Rabu, 23 Juli 2025

Feminimisasi Paksa ( Chapter 2 )

  


Malam itu, kegelapan pekat menyelimuti kediaman megah Ko Min Aung, namun di dalam kamar Andi, sebuah cahaya remang-remang dari lampu samping ranjang terasa menyesakkan, seolah menyoroti setiap inci ketakutan yang merayapi jiwanya. Jeda dari rutinitas harian yang kejam, yang didominasi oleh diet ketat dan terapi paksa, seringkali hanya berarti perpindahan ke bentuk penyiksaan psikologis lain. Ketukan pelan di pintu, nyaris tak terdengar namun menggema di seluruh ruang sunyi, membuat jantung Andi mencelos. Ia tahu itu bukan pelayan yang membawa makanan hambar atau pengasuh yang mengawasi. Ini adalah pertanda kehadiran yang lebih menakutkan, sosok yang menjadi arsitek dari neraka pribadinya.

 

Pintu terbuka tanpa suara, dan Ko Min Aung muncul dari balik bayangan. Ia tidak mengenakan jubah mewah atau setelan sutra seperti biasa, melainkan jubah mandi satin gelap yang mengalir, menambah kesan akrab yang justru terasa lebih mengintimidasi. Tatapan matanya, yang selalu setajam pisau, kini memancarkan intensitas yang berbeda, sebuah campuran antara penilaian dingin dan sesuatu yang lebih pribadi, lebih menyeramkan. Andi, yang baru saja selesai ritual malamnya dan mengenakan daster lengkap dengan pakaian dalam, merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia berdiri di tengah ruangan, punggungnya lurus, tangan terkepal samar di samping tubuh, sebuah pertahanan yang sia-sia di hadapan kekuasaan mutlak pria itu.

 

Ko Min Aung melangkah masuk, langkahnya pelan dan berirama, seolah ia sedang melakukan sebuah ritual suci. Ia tidak berbicara, hanya mengamati. Tatapannya menelusuri setiap inci tubuh Andi, dari ujung rambut yang mulai memanjang melewati bahunya, menuruni lekuk lehernya yang ramping, melintasi bahunya yang kini lebih lembut, hingga ke kaki jenjang yang terlihat di balik belahan daster yang ia kenakan. Ini bukan sentuhan fisik yang vulgar, melainkan tatapan dingin yang membuat Andi merasa telanjang dan dieksploitasi secara emosional dan psikologis. Dia dipaksa berdiri tegak, membiarkan tatapan menilai itu merasukinya, sebuah mikroskop tak kasat mata yang memeriksa setiap perubahan pada dirinya.

 

Setiap napas terasa berat, setiap detik terasa seperti jam. Andi merasakan pori-pori kulitnya merinding, seolah tatapan itu memiliki wujud fisik yang merayapi dirinya. Rasa mual samar muncul di perutnya, efek kombinasi antara rasa lapar yang kronis dan ketakutan yang melumpuhkan. Ko Min Aung mengitari Andi perlahan, seperti seorang seniman yang mengagumi patung hasil karyanya, mengamati dari berbagai sudut, memastikan setiap detail sesuai dengan visinya. Keheningan di antara mereka adalah beban yang nyaris tak tertahankan, dipenuhi oleh gemuruh detak jantung Andi yang memburu dan desiran napas Ko Min Aung yang teratur.

 

"Punggungmu," suara Ko Min Aung akhirnya memecah keheningan, pelan namun menusuk, seperti benang sutra yang mengikat dan mencekik. "Semakin melengkung. Posturmu... mulai menampilkan keanggunan. Itu bagus." Setiap pujian yang keluar dari bibirnya terasa seperti kutukan, sebuah konfirmasi bahwa proses dehumanisasi dirinya berjalan sesuai rencana pria itu. Andi hanya bisa berdiri diam, menahan rasa jijik dan kehinaan yang membanjiri jiwanya. Momen itu lebih dari sekadar pemeriksaan fisik; itu adalah penegasan kekuasaan Ko Min Aung atas dirinya, membuat Andi merasa lebih rendah dari sekadar benda, sebuah objek yang bisa dibentuk dan dipahat sesuai kehendak sang pemilik.

 

Ko Min Aung berhenti di depan Andi. Tatapannya kini naik ke wajahnya, menelisik matanya yang dipenuhi ketakutan. "Matamu... masih ada jejak perlawanan di sana. Tapi itu akan pudar, Isabella. Percayalah." Ia mengangkat tangannya perlahan, membuat Andi tanpa sadar sedikit tersentak, namun tak ada sentuhan yang datang. Jari-jari Ko Min Aung hanya melayang di udara, beberapa inci dari wajah Andi, seolah ia sedang mengukur jarak, atau menimbang potensi.

 

"Rambutmu," lanjut Ko Min Aung, suaranya kini terdengar lebih reflektif, seolah ia berbicara pada dirinya sendiri. "Perlu perawatan lebih lanjut. Aku menginginkan kilau alami, kelembutan, yang akan membingkai wajahmu dengan sempurna."

