yang mendalam. Aroma keringat, darah, dan bau alkohol memenuhi
udara, menyesakkan napas Nadia yang terengah engah.
Di sudut lain ruangan, Diana masih meronta
dalam cengkeraman perampok lain. Jeritannya kini lebih terdengar seperti isakan
yang putus asa, menyaksikan putranya, yang selama ini ia lindungi, kini berada
dalam bahaya yang jauh lebih besar. Ketakutan akan kebenaran yang terungkap
melampaui rasa sakit fisiknya. Ia tahu apa yang akan terjadi jika rahasia Nadia
terbongkar.
Perampok yang memegang Nadia kini tersenyum
sinis. Tangan kasarnya yang tadi meremas payudara Nadia, kini merayap turun ke
bawah, ke arah celana pendek ketat coklatnya. Gerakan itu kasar, tidak ada
kelembutan sama sekali. Nadia memejamkan mata, gemetar ketakutan, membayangkan
hal terburuk. Pikirannya kosong, tidak bisa mencerna apa yang akan terjadi
selanjutnya. Ia hanya merasakan sensasi menakutkan dari sentuhan yang tidak
diinginkan itu.
Jemari perampok itu meraba celana
pendeknya, mencari celah, mencoba menembus pertahanan terakhir. Nadia bisa
merasakan kulitnya bergidik. Rasa malu yang membakar memenuhi dirinya. Ia tahu
bagian itu adalah "sangat pribadi," bagian yang selalu ia jaga,
bagian yang Diana selalu tekankan harus tetap suci. Namun, kini, bagian itu
akan dinodai.
Gerakan kasar itu mencapai bagian intim
Nadia. Perampok itu menekan, meraba, mencoba masuk lebih dalam. Namun, ada
sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan dari
tubuh seorang perempuan. Alih alih menemukan "lubang" yang ia duga,
tangannya malah merasakan gumpalan kecil yang aneh, yang menyusut dan tidak
membuka jalan. Ia mencoba lagi, dengan dorongan yang lebih kuat, lebih brutal.
Pada saat itu, di tengah kegaduhan yang
memekakkan telinga, di tengah jeritan Diana yang putus asa, dan isak tangis
Nadia yang tak bersuara, sebuah teriakan mengejutkan tiba tiba memecah malam.
Teriakan itu bukan dari Diana, bukan dari Nadia, melainkan dari mulut perampok
yang sedang menyerang Nadia. Suaranya penuh keterkejutan, kebingungan, dan
amarah yang tiba tiba membara.
"LAKI-LAKI!"
Satu kata itu. Satu kata yang menghantam
Nadia seperti sambaran petir. Dunia seolah berhenti berputar. Suara kericuhan
lainnya memudar, hanya menyisakan gema kata itu di telinga Nadia. Laki-laki?
Apa maksudnya? Nadia hanya mengenal dirinya sebagai perempuan. Diana selalu
mengatakan ia adalah perempuan. Ibu selalu mengajarinya berjalan seperti
perempuan, berpakaian seperti perempuan, berpikir seperti perempuan. Bagaimana
mungkin?
Perampok yang memegang Nadia menarik
tangannya dengan jijik, seolah baru saja menyentuh sesuatu yang menjijikkan.
Ekspresi di wajahnya berubah dari nafsu menjadi kemarahan dan kebingungan. Ia
menatap Nadia, lalu kembali menatap bagian intim Nadia yang kini telah ia paksa
untuk disentuh. Ia mengulang, suaranya lebih keras, penuh dengan kebencian dan
kebingungan. "Dia laki-laki! Sialan! Ini laki-laki!"
Perampok lain yang menindih Diana, dan
perampok ketiga yang sedang menggeledah, seketika menghentikan gerakan mereka.
Semua mata tertuju pada Nadia dan perampok yang baru saja berteriak. Suasana
yang tadinya penuh kekerasan, kini diselimuti oleh kebisuan yang lebih
mencekam, sebuah kebisuan yang penuh dengan kejutan dan ketidakpercayaan.
Diana, yang mendengar teriakan itu, merasa
dunianya runtuh seketika. Jantungnya mencelos hingga ke dasar perut. Rahasia
yang selama ini ia jaga mati matian, rahasia yang menjadi alasan di balik
seluruh hidupnya, kini terbongkar. Teriakan itu adalah teriakan kebenaran yang
menyakitkan, kebenaran yang akan menghancurkan segalanya. Darah seolah
mengering di wajahnya. Ia mencoba berteriak, mencoba membantah, namun suaranya
tercekat di tenggorokan.
Nadia menatap Diana, matanya memohon
penjelasan. Kebingungan di wajahnya adalah campuran dari ketakutan yang tak
terhingga dan penolakan keras terhadap apa yang baru saja ia dengar. Laki-laki?
Apakah itu benar? Mengapa Ibu tidak pernah memberitahunya? Mengapa Ibu selalu
mengatakan ia adalah perempuan? Pertanyaan pertanyaan itu membanjiri benaknya,
menimbulkan badai kebingungan yang tak bisa ia hadapi.
Perampok yang berteriak itu kini meraih
Nadia lagi, namun kali ini bukan dengan nafsu, melainkan dengan kemarahan. Ia
menyeret Nadia, membantingnya ke lantai yang dingin, tidak lagi memperlakukan
Nadia sebagai 'wanita' yang bisa dinikmati, melainkan sebagai objek penipuan
yang menjijikkan. Nadia merasakan sakit di punggungnya, namun rasa sakit itu
tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
"Kau menipu kami!" raung perampok
itu, suaranya penuh amarah. Perampok lainnya ikut mendekat, mata mereka
memindai Nadia, melihatnya dengan tatapan berbeda. Tatapan jijik, marah, dan
bingung.
Kengerian yang
lebih dalam menyelimuti ruangan. Perampok yang tadi menindih Diana kini
menariknya dengan kasar, menyeretnya mendekat ke Nadia. Tubuh Diana yang renta
dan gemetar tidak mampu melawan. Ia dihempaskan di samping Nadia, terengah
engah. Perampok itu dan rekannya mulai melancarkan serangan yang lebih brutal.
Sentuhan kotor dan paksaan yang menjijikkan menimpa Diana dan Nadia. Kehormatan
mereka diinjak injak di tengah kegelapan dan keputusasaan. Diana hanya bisa
memejamkan mata, air matanya mengalir deras, memohon dalam hati agar semua ini
segera berakhir. Ia tidak bisa melindungi putranya, tidak bisa melindungi
dirinya sendiri. Ia hanya bisa menanggungnya, membiarkan tubuhnya dan tubuh
putranya dinodai, di tengah guncangan psikologis akibat pengungkapan yang tak
terduga.
Malam yang seharusnya menjadi malam
perampokan biasa, kini berubah menjadi sebuah pengungkapan yang brutal. Rahasia
identitas Nadia, yang selama ini terkunci rapat dalam kepompong yang Diana
bangun, kini pecah berkeping keping. Teriakan "LAKI-LAKI!" itu bukan
hanya menghantam telinga Nadia, tetapi juga merobek seluruh kain kebohongan
yang membungkus dirinya, mengeksposnya pada kebenaran telanjang yang begitu
menyakitkan.
Diana hanya bisa menatap, tubuhnya bergetar
tak terkendali. Rencananya yang telah ia bangun selama tujuh belas tahun,
kehancurannya yang ia ciptakan sendiri, kini meledak di depan matanya. Ia tidak
bisa lagi melindungi Nadia dari kebenaran, apalagi dari amarah para perampok
yang kini mengetahui identitas asli putranya. Dan ia tahu, kengerian malam itu
belum berakhir. Ini baru permulaan dari badai yang sesungguhnya.
Teriakan
itu mengoyak ilusi bertahun-tahun yang membelenggu Nadia. Bukan teriakan Diana
yang memilukan, bukan pula raungan brutal para perampok yang menggema di
ruangan, melainkan suara yang keluar dari salah satu penyerang itu sendiri,
sebuah kejutan yang memecah kesunyian malam dan menelanjangi kebenaran paling
gelap. "Bajingan! Ini... ini laki-laki!" Suara itu menggelegar, lebih
mematikan daripada setiap pukulan yang mendarat di tubuh Nadia.
Nadia
membeku, tubuhnya bergetar hebat. Bukan hanya karena rasa sakit yang membakar
setiap sarafnya, bukan pula karena ketakutan yang mencekik napasnya, tetapi
karena gemuruh dahsyat dari kebenaran yang tiba-tiba meledak dalam benaknya.
Sebuah suara, yang selama ini hanya berbisik samar di sudut terdalam
kesadarannya—keraguan, keanehan, rasa asing terhadap dirinya sendiri—kini berteriak
nyaring, memenuhi setiap rongga pikirannya, memantul-mantul di dinding
tengkoraknya. "Laki-laki?
Aku?"
Seluruh
potongan puzzle hidupnya, yang selama ini terasa aneh, tidak pada tempatnya,
dan membingungkan, kini tersusun menjadi gambaran yang mengerikan namun sangat
jelas. Kilasan-kilasan masa lalu berkelebat dalam benaknya, setiap detail kecil
yang dulu ia abaikan atau terima begitu saja kini berubah menjadi bukti
memberatkan. Keanehan fisiknya yang tak pernah bisa ia pahami—tubuhnya yang
tidak sepenuhnya seperti gadis yang ia lihat di majalah Diana, namun juga tidak
seperti anak laki-laki yang sesekali ia intip dari balik jendela—sekarang
menemukan jawaban yang kejam. Payudaranya yang membesar, suara lembutnya yang
melengking, kulitnya yang halus tanpa bulu, rambutnya yang panjang
tergerai—semua itu adalah hasil rekayasa. Mereka bukanlah takdir, melainkan diciptakan.
Terapi
hormon yang tak henti-hentinya ia terima sejak usia lima tahun, setiap suntikan
yang menembus kulitnya, setiap pil putih kecil yang ditelannya tanpa
pertanyaan, semuanya memiliki tujuan tunggal dan kejam: untuk mengubahnya,
untuk menghapus jejak identitas biologisnya. Setiap jarum, setiap tetes obat,
adalah pukulan yang mengukir ulang dirinya, mengikis esensi bawaannya. Isolasi
yang Diana paksakan, benteng kokoh yang melindungi mereka dari dunia luar, yang
ia kira adalah ekspresi cinta seorang ibu, kini terkuak sebagai upaya putus asa
untuk menyembunyikan rahasia ini dari mata dunia, bahkan dari Nadia sendiri.
Dan kebencian Diana terhadap laki-laki, yang begitu mendarah daging hingga
membentuk setiap aspek kehidupan Nadia, mengajarkannya rasa takut dan
penolakan, kini terkuak sebagai manifestasi dari trauma yang begitu dalam,
trauma yang membuat Diana menolak keberadaan Nadia sebagai anak laki-laki,
menolak fakta bahwa ia telah melahirkan 'sebuah bibit' yang tidak ia inginkan.
Semua
kepingan itu menyatu, membentuk gambaran yang menjijikkan namun tak
terbantahkan. Ia adalah seorang laki-laki yang dipaksa menjadi perempuan. Dan
di tengah wahyu yang mengerikan ini, kekerasan tak terbayangkan terus
berlangsung. Perampok yang telah mengungkap kebenaran itu tidak peduli pada
identitas Nadia yang baru saja terkuak. Nafsu dan amarah telah menguasai
dirinya, mengubahnya menjadi makhluk tanpa belas kasihan.
Perampok
itu melanjutkan aksinya, tanpa jeda, tanpa ampun. Tubuh Nadia, yang telah
dimanipulasi dan dipaksa menjadi bentuk yang bukan dirinya, kini menjadi medan
pertempuran yang brutal. Ia merasakan dirinya direnggut, harga dirinya
diinjak-injak, setiap sisa-sisa ilusi tentang siapa dirinya kini hancur
berkeping-keping di bawah kekejaman yang tak terlukiskan. Itu adalah penodaan
yang melampaui batas fisik, merobek jiwa hingga ke inti. Rasa sakit yang tajam
dan tak tertahankan menjalari setiap sarafnya, sebuah luka yang akan terus
berdarah di dalam.
Di
ruangan yang sama, di tengah kegelapan dan kehancuran, jeritan Diana adalah
simfoni horor yang mengiringi kehancuran Nadia. Ibunya, yang telah menanamkan
ketakutan begitu dalam terhadap pria, kini mengalami kembali mimpi buruknya,
dan Nadia menjadi saksi bisu, sekaligus korban dari kengerian yang sama. Nadia
bisa mendengar isak tangis Diana yang tercekik, rintihan putus asa yang
bercampur dengan erangan jijik. Ironi yang begitu pahit, begitu kejam, bahwa
penolakan Diana atas maskulinitas, upayanya untuk menciptakan seorang putri,
justru berujung pada penodaan yang serupa terhadap tubuh anak yang ia coba
bentuk, di ruangan yang sama, dengan saksi mata sang ibu yang tak berdaya.
Malam
itu, Nadia tidak hanya kehilangan kemurnian tubuhnya. Ia kehilangan segalanya.
Identitas yang telah dibangun Diana dengan susah payah, kini hancur lebur di
hadapan matanya sendiri. Topeng feminin yang ia kenakan selama ini telah
terkoyak, menyingkap kebenaran yang mengerikan di bawahnya. Ia bukan Nadia yang
manis, lembut, dan feminin seperti yang Diana impikan. Ia adalah seorang laki-laki
yang tubuhnya dikhianati oleh obat-obatan, dan jiwanya kini terkoyak oleh
kekerasan, sebuah luka yang tak akan pernah bisa ia sembunyikan lagi.
Nadia
terbaring di lantai, air mata dan rasa sakit bercampur menjadi satu, membentuk
genangan keputusasaan. Suara napasnya yang tersengal adalah satu-satunya bukti
bahwa ia masih hidup, bahwa jantungnya masih berdetak di tengah kehampaan.
Malam itu, di bawah cengkeraman ketidakberdayaan, Nadia yang feminin telah
mati. Yang tersisa hanyalah sebuah tubuh yang terluka parah dan jiwa yang
kebingungan, menghadapi kekosongan identitas yang tak terlukiskan. Dunia yang
ia kenal telah lenyap, dan ia terdampar di tengah puing-puing, tanpa peta,
tanpa kompas, tanpa tahu siapa dia sebenarnya. Rasa jijik pada dirinya sendiri,
pada tubuhnya, pada identitas barunya yang terungkap secara brutal, membanjiri
dirinya. Ia adalah makhluk yang tak berbentuk, sebuah paradoks yang hidup dalam
penderitaan. Kegelapan menelan segalanya, dan Nadia hanya bisa berharap agar ia
juga ikut lenyap bersama ilusi yang telah hancur itu.
Mentari pagi di Bandung merangkak naik, menyusup melalui celah jendela yang
kini pecah dan bolong, namun sinarnya tidak membawa kehangatan. Cahaya itu
justru mengekspos pemandangan kehancuran yang menyayat hati di rumah kecil
tersebut. Pecahan kaca berserakan di mana mana, perabotan terbalik dan hancur,
lemari lemari terbuka dengan isinya yang berhamburan. Aroma debu, sisa bau
tembakau, dan jejak kengerian dari malam yang baru saja berlalu, menggantung
pekat di udara.
Di tengah puing puing itu, tergeletaklah
dua sosok tak berdaya: Nadia dan
Diana. Mereka tidak lagi di ranjang. Mereka tergeletak di lantai dingin ruang
tengah, dekat dengan pintu yang kini rusak parah, seperti dua boneka kain yang
telah dibuang begitu saja setelah dimainkan secara brutal. Tubuh mereka kaku,
dengan posisi yang canggung, mencerminkan perlawanan terakhir mereka yang sia
sia.
Luka fisik terlihat jelas di tubuh mereka.
Diana, yang lebih tua dan rapuh, memiliki memar kebiruan di wajahnya, sudut
bibirnya sedikit pecah, dan lengannya menunjukkan guratan merah bekas
cengkeraman paksa. Pakaiannya compang camping. Sementara Nadia, meski secara
fisik tampak lebih utuh, kulitnya yang mulus kini dihiasi bercak kemerahan dan
lebam samar. Tanktop pink muda dan celana pendek ketatnya robek di beberapa
bagian, memperlihatkan lebih banyak kulit daripada biasanya, dan jejak kotoran
yang menempel di sana. Namun, luka fisik itu hanyalah permukaan dari kehancuran
yang jauh lebih dalam. Luka psikis, yang tak terlihat mata, jauh lebih parah,
menganga dalam jiwa mereka.
Nadia dalam kondisi syok yang mendalam.
Matanya terbuka, namun tatapannya kosong, tak fokus, seolah jiwanya telah
terbang entah ke mana. Ia tidak menangis lagi. Air matanya telah kering, habis
terkuras oleh kengerian malam sebelumnya. Bibirnya membiru samar, dan tubuhnya
sesekali menggigil tak terkendali, bukan karena dingin, melainkan karena
goncangan hebat yang meremukkan seluruh kesadarannya. Ia terbaring miring,
menghadap dinding yang kotor, menolak untuk melihat dunia yang tiba tiba
menjadi begitu kejam. Pikirannya berputar di antara kilasan kilasan horor:
tangan kasar yang meremas, bau busuk dari napas asing, dan satu kata yang
menghancurkan semua yang ia yakini: "LAKI-LAKI!"
Diana, di sampingnya, meski tubuhnya remuk
redam, kesadarannya sedikit lebih utuh. Ia berusaha untuk bergerak, namun rasa
sakit yang tajam menghantam setiap sendi dan ototnya. Setiap napas terasa
berat, namun ia harus tetap bertahan. Ia menoleh ke arah Nadia, matanya dipenuhi
keputusasaan dan rasa bersalah yang tak terhingga. Ia melihat kondisi putranya,
mata yang kosong itu, dan hatinya terasa diremas. Semua yang ia bangun, semua
kebohongan yang ia pupuk dengan hati hati, kini telah runtuh, dan Nadia lah
yang menanggung akibat terberatnya.
Tak lama kemudian, suara sirine polisi
memecah kesunyian pagi. Suara langkah kaki tergesa gesa, bisikan bisikan panik
dari tetangga yang baru berani mendekat setelah memastikan bahaya telah
berlalu. Pintu rumah yang rusak diketuk, lalu didorong lebih lebar. Beberapa
polisi berseragam masuk, dengan ekspresi prihatin namun tegas.
"Selamat pagi, Bu. Kami dari
kepolisian. Ada laporan perampokan di sini." Suara seorang petugas,
berusaha ramah namun kaku, mencoba menjangkau Diana.
Penyelidikan pun dimulai. Petugas polisi
berpakaian sipil mulai memeriksa setiap sudut rumah, mencari barang bukti.
Beberapa tetangga dimintai keterangan di luar. Sementara itu, dua petugas
wanita mendekati Nadia dan Diana, mencoba memberikan pertolongan pertama dan menanyakan
kondisi mereka.
"Nona, apakah Anda bisa mendengar
saya?" seorang polisi wanita berjongkok di samping Nadia, berusaha menarik
perhatiannya. Ia mencoba menyentuh bahu Nadia, namun Nadia hanya sedikit
tersentak, tidak memberikan respons berarti. Tatapannya masih kosong.
Diana segera menyambar. "Dia syok,
Pak. Dia tidak bisa bicara." Suaranya parau dan serak, namun ada nada
tegas yang terselip di sana, sebuah insting untuk melindungi. Ia tahu, inilah
saat yang paling krusial. Saat di mana setiap kata, setiap jawaban, bisa
mengungkap rahasia yang telah ia jaga seumur hidup.
"Apakah ada yang hilang, Bu? Apakah
ada barang berharga yang dicuri?" tanya petugas lain kepada Diana, sembari
mencatat di buku kecilnya.
Diana mengangguk lemah. "Uang
tabungan, beberapa perhiasan lama. Itu saja. Tapi mereka... mereka
juga..." Diana ragu ragu, melirik ke arah Nadia. Ia tidak bisa menyebutkan
apa yang terjadi pada Nadia, tidak bisa mengatakannya dengan lantang. Tidak di
depan putranya, tidak di depan polisi. Kata kata itu akan menghancurkan
segalanya.
