Malang, dengan udaranya yang sejuk dan lanskap perbukitan yang hijau subur, adalah kota yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk metropolis besar seperti Jakarta atau Singapura.
Ia dikenal sebagai "Kota Bunga," namun bahkan di sudut kota yang damai ini, di balik kesibukan pasar tradisional dan aroma kopi yang menyeruak dari kafe-kafe modern, ambisi dan hasrat manusia berdenyut tak kasat mata, membentuk jalinan takdir yang tak terduga.
Di sebuah toko kelontong besar yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari, dari bahan makanan pokok hingga peralatan rumah tangga, berdirilah Andri. Pemuda berusia dua puluh tahun itu memiliki rupa yang jauh di atas rata-rata.
Kulitnya putih bersih nyaris pucat, matanya lentik dengan bulu mata panjang yang melengkung indah, hidungnya mancung dan simetris, dan bibirnya penuh kemerahan alami. Ada aura kelembutan yang terpancar dari wajahnya, membuatnya tampak lebih seperti seorang pangeran dongeng yang tersesat, daripada seorang karyawan toko yang sibuk menyusun barang. Seringkali, para pelanggan wanita akan meliriknya lebih dari sekali, beberapa bahkan berusaha mencuri pandang dan mencari-cari alasan untuk berinteraksi dengannya.
Namun Andri, yang terbiasa dengan pujian akan parasnya, tidak terlalu mempedulikannya. Hatinya jauh lebih fokus pada bagaimana bertahan hidup.
Andri baru bekerja di toko milik Bos Aheng selama tiga bulan. Ia adalah seorang yatim piatu, tidak punya keluarga dekat yang bisa ia andalkan. Orang tuanya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan saat ia masih kecil, meninggalkan ia sendirian di bawah asuhan panti asuhan hingga ia mandiri.
Sejak lulus SMA, ia nekat merantau ke Malang dengan harapan menemukan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Namun, kenyataan jauh lebih pahit. Gajinya sebagai karyawan toko memang cukup untuk makan dan sewa kamar kos kecil yang pengap di gang sempit, namun jauh dari kata nyaman. Hidupnya penuh dengan perjuangan, kesendirian yang menusuk, dan impian akan kemapanan yang terasa begitu jauh.
Setiap malam, setelah lelah bekerja, ia akan kembali ke kamar kosnya yang sunyi, memandangi langit-langit yang kusam, dan bertanya-tanya apakah ada jalan keluar dari semua ini.
Bos Aheng, seorang pria paruh baya keturunan Tionghoa yang usianya sudah menginjak kepala lima, adalah pemilik toko itu. Tubuhnya sedikit gemuk, rambutnya mulai menipis, namun matanya yang sipit selalu tajam, penuh perhitungan, dan mengamati segalanya. Bos Aheng adalah seorang pengusaha sukses, namun ia juga memiliki sisi lain yang tersembunyi, sebuah fantasi dan orientasi yang berbeda dari kebanyakan pria.
Bos Aheng menyukai "pria cantik", pria yang memiliki fitur feminin, dan ia sangat terpesona pada waria. Baginya, ada keindahan tersendiri dalam transisi dan perwujudan identitas feminin seorang pria. Sejak pertama kali melihat Andri saat wawancara kerja, Bos Aheng sudah merasakan ketertarikan yang aneh, sebuah gairah tersembunyi yang langsung bangkit. Kecantikan alami Andri, ditambah dengan kerentanan dan kepolosan yang terpancar dari sorot matanya, membuat Bos Aheng yakin bahwa Andri adalah perwujudan sempurna dari fantasinya, seorang kanvas kosong yang siap ia lukis.
Awalnya, Bos Aheng hanya mengamati Andri dari jauh, puas dengan sekadar melihatnya bekerja. Kemudian, ia mulai mencari-cari alasan untuk berinteraksi lebih sering. Ia memuji kinerja Andri, memberikan tugas-tugas khusus yang membuat mereka berdua harus berada di ruangan yang sama, dan sesekali mengajaknya berbincang santai di sela-sela jam kerja. Bos Aheng akan bertanya tentang latar belakang Andri, tentang mimpinya, tentang kesendiriannya. Andri, yang polos dan lugu, tidak menyadari maksud tersembunyi Bos Aheng. Ia hanya bersyukur memiliki bos yang baik dan perhatian, seorang figur kebapakan yang selama ini tidak pernah ia miliki. Ia merasa sedikit nyaman dengan perhatian ini, meskipun ada getaran aneh yang ia tak mengerti.