 

Ia kemudian meraih sebuah sisir perak yang tergeletak di meja samping ranjang, dan tanpa berkata apa-apa, ia mulai menyisir rambut Andi. Gerakannya lembut, namun setiap tarikan sisir terasa seperti menarik jiwa Andi, mengikatnya lebih erat pada takdir barunya. Andi memejamkan mata, menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Bau sampo mahal yang menempel di rambutnya, sentuhan jari-jari Ko Min Aung yang sesekali menyentuh kulit kepalanya, semuanya terasa asing dan menjijikkan. Ia adalah boneka, dan Ko Min Aung adalah dalangnya, yang tak hanya menggerakkan tubuhnya, tetapi juga membentuk setiap helai rambutnya.

 

Setelah beberapa menit yang terasa tak berujung, Ko Min Aung meletakkan sisir itu. Ia kembali mengitari Andi sekali lagi, mengakhiri inspeksinya. "Pakaian ini... juga cocok untukmu. Menyoroti garis tubuhmu yang mulai terbentuk."

 

Tiba-tiba, Ko Min Aung berhenti di belakang Andi. Isabella merasakan napas hangat pria itu di lehernya, sebuah sensasi yang membuat seluruh bulu kuduknya merinding. Tanpa peringatan, Ko Min Aung menunduk dan mencium bagian belakang leher Andi, sebuah sentuhan singkat namun penuh kepemilikan yang menegaskan posisinya sebagai seorang wanita. Tubuh Andi menegang, namun ia tidak bisa bergerak.

 

"Kau sempurna, Isabella," bisik Ko Min Aung, suaranya dalam dan penuh kemenangan. "Atau setidaknya, kau akan segera sempurna. Aku melihatnya. Potensinya ada di dalam dirimu."

 

Kemudian, Ko Min Aung melangkah ke samping Andi, memegang dagunya dan mengangkat wajahnya sekali lagi. Matanya menatap intens, sebuah kilatan hasrat yang tak salah lagi terlihat. Tanpa sepatah kata, ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Andi, sebuah ciuman yang dalam dan penuh dominasi, yang menegaskan kembali kendalinya. Isabella tidak membalas, tubuhnya kaku, tetapi Ko Min Aung tidak peduli. Ia terus menciumnya, menuntut, hingga Isabella merasa napasnya tercekat.

 

Setelah ciuman itu berakhir, Ko Min Aung menarik diri. Sebuah senyum puas terpampang di wajahnya. "Ingat, Isabella," katanya, suaranya kembali ke nada perintah yang dingin. "Setiap hal yang kulakukan, setiap perubahan yang kau alami, adalah untuk kebaikanmu. Dan kebaikan keluargamu." Ia menekankan kata "keluargamu", sebuah pukulan telak yang memastikan Andi akan tetap patuh.

 

Ko Min Aung lalu berbalik, mengambil satu langkah menuju pintu. Sebelum ia keluar, ia menoleh ke arah Andi, tatapannya menyapu sekali lagi, seolah memastikan bahwa pesannya telah tersampaikan. "Mulai besok, Isabella," katanya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi, "teruslah belajar menjadi wanitaku. Jadilah kanvas yang sempurna untukku."

 

Pintu kamar tertutup dengan keheningan yang menakutkan, meninggalkan Andi sendirian dalam kegelapan. Tubuhnya masih gemetar. Rasa jijik dan kehinaan membanjiri dirinya. Setiap kata Ko Min Aung, setiap sentuhan tatapannya, setiap ciuman yang dipaksakan, adalah belenggu tak terlihat yang mengikatnya. Ia menyentuh bibirnya, merasakan jejak ciuman itu, dan sebuah gelombang mual melanda. Ia terperosok ke lantai, meringkuk, merasakan jiwanya terkoyak. Andi telah mati. Yang tersisa hanyalah Isabella, sebuah boneka yang sedang dibentuk, yang akan hidup untuk memenuhi fantasi mengerikan sang pemilik. Ia hanya bisa menangis tanpa suara, di tengah kegelapan yang terasa semakin dingin dan tanpa harapan, menantikan hari esok yang akan membawa lebih banyak "pelajaran" untuknya, pelajaran yang akan semakin menghapus identitasnya yang dulu.

  

Waktu terus merangkak, membawa serta perubahan yang tak terhindarkan bagi Andi, atau Isabella, seiring jarum jam yang seolah ikut membelenggunya dalam kemewahan yang menyesakkan. Setiap dentingan detik adalah langkah maju dalam proses transformasinya, sebuah perjalanan tanpa tujuan yang ia pilih sendiri, namun kini tak bisa ia hentikan. Kini, lebih dari sekadar ancaman atau tatapan dingin Ko Min Aung, adalah tubuhnya sendiri yang menjadi medan pertempuran, cerminan dari identitas yang sedang terkikis.

