Jumat, 18 Juli 2025

Lelaki Bernama Bunga

 



Senja di Ubud selalu menawarkan kedamaian yang khas, sebuah lukisan alam yang tak pernah gagal menenangkan jiwa. Cahaya keemasan memantul dari hijaunya sawah yang berundak, menciptakan gradasi warna yang memukau dari kuning cerah hingga hijau pekat. Suara jangkrik mulai bersahutan, perlahan menguasai melodi alam yang sebelumnya didominasi oleh kicauan burung. Aroma dupa dari pelaturan rumah penduduk menyeruak di udara yang hangat, berpadu dengan wangi tanah basah setelah hujan sore yang baru saja reda. Di sebuah bale-bale bambu di depan rumahnya, Dika duduk, tangannya yang biasanya cekatan memahat kini terasa kaku, dingin seolah tak punya kekuatan. Di pangkuannya tergeletak sepotong kayu sandelwood yang seharusnya sudah menjadi wujud Garuda gagah perkasa, dengan ukiran detail yang rumit pada sayap dan mahkotanya, namun malam ini, kayu itu hanya diam membisu, tak tersentuh, tak terukir. Pikirannya kalut, benaknya dipenuhi kekhawatiran yang tak berujung, matanya nanar menatap siluet Gunung Agung yang menjulang megah di kejauhan, seolah mencari jawaban dari gunung suci itu.

Dika adalah seorang pemuda Bali berusia dua puluh dua tahun, namun penampilannya seringkali menipu usia dan gendernya. Tubuhnya secara alami ramping dan sangat lentur, memiliki kelenturan seorang penari, bukan kekakuan seorang pekerja keras. Kulitnya halus seolah tak pernah tersentuh pekerjaan kasar di bawah terik matahari, dan wajahnya sangat cantik, dengan garis rahang yang lembut, tulang pipi yang tinggi, mata besar yang ekspresif seperti mata rusa betina, dan bibir penuh yang selalu tampak merah alami. Rambutnya lurus dan lembut, biasa ia biarkan sedikit gondrong menutupi tengkuknya, menambah kesan anggun pada dirinya. Aura maskulin hampir tidak ada pada dirinya, seringkali ia disalahpahami sebagai perempuan saat masih kecil, sebuah candaan yang dulu selalu ia tepis dengan raut kesal dan rasa malu yang mendalam. Ia bukan atletis dengan otot-otot menonjol, melainkan luwes dan memiliki gerak tubuh yang lembut, seolah ia menari saat berjalan, bahkan ketika ia sedang melakukan pekerjaan pria. Sentuhan pahat kayu adalah satu-satunya hal yang mengingatkannya pada kekasaran dunia pria, namun bahkan sentuhan itu pun ia lakukan dengan kelembutan seorang seniman, menciptakan detail-detail yang presisi dan anggun. Ia mengikuti jejak sang ayah yang telah tiada, menjadikan seni ukir bukan hanya pekerjaan baginya, namun juga warisan turun temurun, sebuah cara ia terhubung dengan leluhur dan tradisi luhur Pulau Dewata. Setiap pahatan adalah doa, setiap lekukan adalah cerita tentang dewa-dewi dan ajaran dharma yang ia pelajari sejak kecil. Namun, kedamaian hidupnya kini terancam buyar, digantikan oleh bayangan hutang dan ketakutan yang mencengkeram.

Beberapa bulan lalu, sebuah sengketa tanah warisan keluarga menyeruak, merusak ketenangan hidup mereka seperti badai yang tiba-tiba datang. Paman Sudarma, adik ayah Dika, yang serakah dan licik, memanipulasi surat-surat kepemilikan, menggelapkan sebagian besar lahan yang seharusnya menjadi hak keluarga mereka. Lahan itu adalah warisan dari kakek buyut, sebuah sawah subur yang menjadi sumber penghidupan utama keluarga selama beberapa generasi, tempat mereka menanam padi dan mengukir sejarah keluarga. Ibu Dika, Ni Wayan, seorang wanita lembut dan penuh kasih, yang telah berjuang sendirian membesarkan Dika dan adiknya setelah kematian suaminya, berusaha memperjuangkan hak mereka melalui jalur hukum. Ia menghabiskan sisa tabungannya dan menjual perhiasan warisan neneknya untuk membayar pengacara. Namun segalanya terasa sia-sia, pengadilan seolah tak berpihak, dan biaya perkara yang terus membengkak memaksa mereka mengambil jalan pintas yang berbahaya, sebuah jalan yang pada akhirnya membawa mereka ke jurang kehancuran. Atas saran seorang kenalan yang tampak simpatik namun ternyata menyimpan maksud tersembunyi, Ni Wayan meminjam uang dari seorang rentenir ternama di Denpasar, seorang pengusaha berkuasa dengan nama Bapak Agung. Bapak Agung dikenal sebagai sosok yang kejam dan tak segan menggunakan cara-cara kotor untuk menagih hutang. Awalnya, pinjaman itu dimaksudkan sebagai dana talangan untuk biaya pengacara, sebuah harapan palsu yang hanya bertahan sesaat. Namun, dengan bunga yang sangat tinggi dan waktu pembayaran yang sangat singkat, hutang tersebut justru semakin menggunung, seperti bola salju yang terus membesar.

Kini, jatuh tempo pembayaran telah tiba. Ni Wayan telah menjual hampir seluruh perhiasannya, bahkan beberapa pusaka keluarga yang sangat ia hargai terpaksa dilepas demi mengurangi beban hutang, namun jumlahnya masih jauh dari kata lunas. Bahkan hasil panen sawah yang tersisa dan penjualan beberapa ukiran Dika yang paling indah tidak cukup untuk menutupi sebagian kecil dari hutang itu. Bapak Agung, melalui anak buahnya yang bertubuh kekar, bermata dingin, dan berwajah sangar, telah mengirimkan peringatan terakhir. Sebuah surat ancaman yang ditulis dengan tinta merah darah, menyatakan bahwa rumah mereka, satu-satunya tempat berlindung, satu-satunya warisan nyata dari almarhum ayahnya, terancam disita jika dalam waktu tiga hari sisa hutang tidak dilunasi. Keputusasaan mencengkeram keluarga Dika seperti kabut tebal yang tak kunjung sirna, menyesakkan napas dan merenggut semua harapan.

Malam itu, setelah sembahyang di merajan keluarga, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya, sebuah kesunyian yang menakutkan. Ibu Dika duduk termenung di ruang tengah, bahunya terguncang, air mata sesekali menetes di pipinya yang keriput, mencerminkan penderitaan yang tak tertahankan. Adik perempuan Dika, Luh Ayu yang baru berusia lima belas tahun, memeluk ibunya erat, matanya menunjukkan ketakutan yang belum sepenuhnya ia pahami, namun ia merasakan aura keputusasaan yang melingkupi rumah mereka. Dika merasa hatinya tercabik melihat penderitaan ibu dan adiknya. Ia merasa gagal, tidak mampu melindungi keluarganya, tidak mampu menjadi tulang punggung seperti yang ayahnya harapkan. Sebuah janji yang ia ukir dalam hati sejak kepergian sang ayah kini terasa mustahil untuk dipenuhi.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang keras dan mendesak memecah keheningan yang mencekam itu. Jantung Dika berdegup kencang, memukul-mukul dadanya dengan irama tak beraturan. Ia tahu siapa yang datang. Itu pasti anak buah Bapak Agung, membawa ancaman yang lebih nyata. Dengan langkah berat yang terasa seperti menyeret beban seribu kilo, ia membuka pintu. Di luar berdiri dua orang pria berbadan tegap dengan tatapan mengintimidasi, wajah mereka tanpa ekspresi, hanya menunjukkan kekuasaan dan ancaman. Salah satunya menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal kepada Dika.

"Ini dari Bapak Agung," ucap pria itu dengan suara datar tanpa ekspresi, seolah ia hanya mesin pengantar pesan. "Baca dan segera ambil keputusan. Waktu kalian tidak banyak lagi."

Setelah kedua pria itu pergi, meninggalkan aura dingin di udara, Dika membawa amplop itu ke dalam. Ia membukanya dengan tangan gemetar, ketakutan akan isinya mencengkeramnya. Di dalamnya terdapat surat perjanjian hutang yang detail, mencantumkan jumlah bunga yang mencekik, dan sebuah catatan singkat yang ditulis dengan tinta merah menyala, seolah ditulis dengan darah.