Polisi itu mengangguk, memahami keraguan
Diana. "Kami mengerti, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik untuk
menemukan pelakunya. Sekarang, sebaiknya Anda dan putri Anda dibawa ke rumah
sakit untuk pemeriksaan."
Diana menolak dengan cepat. "Tidak
perlu, Pak. Kami bisa mengurus diri sendiri di sini. Kami... kami hanya ingin
sendirian." Ia tidak ingin Nadia diperiksa oleh dokter, tidak ingin ada
orang lain yang mengetahui kebenaran tentang tubuhnya. Ketakutan itu lebih
besar dari luka fisik yang mereka alami.
Petugas bersikeras. "Maaf, Bu, ini
prosedur. Kami harus memastikan tidak ada luka dalam yang serius, dan kami juga
perlu mengumpulkan bukti fisik."
Nadia tidak memberikan respons. Ia tetap
diam, seolah patung. Diana merasakan ketakutan yang luar biasa. Ia tahu,
pemeriksaan medis berarti rahasia Nadia akan terkuak. Ia harus melindungi Nadia
dari itu, apa pun caranya.
"Tidak!" suara Diana meninggi,
meski tubuhnya bergetar. "Kami baik baik saja! Saya bilang kami tidak
butuh rumah sakit! Saya ingin mereka pergi!"
Para petugas saling pandang, sedikit
terkejut dengan reaksi Diana yang begitu keras. Mereka mencurigai ada sesuatu
yang disembunyikan, namun mereka tidak tahu apa itu. Mereka mencatat reaksi
Diana, menambah lapisan misteri pada kasus perampokan brutal ini.
Diana terus berjuang untuk melindungi Nadia
dari pertanyaan pertanyaan yang bisa mengungkap rahasia mereka. Ia menjawab
seadanya, mengalihkan perhatian, berbohong jika perlu, semua demi menjaga agar
identitas asli Nadia tetap terkubur. Ia adalah seorang ibu yang terluka, namun
juga seorang penipu yang putus asa, berjuang mati matian di bawah tekanan yang
luar biasa. Setiap tatapan ke arah Nadia, setiap ingatan akan teriakan perampok
itu, menusuk hatinya seperti belati panas.
Pagi itu, yang seharusnya membawa harapan
baru, justru menjadi pagi yang penuh bekas luka. Bekas luka yang terlihat di
tubuh mereka, dan bekas luka yang jauh lebih dalam, mengoyak jiwa Nadia dan
Diana. Rumah itu, yang dulunya adalah kepompong pelindung, kini menjadi saksi
bisu kehancuran identitas dan trauma yang tak terobati. Dan di tengah puing
puing itu, di bawah tatapan dingin polisi, rahasia besar Nadia masih
bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk kembali mengguncang dunia mereka.
Pagi yang diselimuti kabut dan bekas luka itu adalah titik balik yang tak
terhindarkan. Malam brutal yang merenggut kedamaian mereka tidak hanya
meninggalkan puing-puing fisik di rumah kecil itu, tetapi juga merobek ilusi
yang telah membungkus hidup Nadia selama
tujuh belas tahun. Teriakan "LAKI-LAKI!" yang dilontarkan perampok
itu terus bergema di benaknya, menghantam dinding-dinding kesadarannya,
mengoyak kebohongan yang telah ia percayai seumur hidup, dan membuka paksa
pintu-pintu memori yang selama ini terkunci rapat.
Nadia kini terbaring di ranjang, tubuhnya
masih terasa remuk redam, setiap ototnya nyeri, setiap sendinya berdenyut. Ia
sudah berganti pakaian. Diana tadi pagi
membantunya membersihkan diri seadanya dan memakaikannya piama katun tipis
berwarna abu-abu yang longgar, menutupi bekas-bekas luka dan memar samar yang
masih terasa perih. Aroma antiseptik dan salep dingin kini samar tercium dari
tubuhnya. Namun, yang jauh lebih parah adalah kekacauan di dalam
dirinya, badai emosi yang baru pertama kali ia rasakan. Matanya tidak lagi
kosong seperti saat polisi datang; kini dipenuhi dengan binar pertanyaan dan
keraguan yang tajam, seperti pecahan kaca yang memantulkan cahaya kebenaran
yang menyakitkan. Ia menatap langit-langit kamar yang kotor, mencoba menyusun
kepingan-kepingan informasi yang tiba-tiba berhamburan, membentuk mozaik
mengerikan yang selama ini tersembunyi. "Laki-laki? Aku?" Bisikan itu
terus terulang, memaksanya untuk meninjau ulang seluruh kehidupannya, setiap
momen, setiap sentuhan, setiap kata yang pernah diucapkan Diana.
Seluruh potongan puzzle hidupnya, yang
dulunya terasa pas dan teratur dalam narasi Diana, kini mulai menunjukkan
retakan yang tak terelakkan. Keanehan fisiknya, pertumbuhan payudara yang dulu
ia anggap normal dan sebagai "tanda kedewasaan perempuan," kini terasa
seperti mutasi yang dipaksakan. Alat kelaminnya yang menyusut dan tidak
berfungsi, yang selalu ia anggap sebagai "keunikan tubuh wanita"
seperti yang Diana ajarkan, kini terasa seperti cacat yang disengaja. Terapi
hormon yang diberikan Diana sejak ia masih sangat kecil, pil-pil yang selalu
dicampur dalam minumannya, suntikan-suntikan yang terasa seperti gigitan nyamuk
namun ternyata adalah racun yang mengubah esensinya—semuanya tersusun menjadi
sebuah gambaran yang mengerikan namun kini jelas. Isolasi total yang selalu
Diana pertahankan, kebencian ibunya terhadap laki-laki yang begitu kuat, semua
itu kini terasa seperti bagian dari sebuah rencana besar, sebuah konspirasi
yang mengerikan. Nadia mulai menyadari bahwa ia telah hidup dalam sebuah
kebohongan besar, sebuah penipuan yang rumit, yang dibangun oleh orang yang
paling ia percayai di dunia, satu-satunya orang yang ia kenal.
Ia mengingat kembali setiap detail, setiap
perkataan Diana. "Nadia itu cantik, seperti putri." "Ini normal
bagi anak perempuan." "Tubuh Nadia itu suci, Nak, tidak boleh ada
yang melihat." "Dunia luar itu berbahaya, Nak, hanya Ibu yang bisa
melindungimu." Semua kalimat itu, yang dulunya adalah fondasi
kehidupannya, kini terasa seperti belati yang menusuknya satu per satu,
mengoyak jiwanya. Mengapa Diana berbohong? Mengapa ibunya melakukan ini
padanya? Mengapa ia harus hidup dalam kepalsuan? Pikiran-pikiran ini adalah
racun yang perlahan menyebar, menggerogoti setiap sendi kepercayaannya,
membusukkan fondasi hubungannya dengan Diana.
Hubungan mereka yang dulunya kuat karena
ketergantungan mutlak kini dipenuhi keretakan yang dalam, seperti cermin yang
pecah namun masih menempel pada bingkainya. Sebelum malam itu, Nadia adalah
bayangan Diana. Ia patuh, penurut, tanpa pertanyaan, tanpa keraguan. Diana
adalah dunianya, sumber semua kebenaman, semua pengetahuan, semua kasih sayang
yang ia kenal. Namun kini, di mata Nadia, Diana bukan lagi pelindungnya,
melainkan arsitek dari penjaranya sendiri, pencipta dari kebohongan yang
menghancurkannya. Ia mulai mempertanyakan segala sesuatu tentang ibunya, namun
semua itu dilakukan secara diam-diam, dalam keheningan batinnya. Di permukaan,
Nadia masih Nadia yang sama, patuh dan pendiam, bergerak dengan keheningan yang
sama. Namun di dalam batinnya, dinding-dinding itu telah runtuh, dan ia mulai
membangun benteng kecurigaan yang tak terlihat, memisahkan dirinya dari Diana.
Setiap kali Diana mendekatinya, setiap
sentuhan yang mencoba menghibur, setiap kata-kata yang diucapkan, Nadia
merasakan gelombang rasa tidak nyaman, seperti sentuhan serangga di kulitnya.
Ia mencurigai setiap motif, setiap niat. Ia mencoba menatap mata Diana, mencari
jawaban, mencari tanda-tanda kebohongan yang selama ini tersembunyi di balik
sorot mata yang penuh kasih sayang itu. Namun, Diana terlalu ahli dalam
menyembunyikan perasaannya, atau mungkin, rasa bersalahnya terlalu besar hingga
menutupi segalanya, membuat ekspresinya sulit dibaca.
Diana sendiri merasakan keretakan itu,
meskipun Nadia tidak mengatakannya secara langsung. Ia melihat perubahan di
mata putranya, mata yang dulunya polos kini dipenuhi dengan pertanyaan yang tak
terucap, seperti lautan badai yang tersembunyi di balik permukaan yang tenang.
Ia tahu Nadia telah mendengar. Ia tahu Nadia mulai memahami. Rasa bersalah yang
selama ini ia tekan dalam-dalam, yang ia kubur di bawah lapisan-lapisan
pembenaran diri, kini membanjirinya, menghancurkan pertahanan dirinya,
membuatnya sesak napas. Ia merasa seperti monster, telah merenggut identitas
asli putranya dan menipunya selama tujuh belas tahun, sebuah dosa yang tak
termaafkan.
"Nadia... kau baik-baik saja,
Nak?" Diana mencoba bertanya, suaranya parau, penuh penyesalan yang tak
terlukiskan. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh Nadia, namun Nadia
sedikit menghindar, gerakan yang nyaris tak terlihat namun cukup untuk menusuk
hati Diana, mengkonfirmasi ketakutannya yang paling dalam. Penolakan itu,
betapapun kecilnya, adalah pukulan telak bagi Diana, mengingatkannya pada
jurang yang kini terbentang di antara mereka.
Diana merasa bersalah yang teramat sangat,
tetapi ia tidak tahu bagaimana menghadapi kebenaran yang telah terkuak.
Bagaimana ia bisa menjelaskan kebohongan sebesar itu? Bagaimana ia bisa
membenarkan tindakannya yang telah menghancurkan hidup putranya, mengubahnya
menjadi sesuatu yang bukan dirinya? Kata-kata terasa kosong di lidahnya, tidak
ada satu pun kalimat yang terasa pantas untuk diucapkan. Ia ingin meminta maaf,
ingin menjelaskan, ingin memeluk Nadia dan memperbaiki segalanya, mengembalikan
waktu. Namun, kata-kata itu terasa tak cukup. Kejahatannya terlalu besar, luka
yang ia torehkan terlalu dalam. Ia hanya bisa menatap Nadia, dengan mata
berkaca-kaca, berharap putranya bisa membaca penyesalan di matanya, sebuah
permohonan maaf tanpa suara.
Di tengah kekacauan itu, polisi masih
mondar-mandir di sekitar rumah, mengumpulkan bukti, menanyai tetangga, dan
sesekali kembali untuk menanyakan hal-hal kecil kepada Diana.
Pertanyaan-pertanyaan mereka mengenai kejadian malam itu terasa seperti gema
yang jauh bagi Nadia, tidak lagi relevan dibandingkan dengan badai di dalam
dirinya. Ia tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi dengan pergulatan batin yang
tak berkesudahan. Siapa dia sebenarnya? Apakah Diana benar-benar ibunya,
ataukah ia adalah pencipta yang kejam? Apakah seluruh hidupnya adalah
kebohongan yang sempurna? Ia merasa seperti boneka yang selama ini dimainkan,
ditarik ulur oleh benang-benang tak terlihat, dan kini tali-talinya telah
putus, membuatnya tergeletak tak berdaya.
Nadia ingat bagaimana Diana selalu memaksanya
berpakaian feminin, gaun-gaun cantik, bahkan tanktop pink muda dan celana
pendek ketat yang ia kenakan saat perampokan itu terjadi, yang justru
membuatnya menjadi sasaran empuk, menonjolkan bentuk tubuh yang palsu. Ia ingat
suntikan-suntikan dan pil-pil yang Diana berikan, yang kini ia sadari pasti
adalah hormon, mengubahnya dari dalam ke luar. Semua itu untuk mengubahnya,
untuk menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya, untuk menciptakan ilusi
yang sempurna. Rasa marah mulai tumbuh, perlahan namun pasti, menyertai
kebingungannya. Amarah kepada Diana, yang telah melakukan ini padanya, yang
telah merenggut identitas aslinya.
Hubungan ibu dan anak yang dulunya
merupakan satu-satunya tiang penopang hidup Nadia, kini ambruk, tak bersisa.
Dulu, Nadia menganggap Diana adalah pelindung mutlak, penyelamat dari dunia
luar yang berbahaya. Kini, ia mulai melihat bahwa bahaya yang sesungguhnya
mungkin ada di dalam rumah itu sendiri, dalam wujud orang yang paling ia
cintai, orang yang seharusnya melindunginya. Setiap tatapan Diana, setiap
sentuhan yang mencoba menghibur, terasa seperti penambahan luka baru, mengikis
sisa-sisa kepercayaan yang masih ada.
Retakan itu semakin melebar, menjadi jurang
yang dalam antara mereka berdua. Kepercayaan Nadia telah hancur berkeping-keping,
tak mungkin lagi diperbaiki. Ia tidak lagi melihat Diana sebagai figur tanpa
cela, melainkan sebagai seorang yang penuh rahasia, seorang yang telah
menipunya, seorang yang telah mencuri kehidupannya. Pagi itu, yang seharusnya
membawa pemulihan, justru membawa kehancuran identitas yang jauh lebih parah,
sebuah kehancuran yang akan mengubah Nadia selamanya, dan menjauhkan dirinya
dari satu-satunya orang yang ia kenal. Dunia yang selama ini ia kenal telah
lenyap, dan ia ditinggalkan di ambang jurang kebenaran yang pahit, sendirian
dalam kebingungan yang tak berujung, dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak
terjawab memenuhi setiap sudut pikirannya.
Ia mencoba mengingat apakah ada hal lain
yang Diana sembunyikan. Apakah ada momen-momen lain yang kini terlihat berbeda,
penuh dengan makna tersembunyi? Ingatan-ingatan masa kecilnya, yang dulu terasa
begitu hangat dan penuh kasih sayang, kini terasa dingin dan penuh perhitungan.
Setiap pelukan, setiap pujian, setiap larangan, kini terasa seperti bagian dari
sebuah skenario yang telah ditulis dengan cermat, untuk membentuk dirinya
menjadi apa yang Diana inginkan, bukan apa yang seharusnya ia menjadi. Rasa
dikhianati itu begitu dalam, melampaui rasa sakit fisik yang masih ia rasakan,
menembus sampai ke inti jiwanya.
Nadia memejamkan mata. Ia ingin menghilang.
Ia ingin kembali ke waktu sebelum malam itu, sebelum teriakan itu, sebelum
kebenaran itu terkuak dengan brutal. Namun, ia tahu itu tidak mungkin.
Kehidupan lamanya telah hancur. Identitas lamanya telah mati. Dan ia tidak tahu
bagaimana membangun kembali dirinya dari puing-puing ini. Ia merasa seperti
orang asing di tubuhnya sendiri, di rumahnya sendiri, di dunianya sendiri. Ia
merasa terjebak dalam labirin kebohongan yang tak berujung.
Kehancuran fisik rumah pasca perampokan dapat diperbaiki seiring waktu, pecahan
kaca diganti, perabot dirapikan, bahkan pintu yang rusak pun bisa diperbaiki
secara kasar. Namun, kehancuran dalam diri Nadia jauh
lebih parah, dan ia tahu tidak ada lem yang bisa merekatkan kembali
kepingan-kepingan identitasnya yang telah hancur. Teriakan
"LAKI-LAKI!" itu masih menghantuinya, dan kini, alih-alih
melumpuhkan, teriakan itu justru memicu sebuah dorongan baru: keinginan yang
membara untuk mencari tahu.
Setelah polisi selesai dengan penyelidikan
awal mereka dan pergi, meninggalkan kekosongan yang lebih dingin dari
sebelumnya, suasana di rumah menjadi tegang dan penuh kebisuan. Diana, yang
tubuhnya masih terasa sakit dan jiwanya remuk redam oleh rasa bersalah, hanya
bisa memperhatikan Nadia dari kejauhan. Ia mencoba mendekat, mencoba bicara,
namun setiap kali ia mencoba, Nadia akan menarik diri, ekspresinya tertutup,
matanya penuh dengan keraguan dan kecurigaan yang membuat Diana tercekat. Nadia
kini lebih sering mengurung diri di kamar, atau duduk diam di sudut, membaca
buku-buku lama yang ia temukan, bukan lagi buku-buku cerita anak perempuan yang
selalu Diana sediakan.
Nadia mulai mencari tahu. Dalam
keterbatasannya yang ekstrem—tanpa akses ke internet, tanpa teman untuk
bertanya, dan hanya dengan perpustakaan rumah yang kecil dan sangat terbatas—ia
mencoba mencari informasi tentang tubuh manusia, tentang perbedaan gender. Ia
tahu ini harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti seorang detektif
yang melacak jejak kejahatan, karena ia merasakan bahwa Diana masih akan
berusaha menyembunyikan kebenaran darinya.
Pencariannya dimulai dari buku-buku lama
yang ia temukan di lemari usang di gudang belakang, tempat Diana menyimpan
barang-barang yang tidak terpakai. Banyak di antaranya adalah buku-buku tua
tentang kesehatan dan kebidanan yang pernah Diana gunakan saat masih menjadi
bidan, atau buku-buku tentang biologi dasar dari masa sekolahnya dulu.
Buku-buku itu berdebu, halamannya menguning, dan baunya apek, namun bagi Nadia,
itu adalah harta karun, portal menuju kebenaran yang selama ini ditutup
darinya.
Ia melakukannya saat Diana sedang sibuk
memasak di dapur, atau ketika Diana tidur siang yang panjang akibat kelelahan
dan trauma. Nadia akan menyelinap ke gudang, mencari buku-buku yang sekiranya
relevan, membawanya kembali ke kamarnya, dan membaca dengan penerangan lilin
atau lampu minyak yang redup di malam hari. Ia harus ekstra hati-hati,
memastikan tidak ada suara, tidak ada jejak yang tertinggal, tidak ada buku
yang salah tempat yang akan menarik perhatian Diana. Jantungnya sering berdebar
kencang setiap kali mendengar langkah kaki Diana mendekat, takut aksinya
ketahuan.
Awalnya, pemahaman Nadia terbatas.
Istilah-istilah medis terasa asing, diagram-diagram anatomi membingungkan. Ia
membaca berulang kali, mencoba memahami perbedaan antara 'kromosom X' dan
'kromosom Y', antara 'testis' dan 'ovarium', 'estrogen' dan 'testosteron'.
Semakin banyak ia membaca, semakin jelas gambaran itu. Ia membandingkan
deskripsi di buku dengan tubuhnya sendiri. Ia menyentuh dadanya yang berisi,
lalu tangannya turun ke area intimnya yang kini terasa asing, membandingkannya
dengan gambar-gambar organ reproduksi pria dan wanita di buku.
Dan di sanalah, kebenaran itu menghantamnya
lagi, lebih keras dari pukulan perampok mana pun. Matanya terpaku pada gambar
anatomi organ reproduksi pria. Semua yang ia rasakan aneh pada
tubuhnya—tonjolan kecil yang menyusut, tidak adanya 'bola' seperti yang
digambarkan—semuanya mengarah pada satu kesimpulan yang mengerikan: ia memiliki
organ-organ itu, namun telah rusak, atau dimodifikasi hingga tidak berfungsi.
Itu adalah testis yang menyusut. Itu adalah penis yang tidak berkembang. Ia
adalah laki-laki.
"Laki-laki..." bisikannya nyaris
tak terdengar, namun terasa seperti guntur di dalam kepalanya. Rasa mual
kembali muncul, bukan karena trauma perampokan, melainkan karena kesadaran akan
identitasnya yang telah direnggut.
Ia kemudian mencari informasi tentang hormon.
Membaca tentang efek estrogen pada tubuh wanita—pertumbuhan payudara,
distribusi lemak tubuh, perubahan suara. Lalu ia membaca tentang testosteron
dan efeknya pada pria—pertumbuhan otot, perubahan suara, pertumbuhan rambut.