 

Beberapa minggu berlalu sejak suntikan pertama terapi hormonal itu. Efeknya, yang sebelumnya hanya berupa bisikan samar di dalam tubuhnya, kini mulai berteriak lantang, memanifestasikan diri sebagai sensasi-sensasi nyata yang tak bisa lagi diabaikan. Ada denyutan aneh di dadanya, seperti tunas yang memaksa tumbuh, menekan kulitnya dari dalam. Sensasi ini bukan nyeri yang menusuk, melainkan tekanan konstan, rasa penuh yang asing. Perutnya sering terasa tidak nyaman, seolah organ-organ di dalamnya sedang diatur ulang, bergeser dari tatanan yang biasa ia kenal. Ini bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga perasaan internal yang mengganggu keseimbangan tubuhnya. Pakaian lamanya yang maskulin, kaos-kaos yang dulu nyaman membalut tubuhnya, kini terasa berbeda. Ada area yang terasa sesak, terutama di bagian dada, seolah ada gumpalan yang perlahan membesar di balik kain. Dan di pinggulnya, kain terasa sedikit menarik, seolah ada peregangan halus yang tak kasat mata, indikasi awal dari pelebaran tulang panggul yang tak ia harapkan. Setiap serat kain menjadi pengingat yang menyakitkan akan perubahan yang tak diinginkan ini, sebuah pakaian yang dulunya merupakan cerminan diri, kini terasa seperti kurungan yang terlalu ketat.

 

Setiap pagi, di depan cermin besar berbingkai emas di kamarnya, Andi dihadapkan pada bayangan yang perlahan asing. Wajahnya, yang dulu memiliki ketajaman maskulin dengan garis rahang yang tegas dan alis tebal, kini mulai kehilangan kekhasan itu. Sudut-sudutnya menjadi lebih lembut, tulang pipinya sedikit menonjol, memberikan kesan lebih bulat dan halus. Kulitnya terasa lebih halus, nyaris tanpa pori-pori yang dulu terlihat jelas, dan warnanya pun tampak lebih cerah, seolah lapisan maskulinitasnya mengelupas, digantikan oleh sesuatu yang lebih rapuh, lebih feminin. Di bawah matanya, lingkaran hitam samar seringkali terlihat, bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan untuk meratapi nasibnya dan memikirkan keluarga. Ini adalah awal dari mimpi buruk yang menjadi nyata, sebuah metamorfosis paksa yang mengikis identitas aslinya inci demi inci, membuatnya merasa seperti makhluk yang sedang dibentuk ulang tanpa kehendaknya, sebuah entitas baru yang ia benci dan tak ia kenali.

 

Ia memutar tubuhnya di depan cermin, mengamati lekuk-lekuk yang belum terlalu jelas namun sudah bisa ia rasakan. Dada yang dulu rata kini terasa sedikit membengkak, terasa lembut saat disentuh, sebuah sensasi yang membuat merinding dan jijik secara bersamaan. Itu adalah awal dari pertumbuhan payudara, sebuah kenyataan mengerikan yang tak pernah ia bayangkan. Pinggulnya terasa lebih berisi, memberikan kesan siluet yang berbeda dari apa yang biasa ia lihat, seolah tubuhnya sedang membentuk kurva yang secara alami tidak ia miliki. Setiap perubahan, sekecil apapun, adalah pukulan telak bagi jiwanya. Ia ingin berteriak, ingin memukul cermin itu hingga pecah berkeping-keping, menghancurkan bayangan yang menyiksanya, namun ia hanya bisa berdiri diam, menahan napas, menatap nanar pada dirinya yang sedang bertransformasi, sebuah pemandangan yang terasa seperti adegan dari mimpi buruk.

 

Rasa kehilangan mendalam menyelimuti dirinya. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang sedang sekarat, terenggut paksa, digantikan oleh sesuatu yang tidak ia inginkan. Setiap perubahan fisik ini adalah pengingat konstan akan kehilangannya, akan dirinya yang dulu, Andi, seorang pria muda dari desa dengan mimpi sederhana untuk membantu keluarganya. Kini, semua itu hanya menjadi kenangan, terkubur di bawah lapisan identitas baru yang dipaksakan. Ia mencoba mengingat detail wajah aslinya, suara aslinya, cara ia bergerak saat masih bebas, namun ingatan itu terasa semakin kabur, tertimpa oleh citra Isabella yang terus-menerus dipaksakan.

 

Keberadaan Ko Min Aung, meskipun tidak selalu terlihat, terasa di setiap detik perubahan ini. Dialah arsitek di balik semua ini, sang "seniman" yang sedang memahat "mahaka karya hidupnya". Isabella adalah proyeknya, dan Andi adalah bahan mentahnya yang sedang dibentuk, tanpa hak untuk menolak, tanpa hak untuk memiliki kehendak. Kontrol Ko Min Aung tidak hanya terbatas pada makanan atau jadwal tidur, tetapi telah merasuk ke dalam sel-sel tubuhnya, mengubah esensi dirinya. Ia adalah pencipta yang kejam, yang membentuk sesuatu dari ketiadaan, dan Andi adalah ciptaannya yang tak berdaya.

 

Di siang hari, saat menjalani "pelatihan" yang semakin intens, yang mencakup pelajaran tentang cara berjalan anggun dengan langkah-langkah kecil, cara berbicara dengan nada yang lebih tinggi dan suara yang lebih lembut, serta etika duduk layaknya seorang wanita bangsawan dengan kaki merapat dan punggung tegak, Isabella merasa semakin terjebak dalam perangkap ini. Setiap gerakan yang ia lakukan, setiap kata yang ia ucapkan, terasa palsu, sebuah akting yang menyakitkan. Instruktur yang ditugaskan Ko Min Aung, wanita-wanita berwajah kaku yang tak pernah tersenyum, memastikan setiap gerakan dan ekspresinya sesuai dengan citra yang diinginkan. "Angkat dagumu, Isabella. Berjalanlah dengan anggun, seolah kau melayang di atas air," begitu selalu instruksi yang ia dengar, diulang-ulang hingga kalimat itu mengukir dirinya di benaknya, menghapus pola gerakan maskulin yang dulu. Bahkan cara memegang sendok, cara mengangkat cangkir teh, semuanya harus diubah, disesuaikan dengan standar "keanggunan" yang absurd itu.