Dika,

Ibumu telah gagal memenuhi kewajibannya. Sesuai kesepakatan, rumah kalian akan menjadi milik saya. Namun, saya menawarkan satu pilihan lain, sebuah kesempatan bagimu untuk melunasi seluruh hutang keluargamu, sebuah jalan keluar dari keputusasaan yang kalian alami. Datanglah besok malam ke klub malam Paradise di Seminyak. Temui saya di ruang VIP. Kita akan membahas "solusi" yang menguntungkan kedua belah pihak, sebuah kesepakatan yang akan mengubah hidupmu selamanya.

Bapak Agung

Dika merasakan tubuhnya lemas, seolah semua tulangnya telah mencair. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan terjerat dengan dunia gelap semacam ini. Ia tahu reputasi klub malam Paradise. Tempat itu dikenal sebagai sarang maksiat, tempat para turis dan orang kaya menghamburkan uang untuk kesenangan duniawi yang fana, tempat di mana moralitas dan harga diri seringkali diperjualbelikan. Ia tidak mengerti solusi apa yang bisa ia tawarkan di sana. Ia hanya seorang pemahat kayu, seorang pria pendiam dari desa yang tenang. Apa yang bisa ia lakukan di tengah gemerlap dunia malam Seminyak? Ia tidak punya koneksi, tidak punya modal, dan paling penting, ia tidak punya pengalaman di dunia seperti itu. Rasa takut merayapi setiap sendi tubuhnya, namun ia tahu, ia tidak punya pilihan lain. Ancaman terhadap ibu dan adiknya, terhadap rumah mereka, adalah hal yang tidak bisa ia abaikan.

Malam itu, Dika tidak bisa tidur. Pikirannya terus berkecamuk, berputar-putar tanpa henti, mencoba mencari celah harapan di tengah kegelapan yang pekat. Ia memikirkan ibu dan adiknya, wajah-wajah yang penuh harapan dan ketakutan itu. Ia tidak bisa membiarkan mereka kehilangan rumah, satu-satunya warisan dari ayahnya, tempat kenangan manis dan pahit terukir di setiap dindingnya. Rumah ini adalah tempat ia tumbuh, tempat tawa ayahnya masih terasa, tempat ibunya merajut impian bagi mereka. Pilihan Bapak Agung terasa seperti jebakan maut, sebuah jurang tanpa dasar, namun ia tidak melihat jalan keluar lain. Setiap skenario yang ia bayangkan selalu berakhir buntu, semua jalan terasa tertutup.

Keesokan harinya, dengan hati berat dan penuh keraguan, dengan setiap langkah yang terasa berat seperti batu, Dika memberanikan diri pergi ke Seminyak. Suasana di sana sangat berbeda dengan ketenangan Ubud yang ia kenal dan cintai. Jalanan ramai dengan mobil mewah dan turis asing yang berpakaian minim, toko-toko berjejeran menjual barang-barang branded dengan harga selangit, dan musik electronic terdengar memekakkan telinga dari bar dan kafe yang berjejeran di sepanjang jalan, menciptakan suasana hingar-bingar yang tak pernah Dika alami. Dika merasa asing dan tidak pada tempatnya, seperti sehelai daun kering yang tersesat di tengah hiruk pikuk kota. Matanya yang indah dengan mudah menarik perhatian, namun ia selalu menunduk, menghindari tatapan orang lain, merasa malu dan tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Tubuhnya yang luwes bergerak dengan canggung di tengah keramaian, ia berusaha tidak menonjol, namun kecantikan alaminya tetap saja menarik lirikan, membuatnya merasa semakin tidak berdaya.

Klub malam Paradise tampak megah dan mewah dari luar, memancarkan aura kemewahan yang palsu. Lampu-lampu gemerlapan memancarkan cahaya warna-warni yang berkedip-kedip, dan suara musik beat yang kuat terasa hingga ke jalan, seolah mengundang siapa saja untuk masuk ke dalam pusaran kegelapan. Dika menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri masuk. Di dalam, suasana lebih bising dan remang-remang, dihiasi lampu disko yang berputar. Bau parfum menyengat bercampur dengan aroma alkohol dan asap rokok tebal yang menyesakkan dada. Wanita-wanita berpakaian minim berlalu lalang, menawarkan senyum menggoda kepada para tamu pria yang duduk di sofa-sofa mewah sambil menikmati minuman mahal. Dika merasa risih dan tidak nyaman, seolah ia berada di tempat yang salah. Ia bukan bagian dari dunia ini. Ia adalah seorang pria, meskipun berwajah cantik dan bertubuh lentur, ia tetaplah seorang pria, seorang pemahat kayu dari Ubud, bukan bagian dari gemerlap dan kegelapan ini. Ia merasa seperti domba yang masuk ke kandang serigala.

Dengan bertanya kepada seorang pelayan yang tampak jutek dan tidak ramah, Dika akhirnya berhasil menemukan ruang VIP. Ia mengetuk pintu dengan ragu, suara ketukannya terdengar begitu pelan di tengah hiruk pikuk musik. Seorang pria berjas hitam membukanya dari dalam. Di ruangan itu, duduk seorang pria paruh baya dengan perut buncit, mengenakan kemeja sutra berwarna ungu dan perhiasan emas yang berlebihan di leher dan jari-jarinya. Senyum licik tersungging di bibirnya saat melihat Dika, sebuah senyum yang penuh perhitungan dan niat tersembunyi.

"Ah, anak muda yang berbakti. Mari masuk," ucap Bapak Agung dengan nada meremehkan, seolah Dika hanyalah serangga kecil yang ia bisa mainkan. "Saya sudah menunggu kedatanganmu."

Dika masuk dengan langkah gontai, kakinya terasa berat, hatinya berdebar tak karuan. Ia merasa seperti boneka yang sedang ditarik-tarik tali, tanpa kehendak sendiri. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, namun ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Senja di Ubud terasa begitu jauh, begitu damai, seperti mimpi yang sebentar lagi akan menghilang ditelan kegelapan malam Seminyak yang kejam. Ia adalah Dika, seorang pemuda Bali yang mencintai tradisi, yang berpegang teguh pada nilai-nilai luhur, namun takdir membawanya ke sebuah persimpangan yang akan mengubahnya menjadi seseorang yang bahkan tidak ia kenali. Takdirnya baru saja diukir dengan tinta hitam di atas kanvas kehidupan yang dulunya berwarna cerah dan penuh harapan.

Udara di ruang VIP terasa pengap dan berat, bercampur aroma parfum mahal yang menyengat dan minuman keras yang memabukkan, menciptakan atmosfer yang menyesakkan. Bapak Agung menawari Dika minuman, namun ia menolak dengan sopan, tenggorokannya tercekat dan ia tidak ingin menambah kebingungan dalam pikirannya. Ia duduk di sofa berhadapan dengan rentenir itu, mencoba menahan kegugupan yang mencengkeram, hatinya berdegup kencang seperti genderang perang. Tatapan Bapak Agung menelisik tubuh Dika dari atas hingga bawah, dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat pemuda itu merasa seperti barang dagangan yang sedang dinilai, sebuah komoditas yang siap diperjualbelikan. Senyum licik di bibir Bapak Agung seolah mengatakan bahwa ia telah menemukan harta karun, sebuah permata langka yang akan memberikan keuntungan besar.

"Jadi, anak muda," Bapak Agung memulai pembicaraan setelah menyesap minumannya, suaranya terdengar meremehkan dan penuh kuasa, "kau pasti sudah membaca surat dariku. Kau mengerti situasinya, bukan? Bahwa keluargamu berada di ambang kehancuran?"

Dika mengangguk pelan, suaranya tercekat di tenggorokan. "Saya mengerti, Bapak. Saya ingin melunasi hutang ibu saya. Apa... apa yang bisa saya lakukan?" Pertanyaan itu keluar dengan susah payah, penuh harapan dan ketakutan yang bercampur aduk.

Bapak Agung tersenyum licik, matanya berkilat jahat seperti ular yang siap menerkam. "Ada banyak cara untuk menghasilkan uang di tempat seperti ini, Dika. Kau masih muda, tubuhmu sehat, dan yang paling penting... kau punya sesuatu yang sangat menarik." Tatapannya berhenti di wajah Dika, menelitinya dari dekat, membuat pemuda itu merasa sangat tidak nyaman, seolah ia sedang ditelanjangi oleh pandangan itu. Jantung Dika berdebar kencang, ia merasakan firasat buruk yang kuat, sebuah bayangan gelap yang perlahan menyelimuti dirinya.

