Jumat, 18 Juli 2025

Bunga Malam Di Sudut Kota



 

Jakarta selalu punya cerita, terutama saat malam menjelang. Lampu lampu kota mulai menyala, merangkai jaring cahaya yang membentang di atas gedung gedung pencakar langit. Di bawahnya, di sudut sebuah gang sempit yang remang remang, hiduplah Kevin. Usianya baru tujuh belas tahun, sebuah usia di mana seharusnya ia sibuk dengan buku pelajaran atau bermain bersama teman teman sebaya. Namun, dunia Kevin jauh berbeda. Setiap malam, Kevin bertransformasi menjadi Kirana, seorang waria muda dengan senyum menawan dan tatapan mata yang menyimpan ribuan rahasia.

Kirana bukanlah sekadar penampilan luar. Ia adalah jiwa yang berani, sebuah keindahan yang tumbuh di tengah kerasnya jalanan. Rambutnya yang memang sudah panjang dan lurus alami, terawat rapi, seringkali dibiarkan tergerai indah membingkai wajah halusnya. Riasan sederhana namun efektif yang menonjolkan mata bulat dan bibir penuhnya selalu menjadi andalannya. Gaun gaun sederhana berbahan licin, atau blus ketat dengan rok mini, menjadi seragam malamnya. Ia belajar merias wajahnya sendiri, dengan perlengkapan seadanya, hingga hasil riasannya tampak profesional. Kakinya yang ramping terbiasa berdiri berjam jam dengan sepatu hak tinggi, menantang kerasnya aspal. Di balik gemerlapnya kota, Kirana adalah bunga malam yang mencari secercah cahaya.

Kehidupan Kevin di siang hari adalah kebalikannya. Ia adalah seorang yatim piatu yang tinggal di sebuah kontrakan kecil nan kumuh bersama beberapa waria senior lainnya. Mereka adalah keluarga tak sedarah yang saling menopang. Siang hari, Kevin adalah remaja pendiam, kurus, dengan rambut panjang yang diikat atau dibiarkan terurai, berusaha menyamarkan dirinya agar tidak terlalu mencolok di keramaian. Ia sering membantu membersihkan kontrakan, mencuci pakaian, atau sekadar melamun menatap jalanan.

Kevin berasal dari Surabaya. Sejak kecil, ia sudah merasakan perbedaan dalam dirinya. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu ia adalah seorang perempuan yang terjebak dalam tubuh laki laki. Perasaan itu tumbuh kuat seiring usianya. Diam diam, tanpa sepengetahuan orang tuanya, ia mulai mencari informasi. Sejak kelas 2 SMA, ia mulai berani mengambil langkah kecil yang mengubah hidupnya: ia memulai terapi hormon secara sembunyi sembunyi. Setiap suntikan, setiap pil yang ia telan, adalah langkah menuju jati diri Kirana yang selama ini ia impikan. Ia merasakan perubahan pada tubuhnya, kulitnya terasa lebih halus, beberapa lekuk tubuhnya mulai terbentuk, dan emosinya menjadi lebih sensitif. Proses itu penuh ketakutan dan harapan. Ia menyembunyikan semua obat dan perubahannya dari keluarga, takut akan penolakan.

Setelah tamat SMA, ia membuat keputusan besar. Ia tak ingin lagi hidup dalam kebohongan. Dengan sedikit uang hasil tabungannya dan keberanian yang ia kumpulkan, Kevin merantau ke Jakarta. Meninggalkan Surabaya dan semua kenangan lama, ia datang ke kota metropolitan ini dengan satu tujuan: menjadi Kirana sepenuhnya. Jakarta, dengan segala anonimitasnya, memberinya kebebasan untuk mengekspresikan diri. Di sinilah ia menemukan komunitas barunya, para waria senior yang menjadi keluarga keduanya, mengajarinya cara bertahan hidup di kerasnya jalanan.

Setiap sore, ritual transformasi dimulai. Kevin akan duduk di depan cermin tua yang retak, mengambil alat riasnya satu per satu. Sapuan foundation yang menutupi noda noda di wajah, pulasan bedak yang membuat kulitnya tampak halus, goresan eyeliner yang mempertegas garis matanya, dan sentuhan lipstik merah yang membuat bibirnya terlihat berani. Proses itu bukan sekadar merias diri; itu adalah proses melepaskan Kevin dan memanggil Kirana. Setiap sapuan kuas adalah langkah menuju kebebasan, menuju sosok yang ia yakini ada di dalam dirinya. Pakaian pakaian feminin yang ia kenakan bukan hanya untuk penampilan, tapi untuk menegaskan siapa dirinya di dalam.

"Kirana, sudah siap, Nak?" tanya Bunda Rima, waria senior yang paling bijaksana di kontrakan itu, suaranya serak namun lembut.

Kirana tersenyum, berbalik. "Siap, Bunda."

Ia melangkah keluar, menembus lorong sempit yang bau, menuju keramaian jalanan. Malam adalah panggungnya. Ia berdiri di sudut jalan yang sama setiap malam, menawarkan senyum, tawa, dan sedikit kehangatan kepada siapa pun yang lewat. Ia menghadapi tatapan merendahkan, hinaan, bahkan kadang kekerasan fisik. Namun, Kirana memiliki jiwa yang kuat. Ia tahu ia melakukan ini bukan karena ia suka, tapi karena ia harus bertahan. Dan di balik semua itu, ada harapan kecil di hatinya, harapan untuk menemukan seseorang yang akan melihat Kirana, bukan hanya sebagai waria, tapi sebagai manusia yang berhak dicintai.