 

Malam hari, setelah semua "pelatihan" dan diet ketat yang menguras energi, Isabella sering terbangun dengan rasa sakit yang aneh di sekujur tubuhnya, bukan sakit otot karena latihan, melainkan sakit yang lebih dalam, seperti tulang-tulangnya sedang direkonstruksi ulang, meregang dan bergeser. Sensasi itu, dikombinasikan dengan efek hormon yang memicu emosi yang tak stabil seperti gelombang kesedihan atau kemarahan yang tiba-tiba, membuat malam-malamnya menjadi siksaan tanpa tidur. Ia sering terisak tanpa suara di bawah selimut sutra yang mewah, air mata mengalir membasahi bantal, meratapi nasibnya, merindukan kebebasan yang dulu ia miliki di desa, di bawah atap gubuk sederhana yang kini terasa seperti surga yang tak terjangkau.

 

Di tengah semua penderitaan ini, satu hal yang terus menghantuinya adalah ingatan akan keluarganya. Setiap kali Ko Min Aung menampilkan video orang tuanya yang semakin lemah di layar, tubuh bapaknya yang semakin kurus, batuk ibunya yang terdengar lebih parah, gubuk mereka yang reyot diterpa angin, rasa bersalah dan ketakutan akan nasib mereka mengunci setiap gerak-gerik perlawanan dalam dirinya. Ia adalah tumbal, harga yang harus dibayar demi keselamatan orang-orang yang ia cintai. Pikiran itu adalah belenggu paling kuat, yang membuat ia terus bertahan, meskipun setiap sel tubuhnya berteriak menolak, meskipun ia merasa dirinya semakin hancur. Ia rela hancur demi mereka, setidaknya itulah yang ia coba yakinkan pada dirinya sendiri.

 

Isabella menyentuh wajahnya lagi, merasakan kelembutan yang dulu tidak ada. Ia mencoba menemukan jejak Andi, jejak laki-laki yang dulu ia kenal, di dalam bayangan asing di cermin. Tapi semakin ia mencari, semakin ia menyadari bahwa Andi semakin pudar, terlarut dalam ilusi yang diciptakan Ko Min Aung. Ia kini hanyalah sebuah proyek, sebuah kanvas yang sedang disempurnakan, dan setiap perubahan adalah langkah menuju finalisasinya, menjadi Isabella seutuhnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ketika proses ini selesai, atau apakah ia akan tersisa di dalam diri Isabella yang baru. Hanya ada kehampaan, dan ketakutan akan hilangnya dirinya yang sejati, tenggelam dalam lautan kendali Ko Min Aung yang tak berujung.

  

Setelah berminggu-minggu merasakan perubahan internal yang menggerogoti, kini tiba giliran tubuh Andi yang dipaksa tunduk pada kehendak Ko Min Aung melalui serangkaian latihan fisik yang merendahkan. Jika terapi hormonal adalah racun yang bekerja dari dalam, maka latihan ini adalah rantai tak kasat mata yang mengikatnya dari luar, membentuknya menjadi cetakan yang diinginkan. Rutinitas harian Isabella semakin berat, bukan hanya karena diet ketat dan efek samping hormon, tetapi juga karena tuntutan fisik yang kejam.

 

Seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam legam yang digulung rapi dan mata tajam yang jarang berkedip tiba di kediaman mewah itu beberapa hari yang lalu. Namanya Mrs. Naomi, seorang instruktur yang diimpor langsung dari Jepang, dengan reputasi kejam dan metode pelatihan yang tak kenal ampun. Aura disiplin dan kesempurnaan terpancar kuat darinya, membuat Isabella merasakan gelombang ketakutan baru merayapi dirinya. Mrs. Naomi tidak banyak bicara, tapi setiap gerakannya presisi, setiap tatapannya dingin dan menilai, seolah ia adalah robot yang diprogram khusus untuk mengikis sisa-sisa maskulinitas dari tubuh Andi.

 

Latihan ini dilakukan di sebuah aula besar yang dilapisi cermin di salah satu sayap kediaman. Lantainya terbuat dari marmer dingin, memantulkan setiap gerakan Andi yang canggung. Setiap pagi, setelah sarapan yang hambar dan minim kalori, Isabella dipaksa berdiri di hadapan Mrs. Naomi, mengenakan pakaian latihan yang dirancang khusus: celana ketat dari bahan licin dan atasan yang membentuk tubuh, semuanya berwarna netral agar tidak menarik perhatian dari gerakannya. Pakaian itu terasa asing dan memalukan di kulitnya.

 

"Posturmu, Isabella," suara Mrs. Naomi terdengar datar, nyaris tanpa emosi, namun mengandung otoritas mutlak yang tak bisa dibantah. "Kau adalah seorang wanita sekarang. Berlatihlah untuk bergerak layaknya seorang perempuan."