Dika mengerutkan kening, tidak mengerti ke arah mana pembicaraan ini menuju, meskipun intuisinya sudah menjerit. "Maksud Bapak?"

Bapak Agung tertawa pelan, suara tawanya menusuk telinga Dika, bagai tawa iblis yang mengejek. "Jangan pura-pura bodoh, Dika. Aku tahu betul siapa kau. Lihat dirimu. Wajahmu halus, kulitmu bersih tanpa noda sedikitpun, matamu besar seperti rusa betina yang polos, bibirmu penuh dan selalu merah alami, seperti bibir seorang gadis muda. Tubuhmu lentur, tidak kaku seperti laki-laki pada umumnya, justru sangat luwes. Dengan sedikit polesan, kau bisa menjadi daya tarik yang luar biasa di klub ini. Sebuah daya tarik yang langka, yang tidak bisa ditemukan pada wanita manapun."

Dika terkejut, hatinya mencelos, merasakan seperti ada tangan dingin yang meremas organ dalamnya. Ia memang sering dibilang cantik, bahkan cenderung feminin, sebuah fakta yang selalu ia coba sangkal atau abaikan sepanjang hidupnya. Ia selalu menegaskan dirinya adalah laki-laki, seorang pemahat kayu yang tangguh, bukan seorang gadis. Sekarang, ciri fisik yang selama ini ia coba sembunyikan justru menjadi senjata bagi orang lain untuk menghancurkan dirinya, merenggut jati dirinya. "Saya... saya seorang laki-laki, Bapak," ucapnya tegas, mencoba menyembunyikan getaran dalam suaranya, mencoba mempertahankan martabatnya yang tersisa.

"Tentu saja. Aku tahu itu," balas Bapak Agung dengan nada meremehkan, mengibaskan tangannya seolah masalah itu tidak penting. "Tapi di dunia hiburan, Dika, batas antara pria dan wanita bisa sangat kabur, bahkan tidak ada sama sekali. Terutama untuk menarik perhatian pelanggan tertentu yang mencari sensasi berbeda. Kau akan bekerja di sini, menghibur tamu-tamuku. Kau akan berpakaian, bertingkah laku, dan berbicara layaknya seorang wanita muda yang mempesona. Kau akan menjadi... Bunga."

Dika terperanjat, seolah disambar petir di siang bolong. "Bunga?" Nama itu terasa asing di lidahnya, namun ironisnya, nama itu cocok untuknya, sebuah bunga yang akan layu di kegelapan, sebuah bunga yang akan dipetik paksa dan dinikmati oleh orang-orang haus nafsu. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah separah ini. Ia, seorang laki-laki, seorang pemahat kayu dengan tangan kasar namun berjiwa seni halus, dipaksa untuk berperan sebagai wanita, menjual dirinya di klub malam hanya untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran. Harga yang harus ia bayar terasa terlalu mahal, jauh melebihi nilai hutang tersebut, jauh melebihi harga dirinya sendiri.

"Ya, nama panggungmu," jawab Bapak Agung sambil tersenyum sinis, menatap Dika dengan pandangan penuh kemenangan. "Kau akan berpakaian seperti wanita, menari, bernyanyi, menemani tamu-tamuku, membuat mereka merasa senang. Setiap sen yang kau hasilkan akan dipotong untuk melunasi hutang ibumu. Mengerti? Jangan coba-coba lari, Dika. Aku tahu di mana ibu dan adikmu tinggal, dan aku tidak akan segan-segan mengirimkan 'pesan' kepada mereka jika kau berani membangkang." Ancaman itu bagai belati yang menusuk jantung Dika, mengikatnya erat dalam belenggu ketakutan.

Dika terdiam, tertunduk lesu, bahunya merosot, semua semangatnya hilang. Kata-kata Bapak Agung seperti palu godam yang menghantam hatinya berkali-kali, menghancurkan sisa-sisa harapannya. Ia terjebak dalam situasi yang mustahil, di persimpangan jalan tanpa pilihan. Demi ibu dan adiknya, demi rumah dan tanah leluhur, ia harus mengorbankan jati dirinya, kehormatannya, bahkan mungkin jiwanya. Ia adalah pemahat kayu yang berpegang teguh pada tradisi, yang mencintai kedamaian, namun kini ia dipaksa untuk menjadi seorang wanita penghibur di klub malam yang penuh dosa.

Malam itu, Dika dibawa ke sebuah ruangan kecil di belakang klub, sebuah kamar rias yang sempit dan pengap. Di sana, seorang wanita paruh baya dengan riasan menor yang tebal dan tatapan mata lelah menunggunya. Wajah wanita itu menunjukkan jejak kehidupan keras, namun ada sedikit kebaikan yang tersembunyi di balik kekasarannya. "Selamat datang di dunia Paradise, Bunga," ucap wanita itu dengan senyum getir, seolah ia telah melihat begitu banyak jiwa yang hancur di tempat ini. "Namaku Maya. Aku yang akan membantumu menjadi Bunga."

Maya, dengan cekatan dan tanpa basa-basi, mulai mendandani Dika. Ia memulainya dengan mencukur habis bulu-bulu halus di wajah dan tubuh Dika, sebuah proses yang membuat kulitnya terasa perih, aneh, dan asing, seolah lapisan pelindung maskulinitasnya telah dikikis paksa. Kemudian, ia memakaikannya pakaian dalam wanita yang terasa membatasi geraknya, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran Dika untuk dikenakan, memicu rasa jijik dan malu yang mendalam. Maya tidak banyak bicara, hanya sesekali memberikan instruksi singkat, namun setiap sentuhannya terasa dingin, profesional, dan tanpa empati, seolah ia hanya melakukan pekerjaan rutin. Dika hanya bisa terdiam, merasakan air mata mengalir di balik lapisan foundation tebal yang kini menutupi wajahnya, bercampur dengan bedak dan riasan lain. Ia merasa seperti bukan dirinya lagi, seperti sebuah lukisan kosong yang sedang diisi dengan warna-warna yang bukan miliknya, sebuah kanvas yang dipaksa berubah bentuk.

Setelah berjam-jam, Dika menatap bayangannya di cermin. Sosok yang terpantul di sana adalah seorang wanita muda yang sangat cantik, dengan rambut panjang palsu berwarna hitam gelap yang terurai bergelombang hingga punggung, memancarkan aura misterius. Gaun malam satin berwarna ungu tua yang berkilauan membalut tubuhnya, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memang lentur dan kini terlihat sangat feminin. Riasan wajah yang tebal – alis yang tegas namun anggun, mata yang dibingkai eyeliner dan maskara yang membuatnya terlihat lebih besar dan memikat, bibir merah muda yang mengilap – semakin menonjolkan fitur wajahnya yang memang sudah halus dan cenderung feminin. Aura maskulinnya telah sepenuhnya dihapus, digantikan oleh pesona feminin yang asing namun sangat memikat. Ia tidak mengenali dirinya sendiri. Ke mana perginya Dika yang maskulin dan gagah perkasa, pemuda yang mencintai ukiran dan kedamaian Ubud? Yang tersisa hanyalah Bunga, sebuah boneka cantik yang siap dipajang di etalase klub malam, tanpa jiwa, tanpa keinginan, tanpa jati diri.

Malam pertama sebagai Bunga adalah sebuah neraka bagi Dika, sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ia dibawa ke panggung kecil di tengah klub. Lampu sorot yang menyilaukan dan musik disko yang menggelegar membuatnya pusing dan mual, menciptakan suasana yang memekakkan telinga. Para tamu, kebanyakan pria paruh baya dengan tatapan lapar yang memuakkan, menatapnya seperti predator melihat mangsa, mata mereka seolah menelanjangi dirinya. Ia dipaksa menari di atas panggung, mencoba meniru gerakan luwes penari lain yang sudah berpengalaman. Setiap gerakannya terasa canggung, setiap senyumnya terasa palsu, namun tubuhnya yang lentur secara alami mampu meniru gerakan-gerakan itu dengan cepat, memberikan kesan bahwa ia adalah penari berpengalaman. Ia merasa dipermalukan, direndahkan, seolah semua martabatnya telah direnggut paksa, dicabik-cabik dan dibuang.

Seorang pria gemuk dengan rokok di tangannya mendekat, mencoba menyentuh pipinya. Dika langsung menghindar dengan refleks, rasa jijik merayapi kulitnya. Maya, yang mengawasi dari jauh, langsung menghampiri. "Bunga! Jangan begitu! Layani tamu!" bisiknya tajam di telinga Dika, nadanya penuh peringatan. Ia kemudian tersenyum ramah pada pria gemuk itu dan menarik tangan Dika agar mendekat. "Maaf, Tuan. Bunga sedikit pemalu. Dia baru di sini, jadi masih sedikit kaku."