Beberapa dari mereka yang lewat adalah pelanggan, yang lain hanya sekadar ingin mengobrol, atau mencari hiburan sesaat. Kirana selalu menjaga dirinya, melindungi hatinya dari luka yang lebih dalam. Ia sudah terlalu sering merasakan perihnya penolakan dan pengkhianatan. Ia sudah terlalu sering melihat teman temannya jatuh ke lubang yang lebih dalam. Kirana belajar untuk tidak terlalu berharap, untuk tidak terlalu memercayai siapa pun. Ia membangun tembok di sekeliling hatinya, tipis namun cukup kuat untuk melindungi dirinya.

Suatu malam, seperti malam malam sebelumnya, Kirana berdiri di sudut jalan. Hujan baru saja reda, menyisakan bau tanah basah dan pantulan lampu jalanan di genangan air. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang lewat sesekali. Kirana kedinginan, gaun tipisnya tidak cukup menghalau angin malam yang menusuk tulang. Ia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba mencari kehangatan.

Tiba tiba, sebuah mobil hitam mewah berhenti tidak jauh darinya. Jendela mobil terbuka perlahan, menampakkan seorang pria paruh baya. Rambutnya memutih di pelipis, wajahnya tegas namun sorot matanya tampak lelah. Ia adalah sosok yang memancarkan aura maskulin yang kuat, terawat, dan berkelas. Pakaiannya rapi, kemeja dan celana bahan yang terlihat mahal. Ia terlihat jauh berbeda dari kebanyakan pria yang singgah di sana.

"Malam, Kirana," sapanya, suaranya berat dan tenang.

Kirana sedikit terkejut. Pria itu menyebut namanya, padahal ia belum pernah bertemu dengannya. Kirana membalas sapaan itu dengan senyum kecilnya yang khas. "Malam juga, Om."

"Boleh Om temani ngobrol sebentar?" tanyanya, nada suaranya sopan.

Kirana mengernyitkan dahi. Biasanya, para pria yang datang langsung pada intinya. Tapi pria ini berbeda. Ada kesopanan yang tulus dalam caranya berbicara. "Boleh, Om. Tapi ini bukan tempat yang nyaman untuk mengobrol."

Pria itu tersenyum tipis. "Saya tahu. Nama saya Burhan."

Om Burhan. Nama itu terasa hangat di telinga Kirana. Ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan: rasa penasaran. Biasanya, ia selalu berusaha menjaga jarak, tidak ingin terlibat terlalu dalam. Tapi kali ini, ada sesuatu pada Om Burhan yang membuatnya ingin tahu lebih jauh. Ia seperti magnet yang menarik Kirana, sesuatu yang membuat Kirana ingin menembus dinding pertahanannya.

Malam itu, mereka tidak melakukan apa apa. Om Burhan hanya mengajak Kirana masuk ke dalam mobil, menyalakan pemanas, dan mereka mengobrol. Mereka berbicara tentang hujan, tentang dinginnya malam, tentang Jakarta. Om Burhan tidak pernah membahas pekerjaan Kirana, tidak pernah melontarkan pertanyaan yang tidak sopan. Ia hanya mendengarkan Kirana berbicara, tatapan matanya selalu tenang dan penuh perhatian. Ia bertanya tentang mimpi mimpi Kirana, tentang apa yang ingin Kirana lakukan di masa depan. Kirana merasa aneh, nyaman, dan sedikit takut. Kenyamanan ini terasa begitu asing baginya.

Pertemuan itu berlanjut. Setiap malam, Om Burhan akan datang ke sudut jalan yang sama, mencari Kirana. Terkadang mereka hanya mengobrol di mobil, terkadang ia mengajak Kirana makan di warung tenda sederhana, jauh dari keramaian. Om Burhan selalu memperlakukan Kirana dengan hormat, seolah Kirana adalah wanita sejati yang layak dihormati. Ia tidak pernah menyentuh Kirana dengan cara yang tidak pantas, tidak pernah meminta lebih. Ia hanya ingin menemani, ingin mendengarkan.

Perhatian itu perlahan lahan meruntuhkan tembok yang dibangun Kirana di sekeliling hatinya. Ia mulai menantikan kehadiran Om Burhan setiap malam. Pria paruh baya itu menjadi secercah harapan di tengah kegelapan hidupnya. Kirana mulai berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, tentang mimpi mimpi yang belum terwujud, tentang kesepian yang ia rasakan. Om Burhan selalu mendengarkan dengan sabar, kadang menggenggam tangan Kirana untuk memberikan kekuatan. Ia tidak menawarkan solusi instan, tidak menjanjikan hal hal muluk. Ia hanya ada, menjadi pendengar setia, menjadi tempat Kirana bersandar.