Semua yang ia alami, semua yang Diana berikan padanya selama ini, mulai
tersusun menjadi pola yang mengerikan. Pil dan suntikan yang Diana berikan
bukanlah "vitamin untuk tumbuh besar" atau "penyubur
kandungan," melainkan hormon wanita yang disuntikkan secara paksa ke dalam
tubuhnya, mengubah dirinya dari dalam ke luar.
Nadia mulai memahami apa yang telah
dilakukan ibunya Diana padanya. Itu bukan hanya kebohongan, itu adalah
manipulasi, sebuah rekayasa identitas yang kejam. Ia bukan anak perempuan yang
beranjak dewasa. Ia adalah seorang anak laki-laki yang dipaksa menjadi seorang
perempuan. Setiap detail yang ia temukan adalah pukulan telak yang
menghancurkan sisa-sisa dirinya yang lama.
Kemudian, ia mencoba mencari tahu
'mengapa'. Mengapa Diana melakukan ini? Di antara buku-buku kedokteran itu, ia
menemukan beberapa catatan Diana yang terselip, coretan-coretan pribadi yang
ditulis tangan dengan rapi. Catatan tentang pasien, tentang kasus-kasus yang
pernah Diana tangani. Namun, di antara catatan-catatan itu, ada satu halaman
yang menarik perhatiannya, sebuah tulisan tangan yang lebih emosional, lebih
berantakan dari yang lain. Itu adalah catatan yang Diana buat saat sedang dalam
masa-masa tergelapnya, setelah peristiwa di Desa Cimekar.
Nadia membaca tentang 'pria kejam',
'pengkhianatan', 'dunia yang tidak adil bagi wanita'. Ia membaca tentang
kebencian Diana yang mendalam terhadap semua hal yang berbau maskulin. Ia
membaca tentang keinginan Diana untuk 'melindungi' Nadia dari takdir yang sama,
untuk menciptakan 'sebuah bunga yang tidak akan pernah layu di tangan pria-pria
kasar'. Sebuah bunga yang harus dilindungi dengan mengubah esensinya.
Dengan setiap kata yang ia baca, gambaran
Diana yang ia kenal—ibu yang penuh kasih sayang, pelindung yang tak kenal
lelah—mulai retak, digantikan oleh sosok yang lebih gelap, seorang wanita yang
putus asa namun manipulatif, yang telah mengorbankan identitas putranya demi
obsesinya sendiri. Rasa dikhianati itu melampaui segala rasa sakit fisik yang
pernah ia alami. Ia tidak hanya ditipu; ia telah dicuri dari dirinya sendiri.
Pencariannya tidak berhenti di situ. Ia
mulai mengamati Diana dengan lebih cermat, bukan lagi dengan mata seorang anak
yang polos, melainkan dengan mata seorang yang mencari bukti. Ia memperhatikan
bagaimana Diana masih sering menatapnya dengan campuran kasih sayang dan rasa
bersalah yang kini bisa Nadia kenali. Ia memperhatikan bagaimana Diana masih
berusaha mengendalikan setiap aspek hidupnya, setiap keputusan kecil, setiap
interaksi. Bahkan ketika Diana membantunya merapikan rambut atau memilihkan
pakaian (kini selalu piama atau pakaian longgar lainnya untuk menyembunyikan
memar), Nadia merasakan kontrol yang mencekik itu, yang dulu ia terima sebagai
bentuk kasih sayang.
Ia juga mulai menyadari betapa terbatasnya
pengetahuannya tentang dunia luar. Selama ini, Diana adalah satu-satunya sumber
informasinya. Ia tidak tahu apa-apa tentang sekolah, tentang teman-teman
sebaya, tentang pekerjaan, tentang kota di luar rumah mereka. Semakin ia
membaca buku-buku, semakin ia menyadari betapa banyak yang telah disembunyikan
darinya. Ia adalah seorang yang tidak berdaya di dunia nyata, sengaja dibuat
seperti itu oleh Diana.
Kepalanya terasa penuh, seperti bejana yang
meluap dengan pengetahuan baru yang pahit. Kebenaran ini tidak hanya menyakitkan,
tetapi juga membingungkan. Jika ia adalah laki-laki, lalu mengapa ia memiliki
payudara? Mengapa suaranya tidak berat? Mengapa ia tidak memiliki rambut di
wajah seperti yang ia lihat di gambar laki-laki dewasa? Ia mulai memahami bahwa
tubuhnya telah diubah, dimodifikasi. Ia adalah produk dari eksperimen, sebuah
hasil dari ketakutan dan kebencian Diana.
Nadia mencoba menyentuh payudaranya. Dulu,
ia merasa itu adalah bagian dari dirinya, bagian dari "kecantikannya"
sebagai seorang perempuan. Kini, ia merasa itu adalah sesuatu yang asing,
sesuatu yang dipaksakan padanya, sebuah tanda dari penipuan yang kejam. Rasa
jijik dan kemarahan mulai menggantikan kebingungan.
Secara diam-diam, Nadia mulai merencanakan
sesuatu. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan, atau ke mana ia akan pergi.
Namun, ia tahu satu hal: ia tidak bisa lagi hidup dalam kebohongan ini. Ia
tidak bisa lagi hidup di bawah kendali Diana. Perampokan itu, yang seharusnya
menjadi akhir dari dunianya, justru menjadi awal dari kebangkitan kesadarannya.
Ia memang terluka parah, trauma mendalam, namun benih-benih pemberontakan telah
tumbuh di dalam dirinya.
Diana, di sisi lain, merasakan jarak yang
semakin nyata antara dirinya dan Nadia. Senyum tipis Nadia terasa palsu,
anggukan kepalanya terasa kosong. Setiap kali ia mencoba mendekat, ada dinding
tak terlihat yang Nadia bangun. Ia tahu ini adalah akibat dari terungkapnya
rahasia itu, namun ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Rasa bersalah
menggerogoti setiap sudut hatinya. Ia ingin menjelaskan, ingin memohon maaf,
namun ia tahu kata-kata tidak akan cukup.
Ia memperhatikan Nadia membaca buku-buku
tua, dan ia merasakan ketakutan baru merayap di punggungnya. Apakah Nadia sudah
tahu? Apakah Nadia sedang mencari tahu? Ketakutan itu membuat Diana semakin panik,
semakin posesif. Ia mencoba mencari alasan untuk mengambil buku-buku itu, untuk
menghentikan pencarian Nadia. Namun, setiap gerakannya hanya akan memperparah
keretakan yang sudah ada.
Malam-malam di rumah itu kini diselimuti
oleh keheningan yang lebih berat, bukan keheningan damai, melainkan keheningan
yang penuh dengan rahasia yang terungkap dan kebenaran yang menyakitkan. Nadia
dan Diana tidur di kamar yang sama, berdekatan namun terpisah oleh jurang
kebohongan yang telah terbongkar. Diana sering terjaga, menatap punggung Nadia,
menyesali setiap keputusan yang telah ia buat. Sementara Nadia, di sisi lain,
sering terjaga, memejamkan mata, membiarkan pikirannya menjelajahi
kepingan-kepingan kebenaran yang baru ia temukan, merencanakan langkah selanjutnya.
Nadia mulai memahami bahwa perampokan
brutal itu, meskipun mengerikan, ironisnya telah memberinya kunci untuk membuka
penjara identitasnya. Teriakan "LAKI-LAKI!" adalah alarm yang
membangunkan dirinya dari tidur panjang. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai
gadis cantik yang sempurna seperti yang Diana ciptakan. Ia adalah seorang
laki-laki yang terjebak dalam tubuh yang dimanipulasi, seorang korban dari
cinta yang salah arah. Dan dengan pemahaman ini, datanglah kekuatan baru,
kekuatan untuk mencari kebenaran, kekuatan untuk mencari identitasnya yang
sebenarnya, terlepas dari konsekuensinya. Sebuah perjalanan pahit menuju
penemuan diri telah dimulai.
Keheningan di rumah kecil di Bandung itu terasa lebih berat dari sebelumnya,
bukan keheningan yang damai, melainkan keheningan yang penuh dengan rahasia
yang terungkap dan kebenaran yang menyakitkan. Sejak malam perampokan yang
brutal, Nadia telah menarik diri, membangun dinding tak terlihat di
sekelilingnya. Ia menghabiskan hari-harinya di kamar, membaca buku-buku lama
yang ia temukan, setiap halaman adalah kepingan puzzle yang menyusun gambaran
mengerikan tentang kehidupannya yang palsu. Setiap kata yang ia baca tentang
biologi, anatomi, dan hormon, adalah pukulan telak yang mengoyak ilusi yang
telah Diana ciptakan. Ia adalah laki-laki. Sebuah kebenaran yang menghancurkan,
namun juga membebaskan, memberinya rasa arah di tengah kehancuran.
Diana, di sisi lain, merasakan setiap
sentimeter dinding yang Nadia bangun. Ia melihat perubahan di mata putranya,
binar pertanyaan dan keraguan yang tak terucap, yang menusuk hatinya lebih
dalam dari luka fisik mana pun. Rasa bersalah menggerogotinya, membuatnya sulit
bernapas. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, ingin memohon maaf, namun
kata-kata terasa tercekat di tenggorokannya. Ia tahu, konfrontasi ini tak
terhindarkan. Ia hanya tidak tahu kapan dan bagaimana itu akan terjadi, namun
ia merasakan udaranya semakin menipis.
Beberapa hari berlalu dalam ketegangan yang
mencekam. Suara-suara di rumah hanya berupa bisikan, langkah kaki yang
hati-hati, dan dentingan piring yang jarang. Nadia akan keluar dari kamar hanya
untuk makan, dan bahkan saat itu pun, ia akan menghindari tatapan Diana, makan
dengan cepat, lalu kembali mengurung diri. Diana mencoba untuk memasak makanan
kesukaan Nadia, mencoba untuk membersihkan rumah dengan lebih teliti, mencoba
untuk melakukan hal-hal kecil yang dulu selalu membuat Nadia tersenyum. Namun,
semua itu terasa sia-sia. Senyum Nadia telah lenyap, digantikan oleh ekspresi
kosong yang penuh luka, mencerminkan kehampaan yang kini menghuni jiwanya.
Suatu sore, ketika matahari mulai condong
ke barat, memancarkan cahaya oranye kemerahan yang menembus jendela yang kini
telah ditambal seadanya dengan papan kayu, Nadia akhirnya memberanikan diri. Ia
keluar dari kamar, bukan dengan langkah pelan seperti biasanya, melainkan
dengan langkah yang lebih tegas, lebih berani, seolah setiap jejak kakinya
adalah pernyataan. Diana sedang duduk di kursi goyangnya di ruang tengah,
menjahit pakaian yang robek, mencoba mencari ketenangan dalam pekerjaan manual,
berharap benang-benang itu bisa merajut kembali ketenangan batinnya. Ia
merasakan kehadiran Nadia, dan jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul
dadanya seperti genderang perang. Ini dia. Momen yang ia takutkan, namun juga
ia nantikan.
Nadia berdiri di hadapan Diana, bayangannya
jatuh di atas kain yang sedang Diana jahit. Ia tidak langsung bicara. Ia hanya
menatap Diana, tatapan yang penuh dengan campuran rasa sakit, kemarahan, dan
pengkhianatan. Mata yang dulu memuja, kini menatap dengan tuduhan yang tak
terucap. Diana mengangkat kepalanya, jarum di tangannya berhenti bergerak,
seolah waktu pun ikut membeku. Matanya bertemu dengan mata Nadia, dan di sana,
ia melihat cerminan dari semua ketakutannya, semua dosanya.
"Ibu," suara Nadia, yang dulu
selalu lembut dan patuh, kini terdengar serak dan penuh beban, seperti kerikil
yang bergesekan. "Mengapa?"
Satu kata itu, "Mengapa?",
menghantam Diana seperti palu godam. Ia tahu apa yang dimaksud Nadia. Ia tahu
rahasianya telah terbongkar sepenuhnya, tak ada lagi yang bisa disembunyikan.
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha menahannya. Ia
harus kuat. Ia harus menjelaskan, setidaknya untuk kali ini.
"Nadia, Nak..." Diana mencoba
meraih tangan Nadia, namun Nadia menarik tangannya dengan cepat, seolah
sentuhan Diana kini terasa membakar, membawa racun dari kebohongan.
"Jangan sentuh aku," kata Nadia,
suaranya bergetar, namun ada ketegasan di sana yang belum pernah ada
sebelumnya. "Jawab aku, Ibu. Mengapa? Mengapa Ibu melakukan ini padaku?
Mengapa Ibu berbohong padaku seumur hidupku?"
Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur keluar
dari bibir Nadia, satu per satu, seperti anak panah yang menancap tepat di
jantung Diana, menusuk setiap lapisan pertahanannya. "Mengapa aku punya
payudara? Mengapa suaraku seperti ini? Mengapa aku tidak seperti laki-laki
lain? Mengapa Ibu bilang aku perempuan? Mengapa Ibu mengurungku di sini?
Mengapa Ibu memberiku pil-pil itu? Mengapa Ibu... mengubahku?" Nadia
menunjuk pada tubuhnya, pada piama longgar yang kini menyembunyikan bekas luka,
namun tidak bisa menyembunyikan identitas yang dipaksakan.
Setiap pertanyaan adalah tuduhan, setiap
kata adalah luka. Diana merasakan air mata yang selama ini ia tahan, kini
meluncur deras di pipinya. Ia tidak bisa lagi menahannya. Rasa bersalah yang
membanjirinya kini tumpah ruah, membasahi wajah tuanya.
"Ibu tahu, Nak," Diana berkata,
suaranya tercekat oleh isak tangis, parau. "Ibu tahu ini sulit. Tapi Ibu
punya alasan. Ibu punya alasan yang sangat kuat, Nak. Ibu harus
melindungimu."
"Melindungiku?" Nadia tertawa
sinis, tawa yang terdengar pahit dan menyakitkan, tanpa kebahagiaan.
"Melindungiku dari apa? Dari diriku sendiri? Dari kebenaran? Ibu tidak
melindungiku, Ibu memenjarakanku! Ibu mencuri identitasku! Ibu membuatku buta
akan duniaku sendiri!"
Kemarahan Nadia memuncak. Ia tidak pernah
seberani ini, tidak pernah semarah ini seumur hidupnya. Semua emosi yang selama
ini terkunci rapat, kini meledak, menghancurkan bendungan yang ia bangun.
"Aku bukan perempuan, Ibu! Aku laki-laki! Aku tahu itu sekarang! Apa yang
Ibu lakukan padaku? Apa yang Ibu suntikkan padaku? Ibu menghancurkanku! Ibu
merusakku!"
Diana terguncang. Ia tidak pernah melihat
Nadia semarah ini, seberani ini, sejelas ini. Ia melihat di mata putranya bukan
lagi kepatuhan buta, melainkan pemberontakan yang membara, api yang
menyala-nyala. Ini adalah Nadia yang baru, Nadia yang telah terbangun dari
mimpi buruk yang panjang, Nadia yang kini melihatnya dengan mata yang berbeda.
"Ibu tahu, Nak," Diana berkata,
suaranya bergetar. "Ibu tahu ini sulit dipercaya. Tapi Ibu punya alasan
yang sangat dalam. Ibu harus menceritakannya, agar kau bisa mengerti,
Nak."
"Alasan apa?" Nadia menuntut, air
mata mengalir deras di pipinya, bercampur dengan kemarahan. "Alasan apa
yang bisa membenarkan Ibu menipuku selama tujuh belas tahun? Alasan apa yang
bisa membenarkan Ibu mengubah tubuhku? Alasan apa yang bisa membenarkan Ibu
membuatku menjadi... seperti ini?" Nadia menunjuk pada dirinya sendiri,
pada tubuhnya yang kini terasa seperti penjara, sebuah bukti fisik dari
kebohongan ibunya.
Diana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan
diri. Ia tahu ini adalah saatnya. Saatnya untuk mengungkapkan rahasia yang
telah ia kubur begitu dalam, rahasia yang menjadi akar dari semua tindakannya,
luka yang tak pernah sembuh.
"Dulu, Nak," Diana memulai,
suaranya pelan, nyaris berbisik, namun penuh dengan rasa sakit yang mendalam
dan trauma yang hidup kembali. "Dulu, Ibu... Ibu tinggal di Desa Cimekar.
Ibu bukan... Ibu belum pernah menikah, Nak." Diana menekankan kata-kata
itu, seolah ingin menegaskan kebenaran yang pahit. "Ibu hidup sendiri,
bekerja sebagai bidan desa."
Nadia mendengarkan, meskipun ia masih
dipenuhi kemarahan. Ini adalah pertama kalinya Diana berbicara tentang masa
lalunya dengan detail seperti ini, dengan kejujuran yang begitu menyakitkan.
"Tapi... suatu malam, Nak," lanjut
Diana, air mata kembali mengalir, membasahi kerutan di wajahnya. "Ada
sekelompok laki-laki... mereka datang ke rumah Ibu. Mereka... mereka mabuk.
Mereka... memperkosa Ibu, Nak." Suara Diana pecah, tubuhnya bergetar
hebat. Kenangan itu, yang selama ini ia kubur, kini muncul kembali dengan
kekuatan penuh, menghantamnya seperti gelombang pasang. Rasa sakit, rasa malu,
rasa jijik, semua membanjirinya, membuatnya sesak napas.
"Mereka berulang kali, Nak. Sampai
Ibu... sampai Ibu tidak sadarkan diri." Diana memejamkan mata erat, seolah
ingin menghapus gambaran itu dari benaknya. "Setelah itu, Nak, Ibu hamil.
Ibu hamil... kau."
Nadia terpaku. Kejadian perampokan semalam,
sentuhan-sentuhan kotor itu, kini terasa seperti gema dari trauma Diana. Tapi
ini adalah trauma Diana, bukan traumanya.
"Ibu tidak bisa menerima itu,
Nak," Diana melanjutkan, suaranya lebih pelan lagi, penuh keputusasaan.
"Ibu tidak bisa menerima bahwa Ibu mengandung anak dari laki-laki yang
telah menghancurkan Ibu, yang telah merenggut semuanya dari Ibu. Ibu tidak bisa
menerima bahwa Ibu akan melahirkan seorang laki-laki, yang suatu hari nanti
akan tumbuh menjadi seperti mereka, kejam dan penuh nafsu. Ibu takut, Nak. Ibu
sangat takut."
"Ibu membenci laki-laki, Nak. Ibu
membenci mereka semua. Ibu membenci kekerasan mereka, kebrutalan mereka, nafsu
mereka, semua hal yang maskulin. Ibu bersumpah, Ibu tidak akan pernah
membiarkan anak Ibu tumbuh menjadi seperti itu. Ibu tidak akan membiarkan anak
Ibu menjadi korban lagi, atau menjadi pelaku. Ibu ingin kau aman, Nadia. Aman
dari dunia laki-laki yang kejam."
"Ketika kau lahir, Nak," Diana
mengangkat kepalanya, matanya merah dan bengkak, namun ada tekad yang
mengerikan di sana, tekad seorang ibu yang terperangkap dalam traumanya
sendiri. "Kau sangat kecil, sangat rapuh. Ibu melihatmu, dan Ibu tahu. Ibu
tahu Ibu harus melindungimu. Ibu harus mengubah takdirmu. Ibu harus memastikan
kau tidak akan pernah menjadi seperti mereka. Ibu ingin kau menjadi... bunga
yang indah. Bunga yang akan Ibu lindungi dari dunia yang kejam ini. Ibu ingin
kau menjadi perempuan, Nak. Perempuan yang kuat dan aman."
"Ibu mulai memberimu hormon. Ibu
belajar dari buku-buku lama Ibu. Ibu tahu itu tidak mudah, Ibu tahu itu
menyakitkan, tapi Ibu harus melakukannya. Ibu harus membuatmu menjadi
perempuan. Agar kau aman. Agar kau tidak pernah merasakan apa yang Ibu rasakan.
Agar kau tidak pernah menjadi seperti mereka. Ibu rela melakukan apa saja,
Nadia. Apa saja."
Diana mengulurkan tangannya lagi, kali ini
dengan putus asa, mencoba meraih Nadia, wajahnya penuh air mata dan permohonan.