 

Lalu dimulailah siksaan itu. Isabella harus berlatih berjalan dengan anggun, langkah demi langkah, tumit menyentuh lantai terlebih dahulu, diikuti oleh ujung kaki, dengan pinggul yang berayun lembut dan bahu yang santai. Ini sangat berbeda dengan langkah lebar dan tegap yang dulu ia miliki sebagai seorang pria yang terbiasa bekerja keras di ladang. Setiap gerakan yang dianggap "maskulin" akan diperbaiki dengan teguran keras. Mrs. Naomi tidak segan menggunakan tongkat tipis panjang, ujungnya terbuat dari kayu yang keras, untuk mengetuk lutut Andi jika ia berjalan terlalu kaku, atau menyentuh punggungnya jika ia membungkuk sedikit saja. "Tegakkan punggungmu! Bayangkan ada benang yang menarik kepalamu ke atas!" teriaknya, meskipun nadanya tetap datar, tidak meninggikan suara.

 

Duduk juga menjadi sebuah ritual. Isabella harus belajar duduk dengan sopan, kaki merapat, punggung lurus, tangan bertumpu anggun di pangkuan. Ia tidak diizinkan menyilangkan kaki atau merenggangkan lutut. Mrs. Naomi akan memperhatikan setiap detail, setiap otot yang tegang, setiap ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan. "Seorang wanita sejati tidak akan menunjukkan ketidaknyamanan, Isabella. Dia akan menjadi anggun dalam setiap posisi," komentar Mrs. Naomi, suaranya seperti desisan ular, menusuk langsung ke inti harga diri Andi. Kadang, ia akan menekan punggung Andi dengan telapak tangannya untuk memastikan punggungnya lurus sempurna, tekanan yang terasa seperti penghinaan fisik.

 

Latihan yang paling membuat Andi mual adalah mengubah cara dia berdiri. Ia harus berdiri dengan kaki merapat, salah satu kaki sedikit ke depan, dan kedua tangan bertaut di depan tubuh, membentuk siluet yang lebih feminin. Ini adalah posisi yang sangat tidak nyaman bagi tubuhnya, yang secara alami cenderung mengambil postur yang lebih lebar dan kokoh. Setiap kali ia kembali ke posisi alami, Mrs. Naomi akan menegur, kadang disertai desahan kekecewaan yang lebih menyakitkan daripada bentakan.

 

"Kau masih menyimpan sisa-sisa kasar dari dirimu yang dulu, Isabella," kata Mrs. Naomi suatu siang, matanya menyipit saat mengamati Andi yang sedang mencoba meniru gerakan-gerakan feminin yang ditunjukkan. "Itu harus dihilangkan. Itu tidak pantas untuk mahakarya yang sedang dibentuk oleh Tuan Ko Min Aung."

 

Andi merasa martabatnya direnggut, setiap gerakan alami yang dulu menjadi bagian dari dirinya kini dipaksa untuk diubah, membuatnya merasa seperti boneka yang sedang diajarkan cara bergerak. Setiap ototnya terasa sakit, bukan hanya karena regangan fisik, tetapi juga karena perlawanan batin yang terus ia lakukan. Ia melihat dirinya di cermin, mencoba mengenali siapa dia, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan yang perlahan menjadi orang lain, seorang wanita asing yang tak ia kenali, yang dipaksa untuk menari mengikuti irama kehendak orang lain.

 

Tidak hanya gerakan, ekspresi wajah dan bahasa tubuh pun menjadi target pelatihan Mrs. Naomi. Isabella harus belajar tersenyum dengan lembut, tidak menunjukkan kemarahan atau frustrasi, dan menjaga tatapannya tetap tenang, bukan menantang. "Matamu harus seperti danau yang tenang, Isabella, bukan seperti badai yang bergejolak," Mrs. Naomi pernah berkata, sambil menekan pelipis Andi dengan jarinya, seolah bisa mematikan setiap emosi yang ia rasakan.

 

Bahkan dalam kegiatan sehari-hari yang paling intim, pengawasan tidak pernah pudar. Saat mandi, Andi harus membiasakan diri untuk mengikat handuk di dada, seperti yang biasa dilakukan perempuan. Ini adalah detail kecil, namun secara psikologis sangat membebani, terus-menerus mengingatkannya tentang identitas yang dipaksakan padanya. Cara ia makan, cara ia minum, bahkan cara ia bersikap di meja makan, semuanya harus diubah. Ia diajari memegang sendok dan garpu dengan lebih anggun, minum dari cangkir teh dengan mengangkat jari kelingking, dan berbicara dengan nada suara yang lebih tinggi dan lembut, nyaris seperti berbisik, untuk menghindari kesan "maskulin" yang Ko Min Aung benci. Setiap aspek kehidupannya kini adalah sebuah pelajaran untuk menjadi "perempuan" yang sempurna di mata Ko Min Aung.