Perasaan itu tumbuh pelan, menyelinap masuk ke dalam setiap celah hati Kirana. Ia tahu ia jatuh cinta. Jatuh cinta pada pria yang jauh lebih tua darinya, pria yang mungkin tidak akan pernah bisa sepenuhnya menerima dirinya. Tapi cinta tidak memilih. Dan bagi Kirana, Om Burhan adalah cahaya di kegelapan, harapan di tengah keputusasaan. Ia tahu ini akan sulit, sangat sulit. Tapi ia tidak bisa menahan perasaannya. Cinta itu terlalu kuat, terlalu nyata, untuk diabaikan. Ia tahu risiko yang ia ambil, tetapi ia tidak peduli. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kirana merasa dicintai, merasa dilihat.

Namun, di balik kebahagiaan yang mulai bersemi, ada bayangan hitam yang mengintai. Kirana tahu, dunia tidak akan pernah mengizinkan cinta mereka. Masyarakat terlalu kejam, terlalu menghakimi. Dan ada satu rahasia besar yang belum ia bagikan kepada Om Burhan: jati dirinya sebagai Kevin. Meskipun ia telah melakukan terapi hormon dan berpenampilan sebagai Kirana, ia masih Kevin di mata hukum dan sebagian besar dunia. Mungkinkah Om Burhan akan tetap menerima Kirana jika ia tahu tentang Kevin secara mendalam? Ketakutan itu selalu menghantui, bayang bayang penolakan selalu mengintai di balik setiap tawa dan setiap sentuhan. Ia mencintai Om Burhan, mungkin bahkan sangat mencintai, tapi ia takut. Sangat takut. Ia takut kehilangan kehangatan yang baru saja ia temukan, kehangatan yang telah lama ia rindukan. Ia memilih untuk menyimpan rahasianya, demi menjaga kebahagiaan yang terasa begitu rapuh. Setiap malam, ia berdoa agar rahasia itu tak pernah terbongkar. Namun, takdir sekali lagi memiliki rencana lain. Malam itu pun tiba.

Malam itu, Jakarta dilanda badai. Angin menderu kencang, menerbangkan dedaunan kering dan sampah di jalanan. Hujan turun begitu deras, menciptakan suara bising yang menusuk telinga. Di sudut jalan yang biasa ia tempati, Kirana menggigil kedinginan. Gaun tipisnya basah kuyup, menempel di tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya mulai luntur, membuat matanya terlihat lebih gelap. Ia meringkuk di bawah naungan sebuah toko yang tutup, mencoba melindungi diri dari amukan alam. Malam ini, jalanan benar benar sepi. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat, apalagi pelanggan. Hanya ia dan badai.

Tiba tiba, secercah cahaya menembus kegelapan. Sebuah mobil hitam mewah melaju perlahan, berhenti tepat di depannya. Jendela mobil terbuka, menampakkan wajah Om Burhan yang tampak khawatir.

"Kirana! Astaga, kenapa kamu di sini? Kenapa tidak pulang?" Suara Om Burhan terdengar panik.

Kirana berusaha tersenyum, namun tubuhnya terlalu gemetar. "Jalanan sepi, Om. Mau bagaimana lagi."

"Cepat masuk! Kamu bisa sakit!" perintah Om Burhan, nadanya tegas namun penuh kekhawatiran.

Kirana tidak berani membantah. Ia membuka pintu mobil dan masuk, tubuhnya yang basah kuyup langsung membasahi jok mobil. Pemanas mobil menyala, perlahan menghangatkan tubuhnya yang beku. Om Burhan menatapnya dengan tatapan prihatin. Ia tidak berkomentar tentang riasannya yang luntur atau penampilannya yang berantakan. Ia hanya melihat Kirana, manusia di balik semua itu.

"Kita ke apartemenku saja," kata Om Burhan, menyalakan mesin mobil. "Kamu harus mandi air hangat. Aku siapkan pakaian ganti."

Kirana terkejut. Ke apartemen Om Burhan? Ini adalah pertama kalinya ia diajak ke tempat pribadi Om Burhan. Selama ini, interaksi mereka selalu terbatas di luar. Sebuah debaran aneh muncul di dadanya, campuran antara ketakutan dan harapan. Ini adalah momen yang ia tunggu tunggu sekaligus takutkan.

Apartemen Om Burhan berada di kawasan elit, sebuah penthouse mewah dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Begitu mereka tiba, Om Burhan langsung mengantar Kirana ke kamar mandi.

"Aku siapkan air hangat. Kamu mandi dulu. Aku siapkan pakaian ganti." Ucap Om Burhan, nada suaranya begitu lembut.

Kirana mengangguk, masih merasa canggung. Ia masuk ke kamar mandi, tubuhnya gemetar. Air hangat yang membasahi tubuhnya terasa begitu menenangkan. Ia mencuci wajahnya, membiarkan semua riasan luntur bersama air. Ia membasahi rambut panjangnya, mengusapnya perlahan. Di bawah pancaran shower, Kirana kembali menjadi Kevin. Tubuhnya yang kurus, rambut panjangnya yang basah, tanpa riasan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, merasa takut. Apakah Om Burhan akan tetap menerima dirinya?

Setelah selesai mandi, Kevin melilitkan handuk di tubuhnya. Ia berjalan keluar kamar mandi, merasa sangat tidak nyaman. Di tempat tidur, Om Burhan sudah menyiapkan pakaian. Bukan gaun, bukan daster, melainkan kaus oblong dan celana training longgar. Pakaian yang biasa dikenakan Kevin. Om Burhan tahu. Ia pasti melihat sesuatu.