"Ibu melakukannya demi kau, Nak. Demi kebaikanmu. Ibu sangat mencintaimu.
Ibu tidak ingin kau terluka. Ibu ingin kau bahagia, dengan cara Ibu."
Nadia mendengarkan seluruh penjelasan itu,
setiap kata yang diucapkan Diana. Air matanya terus mengalir, namun kini
bercampur dengan rasa jijik dan kemarahan yang membara. Ia melihat penyesalan
di mata Diana, ia melihat rasa sakit Diana, ia bahkan bisa memahami akar trauma
itu. Namun, ia terlalu terluka untuk menerima alasan itu. Trauma Diana adalah
miliknya, bukan miliknya. Itu tidak membenarkan apa yang Diana lakukan padanya.
"Demi kebaikanku?" suara Nadia
meninggi, penuh kepedihan yang melampaui batas. "Ibu bilang demi
kebaikanku? Ibu menghancurkan hidupku, Ibu! Ibu merenggut siapa diriku! Ibu
membuatku menjadi kebohongan! Apa yang Ibu lakukan itu bukan cinta, itu obsesi!
Itu egois! Ibu menggunakan aku untuk menyembuhkan luka Ibu sendiri!"
"Ibu pikir Ibu bisa memutuskan siapa
aku? Ibu pikir Ibu bisa mengubah takdirku? Ibu pikir Ibu bisa menciptakan
manusia sesuai keinginan Ibu? Ibu pikir Tuhan bisa digantikan? Ibu salah! Ibu
salah besar!"
"Aku tidak pernah meminta ini, Ibu!
Aku tidak pernah meminta untuk menjadi perempuan! Aku tidak pernah meminta
untuk diurung di sini! Aku tidak pernah meminta untuk hidup dalam kebohongan!
Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari trauma Ibu!"
Nadia mundur selangkah, menjauhi Diana.
Setiap kata yang Diana ucapkan, setiap detail tentang trauma masa lalunya,
tidak membenarkan tindakannya di mata Nadia. Itu hanya menunjukkan betapa
dalamnya luka Diana, dan betapa kejamnya luka itu telah memakan dirinya, hingga
ia rela menghancurkan putranya sendiri. Rasa kasihan yang samar bercampur
dengan kemarahan yang membara.
"Ibu tidak melindungiku," kata
Nadia, suaranya kini lebih tenang, namun penuh dengan kepedihan yang menusuk,
menembus inti jiwa Diana. "Ibu hanya melindungiku dari kebenaran. Dan
sekarang, kebenaran itu telah menghancurkanku. Ibu telah menghancurkanku, dan
Ibu juga menghancurkan diri Ibu sendiri."
Diana hanya bisa menangis, terisak-isak,
tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia melihat di mata Nadia bukan lagi rasa
sayang, melainkan kekecewaan yang mendalam, pengkhianatan yang tak termaafkan.
Ia telah kehilangan putranya. Semua yang ia lakukan, semua pengorbanannya,
semua kebohongan yang ia pupuk, kini menjadi bumerang yang menghantamnya
sendiri, memusnahkan semua yang ia miliki.
"Nadia, Nak... Maafkan Ibu..."
Diana mencoba merangkak mendekati Nadia, mencoba meraih kakinya, namun Nadia
mundur lagi. Ia tidak bisa lagi menerima sentuhan itu, sentuhan yang terasa
seperti belenggu.
"Maaf?" Nadia tertawa pahit, tawa
yang menusuk tulang. "Maaf tidak akan mengembalikan siapa diriku, Ibu.
Maaf tidak akan menghapus apa yang terjadi padaku. Maaf tidak akan membuatku
menjadi laki-laki yang seharusnya aku menjadi. Maaf tidak akan mengembalikan
kepercayaanku yang telah Ibu rampas."
Konfrontasi itu berlanjut selama
berjam-jam, penuh dengan air mata, kemarahan yang meledak-ledak, dan penyesalan
yang tak terhingga. Nadia meluapkan semua rasa sakit, kebingungan, dan
kemarahan yang selama ini ia pendam, setiap kata adalah batu yang dilemparkan
ke jantung Diana. Diana mencoba menjelaskan, memohon, menangis, namun setiap
kata yang keluar dari bibirnya hanya memperparah jurang di antara mereka,
membuat mereka semakin terpisah.
Pada akhirnya, Nadia tidak bisa lagi
menahan diri. Ia tidak bisa lagi berada di ruangan yang sama dengan Diana. Ia
tidak bisa lagi menatap wajah yang telah menipunya seumur hidup. Dengan langkah
gontai, ia berbalik, berjalan kembali ke kamarnya, meninggalkan Diana yang
terisak-isak sendirian di ruang tengah yang kini terasa begitu dingin dan
hampa, seperti kuburan bagi hubungan mereka.
Pintu kamar Nadia tertutup dengan suara
pelan, namun bagi Diana, suara itu terdengar seperti guntur, mengakhiri semua
harapan. Itu adalah suara perpisahan, suara kehancuran yang total. Hubungan ibu
dan anak yang dulu tak terpisahkan, kini telah hancur berkeping-keping, tak
mungkin lagi diperbaiki. Kepercayaan telah runtuh. Dan di tengah puing-puing
itu, Nadia dan Diana ditinggalkan sendirian, masing-masing dengan luka yang
menganga, dan kebenaran yang pahit, yang kini telah memisahkan mereka
selamanya.
Nadia berbaring di ranjangnya, menatap
langit-langit. Air matanya masih mengalir, namun kini bercampur dengan rasa
lega yang aneh, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Ia telah
mengatakan apa yang harus ia katakan. Ia telah menghadapi kebenaran. Namun,
rasa sakit itu masih ada. Rasa sakit karena dikhianati, rasa sakit karena
kehilangan identitas, rasa sakit karena menyadari bahwa seluruh hidupnya adalah
kebohongan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Masa depannya
terasa seperti jurang yang gelap, tanpa peta, tanpa kompas, tanpa arah. Ia
hanya tahu satu hal: ia tidak bisa lagi mempercayai orang yang telah membentuk
seluruh kehidupannya.
Di ruang tengah, Diana masih terisak-isak,
memeluk lututnya, tubuhnya bergetar hebat. Rumah itu terasa begitu besar dan
kosong, seolah semua kehangatan telah lenyap. Ia telah kehilangan putranya. Ia
telah kehilangan segalanya. Obsesinya untuk melindungi Nadia, untuk mengubah
takdirnya, telah menghancurkan mereka berdua. Ia telah menciptakan monster dari
ketakutannya sendiri, dan kini monster itu telah memakan dirinya,
meninggalkannya sendirian di tengah kehancuran. Ia hanya bisa menangis,
menyesali setiap keputusan, setiap kebohongan, setiap sentuhan yang telah
mengubah putranya menjadi seorang asing yang kini menatapnya dengan kebencian.
Konfrontasi itu adalah akhir dari segalanya, dan awal dari kehancuran yang tak
terhindarkan bagi keduanya.
Keterasingan yang mencekik di dalam rumah, di bawah pengawasan ketat Diana,
perlahan namun pasti menggerogoti setiap serat keberadaan Nadia.
Dinding-dinding yang sama itu, yang seharusnya menawarkan perlindungan, kini
terasa semakin menyempit, memenjarakan jiwanya yang haus akan udara bebas.
Tatapan penuh curiga dari Diana, meskipun seringkali tak terucap, adalah
belenggu tak kasat mata yang tak pernah luput dari perasaannya. Nadia, yang
jiwanya meronta ingin merasakan dunia luar, mendambakan sensasi angin malam
menerpa kulit, dan aroma tanah basah setelah hujan. Desakan untuk sekadar
menghirup udara bebas, meskipun hanya sesaat, menjadi kebutuhan primer yang tak
tertahankan, sebuah bisikan halus yang perlahan berubah menjadi jeritan dalam
benaknya.
Maka, sesekali, saat kegelapan paling pekat
menyelimuti rumah dan Diana terlelap dalam tidurnya yang pulas, Nadia akan
menyelinap keluar. Seperti bayangan yang luput dari pandangan, ia melangkah
keluar dari pintu belakang yang senyap, mencari secuil kebebasan di tengah
kegelapan yang melingkupinya. Ia tak punya tujuan, tak punya arah. Ia hanya
ingin berjalan, melangkah menjauh dari dinding-dinding yang terasa semakin
menyempit, menjauh dari tatapan penuh curiga yang selalu ia rasakan, mencari
pelarian dari rasa sesak yang menghimpit dada. Setiap langkah kakinya di atas
aspal basah adalah sebuah deklarasi bisu akan perlawanan, sebuah upaya untuk
meraih kembali sedikit kendali atas dirinya, meskipun hanya dalam waktu yang
singkat dan fana.
Namun, kebebasan singkat itu, seperti
kunang-kunang yang terbang mendekati api, berujung pada malapetaka yang tak
terduga. Di salah satu malam yang sunyi itu, saat Nadia berjalan menyusuri gang
sempit yang remang-remang, hanya ditemani oleh cahaya lampu jalan yang redup,
ia merasakan firasat buruk yang merayapi bulu kuduknya. Udara malam yang
tadinya terasa menyejukkan kini mendadak dingin, seolah membisikkan bahaya.
Bayangan-bayangan panjang di depannya, yang semula tampak tak berbentuk,
tiba-tiba membentuk sosok nyata: sekelompok preman yang tampaknya sudah
menunggunya, mata mereka mengilat tajam di bawah pendar lampu jalan yang redup.
Sosok-sosok itu terlihat seperti bayangan-bayangan kelam yang muncul dari dasar
mimpi buruk, mengincar mangsanya dengan nafsu predator. Nadia menyadari, ia
telah menjadi incaran.
Jantung Nadia berdebar kencang, dentumannya
terasa memukul gendang telinganya, sebuah melodi ketakutan yang dingin merayapi
setiap inci tubuhnya. Ia mencoba berbalik, secepat kilat ingin melarikan diri,
berlari sejauh mungkin dari bahaya yang kini mengepungnya, namun sudah
terlambat. Para preman itu dengan cepat mengepungnya, lingkaran tak kasat mata
yang menjebaknya, tawa-tawa sinis mengiringi langkah mereka yang mendekat,
suara-suara sumbang yang terdengar seperti melodi kematian. Nadia berusaha
melawan, meronta dengan sisa tenaganya, tangannya mencakar udara, kakinya
menendang, tetapi tenaga mereka jauh lebih besar. Dengan sekali dorongan kasar,
ia dilemparkan ke tanah yang dingin dan kotor, punggungnya menghantam aspal
yang keras. Kain roknya tersingkap, memperlihatkan betisnya yang ramping, dan
kengerian masa lalu yang selalu ia coba lupakan, kembali menerkamnya dengan
kekuatan penuh.
Ini adalah pemerkosaan untuk kedua kalinya,
sebuah siklus kekerasan yang tak berujung. Namun, kali ini terasa lebih brutal,
lebih merendahkan, lebih menghancurkan. Salah satu preman itu, dengan seringai
di wajahnya, menarik paksa celana legging Nadia hingga melorot, memperlihatkan
paha mulusnya. Saat itulah, kengerian sejati muncul, sebuah kenyataan pahit
yang tak bisa lagi disembunyikan. Preman itu, dengan mata terbelalak,
mengetahui Nadia bukan perempuan asli ketika ia melihat penis kecil yang mungil
dan lemas milik Nadia setelah celana dalamnya melorot. Seketika, tawa-tawa
sinis mereka terhenti, digantikan oleh ekspresi jijik dan amarah yang
mengerikan. Wajah-wajah mereka berubah menjadi topeng kebencian, mata mereka
menyala. "Oh, jadi ini banci!" teriak
salah satunya dengan nada jijik dan merendahkan yang menusuk, yang lain ikut
menimpali dengan makian kasar dan hinaan yang menusuk hingga ke relung jiwa.
Kata-kata itu menghantam Nadia lebih keras dari pukulan fisik mana pun, setiap
hurufnya adalah pisau yang mengoyak-ngoyak harga dirinya. Kebencian di mata
mereka, penghinaan dalam suara mereka, menusuk hingga ke inti jiwanya,
meninggalkan luka yang takkan pernah sembuh.
Nadia dipaksa dalam posisi yang begitu
memalukan dan tak berdaya. Ia dikangkangkan dengan paksa, kakinya ditarik
melebar oleh tangan-tangan kasar, membuat setiap inci dirinya terasa terekspos
dan tak berdaya di bawah tatapan menjijikkan para preman itu. Nadia berteriak kesakitan, suaranya parau dan
serak, sebuah jeritan pilu yang menusuk malam sepi. Air mata mengalir deras
tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat. Rasa sakit fisik yang menyiksa,
bercampur dengan kengerian yang mencekik, menyelimutinya saat anusnya disodomi
habis-habisan. Setiap dorongan adalah pengingat kejam akan trauma yang terus
membayanginya, sebuah kekerasan yang diperparah oleh kebencian yang
terang-terangan terpancar dari mata para pelaku. Rasa sakit fisik itu bercampur
aduk dengan luka psikologis yang dalam, menghancurkan sisa-sisa harga diri yang
masih ia coba pertahankan. Nadia merasakan dirinya terkoyak, jiwa dan raganya
hancur berkeping-keping. Ia menangis,
terisak-isak tak terkendali, berharap semua ini segera berakhir. Ia ingin
menghilang, lenyap dari dunia ini, dari penderitaan ini, dari kenyataan bahwa
ia begitu tidak berdaya. Ia berharap tanah menelannya hidup-hidup, mengakhiri
semua kengerian ini.
Sementara itu, salah satu preman lain,
dengan seringai cabul di wajahnya, menarik
kasar baju Nadia hingga terbuka, memperlihatkan kulit dadanya dan payudaranya
yang besar dan montok. Tanpa ragu, ia melepaskan
BH Nadia, lalu dengan rakus menghisap
payudara Nadia yang besar itu dengan lahap, membuat Nadia semakin merinding
jijik dan kesakitan. Di sisi lain, preman yang ketiga, tak kalah bejat, memasukkan penisnya ke dalam mulut Nadia,
memaksa Nadia untuk melakukan hal yang paling menjijikkan, membuat Nadia
terbatuk dan tersedak dalam tangisannya. Nadia dipaksa melakukan ini semua,
setiap sentuhan, setiap desakan, adalah siksaan yang tak terlukiskan, merenggut
setiap sisa martabatnya hingga ke titik nol.
Kejadian mengerikan ini menjadi pukulan
telak yang tak terbayangkan bagi Nadia. Trauma ini bukan hanya mengulang rasa
sakit lama dari pemerkosaan pertamanya, tetapi juga menanamkan ketakutan baru,
rasa jijik yang mendalam terhadap sentuhan, dan kebencian yang menghancurkan
pada dirinya sendiri sebagai seorang banci. Ia kembali merasakan kengerian dan
keputusasaan yang sama seperti saat ia diperkosa pertama kali, namun kali ini,
ada lapisan kebencian yang baru dan lebih pekat. Kebencian terhadap dirinya
sendiri, terhadap tubuhnya yang terasa mengkhianatinya, yang tidak sepenuhnya
"pria" atau "wanita", dan terhadap dunia yang begitu kejam
padanya, yang menolaknya karena identitasnya yang berbeda. Setiap sentuhan
preman itu terasa mengotori, meracuni setiap pori-pori kulitnya, setiap kata
makian meracuni jiwanya, menghancurkan sisa-sisa kemanusiaan dalam dirinya.
Nadia merasa seperti sampah, objek yang bisa diperlakukan sesuka hati,
diinjak-injak, dihina, karena identitasnya yang dianggap "cacat" oleh
masyarakat. Ia merasa tak layak dicintai, tak layak dihormati, tak layak hidup.
Pikiran untuk mengakhiri segalanya mulai merayapi benaknya, menawarkan janji
kedamaian abadi.
Kembali ke rumah dengan tubuh yang sakit
luar biasa dan jiwa yang hancur berkeping-keping, Nadia menarik diri sepenuhnya
dari dunia. Ia menolak bicara, bisikan pun terasa seperti beban yang terlalu
berat. Ia menolak makan, bahkan aroma makanan terasa memuakkan. Ia menghabiskan
sebagian besar waktunya meringkuk di sudut kamar, tubuhnya gemetar dalam
keheningan yang mencekik. Sorot matanya kosong, dipenuhi kegelapan yang pekat,
seolah cermin bagi jiwa yang telah mati. Kenangan pahit itu terus berputar
tanpa henti di benaknya, sebuah rekaman ulang yang kejam: suara-suara sumbang,
sentuhan menjijikkan, dan rasa sakit yang tak berujung. Dunia di luar rumah
terasa seperti medan perang yang tak henti-hentinya mengancam, dan kini, bahkan
di dalam dirinya sendiri, Nadia merasa terkoyak, terpecah belah, tanpa harapan
untuk sembuh.
Luka ini lebih dari sekadar fisik; itu
adalah luka pada jiwanya yang paling dalam, mengikis habis setiap harapan dan
keinginannya untuk bertahan hidup. Jalan lain yang ia pilih untuk mencari
kebebasan sesaat justru membawanya ke dalam jurang kegelapan yang jauh lebih
dalam, sebuah palung keputusasaan yang tak berdasar, mengukuhkan kembali trauma
dan kekerasan yang terus membayanginya tanpa henti. Nadia kini adalah cangkang
kosong, terjebak dalam lingkaran setan ketakutan, rasa sakit, dan kebencian
diri yang tak berujung. Ia adalah gema dari dirinya yang dulu, sebuah jejak
yang nyaris tak terlihat, menanti nasibnya di tengah kegelapan yang tak
berkesudahan.
Pintu rumah itu, yang kini telah ditambal dengan kayu seadanya, kembali
menutup, mengunci Nadia dari dunia luar, namun kali ini bukan lagi sebagai
tempat perlindungan, melainkan sebagai sangkar. Ia telah kembali ke rumah, ke
tempat yang seharusnya menjadi satu-satunya sumber keamanan dan kenyamanan
baginya, namun setelah peristiwa pahit di luar sana, rumah itu terasa semakin
mencekik, semakin menyesakkan. Pengalaman singkatnya dengan kebebasan yang
diikuti oleh bahaya yang mengerikan di jalanan, adalah pukulan telak terakhir
bagi benteng mentalnya yang sudah rapuh.
Nadia berjalan terhuyung memasuki rumah,
langkahnya gontai, tubuhnya lelah, namun yang lebih parah adalah jiwanya yang
kini terasa remuk redam. Matanya kosong, tidak lagi memancarkan binar rasa
ingin tahu atau kemarahan seperti saat ia mencoba mengonfrontasi Diana. Kini,
yang tersisa hanyalah kehampaan, bayangan ketakutan yang mendalam, dan
kebingungan yang tak teratasi. Ia telah melihat sisi gelap dunia luar, sebuah
sisi yang jauh lebih menakutkan dari yang pernah Diana ceritakan, dan ia telah
merasakan betapa rentannya ia di dalamnya.
Diana menyambut Nadia di ambang pintu,
wajahnya pucat pasi, matanya sembap karena menangis. Ia telah cemas setengah
mati sejak Nadia menyelinap keluar. Melihat putranya kembali dalam keadaan
seperti itu—pakaiannya kotor, rambutnya acak-acakan, tatapannya kosong, dan
aura ketakutan yang begitu pekat menyelimutinya—hati Diana terasa diremas. Ia
segera merangkul Nadia, mencoba memeluknya erat, mencari jejak kehangatan dan
kehidupan yang tersisa dalam tubuh putranya. Namun, Nadia hanya berdiri kaku
dalam pelukannya, tidak membalas, seolah ia adalah boneka tak bernyawa.
"Nadia, Nak... Syukurlah kau
kembali... Ibu sangat khawatir..." bisik Diana, suaranya bergetar, air
mata kembali membasahi pipinya. Ia mencoba menuntun Nadia ke kamar,
mendudukkannya di ranjang.
Nadia hanya menuruti, tanpa protes, tanpa
perlawanan. Ia duduk di pinggir ranjang, menatap dinding di depannya seolah ada
sesuatu yang menarik perhatian di sana, padahal tidak ada apa-apa. Pikirannya
melayang, terputus dari kenyataan. Pengalaman di luar sana, ancaman yang ia
rasakan, ketakutan yang melumpuhkan, semua itu tumpang tindih dengan trauma
perampokan di rumah, dan kehancuran identitas yang baru ia sadari. Beban itu
terlalu berat untuk ditanggung oleh mentalnya yang belum matang.