Pria itu tertawa terbahak-bahak. "Tidak apa-apa. Justru itu yang membuatnya menarik. Sedikit liar, ya?"

Dika merasa mual, perutnya bergejolak. Ia dipaksa tersenyum, dipaksa menuruti keinginan pria itu. Ia harus menari lebih dekat, menerima minuman yang disodorkan, dan mendengarkan lelucon kotor mereka yang memuakkan. Setiap jam terasa seperti selamanya, setiap menit bagai tusukan jarum. Ia merindukan Pura, ia merindukan ibunya, ia merindukan jati dirinya sebagai Dika. Ia tidak tahu berapa lama ia bisa bertahan di neraka ini, berapa lama jiwanya akan sanggup menanggung beban ini.

Malam-malam berikutnya tidak menjadi lebih mudah, justru sebaliknya. Dika dipaksa belajar berbagai hal yang asing baginya: cara berjalan dengan anggun menggunakan sepatu hak tinggi yang menyiksa pergelangan kakinya, menyebabkan nyeri yang menusuk; cara berbicara dengan suara yang lebih lembut dan manja, sebuah suara yang tidak ia kenali sebagai miliknya; cara tersenyum yang memikat dan menggoda, sebuah senyum yang palsu; bahkan cara memijat bahu tamu agar mereka merasa nyaman, sentuhan yang membuatnya jijik. Ia juga belajar bagaimana menghindari sentuhan yang terlalu lancang dengan halus, bagaimana menolak permintaan yang berlebihan tanpa membuat tamu marah, dan bagaimana berpura-pura menikmati percakapan yang membosankan dan menjijikkan. Maya mengajarinya banyak trik, dan Dika, meskipun membenci setiap detiknya, menyerap pelajaran itu dengan cepat. Ia tahu, semakin ia pandai berakting sebagai Bunga, semakin cepat ia bisa melunasi hutang keluarganya. Tubuhnya yang lentur dan wajahnya yang cantik alami memudahkan proses ini, membuatnya menjadi "Bunga" yang sangat meyakinkan, sebuah persona yang sempurna.

Tubuhnya mulai beradaptasi, beresonansi dengan peran barunya. Otot-ototnya yang dulu kaku karena memahat kini sedikit lebih lentur karena menari setiap malam, bergerak dengan irama musik yang keras. Kulitnya yang selalu kecoklatan karena matahari di Ubud kini terlihat lebih cerah dan mulus karena selalu ditutupi foundation dan tidak lagi terpapar sinar matahari langsung. Wajahnya, yang memang sudah memiliki garis halus dan mata besar yang ekspresif, kini menjadi semakin cantik dengan polesan riasan, seolah ia adalah patung hidup yang terus dipoles. Para tamu memujinya, mengatakan ia memiliki kecantikan yang eksotis dan memikat, sebuah perpaduan langka antara kelembutan dan misteri. Ada beberapa yang bahkan tertarik karena ia sedikit pemalu dan berbeda dari wanita penghibur lainnya. Bunga menjadi daya tarik baru di Paradise, sebuah fenomena yang menarik banyak pelanggan baru.

Suatu malam, Dika (sebagai Bunga) sedang duduk di bar, mencoba menarik napas dalam-dalam setelah sesi menari yang melelahkan. Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, namun juga secara mental dan emosional. Seorang pria mendekatinya. Pria itu berbeda dari kebanyakan tamu di sana. Ia mengenakan kemeja linen putih yang longgar dan celana pendek, rambutnya sedikit panjang dan acak-acakan, matanya memancarkan kebaikan dan ketulusan, bukan nafsu. Ia tidak terlihat seperti pria kaya raya yang biasa menghamburkan uang, namun auranya tenang dan bersahaja, seperti angin sepoi-sepoi di tengah badai.

"Hai, Bunga," sapa pria itu dengan senyum ramah, suaranya lembut dan menenangkan, sebuah melodi yang menyejukkan. "Kau terlihat... sedikit lelah. Mau minum bersamaku?"

Dika ragu, namun tatapan pria itu tidak mengandung nafsu, hanya kepedulian yang tulus. Ia mengangguk pelan. "Terima kasih."

Pria itu memesankan dua gelas jus jeruk, minuman yang segar dan sederhana. "Namaku Rama," katanya, mengulurkan tangan.

Dika menjabat tangannya. Sentuhan Rama terasa hangat dan menenangkan, sangat berbeda dari sentuhan-sentuhan kasar dan menjijikkan yang ia terima setiap malam dari para tamu klub. "Bunga."

Mereka mulai mengobrol. Rama bercerita tentang pekerjaannya sebagai fotografer lepas yang sering menjelajahi berbagai daerah di Bali, menangkap keindahan alam dan budaya lokal yang autentik. Ia berbicara tentang filosofi hidupnya yang sederhana, tentang bagaimana ia mencintai ketenangan dan keindahan alam, tentang kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Dika mendengarkan dengan seksama, merasakan ketenangan yang langka menyelimuti dirinya, sebuah kedamaian yang belum ia rasakan sejak ia meninggalkan Ubud. Ia tidak perlu berakting terlalu banyak di depan Rama. Pria itu tampak tulus tertarik pada dirinya, bukan hanya pada persona Bunga, bukan hanya pada kecantikan fisiknya.

"Kau punya mata yang indah, Bunga," ucap Rama tiba-tiba, menatap dalam-dalam ke mata Dika. "Ada cerita yang dalam di sana. Kau tidak seperti penari lain di sini."

Pujian itu membuat jantung Dika berdesir aneh, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia merasa sedikit takut sekaligus sedikit lega. Takut karena Rama seolah bisa melihat melampaui riasan tebalnya, melihat Dika yang sebenarnya, melihat jiwanya yang rapuh. Lega karena ada seseorang yang melihatnya sebagai seorang manusia, bukan sekadar objek hiburan, bukan sekadar sumber uang. Ia hanya tersenyum samar, tidak tahu harus menjawab apa, tenggelam dalam tatapan mata Rama yang penuh pengertian.

Rama sering datang ke klub setelah malam itu. Ia selalu mencari Bunga, duduk bersamanya, dan mengobrol tentang banyak hal. Ia tidak pernah meminta Bunga menari secara khusus untuknya, tidak pernah mencoba menyentuhnya secara tidak pantas atau vulgar. Ia hanya ingin berbicara, mendengarkan, dan berbagi cerita, sebuah koneksi yang tulus. Perlahan, Dika mulai merasa nyaman di dekat Rama. Rama menjadi satu-satunya pelipur lara di tengah neraka yang ia jalani, satu-satunya jangkar yang menahannya agar tidak tenggelam dalam keputusasaan. Ia mulai menanti-nantikan kehadiran Rama setiap malam, sebuah secercah cahaya di tengah kegelapan yang pekat.

Namun, di balik semua itu, Dika tidak pernah melupakan siapa dirinya. Ia adalah Dika, seorang laki-laki yang terjebak dalam tubuh Bunga, terperangkap dalam takdir yang kejam. Ia harus melunasi hutang keluarganya, sebuah beban yang terus menghantuinya. Setiap sen yang ia dapatkan dari Bapak Agung adalah langkah menuju kebebasan, namun setiap langkah itu juga terasa seperti menyeretnya semakin jauh dari dirinya yang asli, semakin menjauh dari Dika yang ia kenal. Ia tidak tahu apakah ia akan bisa kembali menjadi Dika seutuhnya. Ia takut, ia akan selamanya menjadi Bunga, sebuah persona yang menelan dirinya.

Hubungan Dika dengan Rama semakin mendalam seiring berjalannya waktu, berkembang menjadi sebuah ikatan yang tak terduga di tengah hiruk pikuk Seminyak. Rama menjadi oasis di tengah padang pasir kehidupan Bunga yang gersang, sebuah tempat di mana Dika bisa menarik napas lega. Setiap kali Rama datang ke klub, Dika merasakan sedikit beban di pundaknya terangkat, seolah ada tangan tak terlihat yang meringankan penderitaannya. Rama tidak pernah menuntut, hanya memberi perhatian dan pengertian. Ia membawa Dika keluar dari keramaian klub, sering mengajaknya duduk di sudut yang lebih tenang di luar, atau sesekali mengajaknya melihat bintang di pinggir pantai yang sepi setelah jam kerja klub usai, jauh dari hiruk pikuk dan gemerlap. Rama bukan seperti tamu lain yang haus akan hiburan atau sentuhan fisik yang vulgar. Ia haus akan percakapan yang tulus, ia mencari koneksi jiwa, dan ia melihat sesuatu dalam diri Bunga yang tidak dilihat orang lain, sebuah keindahan yang tersembunyi.