Om Burhan berbalik, menatap Kevin. Tatapan matanya lurus, tidak ada kejutan, tidak ada penghakiman. Hanya ada kelembutan dan pengertian. Ia seolah sudah tahu, seolah sudah melihat lebih dari sekadar Kirana di balik riasan dan gaun.

"Pakai ini dulu, Kevin," kata Om Burhan, suaranya tenang, menyebut nama aslinya.

Jantung Kevin mencelos. Nama itu. Nama yang sudah lama tidak ia dengar dari orang lain selain Bunda Rima dan teman teman di kontrakan. Ia menunduk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Momen yang ia takutkan akhirnya tiba. Momen di mana rahasia Kevin terbongkar.

"Maafkan aku, Om," bisik Kevin, suaranya serak. Ia merasa sangat malu, sangat bersalah. Ia takut Om Burhan akan pergi, akan merasa jijik.

Om Burhan melangkah mendekat, perlahan. Ia mengangkat dagu Kevin, memaksa Kevin untuk menatap matanya. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sayang. Aku tahu kamu Kirana, dan aku tahu kamu Kevin. Itu tidak mengubah apapun bagiku."

Kata kata itu bagai embun penyejuk di tengah gurun kekeringan hati Kevin. Air mata yang tadi hanya menggenang kini mengalir deras membasahi pipinya. Ia tidak bisa menahan tangisnya. Tangis kelegaan, tangis haru, tangis kebahagiaan. Untuk pertama kalinya, ia merasa sepenuhnya diterima oleh seseorang di luar komunitasnya.

Om Burhan menarik Kevin ke dalam pelukannya yang hangat. Kevin membenamkan wajahnya di dada Om Burhan, membiarkan semua ketakutan dan rasa sakit yang selama ini ia pikul tumpah ruah. Om Burhan membelai rambut panjang Kevin dengan lembut, menenangkan.

"Aku sudah tahu, Kevin. Sejak awal aku melihatmu, aku tahu ada sesuatu yang istimewa. Aku tidak tahu detailnya, tapi aku merasakan kelembutan di balik penampilanmu. Dan aku menerimanya," bisik Om Burhan, suaranya berat namun penuh kasih sayang.

Sejak malam itu, dinding rahasia yang selama ini Kevin bangun dengan susah payah akhirnya runtuh. Bukan karena dihancurkan dengan paksa, melainkan karena diterobos oleh kelembutan dan penerimaan yang tak terduga dari Om Burhan. Hubungan mereka berubah, dari sekadar perhatian menjadi ikatan yang mendalam. Mereka mulai berbicara lebih terbuka tentang segalanya, termasuk tentang terapi hormon yang Kevin lakukan dan bagaimana ia menemukan dirinya sebagai Kirana. Om Burhan mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa penghakiman, hanya dengan keinginan untuk memahami lebih dalam.

Kevin, atau Kirana, merasa lebih bebas dari sebelumnya. Ia tidak lagi perlu memakai topeng di hadapan Om Burhan. Ia bisa menjadi dirinya yang seutuhnya, dengan segala kompleksitas dan perjalanannya. Penerimaan Om Burhan adalah anugerah terbesar yang pernah ia dapatkan. Ia tahu, cinta ini mungkin tidak mudah, akan ada banyak rintangan. Tapi dengan Om Burhan di sisinya, ia merasa kuat. Ia merasa memiliki rumah. Rumah yang tidak terbuat dari bata dan semen, melainkan dari cinta dan penerimaan.

Setelah malam pengakuan yang penuh haru itu, hubungan Kirana dan Om Burhan memasuki babak baru yang lebih dalam dan intim. Topeng Kevin telah sepenuhnya terlepas di hadapan Om Burhan, dan Kirana merasa seperti burung yang baru saja dilepaskan dari sangkar. Rasa takut akan penolakan telah sirna, digantikan oleh kedamaian dan keyakinan bahwa ia dicintai apa adanya. Om Burhan tidak hanya menerima, ia merangkul setiap inci dari Kirana, termasuk masa lalu Kevin dan perjalanannya menuju jati diri yang sesungguhnya.

Malam malam mereka di apartemen mewah Om Burhan menjadi surga kecil bagi Kirana. Di sana, ia bisa sepenuhnya menjadi Kirana, tanpa kekhawatiran. Ia seringkali menghabiskan waktu dengan Om Burhan, mengenakan gaun tidur satin, atau sekadar daster lembut. Rambut panjangnya yang lurus akan ia biarkan terurai, sesekali Om Burhan akan menyisirnya dengan jemari besarnya, sebuah sentuhan yang penuh kasih sayang. Mereka tidak selalu harus berbicara. Terkadang, keintiman mereka terjalin dalam keheningan yang nyaman, saat mereka duduk berdampingan di sofa, menonton televisi, atau sekadar memandangi kerlip lampu kota dari jendela penthouse.

Om Burhan menunjukkan perhatiannya dengan cara cara yang sederhana namun bermakna. Ia tidak pernah lupa menanyakan bagaimana hari Kirana di jalanan, apakah ia baik baik saja, atau apakah ia membutuhkan sesuatu. Ia akan menyiapkan teh hangat untuk Kirana setelah seharian ia berdiri, atau sekadar mengelus pipi Kirana saat ia melihat gurat lelah di wajahnya. Om Burhan tidak pernah meminta Kirana untuk mengubah apapun. Ia mencintai Kirana dengan segala kelembutan, keindahan, dan juga kerapuhannya.