Diana mencoba membersihkan luka gores di
tangan Nadia, mengganti pakaiannya dengan piama bersih, berbicara lembut
kepadanya. Namun, Nadia tidak merespons. Ia seperti patung, yang hanya bisa
digerakkan oleh tangan Diana. Ia tidak makan, tidak minum, tidak tidur dengan
nyenyak. Malam-malamnya diisi dengan mimpi buruk yang tak terucap, membuatnya
terbangun dengan jeritan tertahan dan keringat dingin.
Kerusakan mental Nadia semakin nyata dari
hari ke hari. Ia sering termenung, berjam-jam menatap ke satu titik, tanpa
berkedip. Terkadang, ia akan tiba-tiba bersembunyi di bawah meja atau di balik
lemari, gemetar ketakutan, seolah masih ada bahaya yang mengintai. Suara-suara
keras, seperti dentuman piring jatuh atau guntur, akan membuatnya tersentak
hebat, bahkan kadang-kadang berteriak. Ia kehilangan minat pada buku-buku yang
dulu ia baca dengan penuh rasa ingin tahu. Minatnya pada eksplorasi diri dan
identitasnya, yang baru tumbuh, kini digantikan oleh rasa takut dan putus asa.
Kecemasan ekstrem menjadi teman barunya.
Setiap bayangan, setiap suara samar, memicu ketakutan yang tak terkendali. Ia
takut pada kegelapan, takut pada suara laki-laki, takut pada setiap pintu yang
terbuka. Dunia, bahkan rumahnya sendiri, kini terasa seperti tempat yang penuh
jebakan. Ia sering menarik rambutnya sendiri, menggigit bibirnya hingga
berdarah, atau mencengkeram tangannya erat-erat hingga buku jarinya memutih,
mencoba meredakan kegelisahan yang membanjirinya.
Diana menyaksikan semua ini dengan hati
yang hancur berkeping-keping. Rasa bersalahnya semakin meluap,
menenggelamkannya dalam samudra penyesalan. Ia telah melihat putranya kembali
dalam keadaan yang jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Kondisi mental Nadia
yang rusak adalah cerminan dari semua kesalahan yang telah Diana perbuat. Ia
telah berusaha melindungi Nadia dengan caranya sendiri, namun justru ia yang
telah menghancurkan putranya, pertama dengan kebohongan, lalu dengan isolasi
yang tidak mempersiapkan Nadia untuk dunia luar yang kejam.
"Nadia, Nak... bicara pada
Ibu..." Diana akan memohon, duduk di samping Nadia, mengusap punggungnya.
"Apa yang terjadi di luar sana? Siapa yang melukaimu, Nak?"
Nadia hanya akan menggelengkan kepala, air
mata mulai menggenang di matanya yang kosong, namun tidak ada kata yang keluar.
Suaranya seolah tercekat di tenggorokan, terkunci rapat oleh trauma yang
terlalu besar untuk diungkapkan. Ia tidak bisa menceritakan detail kengerian
yang ia alami, bahkan jika ia mau, jiwanya tidak mampu merekonstruksi ingatan
itu.
Diana menyadari bahwa putranya kini bukan
lagi Nadia yang ia kenal. Nadia yang penasaran, Nadia yang pemarah, bahkan
Nadia yang menuntut penjelasan, semuanya telah lenyap, digantikan oleh Nadia
yang hampa, Nadia yang rusak. Ini adalah akibat langsung dari tindakan Diana.
Ia telah memanipulasi identitas putranya, dan kini dunia telah menghantam
putranya dengan kebenaran yang kejam, meninggalkan Nadia dalam keadaan yang
sangat rentan.
Diana berusaha sekuat tenaga untuk merawat
Nadia. Ia memasak makanan kesukaan Nadia, mencoba menyuapinya, membacakan
dongeng seperti saat Nadia kecil, menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur. Ia
melakukan segala cara untuk mengembalikan Nadia yang lama. Namun, semua
usahanya sia-sia. Nadia tidak merespons. Ia hanya duduk diam, atau menatap
Diana dengan tatapan yang tidak mengenali, seolah Diana adalah orang asing.
Rasa tidak berdaya melanda Diana. Ia adalah
seorang bidan, seorang yang terbiasa mengatasi masalah fisik, namun ia tidak
tahu bagaimana menyembuhkan jiwa yang hancur. Ia tidak punya uang untuk membawa
Nadia ke dokter jiwa, dan ia juga takut jika kondisi Nadia yang sebenarnya
terungkap, maka rahasia identitasnya juga akan terbongkar. Ia terjebak dalam
dilema yang menyakitkan.
Kegilaan Nadia mulai menunjukkan
bentuk-bentuk lain. Ia terkadang berbicara sendiri dengan bisikan-bisikan tak
jelas, atau tertawa tanpa sebab yang jelas. Ia sering melamun, terputus dari
realitas. Terkadang, ia akan tiba-tiba mulai menggaruk-garuk lengannya dengan
kuku hingga kulitnya memerah, seolah mencoba mengikis sesuatu yang tidak
terlihat. Dunia di dalam kepalanya menjadi lebih nyata daripada dunia di
sekelilingnya.
Diana sering duduk di samping Nadia,
memeluknya, menangis dalam diam. Ia menyesali semua yang telah ia lakukan. Ia
menyesali setiap pil hormon, setiap larangan untuk keluar rumah, setiap
kebohongan yang ia ciptakan. Ia melihat putranya, yang kini hidup sebagai
bayangan dirinya sendiri, dan ia merasa seolah ia telah membunuh jiwa Nadia
dengan tangannya sendiri.
"Maafkan Ibu, Nak... Maafkan
Ibu..." bisik Diana berulang kali, menciumi rambut Nadia yang terasa
dingin. "Ibu sangat mencintaimu... Ibu hanya ingin kau aman..."
Namun, kata-kata itu terasa hampa, hanya gema penyesalan yang tidak akan pernah
sampai kepada Nadia yang kini terperangkap dalam dunianya sendiri.
Hubungan mereka kini telah sepenuhnya
rusak. Jika sebelumnya ada keretakan kepercayaan, kini yang ada hanyalah jurang
pemisah yang dalam. Nadia tidak lagi berinteraksi dengan Diana. Ia hanya ada,
sebuah keberadaan fisik, namun jiwanya telah terbang jauh. Diana mencoba menata
ulang rumah yang hancur, tetapi setiap kali ia melihat Nadia, ia merasakan
kehancuran yang jauh lebih besar di dalam dirinya.
Malam-malam di rumah itu terasa panjang dan
dingin. Diana akan sering terjaga, mendengar bisikan-bisikan Nadia dari kamar
sebelah, atau suara Nadia yang sesekali merengek dalam tidur. Ia akan bangkit,
menghampiri Nadia, dan hanya bisa duduk di sampingnya, memandangi putranya yang
kini telah menjadi orang asing, hasil dari obsesi dan ketakutan dirinya
sendiri. Ia merasa putus asa, tidak tahu harus berbuat apa.
Kehancuran mental Nadia adalah harga yang
harus dibayar Diana atas semua keputusannya. Ia telah mencoba mengendalikan
takdir, membelokkan jalan kehidupan, dan kini ia harus menanggung
konsekuensinya. Nadia adalah cerminan dari kegagalannya, sebuah monumen bisu
atas kehancuran yang ia ciptakan sendiri.
Di tengah keheningan yang mencekam, Diana
sering merenungkan masa lalunya. Trauma pemerkosaan yang ia alami dulu adalah
luka yang tidak pernah sembuh, luka yang ia biarkan menguasai dirinya dan
membentuk seluruh kehidupannya. Ia telah memproyeksikan ketakutannya pada
Nadia, mengubah putranya menjadi wadah bagi obsesinya. Kini, ia melihat
hasilnya: seorang anak yang hancur, sebuah jiwa yang rusak.
Nadia, di sisi lain, tenggelam dalam kabut
mentalnya. Dunia luar dan dunia di dalam kepalanya tumpang tindih. Ia sering
berhalusinasi, melihat bayangan-bayangan yang tidak ada, mendengar suara-suara
bisikan yang mengancam. Identitasnya yang dulu, sebagai "Nadia si gadis
kecil", kini terasa seperti lelucon yang kejam. Identitas barunya, sebagai
"laki-laki", terasa asing dan menakutkan. Ia terjebak di antara
keduanya, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya.
Setiap sentuhan Diana terasa seperti
ancaman, setiap suara Diana terasa seperti bagian dari kebohongan. Ia tidak
bisa lagi membedakan kenyataan dari ilusi. Ia adalah seorang korban yang telah
dihantam berulang kali, oleh dunia luar dan oleh orang yang seharusnya
melindunginya.
Diana sesekali akan membawa makanan ke
kamar Nadia, meletakkannya di samping ranjang. Ia akan duduk di sana selama
berjam-jam, berharap Nadia akan makan, akan berbicara, akan menunjukkan sedikit
saja tanda kehidupan. Namun, seringkali makanan itu tidak tersentuh, dan Nadia
akan tetap terdiam, tatapannya kosong, jauh di suatu tempat yang tidak bisa
Diana jangkau.
Rasa sedih Diana tak terhingga. Ia tidak
hanya sedih melihat putranya rusak secara mental, tetapi juga sedih karena ia
tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Ia merasa tidak berdaya, tidak berguna.
Semua kepintarannya sebagai bidan, semua pengetahuannya, tidak ada gunanya di
hadapan kerusakan jiwa Nadia.
Pagi, siang, dan malam di rumah itu kini
hanya diisi dengan keputusasaan. Nadia yang terperangkap dalam dunianya
sendiri, dan Diana yang terperangkap dalam rasa bersalahnya yang tak
berkesudahan. Jalan hidup Nadia yang gelap kini semakin pekat, dan Diana hanya
bisa menyaksikannya, tanpa daya. Keduanya berada di ambang kehancuran total,
hasil dari sebuah rahasia yang terlalu lama disimpan dan trauma yang tidak
pernah disembuhkan. Mereka adalah dua jiwa yang rusak, terperangkap bersama
dalam reruntuhan yang mereka ciptakan.
Pagi itu di Bandung terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun mentari sudah
naik tinggi. Kabut tipis masih menggantung di beberapa sudut kota, menambah
kesan suram pada hari yang akan menjadi titik balik baru dalam kehidupan Nadia.
Di rumah kecil yang kini dipenuhi keheningan dan kerapuhan mental, Nadia masih
terperangkap dalam dunianya sendiri, terpisah dari realitas. Ia duduk di sudut
kamar, memeluk lututnya, tatapannya kosong, sesekali bergumam tanpa arti.
Diana, yang semakin kurus dan renta akibat tekanan yang tak berkesudahan,
memandangi putranya dengan keputusasaan yang mendalam. Ia tahu ia harus
melakukan sesuatu, ia harus mencari pertolongan, meskipun ia tidak tahu harus
mulai dari mana dan bagaimana cara melakukannya tanpa mengungkap rahasia
mereka.
Kebutuhan mendesak akan persediaan makanan
dan obat-obatan Nadia yang mulai menipis memaksa Diana untuk memberanikan diri
keluar. Ia harus pergi ke pasar, harus pergi ke apotek, meskipun setiap langkah
di luar rumah terasa seperti melangkah ke dalam jurang ketidakpastian. Ia
melirik Nadia, yang masih terdiam di kamarnya. Hatinya perih. Ia ingin membawa
Nadia bersamanya, ingin menjaganya tetap dekat, namun kondisi Nadia saat ini
terlalu rapuh untuk menghadapi dunia luar. Dengan berat hati, Diana hanya bisa mengunci
pintu dari luar, meninggalkan Nadia sendirian di dalam rumah yang kini terasa
seperti penjara bagi keduanya.
Diana melangkah keluar, napasnya terasa
berat. Udara pagi yang dingin menyengat kulitnya. Jalanan kota Bandung, yang
biasanya ramai dengan aktivitas, pagi itu terasa lebih lengang. Sepanjang
perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh Nadia. Ia memikirkan semua kesalahannya,
semua kebohongan yang telah ia ciptakan, semua trauma yang telah ia timbulkan
pada putranya. Rasa bersalah itu menusuknya, membuatnya berjalan tanpa arah
yang jelas, hanya fokus pada satu tujuan: mendapatkan apa yang Nadia butuhkan.
Ia berjalan menyusuri jalanan sempit,
melewati deretan rumah-rumah yang masih tertutup rapat, melewati toko-toko
kecil yang baru saja membuka pintu. Di persimpangan jalan yang menuju pasar,
suasana mulai sedikit ramai. Pedagang-pedagang menata dagangan mereka, beberapa
kendaraan mulai lalu-lalang, dan suara klakson terdengar samar dari kejauhan.
Diana menyeberang jalan, pandangannya masih
kosong, pikirannya melayang pada kondisi Nadia. Ia tidak memperhatikan
sekitarnya dengan seksama, tidak mendengar deru mesin yang mendekat dengan
kecepatan tinggi. Sebuah angkot berwarna hijau melaju kencang dari arah yang
berlawanan, pengemudinya mungkin sedang terburu-buru, atau mungkin ia sedang
melamun seperti Diana.
Detik-detik itu terasa seperti diperlambat.
Sebuah klakson panjang yang memekakkan telinga tiba-tiba membunyikan alarm.
Diana tersentak, pandangannya buram. Ia melihat cahaya terang yang mendekat
dengan kecepatan luar biasa. Ia tidak punya waktu untuk bereaksi, tidak punya
waktu untuk menghindar, tidak punya waktu untuk berteriak. Semua terjadi begitu
cepat.
BRAK!
Suara benturan yang memekakkan telinga
menggema di jalanan yang baru saja ramai. Tubuh Diana terlempar beberapa meter
ke depan, menghantam aspal dengan suara yang mengerikan. Tas belanjaannya
terlepas dari genggamannya, isinya berhamburan di jalanan yang basah oleh embun
pagi. Angkot itu mengerem mendadak, menghasilkan suara decitan ban yang memilukan,
dan berhenti beberapa meter dari tubuh Diana yang kini tergeletak tak berdaya.
Orang-orang di sekitar lokasi kejadian
terkesiap, beberapa berteriak panik. Para pedagang yang tadinya sibuk menata
dagangan, kini berlarian mendekat, wajah mereka dipenuhi ketakutan dan
kepanikan. Darah mulai merembes di bawah kepala Diana, membentuk genangan kecil
di aspal yang dingin. Matanya terbuka, menatap langit yang kelabu, namun tidak
ada lagi kehidupan di dalamnya. Napas terakhirnya telah terembus, membawa serta
semua rasa bersalah, semua trauma, dan semua cinta yang tak terucap kepada
Nadia.
Kematian Diana. Sang pelindung, sang
penipu, sang ibu yang penuh dosa, telah tiada. Tragedi yang tiba-tiba ini
mengubah segalanya.
Di rumah, Nadia masih duduk di kamarnya,
terperangkap dalam kekacauan mentalnya. Ia tidak mendengar suara sirine
ambulans yang kini mulai terdengar samar dari kejauhan, tidak merasakan
keramaian yang terjadi di luar. Dunia di sekelilingnya terasa jauh, tidak
nyata. Ia hanya ada, sebuah cangkang kosong yang ditinggalkan oleh badai
trauma.
Beberapa jam kemudian, ketukan keras di
pintu rumah mengoyak keheningan. Nadia tidak bergeming. Ia tidak mengerti apa
itu ketukan, siapa yang datang. Ketukan itu berulang, lebih keras, lebih
mendesak. Akhirnya, kunci yang rapuh itu berhasil dibuka oleh beberapa tetangga
yang khawatir dan dua orang polisi yang datang untuk menyampaikan kabar buruk.
Mereka masuk, melihat kondisi rumah yang
berantakan, lalu menemukan Nadia di kamarnya. Wajah mereka dipenuhi rasa
prihatin dan terkejut.
"Nona Nadia?" seorang polisi
wanita mencoba memanggilnya dengan lembut, namun Nadia tidak merespons. Ia
hanya menatap mereka dengan mata kosong.
Tetangga-tetangga yang masuk ikut merasa
iba. "Dia memang sedang sakit jiwa, Bu Polisi, sejak perampokan
itu..." bisik seorang tetangga kepada polisi.
Polisi itu mengangguk, lalu berjongkok di
hadapan Nadia. "Nona, Ibu Anda... Ibu Diana... mengalami kecelakaan.
Beliau... meninggal dunia."
Kata-kata itu, "meninggal dunia",
entah bagaimana menembus kabut mental Nadia. Sebuah kejutan listrik menjalari
tubuhnya. Matanya yang kosong perlahan mulai menunjukkan sedikit reaksi,
sedikit kehidupan. Ia memproses kata-kata itu, lambat laun, dengan kesulitan
yang luar biasa.
Diana. Ibunya. Mati.
Awalnya, hanya ada kebingungan. Lalu,
perlahan, sebuah gelombang emosi yang campur aduk menghantamnya.
Nadia merasa hancur. Orang yang selama ini
menjadi satu-satunya dunianya, satu-satunya sumber kehidupannya, kini telah
tiada. Meskipun hubungan mereka telah rusak parah, meskipun ia membenci
kebohongan Diana, Diana tetaplah ibunya. Orang yang membesarkannya, orang yang
memberinya makan, orang yang melindunginya dengan caranya sendiri. Sebuah
bagian dari dirinya, sebuah tiang penopang yang selama ini selalu ada, meskipun
menyakitkan, kini telah runtuh.
Ia merasakan kesedihan yang mendalam,
kesedihan yang tak terlukiskan. Air mata yang sudah lama kering, kini kembali
membasahi pipinya. Tangisan pilu keluar dari tenggorokannya, suara yang telah
lama hilang. Ia mulai terisak, lalu meraung, raungan yang berasal dari dasar
jiwanya yang paling dalam, raungan kesedihan yang murni, melepaskan semua
trauma dan emosi yang selama ini terpendam. Ia tidak peduli lagi dengan siapa
yang melihatnya, siapa yang mendengarnya. Ia hanya ingin mengeluarkan rasa
sakit ini.
Ia sangat terpukul oleh kematian ibunya. Ia
merasakan sakit di dadanya, seperti ada lubang menganga yang tiba-tiba
tercipta. Ia teringat kenangan-kenangan masa kecilnya yang dulu hangat, pelukan
Diana, cerita pengantar tidur, senyum Diana sebelum segalanya berubah. Semua
itu kini terasa begitu jauh, begitu berharga, dan begitu hilang. Dunia yang ia
kenal, yang meskipun penuh kebohongan tetap menjadi dunianya, kini telah lenyap
sepenuhnya.
Namun, pada saat yang sama, di tengah badai
kesedihan itu, sebuah perasaan lain muncul, perasaan yang begitu aneh, begitu
menakutkan, namun juga begitu nyata: rasa kebebasan yang membelenggu. Beban
berat yang selama ini membelenggunya, rantai-rantai tak terlihat yang
mengikatnya pada kebohongan dan kontrol Diana, kini terlepas. Tidak ada lagi
yang akan memaksanya menjadi perempuan. Tidak ada lagi yang akan mengurungnya.
Tidak ada lagi yang akan berbohong padanya.
Perasaan itu aneh, menimbulkan rasa bersalah
yang menusuk. Bagaimana mungkin ia merasa bebas saat ibunya meninggal? Bukankah
itu berarti ia jahat? Nadia bingung dengan emosinya sendiri. Sedih yang tak
terkira bercampur dengan rasa lega yang memalukan. Bingung dengan takdirnya
yang tiba-tiba terlempar ke dalam ketidakpastian. Tapi juga ada rasa kebebasan
yang menakutkan, kebebasan tanpa arah, tanpa tujuan, di dunia yang ia sama
sekali tidak kenal.
Ia adalah seorang laki-laki yang hidup
sebagai perempuan, seorang korban dari trauma orang lain, seorang yang telah
dihancurkan oleh kebenaran dan kini oleh dunia luar. Dan sekarang, satu-satunya
orang yang tahu rahasianya, satu-satunya orang yang menghubungkannya dengan
masa lalu itu, telah tiada. Ia benar-benar sendirian.