Rama sering bercerita tentang perjalanannya ke berbagai desa di Bali, tentang keindahan alam yang tak terjamah oleh pariwisata massal, tentang ritual-ritual kuno dan tradisi luhur yang ia abadikan dalam fotonya. Ia bicara dengan mata berbinar, penuh semangat, dan itu menular pada Dika, seolah percakapan itu adalah energi yang mengalir ke dalam dirinya. Dika, yang dulu adalah seorang pemahat kayu dengan jiwa seni yang kuat dan kecintaan mendalam pada budaya, menemukan koneksi dengan Rama melalui apresiasi terhadap keindahan dan tradisi. Ia merasa bisa sedikit menjadi Dika lagi saat bersama Rama, meskipun ia masih dalam wujud Bunga, mengenakan riasan dan gaun yang membalut tubuhnya. Rama tidak pernah bertanya terlalu jauh tentang masa lalu Bunga, seolah ia menghormati batas yang tidak terlihat, namun tatapan matanya selalu menunjukkan rasa ingin tahu dan empati yang dalam.

Suatu malam, setelah klub sepi dan para tamu telah bubar, menyisakan keheningan yang janggal, Rama mengajak Bunga ke pantai terdekat. Bulan purnama bersinar terang, memancarkan cahayanya di permukaan laut yang tenang, menciptakan jalur perak yang berkilauan. Angin laut berembus lembut, membawa aroma garam dan kebebasan, membelai wajah Bunga yang lelah. Mereka duduk di pasir yang masih hangat, tak ada suara selain deburan ombak yang ritmis dan bisikan angin yang menenangkan. Dika merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sejak ia terpaksa menjadi Bunga, sebuah kedamaian yang meresap ke dalam jiwanya.

"Kau tahu, Bunga," ucap Rama pelan, suaranya seperti bisikan angin malam, lembut dan menenangkan, "aku merasa ada sesuatu yang sangat istimewa padamu. Sesuatu yang sangat dalam, yang tidak bisa kulihat pada orang lain."

Dika menunduk, jantungnya berdebar kencang, seolah akan melompat keluar dari dadanya. Ia takut Rama akan melihat melampaui topeng Bunga, melihat Dika yang sebenarnya, melihat kerapuhan yang ia sembunyikan. Namun, di sisi lain, ia juga sangat merindukan seseorang untuk melihatnya seutuhnya, untuk menerima dirinya apa adanya. Ia merindukan kebenaran.

"Aku merasa... kau memiliki jiwa yang lama, jiwa yang penuh cerita, penuh kedalaman," lanjut Rama, meraih tangan Bunga dan menggenggamnya lembut. Jemari Rama yang kasar karena sering memegang kamera dan mendaki gunung, terasa begitu hangat di tangan Dika yang lembut dan terawat karena perannya sebagai Bunga. Genggaman itu terasa jujur, penuh ketulusan, bukan nafsu yang memuakkan seperti yang ia rasakan dari tamu lain.

Dika merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya, panas dan perih. Sentuhan itu, kata-kata itu, adalah hal paling tulus yang ia rasakan sejak ia menjadi Bunga, sejak ia kehilangan dirinya. Ia rindu sentuhan seperti ini, sentuhan yang tidak meminta, hanya memberi kehangatan dan dukungan. Tanpa sadar, ia membalas genggaman tangan Rama, membiarkan dirinya merasakan kehangatan itu.

"Bunga... apakah kau pernah merasa... terjebak?" tanya Rama, tatapannya lekat pada mata Bunga, seolah menembus jiwanya. "Terjebak dalam sesuatu yang bukan dirimu? Terjebak dalam takdir yang bukan pilihanmu?"

Pertanyaan itu menusuk tepat ke ulu hati Dika, menghantamnya dengan kebenaran yang pahit. Rama seolah membaca isi hatinya, melihat semua beban yang ia pikul. Dika mengangguk pelan, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah, mengalir deras di pipinya. "Ya," bisiknya, suaranya parau karena menahan tangis. "Aku merasa sangat terjebak, Rama. Terjebak dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan."

Rama tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya menarik Bunga ke dalam pelukannya. Pelukan Rama terasa begitu menenangkan, begitu aman, sebuah tempat perlindungan di tengah badai. Dika menenggelamkan wajahnya di dada Rama, merasakan kehangatan tubuh pria itu. Ia bisa mencium aroma laut dan pinus dari tubuh Rama, sebuah aroma yang jujur dan alami, sangat berbeda dari parfum menyengat dan aroma alkohol yang selalu ia hirup di klub. Di pelukan Rama, Dika membiarkan dirinya menangis tersedu-sedu, melepaskan semua beban dan ketakutan yang ia pendam selama ini, semua kepahitan yang ia rasakan. Rama hanya mengusap lembut rambut palsu Bunga, membiarkan Dika menemukan kenyamanan dalam keheningan, dalam penerimaan tanpa syarat.

Malam itu, mereka tertidur di pantai, berpelukan erat di bawah cahaya bulan purnama yang menyinari. Dika, dalam wujud Bunga, merasakan kedamaian yang mendalam, sebuah ketenangan yang tak pernah ia bayangkan akan ia temukan. Ia merasa dilihat, diterima, bahkan dicintai, bukan karena ia adalah Bunga si penari, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam dari itu, sesuatu yang Rama bisa rasakan, sebuah koneksi jiwa. Ia tidak peduli bahwa Rama adalah seorang pria, atau bahwa ia sendiri adalah seorang pria yang terperangkap dalam wujud feminin. Yang ia tahu, sentuhan Rama adalah sentuhan kebaikan, sentuhan yang membuatnya merasa tidak sendirian lagi, sentuhan yang membuatnya merasa utuh.

Sejak malam itu, ikatan antara Bunga dan Rama semakin kuat, tumbuh seperti akar pohon yang menancap dalam. Rama tidak pernah meminta Dika untuk menceritakan rahasianya, tidak pernah mendesak untuk mengetahui masa lalunya, namun ia selalu hadir, memberikan dukungan emosional yang sangat dibutuhkan Dika, menjadi tiang sandaran. Dika, di sisi lain, mulai membiarkan Bunga menjadi sedikit lebih "nyata" di depan Rama. Ia akan menceritakan tentang mimpinya menjadi pemahat kayu, tentang kecintaannya pada Ubud, tentang tradisi Bali yang ia pegang teguh, semua bagian dari jati dirinya yang asli. Rama mendengarkan dengan penuh minat, dan seringkali ia akan membawa Dika ke tempat-tempat sepi di Bali yang tidak diketahui banyak turis, tempat-tempat di mana Dika bisa merasakan kebebasan sejenak dari peran Bunga, dari topeng yang harus ia kenakan.

Pada suatu kunjungan ke sebuah air terjun tersembunyi, di tengah hutan yang rimbun dan suara gemericik air, Rama menemukan sebuah kayu bekas yang menurutnya memiliki potensi untuk diukir. Ia menyerahkannya pada Bunga. "Aku melihat sesuatu di sini, Bunga. Sesuatu yang indah, yang menunggu untuk diungkapkan, sebuah bentuk yang tersembunyi di dalamnya."

Dika, dalam wujud Bunga, mengambil kayu itu dengan tangan gemetar. Sudah lama sekali ia tidak menyentuh pahat, atau merasakan tekstur kayu mentah yang kasar namun penuh potensi. Sentuhan itu membangkitkan kerinduan yang mendalam akan jati dirinya yang hilang, akan kehidupannya yang dulu. Rama memberinya sebuah pisau kecil yang selalu ia bawa untuk memotong buah. Dika mulai mengukir, awalnya ragu, tangannya gemetar, namun perlahan tangannya bergerak luwes, pahatan-pahatan kecil mulai terbentuk di permukaan kayu. Ia mengukir wajah seorang wanita, namun dengan sorot mata yang melankolis, penuh cerita, seperti matanya sendiri saat ini, sebuah cerminan jiwanya yang terluka. Rama mengamatinya dengan kagum, tidak berkomentar apa pun, hanya mengagumi setiap gerakannya, setiap detail yang terbentuk.