Kirana, di sisi lain, juga mulai belajar banyak tentang Om Burhan. Ia mengetahui bahwa Om Burhan adalah seorang pengusaha sukses yang sering bepergian, yang hidupnya terlihat sempurna dari luar namun menyimpan kesepian yang mendalam. Om Burhan adalah duda tanpa anak, yang kehilangan istrinya bertahun tahun lalu dan belum pernah menemukan cinta lagi hingga bertemu Kirana. Ia bercerita tentang tekanan pekerjaan, tentang beban yang ia pikul sebagai kepala perusahaan, tentang rasa kosong yang ia rasakan meskipun dikelilingi kemewahan. Kirana, dengan segala kepolosan dan kepekaan jiwanya, menjadi pendengar setia bagi Om Burhan. Ia menawarkan kenyamanan, pemahaman, dan kehangatan yang selama ini mungkin tidak pernah Om Burhan dapatkan. Mereka berdua, dua jiwa dari dunia yang sangat berbeda, menemukan kesamaan dalam kesepian dan mendambakan cinta yang tulus.

"Om, kenapa Om mau sama aku?" tanya Kirana suatu malam, saat mereka berdua duduk di balkon, ditemani angin malam Jakarta. Gaun sutra ungu yang dikenakan Kirana berkibar pelan.

Om Burhan tersenyum, mengelus rambut Kirana. "Kenapa tidak? Kamu Kirana, kamu cantik, kamu baik. Kamu membuat duniaku yang sepi ini jadi lebih berwarna. Aku tidak peduli dengan apa kata orang, atau siapa kamu di mata dunia. Aku hanya peduli dengan siapa kamu di mataku, dan di hatiku."

Jawaban itu selalu berhasil membuat hati Kirana menghangat. Ia tahu, cinta Om Burhan itu tulus. Tapi ia juga tahu, dunia tidak akan semudah itu menerima mereka. Perbedaan usia yang mencolok, ditambah identitas Kirana sebagai waria, akan menjadi penghalang besar. Namun, untuk saat ini, ia ingin menikmati kebahagiaan ini. Ia ingin tenggelam dalam pelukan Om Burhan, melupakan sejenak kenyataan pahit di luar sana.

Om Burhan juga sesekali membawa Kirana ke tempat tempat yang lebih privat, seperti restoran kelas atas yang tidak terlalu ramai, atau galeri seni di mana mereka bisa menikmati karya seni tanpa banyak gangguan. Di tempat tempat itu, Kirana akan berpenampilan semaksimal mungkin sebagai Kirana, dengan gaun anggun dan riasan yang sempurna. Om Burhan akan menggenggam tangannya dengan bangga, seolah ingin menunjukkan kepada dunia betapa ia mencintai Kirana. Meski begitu, Kirana selalu sadar bahwa mereka harus berhati hati. Dunia Om Burhan adalah dunia yang penuh dengan mata yang menghakimi, dan ia tidak ingin merusak reputasi Om Burhan.

Suatu hari, Om Burhan menawarkan sesuatu yang tak pernah Kirana bayangkan. "Kirana, bagaimana kalau kamu tidak perlu lagi bekerja di jalanan? Aku bisa menopangmu. Kamu bisa melakukan hal yang kamu suka, belajar, atau apapun itu."

Kirana terkejut. Tawarannya begitu menggiurkan, sebuah kesempatan untuk lepas dari kerasnya kehidupan jalanan. Tapi ada keraguan di hatinya. Ia tidak ingin menjadi beban, tidak ingin bergantung sepenuhnya pada Om Burhan. Ia juga memiliki harga diri.

"Aku tidak mau merepotkan Om," jawab Kirana lembut. "Aku ingin tetap bisa mandiri. Tapi mungkin aku bisa belajar menjahit, atau membuat riasan."

Om Burhan tersenyum. "Apapun yang kamu inginkan, Sayang. Aku akan mendukungmu. Aku ingin kamu bahagia dan aman."

Kata kata itu adalah janji, janji akan masa depan yang lebih baik. Kirana memutuskan untuk mengambil kursus menjahit dan tata rias, menggunakan uang yang diberikan Om Burhan. Ia belajar dengan giat, berharap suatu hari ia bisa membuka butik kecil atau salon riasnya sendiri. Impian itu kini terasa lebih nyata, bukan lagi sekadar angan angan di bawah sinar rembulan.

Namun, di tengah semua kebahagiaan ini, ada satu hal yang tak bisa Kirana lupakan: status sosial mereka. Om Burhan adalah pengusaha terkemuka, sementara Kirana adalah seorang waria jalanan. Jarak sosial itu begitu besar, dan ia tahu, akan ada saatnya mereka harus menghadapi kenyataan. Ada momen ketika Kirana melihat tatapan mata Om Burhan yang tampak lebih sedih dari biasanya, tatapan yang menyiratkan kekhawatiran tentang masa depan mereka. Kirana tahu, Om Burhan juga memikirkan hal yang sama. Mereka hidup dalam gelembung kebahagiaan mereka, namun gelembung itu bisa pecah kapan saja.