Suatu siang, saat toko sudah sepi menjelang tutup, Bos Aheng mengajak Andri makan siang. Bukan di warung biasa, melainkan di sebuah restoran seafood yang cukup mewah di pusat kota Malang, dengan interior modern dan hidangan laut segar. Andri merasa sedikit canggung, ia belum pernah makan di tempat semewah itu sebelumnya. Bos Aheng berbicara tentang bisnis, tentang masa depannya, dan sesekali melontarkan pujian tentang penampilan Andri. "Kamu ini, Andri, punya wajah yang bisa bikin orang betah melihatnya. Cocok jadi bintang film," katanya sambil tersenyum tipis, membuat Andri tersipu malu.
Andri hanya tersenyum kaku, tidak mengerti mengapa Bos Aheng begitu baik padanya, namun ia merasakan kehangatan yang asing.
Setelah makan siang, Bos Aheng membawa Andri ke sebuah kafe yang lebih tenang, di sudut kota yang rindang. Aroma kopi yang baru diseduh dan buku-buku lama memenuhi udara. Ia memesankan kopi, lalu menatap Andri dengan tatapan serius, tatapan yang membuat jantung Andri berdebar kencang. "Andri," katanya, suaranya tenang namun penuh otoritas, "saya ingin bicara serius dengan kamu. Ini tentang masa depan kamu, dan juga... tentang fantasi saya."
Andri mengangguk, menelan ludah. Ia khawatir akan dipecat, atau diberi tugas berat yang tidak mampu ia lakukan.
"Saya sudah mengamati kamu selama ini," lanjut Bos Aheng, matanya menatap lekat-lekat mata Andri, seolah ingin membaca setiap pikiran di benak Andri. "Kamu pemuda yang baik, pekerja keras, jujur, dan... sangat cantik. Kamu tahu, saya punya fantasi tertentu. Saya sangat tertarik pada pria yang memiliki kecantikan sepertimu, dan saya sangat suka waria. Bagi saya, ada kekuatan dan keindahan yang luar biasa dalam transformasi itu."
Andri terdiam, napasnya tertahan. Ia merasa syok, sedikit takut, namun juga ada rasa penasipasi yang aneh, sebuah benih yang mulai ditanamkan. Ia tidak pernah membayangkan bosnya memiliki ketertarikan seperti itu, atau bahwa dirinya akan menjadi objek ketertarikan semacam itu.
Bos Aheng melanjutkan, suaranya kini lebih lembut, seolah ingin meyakinkan Andri, menyentuh sisi rentan Andri. "Saya melihat potensi besar dalam diri kamu, Andri. Kamu punya 'bibit' untuk menjadi waria yang luar biasa, seorang wanita yang mempesona. Dan saya ingin mewujudkannya." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya penuh gairah.
"Maksud Bos...?" Andri memberanikan diri bertanya, suaranya nyaris berbisik, tenggorokannya tercekat.
"Begini," Bos Aheng mencondongkan tubuhnya lebih dekat, suaranya kini hanya terdengar oleh Andri. "Saya akan membiayai semua kebutuhan kamu. Bukan hanya gaji toko yang biasa kamu terima, tapi semua. Sewa apartemen yang lebih bagus, makanan enak setiap hari, pakaian-pakaian mewah, make-up terbaik, perawatan tubuh, bahkan suntik hormon jika kamu mau untuk membentuk tubuhmu agar lebih feminin. Apapun yang kamu butuhkan untuk hidup nyaman dan mengubah dirimu. Saya akan mencarikan kamu kontrakan yang privat, yang bisa kamu jadikan 'sarang' kamu sendiri, tempat kamu bisa sepenuhnya menjadi waria, menjadi dirimu yang sejati, tanpa ada yang tahu."
Jeda sejenak. Mata Bos Aheng menatap mata Andri, mencari respons. Andri merasakan panas menjalar di wajahnya. Pikiran-pikiran berlomba-lomba di benaknya: kemiskinan, kesepian, lalu gambaran kemewahan, kebebasan, dan sebuah identitas baru yang entah mengapa terasa memanggil. "Sebagai gantinya," lanjut Bos Aheng, dengan suara yang sedikit lebih tegas, "saya ingin kamu menjadi waria simpanan saya. Kamu akan memenuhi fantasi saya, menjadi wanita pribadi saya. Hanya saya. Kamu akan ada untuk saya, kapanpun saya menginginkan kamu. Kamu akan berdandan sebagai waria hanya untuk saya, dan melayani saya dengan sepenuh hati."