Malam harinya, kembali ke kamar Dika di tempat tinggal khusus para penari, Rama datang berkunjung. Suasana kamar remang-remang, hanya diterangi lampu tidur kecil, menciptakan aura keintiman. Dika telah membersihkan riasannya sebagai Bunga, rambut palsunya sudah dilepas, dan ia mengenakan daster longgar yang sederhana, menampakkan wajah aslinya yang cantik tanpa polesan. Rama duduk di tepi ranjang, menatap Dika dengan kelembutan yang dalam, tatapannya penuh cinta dan pengertian. Ia tidak melihat Bunga si penari, ia melihat jiwa yang ia cintai, melihat Dika yang asli di balik semua itu.

"Wajahmu... begitu indah tanpa semua riasan itu, Bunga," bisik Rama, suaranya serak namun penuh ketulusan, tangannya perlahan mengangkat dagu Dika. Jempolnya membelai lembut pipi Dika, merasakan kehalusan kulitnya yang mulus, seolah tak ada batas antara kulitnya dan kulit seorang wanita. Tatapan Rama begitu tulus, begitu penuh kasih, membuat Dika merasa... aman, terlindungi.

Dika menatap mata Rama, ada kejujuran dan penerimaan di sana yang belum pernah ia temukan dari siapa pun. Ia tidak perlu menyembunyikan dirinya dari Rama. Ia tidak perlu berpura-pura. Rama mencintainya, entah sebagai Bunga atau Dika. Itu adalah cinta yang melampaui bentuk dan gender, sebuah cinta yang murni.

Rama mendekat, mencium lembut dahi Dika, lalu turun ke kelopak mata, ke pipi, dan akhirnya bibir Dika. Ciuman itu lembut, penuh kehati-hatian, seolah Rama tidak ingin melukai kerapuhan Dika, seolah ia menyentuh sebuah bunga yang rapuh. Dika membalas ciuman itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan dan ketulusan yang Rama berikan, sebuah ciuman yang membebaskannya dari belenggu. Tangan Rama memeluk pinggang Dika, menariknya lebih dekat, sementara tangan Dika melingkar di leher Rama. Tubuh Dika yang lentur dengan mudah menyesuaikan diri dalam pelukan Rama, seolah mereka memang diciptakan untuk saling melengkapi. Di tengah ciuman yang mendalam itu, Dika tidak lagi memikirkan hutang, tidak lagi memikirkan Bapak Agung, atau kehormatannya yang hilang. Yang ada hanya Rama, dan perasaan dicintai yang membuatnya merasa utuh kembali, meskipun hanya untuk sesaat, sebuah momen yang terasa abadi.

Mereka berdua berbaring di ranjang, berpelukan erat di bawah selimut tipis. Aroma tubuh Rama yang alami memenuhi indra Dika, sebuah kenyamanan yang mendalam. Rama membelai lembut rambut pendek asli Dika, merasa aneh namun nyaman dengan teksturnya yang maskulin namun di bawahnya ada wajah yang sangat feminin. Dika menyandarkan kepalanya di dada Rama, mendengarkan detak jantung pria itu yang teratur dan menenangkan. Rama menatap mata Dika yang berbinar di kegelapan, mata yang menyimpan seribu cerita.

"Aku mencintaimu, Bunga," bisik Rama, suaranya serak namun penuh keyakinan.

Dika merasakan air mata hangat membasahi pipinya. Ia ingin mengatakan "Aku juga mencintaimu, Rama," namun ia tidak yakin apakah yang mencintai adalah Bunga atau Dika, apakah itu persona yang ia ciptakan atau jiwanya yang asli. Ia hanya mengeratkan pelukannya pada Rama, mencari kenyamanan dan kehangatan yang mendalam di pelukan pria itu. Malam itu, di bawah keremangan lampu tidur, jiwa Dika dan Rama menyatu dalam keheningan yang intim, sebuah ikatan yang terbentuk di tengah kegelapan dan keputusasaan, sebuah koneksi yang melampaui fisik dan gender. Itu adalah momen yang suci, yang melampaui ekspektasi duniawi. Mereka menemukan ketenangan dan penerimaan dalam satu sama lain, sebuah pelarian singkat dari kenyataan pahit yang harus Dika jalani, sebuah surga kecil di tengah neraka.

Kebahagiaan yang Dika rasakan bersama Rama bagai seberkas cahaya di tengah badai, sebuah pelita kecil yang rapuh namun mampu memberikan kehangatan di tengah kegelapan yang mengancam. Namun, kebahagiaan itu sangatlah rapuh, selalu dibayangi oleh ketakutan akan terungkapnya identitas aslinya. Dika tahu, cinta mereka adalah rahasia yang berbahaya, sebuah bom waktu yang siap meledak, terutama di mata Bapak Agung dan lingkungan klub yang kejam, di mana belas kasihan adalah barang langka. Ia tidak bisa selamanya menyembunyikan siapa dirinya dari Rama, dan ia juga khawatir Bapak Agung akan mengetahui kedekatannya dengan salah satu tamunya, yang bisa saja menimbulkan masalah besar, tidak hanya baginya tetapi juga bagi keluarganya.

Sudah beberapa minggu sejak kebersamaannya yang intim dengan Rama di pantai dan di kamarnya. Dika merasa sedikit lebih hidup, sedikit lebih utuh. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Suatu sore, saat Dika sedang berdandan menjadi Bunga di kamar rias yang sempit dan pengap, ia mendengar percakapan beberapa penari lain yang membuatnya merinding dan jantungnya mencelos. Mereka membicarakan seorang penari yang pernah mencoba lari dari klub tanpa melunasi hutangnya. Konon, Bapak Agung tidak segan-segan untuk menemukan orang itu dan memberikan pelajaran yang mengerikan, sebuah pelajaran yang tidak akan pernah mereka lupakan, bahkan mengancam keluarga mereka di kampung halaman. Dika merasakan ketakutan yang mencekam. Ia tahu, ia tidak bisa mengkhianati Bapak Agung, tidak sebelum hutangnya lunas sepenuhnya. Ancaman itu terlalu besar, taruhannya terlalu tinggi.

Beberapa hari kemudian, masalah benar-benar muncul, lebih cepat dari yang ia perkirakan. Salah satu anak buah Bapak Agung, seorang pria tinggi besar dengan wajah sangar bernama Made, yang selalu mengawasi para penari dengan mata tajam dan ekspresi tanpa emosi, mulai terlihat sering memperhatikan Dika dan Rama. Dika merasakan tatapan curiga Made setiap kali Rama datang dan mengobrol dengannya. Made sering mencoba mendekat, mendengarkan pembicaraan mereka dengan telinga tajamnya, dan sesekali melontarkan komentar sinis yang penuh ancaman.

"Wah, Bunga, kau punya teman baru yang setia, ya?" ucap Made suatu malam dengan nada mengejek, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Hati-hati, kecantikanmu bisa membawa masalah baru. Terlalu banyak perhatian tidak selalu baik di tempat seperti ini."

Dika hanya tersenyum samar, mencoba mengabaikan Made, namun di dalam hatinya ia merasakan kecemasan yang mendalam. Ia tahu Made adalah tangan kanan Bapak Agung, tidak ada yang bisa disembunyikan darinya. Made adalah mata dan telinga Bapak Agung di klub ini.

Pada malam yang lain, Rama datang lebih awal dari biasanya. Ia tampak gelisah, wajahnya tegang, dan matanya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Bunga, aku bertemu seseorang tadi. Dia bertanya-tanya tentangmu. Dia bilang kau punya 'aura' yang berbeda, seperti ada yang disembunyikan."

Jantung Dika langsung berdebar kencang, seolah akan meledak di dadanya. Perasaan panik mulai merayapi dirinya. "Siapa?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

"Seorang pria paruh baya, dia bilang dia sering melihatmu di klub. Dia bertanya apakah kau benar-benar dari Bali, atau apakah kau... semacam seniman yang menyamar, seorang pria yang bersembunyi di balik topeng," Rama menjelaskan, matanya dipenuhi keraguan dan kebingungan. "Aku bilang kau penari dari Lombok yang datang untuk bekerja di Bali, sebuah kebohongan yang kuharap cukup meyakinkan."

Dika merasa dingin, seluruh tubuhnya menggigil. Curiga itu mulai muncul. Seseorang pasti telah melihat sesuatu, atau mendengar sesuatu, atau merasakan kejanggalan pada dirinya. Ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik persona Bunga. Ketakutan akan terungkapnya jati dirinya membuat Dika panik, otaknya berputar mencari jalan keluar yang tidak ada. Ia tahu Bapak Agung tidak akan ragu untuk menghukumnya dengan kejam, dan yang lebih buruk, menghukum ibu dan adiknya yang tidak bersalah, merenggut semua yang mereka miliki. Ia juga takut kehilangan Rama, satu-satunya orang yang memberinya harapan, satu-satunya alasan ia bertahan di neraka ini.