Kirana juga mulai merasakan efek samping dari terapi hormon yang ia jalani sejak remaja. Kadang ia merasa lebih emosional, lebih rentan, atau kadang tubuhnya terasa nyeri. Ia tidak pernah memberitahu Om Burhan tentang ini, tidak ingin menambah kekhawatiran Om Burhan. Ia hanya menelannya sendiri, dengan harapan semua ini sepadan dengan kebahagiaan yang ia rasakan saat menjadi Kirana di samping Om Burhan. Ia tahu, jalan ini memiliki risiko.

Suatu malam, saat Om Burhan sedang dalam perjalanan bisnis, Kirana merasakan kesepian yang mendalam. Ia rindu pelukan Om Burhan, rindu suaranya, rindu tatapan matanya yang menenangkan. Ia tahu, cinta mereka begitu kuat, tapi bisakah cinta itu bertahan menghadapi dunia yang kejam? Ia memandang dirinya di cermin, melihat Kirana yang cantik, namun juga melihat Kevin, remaja yang masih rapuh di dalamnya. Perjalanan ini masih panjang, dan ia tidak tahu apa yang menanti mereka di ujung jalan. Namun, untuk saat ini, ia akan menikmati setiap detik kebahagiaan yang ada.

Kebahagiaan Kirana dan Om Burhan memang tak pernah lekang, namun seperti kapal yang berlayar di samudra luas, badai pasti akan datang. Hubungan mereka, yang terbangun di atas fondasi cinta dan penerimaan tulus, mulai diuji oleh realitas dunia yang keras. Lingkaran sosial Om Burhan, yang selama ini hanya samar samar diketahui Kirana, kini mulai menampakkan taringnya. Sebuah pernikahan penting rekan bisnis Om Burhan mengharuskan kehadiran semua kolega dan keluarga inti. Om Burhan merasa ia harus mengajak Kirana, bukan sebagai tamu biasa, melainkan sebagai pasangannya.

"Kirana, aku ingin kamu datang bersamaku," ucap Om Burhan suatu sore, saat mereka bersantai di apartemennya. Ia membelai rambut Kirana yang terurai. Kirana saat itu mengenakan dress floral yang lembut, salah satu hadiah dari Om Burhan.

Kirana merasakan debaran di dadanya. Campur aduk antara senang dan takut. Senang karena Om Burhan ingin memperkenalkan dirinya, takut karena ia tahu konsekuensinya. "Tapi, Om, ini acara penting. Aku yakin semua orang akan melihatku aneh."

"Tidak ada yang aneh tentang kamu, Sayang," Om Burhan meyakinkan, menatap lurus ke mata Kirana. "Kamu cantik. Dan kamu pasanganku. Biar saja mereka bicara apa, aku tidak peduli."

Meskipun kata kata Om Burhan menenangkan, ketakutan masih menggerogoti hati Kirana. Ia tahu risiko besar yang akan ia ambil, dan yang lebih penting, yang akan Om Burhan ambil. Namun, ia tidak ingin mengecewakan Om Burhan. Ia ingin berada di sisi pria yang sangat ia cintai itu. Dengan berat hati, ia mengangguk setuju.

Malam acara tiba. Kirana mengenakan gaun malam berwarna emerald hijau yang anggun, pilihan Om Burhan. Rambutnya ditata rapi, wajahnya dirias dengan sempurna. Ia tampak sangat cantik, memancarkan aura keanggunan. Om Burhan menatapnya dengan bangga.

"Kamu luar biasa, Kirana," bisiknya, mencium punggung tangan Kirana.

Mereka tiba di lokasi acara, sebuah ballroom mewah di salah satu hotel bintang lima. Kilauan lampu kristal menyilaukan mata, suara obrolan dan tawa riuh rendah memenuhi ruangan. Banyak pasang mata langsung tertuju pada mereka begitu mereka melangkah masuk. Kirana bisa merasakan bisikan bisikan mulai terdengar, tatapan tatapan aneh yang mengiringi langkah mereka. Ia mencoba bersikap tenang, menggenggam erat tangan Om Burhan.

Om Burhan, di sisi lain, tampak begitu tenang dan percaya diri. Ia memperkenalkan Kirana kepada rekan rekan bisnisnya, kepada keluarga besarnya. "Ini Kirana, pasanganku," katanya dengan senyum tulus, tanpa sedikit pun keraguan.

Beberapa orang menyambutnya dengan senyum dan sapaan ramah, namun sebagian besar menunjukkan raut wajah terkejut, bingung, bahkan jijik. Bisikan bisikan semakin kencang, bahkan beberapa tamu terang terangan menunjuk dan tertawa. Kirana bisa mendengar kata kata seperti "aneh", "tidak tahu malu", dan "memalukan". Hatinya perih, namun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan reaksi. Ia memaksakan senyum, mencoba tetap anggun.

Salah satu momen paling menyakitkan terjadi ketika adik perempuan Om Burhan, seorang wanita paruh baya yang terlihat angkuh, menghampiri mereka. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang jelas.

"Om Burhan, apa apaan ini?" suaranya menusuk, menarik perhatian orang orang di sekitar. "Kau membawa banci ke acara penting keluarga kita? Kau mau mempermalukan nama baik keluarga?"