Andri merasa seluruh dunia berputar, antara kegembiraan dan kecemasan. Tawaran itu begitu mengejutkan, begitu di luar nalar. Namun, di sisi lain, ia adalah seorang yatim piatu, sebatang kara, hidup dalam kemiskinan dan kesendirian yang mencekik. Tawaran Bos Aheng adalah kesempatan untuk keluar dari penderitaan itu, sebuah jalan pintas menuju kenyamanan dan kemewahan yang belum pernah ia rasakan. Pikiran tentang menjadi seorang waria, berdandan layaknya wanita, meskipun awalnya menakutkan, ternyata juga memicu rasa penasaran yang aneh.
Sejak kecil, ia memang sering dipuji karena wajahnya yang cantik, dan terkadang ia diam-diam membayangkan bagaimana rasanya berdandan seperti wanita, bagaimana rasanya menjadi pusat perhatian karena kecantikannya yang berbeda. Mungkin ini adalah takdirnya. Mungkin ini adalah cara semesta menunjukkan jalan baginya.
Setelah terdiam cukup lama, mempertimbangkan setiap pro dan kontra, setiap risiko dan janji, Andri akhirnya menghela napas. Ia menatap Bos Aheng, melihat keseriusan dan gairah di mata pria itu, namun juga rasa pengertian yang samar. Dengan segala pertimbangan, termasuk kenyataan pahit hidupnya yang sebatang kara dan yatim piatu, Andri akhirnya mengangguk pelan, sebuah keputusan besar yang akan mengubah seluruh hidupnya. "Baik, Bos Aheng," katanya, suaranya pelan namun mantap, sebuah tekad yang tiba-tiba muncul. "Saya setuju. Saya akan menjadi waria simpanan Bos. Saya akan melayani Bos sebaik mungkin."
Senyum kemenangan terukir di bibir Bos Aheng. Ia mengulurkan tangannya, dan Andri menjabatnya. Jabat tangan itu terasa seperti sebuah sumpah, sebuah perjanjian yang mengikat dua jiwa dalam fantasi dan kebutuhan. Sejak saat itu, hidup Andri berubah drastis, memasuki babak baru yang tak pernah ia bayangkan.
Tiga minggu kemudian, Andri sudah pindah ke sebuah apartemen mewah di pusat kota Malang, dengan pemandangan kota yang menakjubkan dari jendelanya yang lebar. Apartemen itu dibayar penuh oleh Bos Aheng, lengkap dengan segala perabotan dan kebutuhan sehari-hari yang paling mewah. Lemarinya kini penuh dengan pakaian-pakaian wanita yang cantik, lingerie sutra halus, sepatu hak tinggi dari desainer ternama, dan deretan make-up dari merek-merek ternama yang dulu hanya bisa ia lihat di majalah. Bos Aheng bahkan membimbingnya untuk menemukan pelatih pribadi yang bisa membantunya membentuk tubuh agar lebih feminin, dan penata rias profesional yang mengajarinya trik-trik kecantikan tingkat lanjut, dari teknik contouring hingga seni memasang wig dengan sempurna.
Andri kini menghabiskan hari-harinya mempelajari seni menjadi waria. Ia berlatih berjalan dengan anggun menggunakan sepatu hak tinggi di atas karpet tebal apartemennya, mempelajari berbagai gaya rambut wig yang berbeda, dan menyempurnakan teknik rias wajahnya hingga ia bisa melakukannya sendiri dengan mahir. Setiap transformasi dari Andri menjadi 'Andira' – nama waria yang ia pilih, terdengar lembut dan eksotis, merepresentasikan bunga yang indah – adalah sebuah ritual yang penuh makna. Andira adalah sisi dirinya yang baru, yang bebas, yang berani, yang diperbolehkan untuk berekspresi sepenuhnya tanpa rasa takut atau malu. Rasa gairah yang ia temukan dalam proses ini, gairah untuk menjadi objek hasrat, untuk menjadi wanita yang diinginkan, perlahan-lahan mulai tumbuh dan menguasai dirinya. Ia menyadari bahwa di balik penampilannya yang lugu, ia juga memiliki hasrat terpendam untuk menjelajahi sisi femininnya secara intim, untuk merasakan sensasi didominasi dan dipuja.