 

Selain Mrs. Naomi, Ko Min Aung sendiri kadang akan muncul di tengah latihan, mengamati dari jauh dengan senyum tipis di bibirnya. Kehadirannya selalu meningkatkan ketegangan di ruangan itu. Ia jarang berbicara, tetapi tatapannya, penuh kepuasan dan kepemilikan, sudah cukup untuk membuat Andi merasa semakin kecil, semakin tidak berarti. Andi tahu, Ko Min Aung melihatnya bukan sebagai manusia, melainkan sebagai sebuah proyek yang sedang dalam pengerjaan, sebuah eksperimen yang hasilnya akan ia nikmati.

 

Suatu sore, Ko Min Aung datang lebih dekat, berdiri di samping Mrs. Naomi. Andi sedang berlatih berjalan di sepanjang garis lurus yang ditandai di lantai. Langkahnya masih sedikit kaku, meskipun sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

 

"Ada peningkatan, Mrs. Naomi?" tanya Ko Min Aung, suaranya tenang.

 

"Ada, Tuan Ko Min Aung," jawab Mrs. Naomi, membungkuk sedikit. "Namun, masih ada sisa-sisa kekakuan. Terutama di pinggulnya. Ia masih cenderung bergerak seperti seorang pria."

 

Ko Min Aung mengangguk. Ia melangkah ke belakang Andi, tangannya terangkat perlahan. Andi merasakan detak jantungnya berpacu. Ko Min Aung tidak menyentuhnya, melainkan hanya mengarahkan tangannya, menyimulasikan gerakan. "Angkat sedikit pinggulnya saat melangkah, Isabella. Rasakan bagaimana tubuhmu berayun," bisiknya, suaranya rendah. "Bayangkan dirimu adalah bunga teratai yang mengambang di air. Setiap gerakanmu harus lembut, mengalir."

 

Kemudian, tanpa peringatan, Ko Min Aung sedikit mendorong bahu Andi ke depan, memaksa punggungnya melengkung sedikit, mempertegas lekukan pinggulnya saat ia melangkah. "Ya, seperti itu," katanya puas. "Lebih feminin. Kau harus terlihat seperti seorang wanita dari setiap sudut, Isabella."

 

Andi merasakan kehinaan yang menusuk. Ia adalah boneka, dan Ko Min Aung sedang memanipulasi talinya di depan Mrs. Naomi. Ia adalah objek, bukan manusia. Ia menelan ludah, menahan rasa marah dan air mata yang mendesak. Setiap gerakan yang ia lakukan kini terasa palsu, sebuah topeng yang ia kenakan untuk bertahan hidup.

 

Setelah latihan selesai, Mrs. Naomi akan memberikan laporan harian kepada Ko Min Aung, mencatat setiap detail, setiap kemajuan, dan setiap "kekurangan" yang harus diperbaiki. Isabella tahu, setiap baris di buku catatan itu adalah jejak langkahnya menuju kehancuran total identitasnya. Ia semakin jauh dari Andi, semakin dekat dengan Isabella, sebuah entitas yang diciptakan untuk memenuhi fantasi pria yang memilikinya.

 

Malam harinya, setelah semua siksaan fisik dan mental itu, Isabella akan kembali ke kamarnya, kelelahan, baik fisik maupun jiwa. Ia akan berdiri di depan cermin lagi, mencoba mencari jejak Andi yang dulu. Namun yang ia lihat hanyalah seorang wanita muda dengan mata yang cekung, tubuh yang semakin kurus namun mulai menunjukkan lekukan-lekukan yang asing, dan ekspresi kosong. Ia merindukan kebebasan untuk bergerak, untuk berbicara, untuk menjadi dirinya sendiri. Tetapi setiap hari, setiap latihan, setiap teguran, mengikatnya lebih erat pada takdir barunya. Ia adalah tawanan di dalam tubuhnya sendiri, yang dipaksa untuk hidup sebagai seseorang yang bukan dirinya, selamanya terjebak dalam sangkar emas ini.

  

Cahaya senja yang memerah masuk melalui jendela tinggi kamar Isabella, melukiskan bayangan panjang di atas lantai marmer. Namun, keindahan semu itu tak mampu menutupi kegelapan yang dirasakan Andi di dalam hatinya. Hari ini, ia tidak dihadapkan pada latihan fisik atau menu diet yang hambar, melainkan sebuah siksaan visual dan fisik yang baru. Di tengah kamarnya, terhampar tumpukan kain yang mengilat, bergelombang, dan melambangkan segalanya yang ia benci: pakaian perempuan. Jumlahnya jauh lebih banyak dari sebelumnya, seolah menandakan tingkat kontrol yang semakin tak terbatas.

 

Mulai dari pakaian dalam yang asing, terbuat dari renda dan satin yang lembut namun terasa seperti jerat di kulitnya yang semakin halus. Ada bra yang dirancang untuk menopang dan membentuk sesuatu yang belum sepenuhnya ada, celana dalam mini yang terasa minim dan terbuka, membuat rasa malu membuncah. Kemudian, ada korset yang menyesakkan, sebuah perangkat penyiksa yang terbuat dari bahan kaku, dirancang untuk merampingkan pinggang dan mengangkat dada, mengubah siluet tubuhnya secara paksa. Setiap kawat dan tulang penyangga terasa menekan, membatasi napas, seolah ingin menghancurkan organ-organ dalamnya. Di atas semua itu, tergeletak gaun-gaun elegan yang dirancang untuk menonjolkan siluet feminin, beberapa di antaranya terbuat dari sutra mahal yang terasa dingin di kulit, yang lain dari brokat berat dengan payet dan manik-manik yang berkilauan. Ada pula pakaian-pakaian seksi yang tipis dan transparan, dirancang untuk memperlihatkan dan menggoda, membuat Andi merasakan gelombang jijik yang tak tertahankan. Setiap helainya terasa seperti belenggu baru, mengingatkannya pada identitas yang sedang direnggut.