Para tetangga dan polisi mencoba menghibur
Nadia, namun ia tidak memperhatikan. Ia terus menangis, tangisan yang bercampur
aduk antara kesedihan mendalam dan kebingungan eksistensial. Kehilangan ibunya
adalah pukulan yang tak terduga, sebuah babak baru dalam penderitaannya. Namun,
babak ini juga membuka pintu yang selama ini terkunci rapat. Pintu menuju
kebebasan, entah kebebasan itu akan membawanya ke mana.
Malam itu, setelah tubuh Diana dibawa pergi
oleh petugas, rumah itu terasa semakin sunyi, semakin kosong. Nadia
ditinggalkan sendirian di tengah puing-puing, bukan hanya puing-puing fisik
rumahnya, melainkan juga puing-puing kehidupannya. Ia berbaring di ranjang,
masih terisak, memeluk bantal yang masih samar-samar tercium aroma Diana. Ia
merasakan beratnya kesendirian yang sesungguhnya. Tidak ada lagi yang bisa ia
benci, tidak ada lagi yang bisa ia lawan, tidak ada lagi yang bisa ia andalkan.
Kematian Diana adalah akhir dari satu babak
kehidupan Nadia, dan awal dari babak yang sama sekali baru, sebuah babak yang
akan ia jalani sendirian, di dunia yang kejam dan tidak ia kenal. Ia adalah
seorang yang terdampar, tanpa identitas yang jelas, tanpa arah, dan tanpa
pelindung. Rasa sedih yang mendalam karena kehilangan ibunya masih sangat kuat,
namun di baliknya, ada pertanyaan yang lebih besar: Siapa Nadia sekarang? Dan
apa yang akan ia lakukan dengan kebebasan yang menakutkan ini?
Kehilangan Diana meninggalkan lubang menganga dalam hidup Nadia, sebuah
kekosongan yang tidak bisa diisi oleh apapun. Pemakaman berlangsung dalam
suasana yang dingin dan singkat. Beberapa tetangga yang merasa iba dan prihatin
dengan nasib Nadia datang melayat. Nadia berdiri di samping liang lahat,
tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi, matanya sembap namun kering tanpa air mata
yang tersisa. Ia tidak bisa lagi menangis. Semua emosinya terasa mati rasa,
seolah jiwanya telah ikut terkubur bersama ibunya. Ia mendengar bisikan-bisikan
simpati, tatapan-tatapan kasihan, namun semua itu terasa jauh, tidak menyentuh
dirinya.
Yang ia rasakan hanyalah kehampaan yang
mencekam, bercampur dengan kebebasan yang menakutkan. Ibunya, sang pelindung
sekaligus penjaranya, kini telah tiada. Tidak ada lagi yang akan mengurungnya,
tidak ada lagi yang akan memaksanya menjadi seseorang yang bukan dirinya, tidak
ada lagi yang akan berbohong padanya. Namun, kebebasan ini datang dengan harga
yang sangat mahal: ia sendirian. Sepenuhnya sendirian di dunia yang ia sama
sekali tidak kenal, dengan identitas yang hancur.
Setelah pemakaman, urusan-urusan yang rumit
mulai datang. Mengurus jenazah, dokumen-dokumen kematian, dan kemudian, yang
paling membebani, rumah. Rumah kecil itu, yang selama tujuh belas tahun menjadi
satu-satunya dunianya, kini terasa seperti monumen kebohongan dan trauma.
Setiap sudutnya dipenuhi kenangan yang menyakitkan. Dinding-dindingnya seolah
berbisik tentang pil-pil hormon, suntikan-suntikan rahasia, dan kebohongan yang
tak terhitung jumlahnya. Nadia tidak bisa lagi tinggal di sana. Jiwanya tidak
sanggup.
Dengan bantuan seorang tetangga baik hati,
Ibu Rita, yang merasa iba dengan kondisinya, Nadia mulai mengurus penjualan
rumah. Prosesnya lambat dan membingungkan baginya. Ia tidak mengerti apa-apa
tentang uang, tentang hukum, tentang transaksi. Semua keputusan besar harus ia
serahkan pada Ibu Rita, yang dengan sabar membimbingnya. Dokumen-dokumen
diurus, tanda tangan dibubuhkan, dan akhirnya, rumah itu terjual dengan harga
yang tidak seberapa. Uang hasil penjualan itu terasa asing di tangannya, sebuah
simbol kebebasan sekaligus beban baru.
Nadia memutuskan untuk pergi. Pergi dari Bandung,
pergi dari rumah itu, pergi dari semua kenangan yang membelenggu. Ia tidak tahu
ke mana ia akan pergi, atau apa yang akan ia lakukan. Namun, ia tahu ia tidak
bisa tinggal. Ia butuh jarak, ia butuh ruang untuk bernapas, untuk mencoba
mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Dengan satu tas ransel berisi beberapa
potong pakaian yang kini semuanya adalah baju longgar yang ia temukan atau
diberikan tetangga, sedikit uang hasil penjualan rumah, dan beberapa buku
biologi usang yang menjadi satu-satunya jembatan kebenaran baginya, Nadia
meninggalkan rumah itu untuk terakhir kalinya. Ia tidak menoleh ke belakang.
Tidak ada lagi yang menahannya. Tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan.
Perjalanannya dimulai tanpa tujuan yang
jelas. Ia naik bus antarkota, bus ekonomi yang reyot, hanya memilih jurusan
yang terasa paling jauh dari Bandung. Pemandangan di luar jendela melesat
cepat: sawah-sawah hijau, gunung-gunung menjulang, kota-kota kecil yang asing.
Setiap kilometer yang ia tempuh terasa seperti pemutusan hubungan yang lebih
dalam dengan masa lalunya.
Di dalam bus, Nadia duduk diam, memeluk
ranselnya erat-erat. Ia berusaha untuk tidak menarik perhatian. Rambutnya yang
panjang ia kuncir seadanya, dan ia selalu mengenakan topi atau kerudung tipis
jika ada, mencoba menyembunyikan wajahnya yang masih terlihat feminin. Ia tahu
ia berbeda. Ia tahu ia tidak cocok di mana pun. Ia adalah seorang laki-laki
yang terjebak dalam tubuh perempuan, atau setidaknya, tubuh yang telah diubah
menjadi menyerupai perempuan.
Rasa takut dan kebingungan adalah teman
setianya. Ia tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain,
bagaimana cara mencari makan, bagaimana cara bertahan hidup di dunia yang
begitu besar dan kejam. Selama ini, Diana adalah segalanya baginya. Diana yang
memutuskan, Diana yang menyediakan, Diana yang melindungi. Kini, semua itu
harus ia lakukan sendiri.
Ia turun dari bus di sebuah kota kecil yang
asing, yang namanya pun ia tidak ingat. Udara di sana terasa lebih lembab, dan
dialek orang-orang terdengar sedikit berbeda. Ia berjalan menyusuri jalanan,
tanpa arah, tanpa tahu harus ke mana. Langit mulai gelap, dan ia merasakan
ketakutan yang mencekam merayapi dirinya. Ia mencari tempat yang aman untuk
tidur, akhirnya menemukan sebuah bangku kosong di taman kota yang sepi, di
bawah penerangan lampu jalan yang redup.
Malam pertama di luar rumah terasa sangat
panjang. Suara-suara kota yang asing, lolongan anjing dari kejauhan, desiran
angin yang menerpa dedaunan, semua itu terasa menakutkan. Ia memeluk dirinya
sendiri, tubuhnya menggigil bukan hanya karena dingin, melainkan karena
kesepian yang menusuk. Ia merindukan ranjangnya yang dulu nyaman, bahkan
merindukan kehadiran Diana yang penuh kontrol. Ironisnya, kebebasan yang ia
dambakan kini terasa seperti kutukan.
Pencarian jati dirinya dimulai dengan
langkah-langkah yang canggung dan penuh ketidakpastian. Ia mencoba mengamati
orang-orang di sekitarnya. Bagaimana laki-laki berjalan, bagaimana mereka
berbicara, bagaimana mereka berinteraksi. Ia membandingkan itu dengan
gerak-geriknya sendiri, dengan suaranya yang masih bernada tinggi. Ia merasa
seperti seorang peniru yang buruk, seorang aktor yang tidak pernah belajar
naskahnya.
Ia mencoba mencari pekerjaan, apa pun yang
bisa ia lakukan untuk bertahan hidup. Namun, dengan pengalamannya yang nol, dan
kondisinya yang tampak aneh—seorang gadis dewasa yang tampak bingung dan tidak
tahu apa-apa—tidak ada yang mau mempekerjakannya. Ia mencoba menawarkan diri
membantu di warung makan, membantu bersih-bersih, apa saja. Namun, tatapan
curiga dan penolakan selalu ia dapatkan.
Uang yang ia miliki mulai menipis. Rasa
lapar mulai melilit perutnya. Ia harus berhemat, makan seadanya, bahkan
seringkali tidak makan sama sekali. Ia tidur di emperan toko, di masjid yang
sepi, atau di mana pun ia bisa menemukan tempat yang sedikit aman dari
pandangan orang. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, untuk
sekadar bernapas.
Dalam kesendiriannya, ia sering berbicara
pada dirinya sendiri, mencoba memahami apa yang telah terjadi padanya. Ia
mencoba mengingat pelajaran dari buku-buku biologi yang ia bawa, mencoba
memilah antara identitas yang dipaksakan dan identitas yang sesungguhnya.
Namun, itu sangat sulit. Ia telah hidup sebagai Nadia selama tujuh belas tahun,
dan kini harus belajar menjadi seseorang yang sama sekali berbeda.
Rasa bingung itu sangat dominan. Siapa
sebenarnya Nadia ini? Apakah ia harus mencoba hidup sebagai laki-laki?
Bagaimana caranya? Ia tidak memiliki apa pun yang menandakan dirinya sebagai
laki-laki: tidak ada kartu identitas yang benar, tidak ada pakaian yang sesuai,
tidak ada pemahaman tentang dunia laki-laki. Bahkan nama aslinya nama
perempuan. Semua itu terasa seperti teka-teki yang mustahil dipecahkan.
Kesedihan atas kematian Diana terkadang
datang menghantamnya lagi, saat-saat ia merasa sangat sendirian dan putus asa.
Ia merindukan kehangatan pelukan Diana, meskipun ia tahu pelukan itu adalah
bagian dari kebohongan. Ia merindukan makanan yang Diana masak, meskipun
makanan itu disajikan dengan pil-pil hormon tersembunyi. Ironi dari semua itu
terasa begitu pahit.
Nadia mencoba mencari perpustakaan umum di
kota-kota yang ia singgahi, berharap menemukan lebih banyak buku yang bisa
membantunya memahami kondisi tubuhnya. Ia menemukan beberapa buku tentang anatomi
dan fisiologi, dan ia akan duduk berjam-jam di sana, membaca dengan teliti,
mencoba menyatukan kepingan-kepingan informasi. Semakin banyak ia membaca,
semakin ia memahami betapa parahnya modifikasi yang telah Diana lakukan pada
tubuhnya. Ia tidak hanya diberi hormon, tetapi ada juga kemungkinan intervensi
fisik yang membuatnya tidak berkembang sebagai laki-laki.
Ia melihat pantulan dirinya di genangan air
atau etalase toko. Wajahnya masih terlihat lembut, rambutnya panjang, tubuhnya
ramping. Ia masih terlihat seperti Nadia, si gadis. Bagaimana ia bisa mengubah
semua ini? Apakah mungkin? Apakah ia bisa kembali menjadi dirinya yang
sesungguhnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.
Minggu-minggu berlalu, berganti menjadi
bulan. Nadia berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu tempat
penampungan ke tempat lain. Ia bertemu dengan berbagai jenis orang: pengemis,
pekerja kasar, pedagang kecil, dan juga orang-orang yang mencoba mengambil
keuntungan dari kerentanannya. Ia belajar dengan cara yang keras untuk
berhati-hati, untuk tidak mempercayai siapa pun dengan mudah. Pengalaman di
jalanan ini, meskipun penuh kesulitan, sedikit demi sedikit mengasah naluri
bertahan hidupnya.
Ia kadang-kadang mencuri makanan kecil dari
pasar, atau memungut sisa-sisa makanan dari tempat sampah, hanya untuk bertahan
hidup. Rasa malu dan putus asa seringkali menyelimutinya, namun ia harus terus
berjalan. Ia tidak punya pilihan. Ia tidak punya tempat untuk kembali.
Dalam perjalanan tanpa tujuannya ini, Nadia
bukan hanya mencari identitasnya yang hilang, tetapi juga mencoba mencari
tempatnya di dunia. Ia merasa seperti roh tanpa raga, atau raga tanpa roh.
Kebebasan yang ia rasakan adalah kebebasan yang hampa, kebebasan seorang
pengembara yang tersesat. Ia masih terdampar di antara dua dunia: dunia Nadia
si gadis yang diciptakan, dan dunia dirinya yang asli sebagai laki-laki yang
tak pernah ia kenal.
Ia sering duduk di bawah bintang-bintang di
malam hari, merenungi nasibnya. Ia tidak punya siapa-siapa. Tidak ada keluarga,
tidak ada teman, tidak ada masa depan yang jelas. Ia adalah lembaran kosong,
yang harus menulis sendiri ceritanya dari awal. Namun, bagaimana caranya
menulis cerita ketika ia tidak tahu siapa pemeran utamanya?
Perjalanan ini adalah sebuah ziarah yang
pahit menuju diri. Setiap langkah yang ia ambil, setiap kesulitan yang ia
hadapi, setiap air mata yang ia tumpahkan, adalah bagian dari proses
menyembuhkan luka-luka yang tak terlihat. Ia harus menemukan kekuatan di dalam
dirinya sendiri, kekuatan untuk bertahan, kekuatan untuk mencari, kekuatan
untuk menjadi. Jalan di depannya masih gelap dan panjang, tanpa tujuan yang
pasti. Namun, setidaknya, ia sedang berjalan. Ia tidak lagi diam di tempat,
terjebak dalam kebohongan. Ia sedang bergerak, mencari, dan berharap suatu hari
nanti, ia akan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya, di suatu tempat di
dunia yang luas ini.
Setelah berhari-hari menempuh perjalanan yang melelahkan dengan bus ekonomi,
berpindah dari satu kota kecil ke kota kecil lainnya, Nadia akhirnya tiba di
sebuah kota besar. Ia tidak tahu nama kota itu, hanya tahu bahwa ia telah
memilih jurusan yang paling jauh dari Bandung, berharap jarak fisik akan
membawa serta jarak emosional dari masa lalunya yang kelam. Saat pertama kali
menginjakkan kaki di dunia luar yang sesungguhnya, di tengah hiruk pikuk kota
metropolitan yang asing, Nadia merasakan gelombang kebingungan dan ketakutan
yang luar biasa.
Udara kota besar terasa berbeda, lebih
padat, lebih bising. Gedung-gedung tinggi menjulang ke langit, seolah menelan
dirinya yang kecil. Suara klakson kendaraan yang tak henti-hentinya, teriakan
pedagang kaki lima, deru mesin yang tak putus, semua itu menyerbu indranya,
membuatnya pusing dan mual. Orang-orang berlalu lalang dengan cepat,
wajah-wajah asing yang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak ada yang peduli
pada seorang gadis muda yang tampak tersesat. Nadia merasa seperti sebutir debu
yang terlempar ke tengah badai.
Ia berdiri di terminal bus yang ramai,
memeluk ranselnya erat-erat, seolah itu adalah satu-satunya jangkar yang
menahannya di dunia nyata. Matanya melirik ke segala arah, mencoba memahami apa
yang ia lihat. Lampu-lampu neon menyala terang, papan reklame raksasa
memamerkan gambar-gambar yang asing, dan aroma masakan dari berbagai kedai bercampur
aduk di udara. Ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dari rumah kecilnya di
Bandung, jauh dari kebun dan keheningan yang ia kenal.
Langkah kakinya terasa berat, tanpa arah
yang jelas. Ia mulai berjalan, mengikuti arus orang banyak, berharap ia akan
menemukan sesuatu, apa pun, yang bisa memberinya petunjuk. Namun, semakin jauh
ia berjalan, semakin ia merasa tersesat. Jalanan bercabang, gang-gang sempit
bermunculan, dan ia tidak tahu harus memilih yang mana. Peta adalah konsep yang
asing baginya, dan bertanya pada orang lain terasa seperti tugas yang mustahil.
Ia terlalu takut, terlalu bingung, terlalu rapuh.
Mencari tempat tinggal adalah kesulitan
pertama yang ia hadapi. Ia tidak punya cukup uang untuk menyewa kamar di
penginapan, bahkan yang paling murah sekalipun. Ia mencoba mencari masjid atau
mushola yang bisa memberinya tempat berteduh semalam, namun banyak yang
terkunci atau tidak mengizinkan orang asing bermalam. Ia berjalan terus,
kakinya pegal, perutnya keroncongan.
Malam mulai menjelang, dan kota besar itu
berubah menjadi labirin cahaya dan bayangan. Ketakutan Nadia semakin memuncak.
Ia teringat pengalaman buruknya di jalanan sebelumnya, dan ia tahu ia harus
menemukan tempat yang aman. Ia akhirnya menemukan sebuah emperan toko yang
sudah tutup, di sebuah gang yang agak sepi. Ia meringkuk di sana, mencoba
tidur, namun suara-suara kota yang tak pernah berhenti membuatnya sulit
memejamkan mata. Dinginnya lantai beton menembus pakaiannya, dan ia gemetar.
Keesokan harinya, pencarian pekerjaan dimulai.
Ini adalah rintangan yang jauh lebih besar. Nadia tidak memiliki pendidikan
formal. Ia tidak tahu bagaimana cara membaca atau menulis dengan lancar, hanya
sedikit dari buku-buku Diana yang ia baca. Ia tidak punya pengalaman kerja apa
pun. KTP-nya, yang mencantumkan nama "Nadia" dan identitas perempuan,
terasa seperti beban ganda. Ia adalah seorang laki-laki di dalam tubuh
perempuan, dengan identitas resmi yang tidak sesuai dengan jati dirinya yang ia
pahami.
Ia mencoba melamar di berbagai tempat:
warung makan, toko kelontong, bahkan sebagai pembantu rumah tangga. Namun,
setiap kali ia mencoba berbicara, suaranya yang lembut dan tingkah lakunya yang
canggung membuat orang-orang menatapnya dengan aneh. Ia tampak seperti gadis
muda yang polos dan tidak berpengalaman, namun ada sesuatu yang tidak biasa
pada dirinya, sesuatu yang sulit dijelaskan.
"Maaf, Nona, kami tidak mencari orang
seperti Anda," kata seorang pemilik warung dengan nada curiga.
"Anda punya pengalaman apa?"
tanya seorang pemilik toko, menatapnya dari atas ke bawah. Nadia hanya bisa
menggelengkan kepala, merasa malu dan tidak berguna.
Ia nyaris putus asa. Bagaimana ia bisa
bertahan hidup? Uangnya semakin menipis, hanya cukup untuk beberapa kali makan.
Rasa lapar mulai menjadi teman akrabnya. Ia seringkali hanya makan roti tawar
kering atau air putih, mencoba menunda habisnya uang itu.
Setiap penolakan adalah pukulan telak bagi
mentalnya yang sudah rapuh. Ia mulai merasa tidak berguna, tidak diinginkan.
Kebingungan identitasnya semakin parah. Jika ia tidak bisa menjadi seorang
perempuan yang berfungsi di masyarakat, lalu bagaimana ia bisa menjadi seorang
laki-laki? Ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia tidak punya panutan, tidak punya
bimbingan.
Ia seringkali tersesat di jalanan kota yang
rumit. Ia berjalan tanpa tujuan, kadang-kadang berputar-putar di tempat yang
sama, tidak bisa menemukan jalan keluar. Rasa frustrasi dan keputusasaan
memuncak. Air mata seringkali mengalir di pipinya saat ia duduk di pinggir
jalan yang ramai, merasa begitu kecil dan tak berdaya di tengah keramaian yang
tak peduli.
"Siapa aku?" bisiknya pada
dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kebisingan kota.