Ia sering menghabiskan berjam-jam di depan cermin, mengagumi perubahannya. Ia menyentuh kulitnya yang kini lebih lembut karena perawatan, membelai rambut palsunya yang panjang, dan tersenyum pada bibir merahnya yang penuh. Ia mulai merasakan tubuhnya sendiri dengan cara yang baru, sebuah tubuh yang kini menjadi alat untuk memuaskan orang lain dan juga dirinya sendiri.
Malam itu, adalah malam pertama Andri sepenuhnya menjadi Andira untuk Bos Aheng, di apartemen barunya yang temaram. Andira sudah berdandan dengan sempurna sejak sore hari, menikmati setiap detiknya. Ia memilih gaun malam berwarna merah burgundy yang panjang dan berpotongan tinggi di satu sisi, memperlihatkan kakinya yang jenjang dan ber-stocking jaring hitam tipis yang sensual. Rambut palsu panjang bergelombang berwarna hitam terurai indah di punggungnya, dan make-up di wajahnya tampak sempurna: smoky eyes yang dramatis, blush on yang merona indah di tulang pipi, dan lipstik merah tua yang sensual. Di kakinya, ia mengenakan heels hitam berujung runcing yang membuat kakinya terlihat lebih panjang dan lentik.
Ia menunggu di sofa kulit hitam yang mewah, jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut lagi, melainkan karena antisipasi yang membakar dan gairah yang membuncah. Lampu-lampu dihidupkan remang-remang, lilin aroma terapi beraroma jasmine dan sandalwood memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan eksotis. Musik jazz lembut mengalun dari speaker, menambah nuansa sensual pada udara.
Bel pintu berdering, memecah kesunyian. Andira menarik napas dalam-dalam, mengatur detak jantungnya, lalu bangkit dan berjalan anggun ke pintu. Setiap langkah kakinya terasa yakin, penuh percaya diri. Ia membukanya, dan Bos Aheng berdiri di sana, mengenakan kemeja batik sutra mahal berwarna gelap dan celana bahan yang rapi. Matanya menatap Andira dari ujung kaki hingga ujung kepala, tatapan yang penuh kekaguman, hasrat, dan rasa memiliki.
"Selamat malam, Andira," sapa Bos Aheng, suaranya rendah dan penuh gairah, seolah ia sedang menyapa seorang ratu. Ia melangkah masuk, mengamati setiap detail apartemen baru Andri, lalu kembali menatap Andira. "Kamu tampak... sempurna. Lebih dari yang saya bayangkan. Ini adalah malam yang saya tunggu-tunggu."
Andira tersipu, rona merah menjalar di pipinya, namun ia menatap Bos Aheng dengan mata penuh hasrat. "Terima kasih, Bos Aheng. Saya sudah menunggu Bos."
Bos Aheng mengangguk. Ia berjalan mendekati Andira, tangannya yang gemuk namun lembut meraih tangan Andira, dan mengusapnya perlahan. Sentuhan itu terasa hangat, memancarkan listrik ke seluruh tubuh Andira. "Kamu tahu, Andira, saya punya gaya main sendiri. Ini bukan hanya tentang memuaskan hasrat. Ini tentang ritual, tentang penyerahan. Saya suka waria yang patuh, yang tahu bagaimana memuaskan saya, dan yang menikmati setiap sentuhan saya. Saya akan mendominasi, dan kamu akan menyerah. Apakah kamu siap untuk itu?"
Andira menatap mata Bos Aheng. Ada sedikit ketakutan, namun lebih besar adalah rasa penasaran dan gairah. Ia mengangguk pelan, bibirnya tersenyum sensual. "Saya siap, Bos Aheng. Saya akan melayani Bos. Saya ingin menjadi milik Bos sepenuhnya."
Bos Aheng tersenyum puas, senyum yang memancarkan kepuasan. "Bagus. Sekarang, mari kita mulai ritual kita."
Ia menarik Andira ke tengah ruangan, di mana ada sebuah karpet bulu tebal berwarna beige yang sangat lembut. Bos Aheng lalu duduk di sebuah kursi tunggal yang sudah ia bawa khusus, kursi yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran naga yang rumit di sandarannya, tampak seperti singgasana. Ia menunjuk ke lantai di depannya. "Duduklah di hadapan saya, Andira. Berlutut. Tunjukkan rasa hormatmu pada tuanmu."