"Kau harus pergi, Rama," ucap Dika, suaranya bergetar, hampir tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia meraih tangan Rama, tatapannya memohon, dipenuhi keputusasaan. "Jangan datang lagi ke sini. Ini berbahaya untukmu. Kau tidak tahu seberapa berbahaya tempat ini."

Rama mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Apa yang kau bicarakan, Bunga? Aku tidak mengerti. Aku tidak akan pergi. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan melindungimu."

"Kau tidak tahu apa-apa!" Dika berbisik, air mata mulai mengalir deras di pipinya, membasahi riasan Bunga. Ia tidak bisa menjelaskan segalanya, ia terikat oleh ancaman Bapak Agung yang kejam, sebuah ancaman yang membelenggunya. "Kumohon, pergilah. Demi keselamatanmu. Aku tidak ingin kau terlibat dalam masalahku."

Rama menolak, ia mencengkeram tangan Bunga lebih erat. Ia mencintai Bunga, dan ia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bunga, sebuah rahasia yang besar dan menyakitkan. Ia bersumpah akan mencari tahu apa itu, dan ia akan melindungi Bunga dengan segala cara. Namun, Dika tahu ia tidak bisa membiarkan Rama terlibat lebih jauh. Hidup Rama terlalu berharga untuk dihancurkan oleh kegelapan yang melingkupi dirinya.

Keesokan harinya, ancaman itu menjadi kenyataan, datang lebih cepat dari yang ia kira. Saat Dika sedang melayani seorang tamu di area VIP, berpura-pura menikmati percakapan yang hampa, Made mendekat dan berbisik di telinganya, suaranya rendah dan penuh peringatan. "Bapak Agung ingin bertemu denganmu setelah jam kerja, Bunga. Ada yang ingin beliau bicarakan tentang... tamumu yang setia itu."

Dika merasakan darahnya surut, seluruh tubuhnya terasa dingin, seolah es menjalari nadinya. Ia tahu ini adalah akhirnya, batas kesabarannya telah habis. Bapak Agung pasti sudah tahu sesuatu yang besar, sesuatu yang tidak bisa lagi ia sembunyikan. Ia telah melanggar salah satu aturan tak tertulis di klub: jangan terlalu dekat dengan tamu, apalagi jika itu bisa menimbulkan masalah, apalagi jika itu bisa mengungkap rahasia terbesar.

Setelah jam kerja, dengan langkah gemetar yang nyaris tidak bisa ia kontrol, Dika mendatangi ruang kerja Bapak Agung. Ruangan itu lebih suram dari ruang VIP, dengan perabotan kayu gelap yang tebal dan aroma rokok yang menyengat, menciptakan suasana intimidasi. Bapak Agung duduk di balik meja besarnya, tatapannya tajam dan dingin seperti mata elang, menusuk hingga ke tulang. Di sampingnya berdiri Made dengan ekspresi tanpa ampun, siap menjalankan perintah tuannya.

"Duduk, Bunga," perintah Bapak Agung, suaranya rendah namun penuh otoritas.

Dika duduk di kursi di hadapannya, tubuhnya gemetar, mencoba menguatkan dirinya.

"Aku dengar kau punya teman dekat di sini. Seorang fotografer, Rama, bukan?" Bapak Agung memulai, suaranya tenang namun penuh ancaman. "Kau tahu aturan di sini, Bunga. Kau di sini untuk bekerja, bukan untuk mencari cinta. Kau pikir aku tidak tahu kau sering pergi dengannya setelah jam kerja? Atau dia menginap di kamarmu? Aku punya mata dan telinga di mana-mana, Dika, jangan remehkan kemampuanku."

Dika merasa malu dan takut yang luar biasa. Wajahnya memucat, darah seolah mengering dari tubuhnya. "Maaf, Bapak. Saya hanya..."

"Diam!" bentak Bapak Agung, suaranya meninggi, membanting tangannya ke meja. "Kau melanggar kepercayaanku. Dan yang lebih parah, kau berisiko membahayakan bisnisku. Ada laporan tentangmu, Bunga. Laporan yang mengatakan kau bukan seperti yang terlihat. Kau tahu apa maksudku? Bahwa kau adalah seorang laki-laki yang bersembunyi di balik topeng wanita." Bapak Agung menatap Dika dengan pandangan penuh kemenangan, seolah ia telah memenangkan pertempuran besar.

Dika menunduk, jantungnya berdebar kencang, perasaannya campur aduk: takut, marah, dan putus asa yang mendalam. Ia tahu Bapak Agung telah mengetahui identitasnya yang sebenarnya, rahasia terbesar yang ia jaga mati-matian.

"Kau ingin aku berikan pelajaran pada keluargamu di Ubud? Membuat mereka kehilangan segalanya, bahkan nyawa mereka? Atau pada teman fotografermu itu, yang berani mengusik urusanku?" ancam Bapak Agung, suaranya mengandung bahaya yang nyata. "Ada konsekuensi untuk setiap pelanggaran. Tapi aku memberimu satu kesempatan terakhir. Kau akan membuktikan kesetiaanmu kepadaku, dan kau akan membayar semua kerugian yang telah kau timbulkan. Dan kau akan mengakhiri hubunganmu dengan Rama. Kau akan membuat Rama membencimu, Bunga. Jika tidak, aku tidak akan segan-segan menghancurkan semua yang kau cintai, semua yang kau hargai."

Dika mengangkat kepalanya, menatap Bapak Agung dengan mata berkaca-kaca, air mata menggenang di pelupuk matanya. Memisahkan diri dari Rama? Rama adalah satu-satunya pelipur lara, satu-satunya alasan ia bertahan di neraka ini, satu-satunya orang yang melihat dirinya yang asli. Ini adalah pukulan yang sangat telak, lebih menyakitkan daripada pukulan fisik. Namun, ia juga memikirkan ibu dan adiknya. Ia tidak bisa membiarkan mereka menjadi korban kegilaan Bapak Agung. Ia tidak bisa membiarkan tanah leluhurnya direbut.

Dengan suara bergetar yang nyaris tak terdengar, Dika berkata, "Baik, Bapak. Saya akan lakukan. Saya akan putus dengan Rama. Saya akan bekerja lebih keras. Saya akan melakukan apa saja asalkan keluarga saya aman."

"Bagus," Bapak Agung tersenyum puas, senyum kemenangan terpampang jelas di wajahnya. "Aku akan mengawasimu, Dika. Jangan sampai kau membuatku kecewa lagi. Ingat, takdirmu ada di tanganku."

Dika meninggalkan ruangan Bapak Agung dengan langkah gontai, kakinya terasa lemas, seolah tidak punya tenaga lagi. Jiwanya terasa tercabik-cabik, hancur berkeping-keping. Ia harus memilih antara cintanya pada Rama atau keselamatan keluarganya. Dan ia tahu, demi keluarganya, ia harus mengorbankan segalanya, termasuk hatinya. Ia harus menyakiti orang yang paling ia cintai, sebuah perbuatan yang akan menghantuinya seumur hidup. Bayangan gelap kembali menyelimuti dirinya, lebih pekat dari sebelumnya, menelan sisa-sisa harapan yang ia miliki.

Keputusan itu menghantam Dika seperti badai dahsyat yang meluluhlantakkan segalanya. Ia harus menyakiti Rama, mengusir satu-satunya cahaya yang menerangi kegelapan hidupnya sebagai Bunga. Hatinya perih, seolah dicabik-cabik, namun ia tidak punya pilihan. Demi ibu dan adiknya, demi tanah leluhur yang ia jaga mati-matian, ia harus melakukannya, meskipun itu berarti mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Ia merasa dirinya adalah monster, memaksa dirinya untuk berakting kejam kepada orang yang paling tulus padanya, kepada pria yang telah melihat jiwanya yang asli.

Malam berikutnya, ketika Rama datang ke klub, Dika (sebagai Bunga) memasang topeng paling dingin yang pernah ia miliki, topeng tanpa emosi, tanpa belas kasihan. Ia menghindar dari Rama, tidak menatap matanya, dan menolak setiap ajakan Rama untuk berbicara, setiap sentuhan yang mencoba mendekat. Rama, yang bingung dan terluka, terus mencoba mendekat, mencoba mencari jawaban di balik sikap dingin Bunga.