Om Burhan mengeraskan rahangnya. "Jaga bicaramu, Diana. Kirana adalah pasanganku."

"Pasangan? Sampai kapan kau akan main main dengan hal seperti ini? Kau sudah tua, Om. Keluarga kita butuh penerus, butuh nama baik! Bukan skandal memalukan seperti ini!"

Kirana merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin lari, ingin menghilang dari sana. Kata kata itu begitu menyakitkan, menusuk hingga ke ulu hati. Ia tahu, ia adalah sumber masalah ini.

Om Burhan menarik Kirana mendekat, seolah ingin melindunginya. "Diana, hentikan! Aku tidak akan membahas ini di sini."

Namun, Diana tidak menyerah. "Kau tahu, Om. Ayah pasti akan sangat kecewa. Bisnis kita juga bisa terpengaruh karena skandal ini!"

Ancaman itu, entah mengapa, tampaknya sangat memukul Om Burhan. Wajahnya yang tadi tegas kini menunjukkan gurat kesedihan dan kebingungan. Ia menatap Kirana, dan Kirana bisa melihat rasa sakit di matanya. Rasa sakit karena ia telah menyebabkan masalah bagi Om Burhan, pria yang sangat ia cintai.

Akhirnya, Om Burhan menarik Kirana keluar dari ballroom. Mereka meninggalkan pesta yang riuh rendah itu, menyisakan tatapan tatapan penasaran dan bisikan bisikan. Di dalam mobil, keheningan mencekam. Kirana tidak berani berbicara, ia hanya menunduk, menahan tangis.

"Maafkan aku, Om," bisiknya pelan, air mata mengalir deras. "Aku sudah membuat Om malu."

Om Burhan tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, sangat panjang, seolah memikul beban yang begitu berat. Ia mengemudi dalam diam, kembali ke apartemennya. Sesampainya di sana, Om Burhan langsung masuk ke kamar tidurnya tanpa berbicara sepatah kata pun. Ia membiarkan Kirana sendirian di ruang tamu yang luas.

Kirana duduk di sofa, merasa hancur. Ia tahu, badai telah datang. Dan badai itu menghantam keras. Ia telah membawa masalah bagi Om Burhan. Ia telah menjadi aib bagi pria yang ia cintai. Malam itu, Kirana tidur di sofa ruang tamu, sendiri dalam kesedihan, merenungi nasib cintanya yang terasa begitu rapuh. Ia tahu, ini bukan akhir, tapi awal dari sebuah perpisahan yang akan menyakitkan.

Pagi itu, suasana di apartemen Om Burhan terasa sangat dingin, bukan karena suhu, melainkan karena kebekuan di antara mereka. Om Burhan keluar dari kamar dengan wajah lelah, matanya sembab, seolah tidak tidur semalaman. Kirana sudah terbangun dari tidur singkatnya di sofa. Ia masih mengenakan gaun pesta kemarin malam, rambutnya sedikit berantakan, riasannya sudah lama luntur.

Om Burhan duduk di hadapan Kirana, di seberang meja kopi. Ia tidak menatap Kirana, pandangannya kosong menatap lantai. Keheningan yang panjang dan menyiksa menyelimuti mereka. Kirana merasakan jantungnya berdegup tak karuan. Ia tahu, ini akan menjadi momen yang paling ia takuti.

"Kirana," suara Om Burhan akhirnya memecah keheningan, serak dan penuh beban. "Aku minta maaf."

Kirana menggeleng pelan, air mata mulai menggenang lagi. "Tidak, Om. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku sudah membuat Om malu."

Om Burhan akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Kirana. Matanya penuh kesedihan, rasa sakit yang mendalam. "Bukan salahmu, Sayang. Ini salahku. Aku tidak seharusnya membawamu ke sana. Aku tidak seharusnya membuatmu menghadapi semua itu."

Ia menghela napas panjang. "Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini, Kirana."

Kalimat itu, meskipun sudah Kirana duga, tetap menghantamnya bagai palu godam. Seluruh dunianya terasa runtuh dalam sekejap. Air mata yang tadi hanya menggenang kini jatuh deras membasahi pipinya. "Kenapa, Om?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

"Aku mencintaimu, Kirana. Sungguh, aku sangat mencintaimu," Om Burhan berkata, suaranya bergetar. "Tapi aku punya keluarga, bisnis. Aku tidak bisa membiarkan mereka hancur karenaku. Adikku benar, Kirana. Ayahku, nama baik keluarga, semua akan terpengaruh. Aku tidak sekuat itu untuk melawan dunia."

Kirana tahu ini akan terjadi. Ia sudah mempersiapkan diri. Namun, tetap saja sakitnya tak tertahankan. Dada Kirana terasa sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya. Ia tidak menyalahkan Om Burhan. Ia mengerti. Om Burhan adalah pria terhormat, punya tanggung jawab besar. Tidak seperti dirinya yang hanya seorang waria jalanan tanpa apa apa.

"Aku mengerti, Om," ucap Kirana, mencoba mengumpulkan sisa sisa kekuatannya. "Aku tahu ini akan sulit. Aku tahu aku tidak pantas untuk Om."