Andira patuh. Dengan gaun panjangnya yang menjuntai, ia berlutut di hadapan Bos Aheng, matanya sedikit menunduk. Ia mendongak, menatap mata Bos Aheng yang kini memancarkan otoritas penuh. Ada aura dominasi yang jelas terpancar dari pria itu, sebuah aura yang memicu gairah aneh dalam diri Andira, sebuah keinginan untuk menyerahkan diri sepenuhnya.
Bos Aheng tersenyum, lalu mengangkat dagu Andira dengan jari telunjuknya yang gemuk. Ia mengamati wajah Andira, setiap detail make-up dan ekspresinya. "Kamu sangat cantik, Andira. Wajahmu, tubuhmu... semua adalah fantasi saya yang menjadi nyata. Malam ini, kamu adalah milik saya sepenuhnya. Setiap inci tubuhmu akan merasakan sentuhan saya."
Ia mulai menciumi leher Andira, ciumannya basah dan dalam, membuat Andira menggeliat dan merinding. Bibirnya bergerak ke atas, ke telinga Andira, menjilat daun telinganya. "Saya suka suara rintihanmu, Andira. Jangan ragu untuk bersuara." Tangan Bos Aheng bergerak perlahan, membuka kancing gaun Andira di bagian belakang, lalu menarik ritsletingnya ke bawah. Ia menarik gaun itu perlahan dari bahu Andira, membiarkannya meluncur ke bawah, jatuh di lantai, meninggalkan jejak kain sutra yang menumpuk di sekitar lutut Andira. Kini, Andira hanya mengenakan lingerie sutra berwarna hitam, transparan di beberapa bagian, memperlihatkan tubuhnya yang ramping.
Bos Aheng menatap tubuh Andira, matanya penuh hasrat, napasnya memburu. "Lepaskan semuanya, Andira. Saya ingin melihat keindahanmu tanpa terhalang. Saya ingin kamu telanjang sepenuhnya, patuh di hadapan saya."
Andira menurut. Dengan tangan gemetar, ia melepas bra dan celana dalam sutranya. Ia kini benar-benar telanjang di hadapan Bos Aheng, berlutut, dengan jantung berdebar kencang. Ada rasa malu yang sedikit tersisa, namun lebih besar adalah rasa bangga dan kepuasan karena bisa memenuhi fantasi Bos Aheng, dan menemukan kepuasan dalam prosesnya.
Bos Aheng lalu menyuruh Andira berbalik, memposisikannya agar Andira berlutut membelakanginya, dengan pantat sedikit terangkat, menawarkan lubang anusnya. "Saya suka pemandangan ini, Andira," bisik Bos Aheng, suaranya serak, matanya menatap tajam ke arah pantat Andira. "Saya suka tubuhmu yang patuh. Tubuhmu yang sempurna ini akan saya isi."
Ia mengambil sebotol minyak pijat custom-made beraroma cendana yang kuat dan eksotis. Ia menuangkannya di telapak tangannya yang besar, menghangatkannya dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lalu dengan lembut mengoleskannya ke seluruh punggung bawah Andira, hingga ke pantatnya, memijatnya perlahan dengan tekanan yang pas. Minyak itu terasa hangat dan licin di kulit Andira, sentuhan itu terasa luar biasa, membuat Andira mengerang pelan, melengkungkan punggungnya. Aroma cendana yang kuat memenuhi ruangan, menambah suasana sensual yang kental.
"Saya suka memanjakan milik saya," bisik Bos Aheng, jemarinya terus memijat pantat Andira, meremasnya lembut, lalu turun ke pangkal pahanya, mengelus perlahan senjata Andira dari belakang. Andira merasakan denyutan kuat di sana, gairah memuncak, tubuhnya menegang. Sentuhan itu memicu gelombang panas yang menjalar.
Bos Aheng kemudian membalikkan Andira, menyuruhnya berbaring telentang di karpet, kakinya sedikit terentang. Ia merangkak di atas Andira, tubuhnya yang gemuk menindih tubuh Andira yang ramping dengan lembut. Ia menciumi bibir Andira lagi, ciuman yang kini lebih dalam dan menuntut. Lidahnya menjelajahi setiap sudut mulut Andira, menghisapnya dengan rakus. Tangan Bos Aheng bergerak ke bawah, membelai paha dalam Andira, lalu mengusap-usap lembut senjata Andira.