"Aku ini siapa? Nadia? Atau... siapa?"
Ia mencoba mengingat pelajaran dari
buku-buku biologi yang ia bawa, mencoba mencari jawaban di sana. Namun,
buku-buku itu hanya menjelaskan tentang anatomi, bukan tentang bagaimana cara
hidup di dunia yang kejam ini. Ia merasa seperti seorang yang baru lahir, yang
harus belajar segalanya dari awal, namun tanpa seorang pun yang membimbingnya.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur
kota, Nadia menemukan dirinya meringkuk di bawah jembatan layang, kedinginan
dan kelaparan. Air mata bercampur dengan air hujan di pipinya. Ia merasa sangat
sendirian, sangat putus asa. Ia merindukan Diana, meskipun ia tahu itu adalah
perasaan yang salah. Ia merindukan keamanan rumahnya, meskipun itu adalah
penjara. Ia merindukan kehidupan yang dulu, meskipun itu adalah kebohongan.
Ia berpikir untuk menyerah. Apa gunanya
terus berjuang? Ia tidak punya harapan, tidak punya masa depan. Ia hanya akan
terus tersesat, terus kelaparan, terus menderita. Namun, di tengah keputusasaan
itu, sebuah suara kecil di dalam dirinya berbisik: Kau
harus bertahan. Kau harus mencari tahu siapa dirimu.
Suara itu adalah sisa-sisa dari Nadia yang
dulu, Nadia yang penasaran, Nadia yang ingin tahu kebenaran. Ia tahu ia tidak
bisa menyerah. Ia harus menemukan jati dirinya, apa pun risikonya. Ia harus
membuktikan bahwa ia bisa bertahan, bahkan tanpa Diana, bahkan tanpa identitas
yang jelas.
Ia mulai mengamati orang-orang yang hidup
di jalanan, para gelandangan, para pengemis. Mereka adalah orang-orang yang
juga tersesat, namun mereka bertahan. Ia belajar dari mereka, bagaimana mencari
makanan sisa, bagaimana menemukan tempat tidur yang sedikit lebih aman,
bagaimana berbaur agar tidak terlalu menarik perhatian. Ia belajar untuk
menjadi tidak terlihat, untuk menjadi bagian dari bayangan kota.
Hari-hari berlalu menjadi minggu, minggu
menjadi bulan. Nadia mulai sedikit beradaptasi. Ia menemukan beberapa tempat
yang bisa memberinya pekerjaan serabutan, seperti mencuci piring di warung
makan kecil, atau membantu mengangkat barang di pasar. Upahnya sangat kecil,
hanya cukup untuk makan sehari-hari dan sesekali membeli sabun. Ia masih tidur
di jalanan, namun kini ia tahu tempat-tempat yang lebih aman, tempat-tempat
yang tidak terlalu ramai, tempat-tempat yang memberinya sedikit ketenangan.
Kondisi fisiknya mulai memburuk. Ia sering
sakit, batuk-batuk, dan tubuhnya semakin kurus. Namun, ia tidak menyerah.
Setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia akan teringat pada Diana, pada kebohongan
yang telah ia jalani, dan pada keinginan untuk menemukan kebenaran. Itu adalah
motivasi yang pahit, namun efektif.
Ia masih sering tersesat di kota besar itu,
namun kini ia tidak lagi panik. Ia belajar untuk bertanya, meskipun dengan
suara yang pelan dan ragu-ragu. Ia belajar untuk mengamati, untuk memahami
pola-pola jalanan. Sedikit demi sedikit, ia mulai membangun peta mentalnya
sendiri tentang kota itu.
Pencarian jati dirinya masih jauh dari
selesai. Ia masih seorang Nadia yang bingung, seorang laki-laki dalam tubuh
perempuan, dengan KTP perempuan. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengubah semua
itu. Namun, setidaknya, ia tidak lagi diam di tempat. Ia sedang bergerak, ia
sedang mencari, ia sedang bertahan. Langkah kakinya mungkin tanpa arah yang jelas,
namun setiap langkah adalah bagian dari perjalanan panjang menuju penemuan
diri. Ia harus terus berjalan, karena tidak ada tempat lain baginya untuk
pergi, selain maju.
Bulan-bulan berlalu dalam kekosongan yang membingungkan bagi Nadia. Kota besar
ini, yang tadinya terasa seperti labirin menakutkan, kini mulai sedikit demi
sedikit menunjukkan polanya. Ia telah belajar bagaimana bertahan hidup: mencari
sisa makanan, tidur di emperan toko yang sepi, dan melakukan pekerjaan
serabutan yang dibayar sangat kecil. Fisiknya memang semakin kurus, namun
jiwanya yang semula hampa, kini mulai diisi oleh tekad samar untuk menemukan
tempatnya di dunia yang kejam ini. Namun, di balik semua itu, ia masihlah
seorang pengembara tanpa tujuan, seorang jiwa yang tersesat di antara identitas
yang dipaksakan dan kebenaran yang tak terjangkau.
Suatu malam, setelah seharian penuh mencari
pekerjaan dan hanya mendapatkan penolakan, Nadia duduk meringkuk di sebuah gang
sempit, dekat dengan area hiburan kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu neon
warna-warni menyala terang, musik disko menghentak-hentak dari dalam bar, dan
tawa serta obrolan orang-orang bercampur baur menciptakan simfoni kekacauan. Ia
mengamati orang-orang yang berlalu-lalang: pasangan yang bergandengan tangan,
kelompok pemuda yang tertawa keras, dan beberapa sosok yang mencolok dengan
pakaian gemerlap dan riasan tebal.
Ia memperhatikan sosok-sosok terakhir itu.
Mereka tampak berbeda dari kebanyakan wanita pada umumnya. Mereka adalah waria,
dengan busana wanita yang mencolok, rambut palsu yang indah, dan riasan wajah
yang dramatis. Mereka berbicara dengan nada suara yang terkadang sedikit lebih
dalam dari wanita biasa, dan gerak-gerik mereka terkadang lebih lugas. Nadia,
dengan kebingungan identitasnya sendiri, merasa ada semacam ketertarikan aneh.
Ia melihat mereka, dan entah mengapa, ia merasakan dorongan untuk mendekat,
seolah ada magnet tak terlihat.
Nadia duduk di sana, mengamati mereka dari
kejauhan, tersembunyi dalam kegelapan gang. Ia tidak punya keberanian untuk
mendekat. Ia hanya mengamati, seperti seorang pengamat yang ingin memahami
spesies baru. Mereka tampak bahagia, atau setidaknya, mereka tampak lebih bebas
dan rileks daripada dirinya. Mereka tertawa, bercanda, dan berinteraksi dengan
sesama mereka dengan keakraban yang Nadia rindukan.
Salah seorang waria, yang paling tinggi dan
paling mencolok dengan gaun merah menyala dan rambut pirang keemasan, tiba-tiba
menoleh dan menangkap tatapan Nadia. Matanya yang tajam dan berbinar menatap
Nadia, seolah mampu melihat kerentanan dan kesepian di wajah gadis itu. Nadia
tersentak, mencoba menyembunyikan diri lebih dalam, namun sudah terlambat.
Waria itu, dengan senyum tipis, berjalan mendekat.
"Hai, manis," sapanya dengan
suara yang dalam namun lembut, kontras dengan penampilannya yang glamor. Ia
menatap Nadia dengan pandangan menilai, seolah membaca garis-garis kesedihan di
wajah gadis itu. "Kenapa sendirian di sini? Kedinginan? Atau sedang
tersesat?"
Nadia hanya bisa menunduk, tidak berani
menjawab. Ia merasa malu, takut, dan canggung. Ia, dengan tubuhnya yang memang
terlihat feminin berkat manipulasi Diana, pastinya terlihat seperti gadis biasa
yang sedang kesusahan.
Waria itu berjongkok di hadapan Nadia,
tatapannya penuh pengertian. Ia tidak melihat Nadia sebagai saingan atau
ancaman, melainkan sebagai seorang jiwa yang rapuh. "Hei, jangan takut.
Kau terlihat tersesat sekali. Aku Melati." Ia mengulurkan tangannya,
telapak tangannya hangat dan sedikit kasar. "Kau butuh bantuan?"
Nadia hanya bisa mengangguk pelan, air mata
mulai menggenang di matanya. "Aku... aku tidak punya tempat tinggal."
Melati tersenyum lembut. "Tidak punya
tempat tinggal? Kau beruntung bertemu kami malam ini. Ayo ikut kami. Kami punya
tempat."
Tanpa banyak bicara, seolah ada kekuatan
tak terlihat yang menariknya, Nadia mengikuti Melati dan teman-temannya. Ia
tidak tahu ke mana mereka akan membawanya, namun nalurinya mengatakan bahwa ini
adalah kesempatan, sebuah jalan keluar dari kesendirian dan kehampaan yang
mencekik. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Ia merasa seperti
domba tersesat yang akhirnya menemukan kawanan.
Mereka membawanya ke sebuah rumah kontrakan
sederhana yang dihuni oleh beberapa waria lainnya. Ruangan itu kecil, namun
hangat dan penuh warna. Ada tawa, ada obrolan, ada aroma masakan sederhana.
Nadia merasa canggung, namun ada rasa lega yang aneh menyelimuti dirinya. Ini
adalah pertama kalinya ia berada di antara orang-orang yang tidak menatapnya
dengan curiga, yang hanya melihatnya sebagai sesama manusia yang membutuhkan
bantuan.
Para waria di sana menyambut Nadia dengan
ramah, meskipun ada sedikit rasa ingin tahu di mata mereka tentang gadis muda
yang tiba-tiba dibawa pulang oleh Melati. Mereka memberinya makanan hangat,
pakaian bersih, dan tempat tidur di sudut ruangan. Nadia makan dengan lahap,
sudah berhari-hari ia tidak makan makanan yang layak. Ia merasa lelah, namun
pikiran dan hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk: lega, bingung, dan
secercah harapan.
Malam itu, setelah semua orang tidur, Nadia
berbaring di tempat tidurnya, memeluk lututnya. Ia mendengar bisikan-bisikan
dan dengkuran ringan dari sekitarnya. Ia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang,
mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia telah ditemukan. Oleh
orang-orang yang, entah bagaimana, terasa familiar, meskipun ia tidak bisa
menjelaskan mengapa.
Keesokan harinya, Melati duduk di samping
Nadia, menawarinya segelas teh hangat. "Jadi, manis, siapa namamu?"
tanyanya lembut.
"Nadia," jawab Nadia pelan.
Melati tersenyum. "Nadia... nama yang
cantik. Kau terlihat... sangat polos, Nadia. Tapi ada cerita di balik matamu
itu, ya?"
Nadia menunduk. Ia tidak tahu bagaimana
harus bercerita. Bagaimana ia bisa menjelaskan kebohongan yang telah ia jalani
seumur hidup, trauma yang ia alami, dan identitasnya yang hancur, sementara
fisiknya sendiri masih terlihat seperti perempuan seutuhnya di mata Melati?
"Aku... aku... sebenarnya aku seorang
laki-laki," bisik Nadia, air mata mulai menggenang di matanya, rasa malu
dan takut bercampur aduk. Ia takut Melati akan jijik atau marah. "Tapi...
ibuku... dia membuatku menjadi seperti ini. Dengan pil. Dengan suntikan. Dan
KTP-ku... KTP-ku bilang aku perempuan."
Melati terdiam sejenak, menatap Nadia
dengan tatapan yang kini berubah. Bukan lagi sekadar simpati, tetapi sebuah
pemahaman yang mendalam, sebuah pengakuan. Ia menghela napas panjang,
tatapannya berubah menjadi sendu. "Oh, sayangku... Jadi, kau juga,
ya?" Melati tidak lagi melihat Nadia hanya sebagai gadis tersesat,
melainkan sebagai seseorang yang berbagi beban eksistensial yang sama. Ia
memeluk Nadia dengan erat, pelukan yang terasa seperti oase di tengah gurun,
sebuah pelukan yang mengatakan: Aku
mengerti. "Jangan khawatir, Nadia. Kau tidak sendirian. Banyak
dari kami yang punya cerita seperti itu. Atau setidaknya, memahami perjuanganmu
untuk menerima siapa dirimu, terlepas dari apa yang orang lain lihat."
Komunitas waria itu tidak melihat Nadia
sebagai orang aneh atau gila setelah mendengar pengakuannya. Justru, mereka
melihat potensi dan kesamaan dalam diri Nadia, jiwa yang terluka dan tersesat,
namun memiliki esensi yang sama dengan mereka. Mereka mengenali perjuangan
identitas yang Nadia alami, karena mereka sendiri telah melalui itu, meskipun
dengan cara yang berbeda. Mereka adalah keluarga baru yang tak terduga, yang
ditemukan Nadia di sudut malam kota besar itu.
Mereka mulai membantunya beradaptasi.
Mereka mengajarinya cara berbicara dengan lebih percaya diri, cara berdandan
untuk menonjolkan fitur-fitur femininnya yang sudah ada, cara memilih pakaian.
Mereka tidak memaksanya untuk sepenuhnya menjadi seorang waria jika ia tidak
mau, namun mereka menunjukkan kepadanya cara untuk bertahan hidup di dunia
luar, cara untuk beradaptasi dengan identitas perempuan yang terpaksa ia
jalankan di mata masyarakat. Mereka mengajarkan bagaimana menggunakan KTP
perempuannya untuk mendapatkan hak-hak dasar, sekaligus bagaimana melindungi
diri dari bahaya yang kerap mengintai mereka yang rentan di jalanan.
Mereka juga mengenalkannya pada dunia
malam. Dunia di mana mereka bekerja, di mana mereka merasa diterima, di mana
mereka bisa menjadi diri mereka sendiri, atau setidaknya, versi diri yang
mereka inginkan dan yang bisa mereka tampilkan. Dunia itu adalah bar-bar
remang-remang, panggung-panggung kecil dengan lampu sorot, dan riuh rendah
suara musik yang menggetarkan.
"Kau punya potensi, Nadia," kata
Melati suatu malam, sambil mengoleskan eyeliner di
mata Nadia, mengubah mata kosong itu menjadi lebih hidup. "Kau cantik, kau
punya gerakan yang anggun. Kau bisa menari. Kau bisa menjadi penari di bar. Itu
pekerjaan yang lumayan, bisa memberimu uang untuk makan dan tempat tinggal. Dan
di sini, setidaknya, kau bisa menjadi dirimu sendiri, tanpa terlalu banyak
pertanyaan."
Nadia ragu. Menari? Di bar? Itu adalah hal
yang sangat asing baginya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia harus
bertahan hidup. Dan jika ini adalah satu-satunya cara, maka ia akan
melakukannya.
Ia mulai belajar menari dari Melati dan
waria-waria lain. Mereka sabar mengajarinya gerakan-gerakan dasar, ekspresi
wajah, cara berjalan di atas panggung dengan percaya diri. Nadia, dengan
kelenturan tubuhnya yang ia dapatkan dari hormon dan latihan yang Diana
paksakan, ternyata memiliki bakat alami. Ia belajar dengan cepat, meskipun
hatinya masih dipenuhi kebingungan. Setiap gerakan yang ia lakukan di depan
cermin, setiap riasan yang menempel di wajahnya, adalah pengingat akan
identitas yang dipaksakan, namun kini juga menjadi alat untuk bertahan hidup.
Pekerjaan sebagai penari di bar adalah
pengalaman yang aneh baginya. Ia menari di bawah sorotan lampu, dengan
mata-mata pengunjung yang menatapnya. Ia tersenyum, ia bergerak, ia berusaha
terlihat menarik. Di permukaan, ia adalah Nadia, si penari cantik, seorang
wanita. Namun di dalam batinnya, ia adalah seorang laki-laki yang masih mencari
jati diri, yang hanya bisa bertahan hidup dengan menyamar di dunia yang asing
ini.
Uang yang ia hasilkan dari menari memang
tidak banyak, namun cukup untuk makan dan membayar sewa sebagian kecil dari
kontrakan itu. Ia tidak lagi kelaparan, tidak lagi tidur di jalanan. Ia
memiliki atap di atas kepalanya, dan ia memiliki teman-teman yang memahami.
Komunitas waria itu adalah pelabuhan tak terduga bagi jiwanya yang tersesat.
Mereka memberinya dukungan emosional, tempat bernaung, dan panduan untuk
menavigasi dunia yang kejam.
Nadia masih bingung dengan siapa dirinya.
Ia masih terdampar di antara dua identitas. Namun, di tengah komunitas baru
ini, ia merasa sedikit lebih aman, sedikit lebih diterima. Mereka tidak
menanyakan masa lalunya terlalu dalam setelah ia mengaku, tidak menghakiminya.
Mereka hanya menerima Nadia apa adanya, dengan segala kebingungannya dan
keunikan identitasnya. Mereka adalah cermin, tetapi juga peta, menunjukkan
kepadanya bahwa ada banyak cara untuk menjadi, banyak cara untuk hidup, bahkan
ketika dunia menolakmu.
Dunia malam yang keras, dengan segala sisi
gelapnya, ternyata juga memiliki sisi kehangatan dan solidaritas. Nadia belajar
bahwa di balik gemerlap lampu dan musik yang memekakkan telinga, ada
kisah-kisah perjuangan, kisah-kisah penolakan, dan kisah-kisah tentang
pencarian diri yang sama dengan dirinya. Ia bukan lagi sendirian. Ia telah
ditemukan, di sudut malam yang tak terduga, oleh orang-orang yang memahami,
yang memberinya tempat bernaung, dan yang membantunya menari di atas panggung
kehidupan yang sulit ini. Ini adalah babak baru yang aneh, namun penuh dengan
potensi, menuju penerimaan diri yang mungkin suatu hari nanti akan ia temukan.
Gemuruh musik yang memekakkan telinga, sorotan lampu yang menyilaukan, dan
aroma rokok serta alkohol yang menusuk hidung—itulah dunia baru Nadia. Ia telah
memulai pekerjaannya sebagai penari di sebuah bar di kota besar ini, sebuah
tempat yang menjadi pelabuhan tak terduga bagi jiwanya yang tersesat dan
terluka. Di antara hiruk pikuk kehidupan malam yang keras, Melati dan komunitas
waria lainnya telah membimbingnya, mengajarkannya cara bertahan, cara untuk
'menari' dalam kehidupan yang rumit ini, dan perlahan, cara untuk menemukan
kembali dirinya di tengah puing-puing masa lalu yang kelam.
Perkenalan Nadia dengan Om Broto, pemilik
bar itu, berlangsung di balik panggung yang sempit dan remang-remang,
diselubungi asap rokok dan cahaya neon yang berkedip. Om Broto adalah pria
paruh baya dengan perawakan kekar, wajahnya dipenuhi kerutan yang menandakan
kerasnya kehidupan malam, namun matanya memancarkan kelelahan sekaligus
kebaikan yang samar. Ia mengamati Nadia dengan pandangan tajam, menganalisis
setiap gerak-gerik gadis itu, saat Melati memperkenalkannya. "Om Broto,
ini Nadia. Dia punya bakat, Om. Bisa menari," kata Melati, suaranya penuh
keyakinan dan harapan, menempatkan tangan di punggung Nadia untuk memberinya
dorongan lembut. Melati tahu Nadia adalah berlian mentah yang membutuhkan sentuhan
yang tepat untuk bersinar. Nadia hanya bisa menunduk, merasa gugup dan tidak
yakin. Ia masih belum terbiasa dengan interaksi sosial, apalagi dengan
seseorang yang tampak begitu berkuasa dan berpengaruh di tempat seperti ini.
Jantungnya berdebar kencang di balik dadanya yang sesak, takut ditolak lagi,
takut menemukan lagi penolakan yang telah menghantuinya sepanjang hidup. Om
Broto hanya mengangguk pelan, tatapannya menyapu Nadia dari kepala hingga kaki,
sebuah penilaian diam-diam. Ia melihat gadis muda yang tampak rapuh, dengan
aura kesedihan yang tak bisa disembunyikan di balik sorot matanya, namun ia
juga melihat potensi yang tersembunyi di dalamnya. Ia telah melihat banyak
orang seperti Nadia di dunia malam ini, orang-orang yang tersesat namun memiliki
sesuatu yang istimewa, sebuah karisma tersembunyi yang bisa bersinar di atas
panggung. "Baik," kata Om Broto dengan suara serak, tanpa ekspresi
berlebihan, suaranya adalah sebuah putusan yang final. "Coba saja dulu.