 

Pengasuh yang tak kenal ampun, dengan wajah datar dan mata tanpa ekspresi, berdiri di samping tumpukan itu. Ia adalah perpanjangan tangan Ko Min Aung, sebuah bayangan yang memastikan setiap perintah dijalankan dengan sempurna. Dengan gerakan tanpa basa-basi, ia mulai mengambil satu per satu pakaian itu, memaksanya untuk mengenakannya.

 

"Angkat tanganmu, Isabella," perintahnya, suaranya monoton.

 

Andi, atau Isabella, hanya bisa pasrah. Ia mengangkat tangannya saat pakaian dalam dipasangkan padanya. Sentuhan kain renda yang tipis terasa aneh di kulitnya, sebuah pengingat brutal akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Bra itu terasa sesak di dada, menekan pertumbuhan payudara yang masih samar, namun sensasinya sudah cukup untuk membuatnya merasa aneh dan tidak nyaman. Celana dalam mini yang ketat membuat setiap gerakan terasa membatasi.

 

Kemudian datanglah korset. Pengasuh itu menarik talinya erat-erat di punggung Andi, membuat tubuhnya melengkung secara paksa, pinggangnya mengecil, dan dadanya terangkat. Rasa sesak itu segera menyebar, memeras paru-parunya, membuatnya sulit bernapas. Setiap tarikan tali adalah pukulan pada martabatnya. Ini bukan hanya tentang mengubah bentuk tubuh, tetapi juga tentang memenjarakan napas, membatasi kebebasan yang paling mendasar.

 

Setelah pakaian dalam dan korset, gaun-gaun itu dipakaikan padanya. Gaun sutra meluncur di tubuhnya, sentuhannya dingin dan licin, membentuk siluet yang ia tak pernah miliki. Gaun lain yang lebih berat, dengan ornamen berkilauan, terasa menekan bahunya, membatasi geraknya. Setiap gaun adalah penanda baru, sebuah kostum yang dipaksakan untuk peran yang ia benci. Saat mengenakan pakaian seksi, sensasi yang muncul adalah rasa malu yang membakar, seolah tubuhnya bukan lagi miliknya, melainkan tontonan yang dipamerkan. Ia merasa rentan, diekspos, dan sangat tidak berdaya.

 

Setelah semua pakaian terpasang, pengasuh itu menarik Andi ke depan cermin besar. Bayangan yang memantul di sana hampir tak dikenali. Wajahnya dirias tebal, menutupi jejak-jejak masa lalunya. Foundation yang tebal menyamarkan warna kulit aslinya, perona pipi yang cerah membuat wajahnya tampak lebih lembut, dan lipstik merah tua mengubah bentuk bibirnya. Matanya dibingkai dengan eyeliner dan maskara, membuatnya tampak lebih besar dan feminin, namun di balik semua riasan itu, mata Andi menyimpan kesedihan yang mendalam. Rambutnya, yang kini sudah panjang, ditata rapi, digelung atau dibiarkan terurai bergelombang, disemprot parfum beraroma manis yang menusuk indranya.

 

Andi merasa jiwanya menjerit di balik kain-kain indah dan riasan tebal itu. Ia adalah sebuah boneka porselen, sebuah patung hidup yang dibuat sesuai fantasi Ko Min Aung. Setiap detail penampilannya adalah kebohongan, sebuah penyamaran yang sempurna. Ia dipaksa menjadi seseorang yang bukan dirinya, menjadi wadah bagi obsesi Ko Min Aung, sebuah "karya seni" yang tak berdaya. Rasa kehilangan identitas begitu kuat, seolah ia sedang menyaksikan pemakaman dirinya sendiri.

 

Kini, Ko Min Aung tidak lagi mengizinkannya tidur di kamar lamanya. Mulai hari ini, Andi tidur di kamar Ko Min Aung. Ini adalah pukulan telak lainnya, sebuah penghapusan batasan terakhir antara dirinya dan pria yang memilikinya. Kamar Ko Min Aung adalah perpanjangan dari kekuasaannya, sebuah ruang yang dipenuhi aroma maskulin yang kuat, dan kini menjadi sangkar baru bagi Isabella.

 

Malam itu, setelah menjalani rutinitas makan malam yang hambar dan inspeksi singkat dari Ko Min Aung yang mengamati penampilannya, Andi dibawa ke kamar tidur utama. Kamar itu jauh lebih besar dari kamarnya yang lama, dihiasi dengan furnitur kayu gelap yang berat dan patung-patung eksotis. Tempat tidur king size mendominasi ruangan, dengan seprai sutra hitam yang mengilat di bawah cahaya redup.