"Kamu sudah basah, Andira," bisik Bos Aheng, suaranya serak. Ia memberikan sentilan lembut pada kepala senjata Andira, lalu mengurutnya perlahan, membuat Andira mengerang keras. "Ini baru pemanasan, sayang. Sebentar lagi, kamu akan merasakan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang akan membuatmu melayang."
Bos Aheng lalu bangkit sedikit, menggeser tubuhnya ke bawah, memposisikan dirinya di antara kedua kaki Andira yang terentang. Ia mengambil sebotol pelumas khusus yang berwarna bening, beraroma mint yang menyegarkan. Ia menuangkannya cukup banyak di jari-jarinya lalu dengan lembut dan merata melumasi lubang anal Andira. Sentuhan itu terasa dingin, licin, dan memicu sensasi geli yang aneh namun sangat sensual. Andira mencoba rileks, membiarkan otot-ototnya mengendur, napasnya diatur agar tidak tegang. Ia tahu ini akan menjadi pengalaman yang berbeda, sebuah penyerahan yang total.
"Sekarang, saya akan memberikan kamu sensasi yang paling kamu inginkan, Andira," bisik Bos Aheng, suaranya rendah dan penuh kuasa, sebuah perintah yang Andira patuhi sepenuh hati. "Kamu akan menjadi milik saya sepenuhnya. Rasakan setiap sentimeter saya masuk ke dalammu."
Andira mengangguk, matanya terpejam erat. Ia merasakan senjata kejantanan Bos Aheng yang sudah ereksi menyentuh lubang anusnya. Ujungnya terasa besar dan menekan, sebuah gumpalan yang siap untuk masuk. Dengan perlahan, Bos Aheng mulai mendorong.
Dan rasa sakit itu datang menghantam.
Bukan hanya tekanan atau ketidaknyamanan biasa, melainkan rasa sakit yang tajam dan menusuk. Andira menjerit kecil, tubuhnya menegang hebat, seluruh ototnya mengencang secara refleks. Ia merasakan sensasi robek yang perih, air mata langsung menggenang di pelupuk matanya, panas dan pedih. Itu adalah rasa sakit perawan anal yang sesungguhnya.
"AHHH! Sakit, Om! Sakit sekali!" Andira merintih histeris, air matanya tumpah ruah membasahi pipinya yang ber-makeup. Ia mencengkeram karpet dengan erat, kakinya menendang-nendang pelan ke udara. Tubuhnya bergetar tak terkendali, bukan karena gairah, melainkan karena rasa sakit yang luar biasa. Ia merasa seperti ada sesuatu yang dipaksa masuk ke dalam dirinya, merobek batas-batas yang belum pernah tersentuh. "Tolong... sakit... Om..."
Bos Aheng berhenti. Ia melihat wajah Andira yang kini pucat pasi di balik make-up, air mata yang mengalir merusak riasannya. Ada ekspresi kasihan sejenak di wajahnya, namun gairah di matanya tidak padam. Justru ada kilatan kepuasan samar, seolah rasa sakit Andira adalah bagian dari "ritual" yang ia harapkan, bukti dari keprawanan anal yang ia dambakan. Ia tahu ini akan menyakitkan bagi Andira, dan ia siap untuk itu.
"Tahan, Andira," bisik Bos Aheng, suaranya kini lebih dingin dan dominan, namun tidak kasar. "Ini bagian dari penyerahanmu. Kamu adalah milikku sekarang. Rasa sakit ini akan berlalu. Bernapaslah. Jangan melawan." Ia mengelus lembut paha dalam Andira, memberikan sentuhan yang seharusnya menenangkan, namun Andira terlalu histeris untuk merasakannya.
"Tidak... tidak bisa... sakit..." Andira terus menangis, suaranya tercekat. Setiap napas terasa berat, setiap otot di tubuhnya menjerit. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menghindar, namun posisi mereka membuatnya tak berdaya.
Bos Aheng menunggu sejenak, membiarkan Andira berjuang dengan rasa sakitnya, mengamati setiap gejolak di tubuh Andira. Ia mengeluarkan desahan panjang, lalu, dengan satu dorongan yang tegas namun tidak terburu-buru, ia mendorong senjata kejantanannya lebih dalam lagi, menembus batasan Andira.