"Jangan bicara begitu!" Om Burhan membantah, suaranya sedikit meninggi. "Kamu pantas untuk segalanya, Kirana. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik. Hanya saja, aku tidak bisa memberikannya padamu. Aku tidak bisa memberimu kehidupan normal yang layak, tanpa celaan, tanpa bisikan."

Ia berdiri, melangkah mendekat, berlutut di hadapan Kirana yang masih duduk di sofa. Ia menggenggam kedua tangan Kirana yang dingin. "Aku minta maaf, Kirana. Maafkan aku karena harus menyakitimu seperti ini."

Air mata Om Burhan juga menetes, membasahi tangan Kirana. Ini adalah pertama kalinya Kirana melihat Om Burhan menangis. Pria maskulin dan tegar itu kini tampak begitu rapuh di hadapannya. Hati Kirana semakin hancur. Ia tahu, Om Burhan juga menderita.

"Jangan menangis, Om," bisik Kirana, mengusap air mata Om Burhan dengan jemarinya. "Aku tidak ingin Om sedih karenaku."

Om Burhan memeluk Kirana erat, pelukan terakhir yang terasa begitu menyakitkan. "Aku akan selalu mengingatmu, Kirana. Kamu adalah wanita terhebat yang pernah aku kenal."

Beberapa saat kemudian, mereka melepaskan pelukan. Om Burhan berdiri, memberikan sebuah amplop tebal kepada Kirana. "Ini untukmu. Gunakan untuk masa depanmu. Jangan kembali ke jalanan. Wujudkan impianmu untuk punya butik atau salon."

Kirana mengambil amplop itu dengan tangan gemetar. Ia tahu, ini adalah tanda perpisahan. Ia tidak bisa menolak. Ia hanya bisa mengangguk, air mata masih mengalir.

Om Burhan tersenyum tipis, senyum yang dipaksakan. "Aku harus pergi, Kirana. Semoga kamu bahagia."

Ia berbalik, melangkah menuju pintu. Kirana hanya bisa menatap punggung tegap itu. Ia ingin berteriak, ingin memohon agar Om Burhan tidak pergi. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tahu, ini adalah akhir. Akhir dari kisah cinta yang begitu indah namun tragis.

Pintu apartemen Om Burhan tertutup rapat, meninggalkan Kirana sendirian di ruang tamu yang luas dan hening. Kali ini, ia tidak hanya sendirian, tetapi juga merasa hampa. Duka yang mendalam merobek hatinya. Cinta yang baru saja ia temukan, rumah yang baru saja ia bangun, kini telah lenyap.

Kirana kembali ke kontrakan lamanya. Bunda Rima dan teman teman lainnya menyambutnya dengan tatapan prihatin. Mereka tahu ada sesuatu yang terjadi. Kirana tidak bercerita banyak, hanya mengatakan bahwa hubungannya dengan Om Burhan tidak bisa berlanjut. Mereka memeluknya, memberikan dukungan dalam diam.

Beberapa hari, bahkan minggu, berlalu. Kirana tidak kembali ke jalanan. Ia menggunakan uang dari Om Burhan untuk mendaftar kursus menjahit dan tata rias yang lebih serius. Ia belajar dengan giat, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa sakit di hatinya. Namun, setiap jahitan, setiap sapuan kuas, selalu mengingatkannya pada Om Burhan.

Ia sering termenung, memandangi pantulan dirinya di cermin. Ia melihat Kirana, wanita yang dicintai Om Burhan. Namun ia juga melihat Kevin, remaja yang hatinya hancur. Ia tahu, ia harus melanjutkan hidup. Impiannya harus tetap ia kejar. Tapi duka kehilangan Om Burhan akan selalu membekas di hatinya, seperti tato yang tak bisa dihapus.

Suatu sore, saat ia sedang duduk di bangku taman, mencoba membaca buku menjahit, ia melihat sebuah mobil hitam mewah melintas di kejauhan. Hatinya berdesir. Apakah itu Om Burhan? Ia tidak tahu. Ia hanya bisa menatap mobil itu menghilang di antara keramaian kota.

Kirana tahu, hidup harus terus berjalan. Ia akan menjadi Kirana yang lebih kuat, lebih mandiri. Ia akan mewujudkan impiannya. Namun, ia tidak akan pernah melupakan Om Burhan, cinta pertamanya, pria yang melihatnya sebagai Kirana seutuhnya. Ia akan selalu mengingat kehangatan pelukannya, kelembutan tatapannya, dan kalimat yang selalu menghangatkan hatinya: "Kamu cantik banget."

Meskipun akhir kisah mereka sedih, Kirana tahu, cinta itu telah mengubahnya. Ia telah belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menerima siapa dirinya, dan untuk berani bermimpi. Di bawah langit Jakarta yang sama, Kirana akan terus menjadi bunga malam, yang kini mekar dengan lebih kuat, meskipun dengan hati yang membawa duka, namun juga membawa kenangan indah tentang cinta yang pernah ada. Ia tahu bahwa meskipun mereka tidak bisa bersama, Om Burhan akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya, bagian dari perjalanan Kirana yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lelaki Lembut Yang Di Jadikan Waria

Bab 1: Fino dan Dinding Kaca Angin Bandung sore itu berembus pelan, membawa aroma petrikor yang baru saja membasahi aspal Jalan Cihampelas...