Nanti Melati yang ajari apa yang harus dilakukan." Ia tidak banyak bicara,
namun kata-katanya adalah secercah harapan bagi Nadia, sebuah pintu yang
terbuka di tengah kegelapan yang mengepungnya. Ia diterima.
Malam pertama Nadia di atas panggung adalah
campuran antara ketakutan yang mencekik dan ekstasi yang aneh. Melati dan waria
lainnya membantunya berdandan, sebuah ritual sakral yang mengubah Nadia dari
sosok yang rapuh menjadi bintang yang bersinar. Wajah Nadia dipoles dengan
riasan tebal, menyembunyikan mata lelah dan bekas-bekas trauma yang masih
membekas. Bibirnya diwarnai merah menyala, pipinya diberi rona, dan matanya
dipertegas dengan eyeliner dan bulu mata palsu yang panjang, menciptakan
persona baru yang menawan. Rambutnya yang panjang ditata rapi, dan ia
mengenakan kostum gemerlap yang disiapkan oleh Melati, sebuah gaun pendek
dengan payet yang berkilauan di bawah cahaya lampu, memantulkan setiap pantulan
cahaya seolah Nadia adalah berlian yang hidup. Saat ia melangkah ke panggung,
jantungnya berdebar sangat kencang hingga terasa sakit, seolah ingin melompat
keluar dari dadanya. Lampu sorot menyorotnya dengan kejam, mata-mata penonton
menatapnya tanpa kedip, haus akan hiburan. Ia merasa telanjang, meskipun
tubuhnya tertutup kain gemerlap yang menawan. Namun, musik mulai mengalun, Melati
memberinya isyarat dari balik panggung, dan Nadia mulai menari. Gerakannya kaku
di awal, ragu-ragu, seolah tubuhnya sendiri enggan bergerak. Namun, seiring
dengan irama musik yang menghentak, yang merasuki setiap pori-pori kulitnya,
sesuatu dalam dirinya mulai terbangun. Ia teringat akan latihan-latihan menari
yang dulu Diana paksakan, gerakan-gerakan tari yang dulu terasa seperti
belenggu, kini justru menjadi kebebasan, sebuah cara untuk melepaskan diri dari
segala beban. Tubuhnya merespons secara alami, lentur dan anggun, seolah menari
adalah takdirnya yang sesungguhnya. Ia menari, bukan lagi sebagai Nadia yang
takut dan bingung, melainkan sebagai Nadia
Elmina, sebuah nama panggung yang Melati berikan padanya, sebuah identitas
baru yang ia bisa kenakan, sebuah topeng yang memberinya kekuatan dan
keberanian.
Di atas panggung, dengan riasan dan kostum
yang menyamarkan identitas aslinya, Nadia menemukan ruang untuk mengekspresikan
dirinya. Ia bisa menyalurkan semua rasa sakit, kemarahan, kesedihan, dan kebingungannya
ke dalam setiap gerakan. Setiap putaran, setiap ayunan tangan, setiap hentakan
kaki, adalah sebuah teriakan bisu, sebuah luapan emosi yang selama ini
terpendam dalam-dalam. Penonton tidak tahu siapa ia sebenarnya, apa yang telah
ia alami, atau badai apa yang telah ia lalui. Mereka hanya melihat seorang
penari cantik yang bergerak dengan indah di atas panggung, memukau mata mereka
dengan setiap gerakannya yang anggun. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu
yang sangat lama, Nadia merasa bahwa ia bisa menjadi sesuatu yang lain, sesuatu
yang bukan korban, sesuatu yang memiliki makna, sebuah keberadaan yang berarti
di dunia ini. Ia merangkul identitas barunya sebagai waria. Bukan karena ia
memilihnya secara sadar, melainkan karena takdir dan keadaan yang kejam telah
mendorongnya ke jalan ini, dan di jalan ini, ia menemukan penerimaan yang ia
dambakan sepanjang hidupnya. Di balik panggung, Melati dan teman-teman waria
lainnya memberinya dukungan yang tulus. Mereka memahami perjuangannya, mereka
melihat di balik riasan dan kostumnya, jiwa yang sama-sama tersesat namun
berusaha bertahan dengan gigih. Mereka adalah sebuah keluarga, sebuah komunitas
yang dibangun di atas dasar saling pengertian dan penerimaan, jauh dari
penghakiman dunia luar yang kejam. "Kau hebat, Nadia!" seru Melati
setelah pertunjukan pertamanya, memeluknya erat. "Kau punya bakat! Aku
tahu itu!" Kata-kata pujian itu terasa asing bagi Nadia, namun juga
menghangatkan jiwanya yang dingin. Ia tidak pernah menerima pujian seperti itu
sebelumnya, setidaknya bukan pujian yang tulus tentang dirinya yang sebenarnya,
tentang bakatnya. Di bar ini, ia menemukan rasa memiliki yang selama ini ia
dambakan. Ia tidak lagi sendirian. Ada orang-orang yang peduli, yang
mendukungnya, yang menerima dirinya, apa pun identitas biologisnya atau masa
lalunya yang kelam. Om Broto, yang jarang bicara, sesekali akan mengangguk puas
saat Nadia menari, atau memberikan sedikit tambahan uang bayaran jika ia merasa
Nadia tampil bagus. Meskipun dingin, ada kehangatan yang samar di balik
sikapnya. Ia adalah pemilik bar, namun juga semacam pelindung bagi para waria
yang bekerja untuknya, memastikan mereka aman dan mendapatkan penghidupan yang
layak. Kehidupan Nadia di bar itu memang tidak mudah. Jam kerjanya panjang, ia
harus berhadapan dengan berbagai jenis pengunjung, ada yang baik, ada yang
kasar, ada yang mabuk. Namun, ia belajar untuk menghadapi semua itu. Ia belajar
bagaimana mengabaikan tatapan-tatapan yang menghina, bagaimana menghindari
sentuhan yang tidak diinginkan, bagaimana menjaga dirinya tetap aman di tengah
keramaian dan kekacauan.
Luka-luka lama masih membekas dalam
dirinya. Trauma perampokan, pengungkapan kebohongan Diana, kematian ibunya, dan
pengalaman pahit di jalanan—semua itu masih menghantuinya, muncul dalam mimpi
buruk dan bayangan di siang hari yang cerah. Terkadang, saat ia sendirian di
kamar kontrakan yang sempit, ia akan merasakan gelombang kesedihan dan
ketakutan yang luar biasa, seolah-olah ia kembali ke masa-masa tergelapnya.
Namun, kini ia memiliki panggung, ia memiliki tariannya, dan ia memiliki
komunitas yang bisa ia jadikan sandaran yang kokoh. Di atas panggung, ia bisa
menjadi siapa saja yang ia inginkan. Ia bisa menjadi Nadia Elmina, penari yang
gemerlap, yang memukau penonton dengan gerakannya yang anggun. Ia bisa
melupakan sejenak siapa dirinya di balik kostum itu, sejenak melupakan tubuhnya
yang dimanipulasi dan identitasnya yang membingungkan. Ini adalah pelarian,
sekaligus terapi yang membantunya bertahan hidup. Nadia masih membawa luka, tetapi
ia telah memilih jalannya sendiri. Jalan ini memang tidak ia pilih secara sadar
pada awalnya, namun ia telah merangkulnya dengan sepenuh hati. Ia menari di
bawah sorotan lampu, di mana ia akhirnya bisa mengekspresikan diri, di mana ia
akhirnya bisa menjadi dirinya sendiri—atau setidaknya, sebuah versi dirinya
yang bisa ia terima dan cintai, di tengah semua kerumitan itu. Ia belajar
banyak dari Melati dan teman-teman waria lainnya. Mereka bukan hanya rekan
kerja, melainkan juga mentor dan saudara yang selalu ada. Mereka mengajarkannya
tentang kehidupan, tentang kerasnya dunia, tetapi juga tentang pentingnya
solidaritas dan penerimaan diri. Mereka menunjukkan kepadanya bahwa keindahan
bisa ditemukan di tempat-tempat yang tak terduga, dan bahwa identitas tidak
selalu harus sesuai dengan apa yang ada di KTP atau apa yang masyarakat
harapkan. Ia mulai merawat dirinya sendiri dengan lebih baik. Dengan uang hasil
menari, ia bisa membeli makanan yang layak, pakaian yang lebih bersih, dan
perlengkapan rias yang lebih baik. Ia mulai melihat dirinya di cermin, bukan
lagi dengan jijik, melainkan dengan rasa ingin tahu. Ia melihat Nadia Elmina,
seorang penari, seorang waria, seorang yang telah melalui banyak hal, namun
masih bertahan dengan gigih. Meskipun ia tahu di dalam lubuk hatinya bahwa ia
terlahir sebagai laki-laki, identitas "waria" ini memberinya ruang
untuk eksis, untuk diterima, untuk memiliki tempat di dunia. Ini bukan akhir
dari pencarian jati dirinya, melainkan sebuah babak penting. Ia masih harus
menemukan siapa dirinya yang sesungguhnya, namun kini ia tidak lagi sendirian.
Ia menari di atas panggung kehidupan, sebuah panggung yang memberinya kekuatan,
keberanian, dan secercah harapan. Di bawah sorotan lampu, di tengah gemuruh
musik, Nadia menari untuk hidupnya, untuk identitasnya, dan untuk masa depannya
yang masih belum jelas.
Satu malam, setelah pertunjukan terakhir,
saat bar sudah sepi dan hanya tersisa beberapa pelayan yang membersihkan, Om
Broto memanggil Nadia ke ruangannya. Ruangan itu kecil, berantakan dengan
tumpukan dokumen dan botol minuman, namun juga memiliki sofa kulit tua yang
nyaman. Nadia masuk dengan gugup, mengira ia akan mendapatkan evaluasi kinerja
atau teguran. "Duduk, Nadia," kata Om Broto, suaranya tenang namun
ada nada yang berbeda. Nadia duduk di sofa, jantungnya berdebar kencang. Om
Broto menyerahkan segelas wine kepadanya.
Nadia mengambilnya dengan tangan gemetar. Om Broto menyesap wine-nya, menatap Nadia dalam diam, sebuah
pandangan yang menusuk. "Kamu penari yang bagus," katanya akhirnya,
suaranya serak. "Aku suka caramu menari. Ada sesuatu yang... nyata di
dalamnya." Nadia hanya menunduk, merasa malu namun juga sedikit bangga
dengan pujian itu. "Nadia," lanjut Om Broto, menatap langsung ke mata
Nadia, "kamu tahu, aku sudah lama di bisnis ini. Aku melihat banyak orang
datang dan pergi. Tapi kamu... kamu berbeda." Ia berhenti sejenak,
mengamati reaksi Nadia. "Aku punya tawaran untukmu." Jantung Nadia
berdebar lebih cepat. Tawaran apa? Apakah ia akan dipecat? Apakah ini jebakan
baru? "Malam ini," kata Om Broto, matanya berkilat, "aku ingin
kamu menemaniku. Bukan untuk menari. Hanya... menemaniku." Nadia mengerti
maksudnya. Ketakutan lama merayapi dirinya, bayangan-bayangan masa lalu yang
kelam kembali muncul dan menghantuinya. Namun, ia melihat sesuatu di mata Om
Broto—bukan nafsu semata, melainkan sebuah bentuk kesepian, sebuah keinginan
untuk kebersamaan yang tulus. Selain itu, ada rasa hormat yang aneh. Om Broto
tidak pernah memaksakan apa pun pada para penarinya. Ia selalu bersikap
profesional dan adil. Nadia merasa terjebak, namun juga tertarik pada tawaran
yang misterius ini. Ia sudah berhutang banyak pada Om Broto, pada kesempatan
yang telah diberikan kepadanya. Nadia mengangguk pelan, sebuah isyarat
kepasrahan yang rumit, namun di dalamnya ada sedikit rasa ingin tahu.
Mereka pergi ke sebuah hotel bintang lima
yang tak jauh dari bar. Kamar suite yang mewah, dengan lampu temaram dan
pemandangan kota di malam hari, terasa begitu kontras dengan kengerian yang
akan terjadi di dalamnya. Nadia telah mandi, mengenakan handuk hotel yang
bersih, dan Om Broto menyerahkan sebuah kotak kecil padanya.
"Untukmu," katanya singkat. Nadia membukanya. Di dalamnya ada sebuah lingerie hitam tipis yang sangat seksi dan
elegan, terbuat dari renda halus. Nadia menatapnya, lalu menatap Om Broto.
"Pakai itu," perintah Om Broto, suaranya kembali menjadi nada dominan
yang dulu ia dengar pertama kali. Nadia masuk ke kamar mandi, mengganti
handuknya dengan lingerie itu. Ia menatap pantulannya di cermin. Lingerie itu
membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan setiap lekuk tubuh
femininnya, dan menonjolkan payudaranya
yang besar dan montok dengan indah. Ia tampak seperti wanita sempurna,
kecuali untuk satu rahasia di antara kedua kakinya.
Saat Nadia kembali ke kamar, Om Broto sudah
duduk di tepi ranjang. Matanya menatap Nadia dari ujung rambut hingga ujung
kaki, sebuah pandangan yang lapar namun juga mengagumi kecantikan Nadia. Ia
tersenyum tipis, sebuah senyum yang kini dipenuhi hasrat. "Kemari, Nadia,"
panggilnya, suaranya dalam dan serak. Nadia melangkah mendekat, tubuhnya
gemetar samar, sebuah antisipasi yang bercampur ketakutan. Ia tahu apa yang
akan terjadi. Trauma masa lalu berdesir di benaknya, namun ia memaksakan diri
untuk mematikan perasaannya, membangun dinding pertahanan. Ia membiarkan
dirinya ditarik ke ranjang, tubuhnya terbaring di samping Om Broto. Om Broto
mulai membelai rambut Nadia, perlahan turun ke lehernya, lalu bahunya.
Tangannya yang besar dan kasar terasa kuat namun juga hati-hati. Nadia
memejamkan mata, membiarkan dirinya disentuh, meskipun di dalam hatinya ia
merasakan sebuah jurang. Ia masih membawa luka, dan sentuhan ini, meskipun dari
seseorang yang ia percayai, tetaplah sebuah pengingat akan kerentanannya. "Kamu sangat cantik, Nadia," bisik
Om Broto di telinganya, suaranya dalam dan penuh hasrat yang membara. "Sangat sempurna. Payudaramu ini... indah
sekali." Tangannya mencengkeram payudara Nadia, meremasnya dengan
sedikit kasar, membuat Nadia mendesah pelan, sebuah desahan campuran dari rasa
sakit dan sebuah sensasi aneh yang sudah lama ia kenali. Kemudian, tanpa
peringatan, Om Broto menarik kepala Nadia. "Hisap!" perintahnya
dengan nada dominan yang tak terbantahkan. Nadia tanpa ragu menuruti. Bibirnya
menyelimuti kejantanan Om Broto. Setiap hisapan adalah penyerahan diri, setiap
gerak lidah adalah bagian dari peran yang kini ia mainkan dengan terpaksa. Ia
menghisap dalam-dalam, napasnya memburu. Om Broto mendesah puas, menjambak
rambut Nadia dengan kasar, membuat Nadia mendongak, matanya bertemu dengan
tatapan Om Broto yang penuh gairah dan kekuasaan. "Lebih
dalam, jalang!" geram Om Broto, mendorong kepala Nadia lebih
dalam lagi. Nadia tersedak, namun ia terus melakukannya, hingga Om Broto
mencapai kepuasannya.
Setelah itu, Om Broto membalikkan tubuh
Nadia. Ia mengangkangkan kaki Nadia dengan paksa, tubuh Nadia terbuka
sepenuhnya, rentan di hadapannya. "Kamu
akan merasakan seluruh keberadaanku malam ini," bisik Om Broto,
suaranya dingin dan brutal. Ia meludah sedikit pada anusnya, melumasinya, dan
tanpa ampun, ia menghunjamkan penisnya
ke dalam anus Nadia dengan kasar. Nadia
menjerit kesakitan, sebuah jeritan yang tertahan di kerongkongannya, suaranya
tercekat oleh kepedihan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar hebat di
bawah hunjaman brutal Om Broto. Setiap dorongan adalah siksaan yang tak
terlukiskan, namun Om Broto tak peduli. Ia terus bergerak, cepat dan keras,
mencengkeram pinggul Nadia kuat-kuat. Saat sodomi berlangsung, tangan Om Broto yang lain bermain-main dengan
penis kecil Nadia, mengelusnya, menariknya, seolah mengejek atau mengingatkan
Nadia akan identitas aslinya yang ia sembunyikan. Bersamaan dengan itu, ia menjilati telinga Nadia, membasahinya dengan
ludahnya, dan berbisik dengan suara serak, "Kamu waria yang paling sempurna
dan cantik yang pernah Om lihat." Bisikan itu, yang bercampur
dengan rasa sakit dan kehinaan, menembus hingga ke inti jiwa Nadia, mengukuhkan
dominasi Om Broto atas dirinya. Ia berada dalam genggamannya, sepenuhnya,
bahkan dalam penderitaan ini yang tak berujung. Ketika semua berakhir, Om Broto
ambruk di atas tubuh Nadia, napasnya terengah-engah, tubuhnya puas. Nadia
terbaring diam di bawahnya, tubuhnya sakit, jiwanya terkoyak dan kosong. Malam
itu adalah pengingat brutal bahwa meskipun ia telah menemukan panggung dan
penerimaan, ia tetaplah terbelenggu, dan kekuasaan Om Broto atas dirinya adalah
mutlak, tak terbantahkan.
Keesokan harinya, Nadia terbangun dengan
tubuh pegal dan nyeri yang luar biasa. Om Broto sudah tidak ada di ranjang. Ia
melihat sebuah kunci dan sebuah alamat tergeletak di nakas. Di bawahnya ada
sebuah catatan singkat: "Apartemenmu. Dekat bar. Ini untukmu." Nadia
menatap kunci itu, lalu ke alamat yang tertulis. Itu adalah sebuah apartemen
sederhana, namun bersih, dan nyaman. Lebih dari sekadar kamar kontrakan sempit
yang ia tempati sebelumnya. Itu adalah tempatnya sendiri, sebuah tempat yang
bisa ia sebut rumah, hadiah dari Om Broto. Di sinilah ia akan memulai babak
baru, dengan luka yang tak akan pernah sembuh, namun dengan panggung dan
identitas baru yang kini ia rangkul, di bawah bayang-bayang dominasi seorang
pria yang kini menjadi pelindungnya. Ia adalah Nadia Elmina, penari waria, dan
ia akan terus menari, di atas panggung dan di dalam kehidupannya yang rumit,
mencari makna di tengah kekosongan.
Perjalanan Nadia masih panjang, penuh
dengan ketidakpastian. Dunia malam yang kini menjadi rumahnya menawarkan cahaya
dan kegelapan secara bersamaan. Ia telah kehilangan begitu banyak, tetapi di
antara gemerlap lampu dan alunan musik, ia menemukan secercah keberadaan.
Trauma mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi ia belajar
bagaimana menyalurkannya ke dalam gerakannya di atas panggung, mengubah rasa
sakit menjadi seni. Ia bukan lagi Nadia yang sama, gadis rapuh yang
terperangkap dalam ketakutan. Ia adalah Nadia Elmina, sosok yang lebih tangguh,
lebih memahami diri, meski dengan cara yang pahit. Di kota besar ini, di antara
komunitas waria yang menerimanya, dan di bawah pengaruh Om Broto yang kompleks,
Nadia terus beradaptasi, mencari tempatnya, seolah menari di tepi jurang,
antara kehancuran dan harapan. Malam-malam di bar menjadi kanvas bagi ekspresinya,
tempat ia bisa menjadi diri sendiri, atau setidaknya, versi dirinya yang paling
jujur. Kisahnya terus bergulir, sebuah simfoni perjuangan, penerimaan, dan
ketahanan di tengah kerasnya dunia.
Bersambung
Ke Season 2 Riasan Mawar Elmina

Tidak ada komentar:
Posting Komentar