"AAAAAAAHHHHHHH!" Andira menjerit histeris. Kepalanya terangkat dari karpet, matanya terbuka lebar, penuh air mata dan rasa sakit. Ia menangis terisak-isak, air liur dan make-up luntur bercampur di wajahnya. Ini adalah rasa sakit yang belum pernah ia bayangkan. Tubuhnya menegang keras, punggungnya melengkung secara ekstrem.
Bos Aheng menahan diri. Ia tidak bergerak. Ia membiarkan senjata kejantanannya berada di dalam Andira, sepenuhnya menusuk masuk, sementara Andira histeris menahan sakit. Ia menunggu. "Bernapas, Andira. Bernapas. Rasakan saya di dalammu. Ini adalah takdirmu. Milikku." Suaranya menguasai, sebuah perintah yang Andira, meski kesakitan, akhirnya mulai patuhi.
Perlahan, sangat perlahan, rasa sakit yang menusuk mulai mereda, digantikan oleh rasa penuh yang intens. Andira masih terisak, namun getaran di tubuhnya mulai berkurang. Ia merasakan senjata kejantanan Bos Aheng yang besar memenuhi dirinya, meregangkan lubangnya hingga terasa akan pecah, namun tidak lagi perih.
Bos Aheng mulai bergerak. Sangat pelan, sangat hati-hati, ia menggerakkan pinggulnya, maju mundur dalam gerakan kecil. Setiap gerakan memicu rasa perih yang samar, namun kali ini, rasa sakit itu bercampur dengan sensasi baru. Sebuah sensasi peregangan yang aneh, dan kemudian, sedikit demi sedikit, percikan kenikmatan mulai muncul.
Andira masih terisak, namun rintihannya kini berubah. Dari rintihan kesakitan, menjadi rintihan yang bercampur antara sakit dan... gairah. Ia tidak bisa menyangkalnya. Sensasi penuh itu, tekanan yang dalam, perlahan-lahan mulai mengubah rasa sakit menjadi sesuatu yang anehnya memuaskan.
Bos Aheng menyadari perubahan itu. Ia tersenyum tipis. "Lihat, sayang? Saya tahu kamu akan menyukainya. Ini adalah kenikmatan yang berbeda. Kenikmatan penyerahan." Ia mulai menambah sedikit kecepatan, gerakannya lebih mantap.
Andira mulai memejamkan mata, membiarkan sensasi itu menguasainya. Ia masih merasakan sisa perih, namun setiap dorongan Bos Aheng kini terasa lebih dalam, lebih memuaskan. Lubangnya yang awalnya begitu perawan dan kaku, kini mulai melunak, beradaptasi dengan ukuran Bos Aheng. Gairah yang selama ini ia pendam, gairah untuk didominasi, untuk menjadi waria yang sepenuhnya diisi, mulai bangkit dari dalam dirinya. Ia merasakan panas menjalar di sekujur tubuhnya.
Bos Aheng terus bergerak, iramanya semakin cepat dan kuat. Ia menghujam Andira dengan dorongan yang semakin dalam dan penuh kuasa. Ia menciumi punggung Andira, lalu bahunya, merasakan tubuh Andira yang kini menggeliat karena gairah, bukan lagi karena sakit. "Kamu sangat indah, Andira. Sangat enak," bisik Bos Aheng, suaranya serak karena gairah. "Kamu adalah milikku. Nikmati ini, sayang. Nikmati setiap tetesnya." Ia mencengkeram pinggul Andira, memastikan setiap dorongan mengenai sasaran, menguasai Andira sepenuhnya dengan gerakan ritmis yang kuat.
Andira mengerang lebih hebat, suaranya kini penuh desahan nikmat. Ia mencengkeram karpet berbulu tebal dengan erat, punggungnya melengkung, dan ia merasakan seluruh tubuhnya menegang, seolah akan mencapai klimaks kapan saja. Sensasi itu begitu kuat, begitu memabukkan, membawa Andira ke puncak kenikmatan yang belum pernah ia rasakan, sebuah perwujudan dari semua gairah yang selama ini ia pendam sebagai waria. Ia merasakan denyutan di seluruh tubuhnya, otot-ototnya menegang dan melonggar dalam rentetan orgasme yang tak putus-putus, sebuah pelepasan yang dahsyat setelah rasa sakit yang mencekam.