"Bunga, ada apa? Kenapa kau menghindariku? Ada apa yang terjadi?" tanya Rama, suaranya dipenuhi kepedihan dan kebingungan, seolah ia tidak mengenali Bunga yang ada di hadapannya.

Dika menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya, memaksa suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi. "Jangan dekati aku lagi, Rama," ucapnya dingin, membuang muka, menghindari tatapan Rama yang menyakitkan. "Aku tidak ingin ada urusan denganmu. Kau hanya mengganggu pekerjaanku, mengganggu kehidupanku di sini."

Rama terkejut, langkahnya terhenti. "Apa? Tapi... tapi kita sudah... kita punya sesuatu yang istimewa, Bunga."

"Itu semua hanya permainan, Rama," Dika memotongnya, suaranya bergetar namun ia memaksakan diri terdengar keras dan menusuk. "Kau hanyalah salah satu tamu yang mencari hiburan di sini. Aku di sini untuk uang, untuk melayani. Jangan terlalu bodoh dengan menganggap semua ini nyata, menganggap perasaanku tulus. Aku hanya berakting."

Wajah Rama memucat, darah seolah mengering dari wajahnya. Ia menatap Bunga dengan tatapan terluka yang tak bisa Dika tahan, tatapan yang menghancurkan hatinya. Air mata menggenang di mata Rama, perlahan mengalir di pipinya. "Kau... kau serius?"

Dika mengangguk, memaksa dirinya tersenyum sinis, sebuah senyum yang memuakkan bagi dirinya sendiri. "Ya. Sekarang pergilah. Aku punya banyak tamu lain yang harus dilayani, banyak uang yang harus kukumpulkan." Ia berbalik, memunggungi Rama, dadanya terasa sesak seolah ada batu besar menimpanya, sebuah beban yang tak tertahankan. Ia mendengar langkah kaki Rama yang menjauh, perlahan, tertatih-tatih, hingga akhirnya menghilang di keramaian klub. Saat itulah air mata Dika tumpah, mengalir deras membasahi riasan Bunga, menghapus topeng palsu yang ia kenakan. Hatinya hancur berkeping-keping, ia telah membunuh cinta yang baru saja mekar, demi melindungi orang-orang yang ia cintai.

Hari-hari berikutnya terasa seperti siksaan, setiap detik adalah penderitaan. Rama tidak lagi datang ke klub. Kursi yang biasa ia duduki kosong, senyumnya tidak lagi terlihat. Dika (sebagai Bunga) kembali tenggelam dalam kesendirian yang pahit, dalam kehampaan yang mencekam. Ia bekerja lebih keras, menghibur tamu dengan senyum palsu dan tawa hampa, mencoba mengumpulkan uang secepat mungkin, tanpa peduli pada dirinya sendiri. Ia tidak peduli lagi pada martabatnya, pada jiwanya, hanya pada angka-angka yang harus ia kumpulkan, pada hutang yang harus ia lunasi. Ia adalah Bunga, sebuah mesin penghasil uang bagi Bapak Agung, tanpa perasaan, tanpa keinginan.

Setelah berbulan-bulan yang terasa seperti bertahun-tahun, Dika akhirnya berhasil mengumpulkan jumlah uang yang disyaratkan oleh Bapak Agung. Jumlah itu besar, hasil dari keringat, air mata, dan kehancuran jiwanya. Dengan tubuh lelah yang terasa remuk dan jiwa yang kosong, ia menyerahkan seluruh uang itu kepada Bapak Agung.

Bapak Agung menghitung uang itu dengan cermat, senyum puas terukir di bibirnya yang tebal. "Bagus, Bunga. Kau memang anak yang berbakti dan pekerja keras. Hutang ibumu lunas. Dan kau bebas. Bebas dari kewajibanmu kepadaku."

Kata "bebas" itu terasa hampa di telinga Dika, sebuah ironi yang menyakitkan. Ia telah bebas dari hutang, namun ia merasa lebih terpenjara dari sebelumnya. Ia telah kehilangan jati dirinya, ia telah menghancurkan satu-satunya cinta yang ia temukan, ia telah menukarkan semua itu demi kebebasan yang terasa semu.

Dika kembali ke Ubud. Rumahnya masih berdiri kokoh, ibu dan adiknya selamat, mereka tidak kehilangan apa pun secara materi. Mereka memeluknya erat, menangis bahagia, mengucapkan terima kasih tak henti-henti. Namun, Dika tidak bisa merasakan kebahagiaan itu sepenuhnya. Ia telah kembali sebagai Dika, namun ia tidak lagi sama. Matanya kosong, senyumnya tidak mencapai mata, dan tangannya yang dulu cekatan memahat kini sering gemetar, kehilangan sentuhan magisnya. Ia mencoba kembali memahat, duduk di bale-bale favoritnya, namun inspirasinya telah hilang, ukiran-ukirannya terasa hampa. Ukiran-ukiran yang ia buat terasa kaku, tanpa jiwa, tidak lagi menggambarkan keindahan dewa-dewi, melainkan bayangan penderitaan yang ia alami, sebuah cerminan kehancuran di dalam dirinya.

Ia sering mengunjungi pantai di Seminyak, tempat ia dan Rama berbagi kebersamaan, tempat mereka menemukan surga kecil mereka. Ia akan duduk sendirian di pasir, menatap deburan ombak yang tak henti-hentinya, mencari jawaban dari lautan luas. Ia mencari jejak kaki Rama, mencari bayangan Rama di antara keramaian, di antara para turis yang berlalu lalang, namun ia tidak pernah menemukannya. Rama telah menghilang dari hidupnya, mungkin membencinya, mungkin telah menemukan kebahagiaan lain yang lebih pantas ia dapatkan. Rasa sakit itu tak pernah hilang, seperti luka menganga yang terus berdarah.

Meskipun ia telah kembali menjadi Dika, bagian dari dirinya telah mati bersama persona Bunga. Rambutnya ia biarkan memanjang lagi, kembali ke gaya aslinya, namun ia tidak peduli lagi pada penampilannya. Kulitnya kembali kecoklatan karena matahari, namun wajahnya yang memang cantik tetap menyimpan kecantikan yang melankolis, sebuah pengingat akan masa lalu yang pahit, sebuah bayangan Bunga yang terus melekat. Ia adalah seorang pria, namun ia telah merasakan bagaimana rasanya hidup sebagai wanita, dan pengalaman itu mengubahnya hingga ke inti, hingga ke sumsum tulangnya. Ia memahami betapa rapuhnya identitas, betapa mudahnya kehormatan direnggut, dan betapa besar harga sebuah kebebasan, sebuah kebebasan yang datang dengan luka yang tak tersembuhkan.

Dika melanjutkan hidupnya sebagai pemahat. Ia mengukir patung-patung dengan ketenangan yang baru, sebuah ketenangan yang muncul dari penerimaan atas takdirnya, atas semua yang telah terjadi. Ia tidak lagi mencoba lari dari bayangan Bunga. Bunga adalah bagian dari dirinya, sebuah bekas luka yang tidak akan pernah hilang, namun juga sebuah pelajaran berharga tentang kekuatan jiwa dan ketahanan manusia, sebuah pengingat akan perjuangan dan pengorbanan. Ia mungkin tidak lagi memiliki cinta Rama, namun kenangan akan kehangatan dan ketulusan pria itu akan selalu ia simpan di dalam hatinya, sebuah bara api kecil yang takkan pernah padam, menyala di tengah kehampaan.

Senja di Ubud masih menawarkan kedamaian, namun kini Dika melihatnya dengan mata yang berbeda, mata yang telah melihat banyak penderitaan namun juga telah menemukan kekuatan. Ia telah melewati badai, ia telah kehilangan sebagian dirinya, namun ia juga telah menemukan kekuatan yang tak terduga, sebuah ketahanan yang membuatnya tetap berdiri. Ia adalah Lelaki Bernama Bunga, sebuah paradoks, sebuah ukiran takdir yang pahit namun indah, sebuah kisah tentang pengorbanan dan jati diri. Jejak kakinya di pasir kehidupan mungkin akan perlahan terhapus oleh ombak, namun kisahnya akan tetap abadi dalam setiap pahatan yang ia buat, dan di setiap senja yang memudar di Tanah Bali, sebuah kisah yang akan selalu dikenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lelaki Lembut Yang Di Jadikan Waria

Bab 1: Fino dan Dinding Kaca Angin Bandung sore itu berembus pelan, membawa aroma petrikor yang baru saja membasahi aspal Jalan Cihampelas...