"Ahhh... Om... OMMMMHHH!" Andira menjeritkan nama Bos Aheng saat ia mencapai puncaknya, sebuah jeritan yang kini penuh pelepasan dan kepuasan yang mendalam. Tubuhnya menegang, bergetar hebat, lalu melonggar dalam kepuasan yang mendalam dan memuaskan. Sensasi meluap-luap yang tak terlukiskan, seperti ledakan kembang api di dalam dirinya. Tak lama kemudian, Bos Aheng juga mencapai klimaksnya, mengeluarkan desahan panjang dan ambruk di atas tubuh Andira yang lemas, berat namun nyaman, detak jantung mereka berdua berpacu dalam irama yang sama.
Mereka berdua terbaring berpelukan di karpet, napas mereka terengah-engah, aroma cendana, keringat, dan gairah memenuhi ruangan, sebuah saksi bisu atas keintiman yang baru saja mereka bagi. Andira merasa lelah, namun ada kepuasan yang luar biasa menyelimuti dirinya, sebuah perasaan lengkap yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Malam pertamanya sebagai waria simpanan Bos Aheng, yang ia bayangkan akan penuh dengan kecanggungan dan ketidaknyamanan, dan ternyata juga rasa sakit, akhirnya berakhir dengan ledakan gairah yang mengejutkan dan memuaskan. Ia telah menemukan sebuah dimensi baru dalam dirinya, sebuah gairah yang ia nikmati sepenuhnya, dan sebuah penerimaan yang tak pernah ia sangka.
Bos Aheng bangkit perlahan, lalu membantu Andira duduk. Ia memakaikan jubah sutra yang sudah ia siapkan di dekatnya ke tubuh Andira, lalu mencium keningnya dengan lembut. "Kamu luar biasa, Andira. Saya tahu saya tidak salah memilih kamu. Kamu memang ditakdirkan untuk ini. Rasa sakit itu, itu adalah bagian dari baptisanmu, sayang. Sekarang, kamu benar-benar milikku."
Andira tersenyum tipis, matanya masih berkaca-kaca karena gairah dan emosi yang meluap, namun kini tanpa air mata kesakitan. Ia menatap Bos Aheng, merasakan ikatan aneh yang baru saja tercipta di antara mereka, bukan hanya sebatas bos dan karyawan, atau simpanan, tapi juga sebagai dua jiwa yang berbagi keintiman paling dalam, yang saling mengerti dan memenuhi fantasi.
"Terima kasih, Bos Aheng," bisik Andira, suaranya serak karena emosi. "Terima kasih untuk semuanya. Untuk hidup baru ini. Untuk menerima saya apa adanya... dan bahkan lebih. Saya... saya menyukainya, Om. Saya suka menjadi milik Om."
Mereka berdua menghabiskan sisa malam itu dalam pelukan, berbicara tentang perasaan mereka, tentang masa depan Andira, dan tentang bagaimana hubungan "simpanan" ini akan berkembang. Bos Aheng berjanji akan selalu menyediakan yang terbaik untuk Andira, dan Andira berjanji akan selalu melayani Bos Aheng dengan sepenuh hati, karena ia telah menemukan gairah dan kepuasan dalam peran barunya ini.
Andri merasa seperti sebuah babak baru telah dimulai dalam hidupnya. Ia telah menemukan tidak hanya kenyamanan finansial, tetapi juga sebuah jalan untuk mengekspresikan jati dirinya yang tersembunyi, gairah yang ia miliki, dan penerimaan yang ia cari. Andri, si pemuda yatim piatu dari Malang, kini telah menemukan kebebasannya dalam diri Andira, yang berani dan sensual. Dan dalam dekapan Bos Aheng, ia tahu ia tidak akan pernah sendirian dalam perjalanan ini. Menjadi simpanan Bos Aheng, ternyata adalah penculikan jiwanya menuju kebebasan yang ia dambakan. Ini adalah kisah tentang pilihan, penerimaan diri, gairah, keberanian menjadi diri sendiri, dan cinta yang tak terduga di tengah ekspektasi dunia. Sebuah kehidupan baru telah menantinya di kota Malang, sebuah kehidupan yang ia pilih dan jalani dengan sepenuh hati dan gairah.

Semangat terus
BalasHapusmaksih suportnya
BalasHapus