 

Ko Min Aung sudah menunggu di sana, mengenakan jubah tidur sutra. Ia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Andi dengan tatapan posesif yang membuat bulu kuduknya merinding. "Kau terlihat... indah malam ini, Isabella," bisiknya, suaranya serak namun penuh kepuasan.

 

Andi hanya bisa menunduk, tidak mampu membalas tatapannya. Ia merasa gaun yang ia kenakan kini terasa seperti belenggu, mencekiknya.

 

"Kemarilah," perintah Ko Min Aung, menepuk tempat kosong di sampingnya.

 

Dengan langkah yang kaku dan jantung berdebar kencang, Andi mendekat. Ia duduk di tepi ranjang, menjaga jarak sebisa mungkin. Namun, Ko Min Aung segera mengikis jarak itu. Ia meraih tangan Andi, membelainya pelan.

 

"Kau tahu, Isabella," Ko Min Aung memulai, suaranya kini lebih lembut, "setiap sentuhan yang kuberikan padamu, adalah cara untuk menyempurnakanmu. Untuk menjadikanmu milikku seutuhnya."

 

Ko Min Aung selalu memposisikan Andi sebagai perempuan di setiap sentuhannya. Ia mulai dengan membelai leher Andi, ujung jarinya menyusuri lekuk halus kulitnya. Kemudian, sentuhannya berpindah ke punggung, membelai tulang belakangnya melalui kain gaun, turun perlahan, sebuah belaian yang terasa seperti sedang membelai punggung seorang wanita. Sentuhan itu membuat bulu kuduk Andi merinding, bukan karena gairah, melainkan karena rasa tidak nyaman dan ketidakberdayaan yang mendalam. Ia mengagumi riasan di wajah Andi, memuji bentuk bibirnya yang kini berwarna merah pekat, cara matanya yang dihias terlihat lebih besar.

 

"Kau harus belajar untuk menikmati sentuhanku, Isabella," bisik Ko Min Aung, mendekatkan wajahnya. "Ini adalah bagian dari proses. Bagian dari dirimu yang baru."

 

Dan kemudian, ia mencium bibir Andi, ciuman yang dalam dan penuh kuasa, sebuah ciuman yang mengikis sisa-sisa perlawanan dalam diri Andi. Andi tidak membalas, tubuhnya tetap kaku, tetapi Ko Min Aung menciumnya seolah ia mencium seorang wanita yang ia cintai, bukan tawanan yang ia kuasai. Tangannya membelai punggung Andi, menariknya lebih dekat, menekannya ke tubuhnya, seolah ia sedang memeluk seorang kekasih. Setiap sentuhan, setiap belai, setiap ciuman, adalah penegasan bahwa Andi kini adalah Isabella, perempuan yang sepenuhnya berada di bawah kendalinya.

 

Setelah beberapa saat, Ko Min Aung melepaskan ciumannya. Ia tersenyum puas. Ia lalu bangkit, membuka ikat pinggang jubah mandinya. Andi menelan ludah, firasat buruk menghantamnya. Ko Min Aung menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh tuntutan. "Sekarang, berikan kepadaku penghormatan yang pantas kau berikan kepada tuanmu, Isabella," perintahnya, suaranya rendah dan penuh otoritas. Andi merasa jiwanya tercabik, namun ketakutan akan konsekuensi jika menolak menguasai dirinya. Dengan tangan gemetar, ia menunduk, menuruti perintah yang kejam itu. Setiap detik terasa seperti penyiksaan, mengikis sisa-sisa harga diri yang masih ia miliki, memaksanya tunduk pada kehendak mutlak Ko Min Aung.

 

Setelah semua usai, Ko Min Aung menarik Andi ke dalam pelukannya. Tubuh Andi terasa lemas, menyerah pada nasibnya. Ia terbaring dalam pelukan pria itu, yang memeluknya seolah ia adalah istrinya, kekasihnya, harta yang paling berharga. Andi menatap kegelapan di langit-langit kamar Ko Min Aung, memikirkan penderitaan yang tak berkesudahan ini. Setiap helaan napas adalah pengingat akan belenggu yang tak terlihat, setiap sentuhan Ko Min Aung adalah konfirmasi bahwa ia bukan lagi Andi, melainkan Isabella, seorang perempuan yang terpenjara dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Ia hanya bisa berharap, entah bagaimana, suatu hari nanti ia bisa menemukan jalan keluar dari neraka emas ini.

 

Angin musim kemarau berhembus pelan di luar jendela kamar, menggesekkan dahan-dahan pohon, menciptakan melodi sunyi yang ironis di tengah badai batin Andi. Rutinitas harian Isabella kini terasa seperti roda gila yang terus berputar tanpa henti, tak memberi ruang untuk bernapas, apalagi berpikir jernih. Setiap hari adalah siklus tanpa henti dari latihan fisik yang melelahkan di bawah pengawasan ketat Mrs. Naomi, diet yang mematikan yang menggerogoti sisa-sisa kekuatannya, dan suntikan hormonal yang terus-menerus mengubah tubuhnya dari dalam ke luar. Namun, di tengah semua itu, Ko Min Aung memastikan untuk selalu menyisakan ruang bagi satu jenis siksaan yang paling efektif: ancaman yang menargetkan akar terdalam ketakutan Andi, sebuah belenggu tak terlihat yang lebih kuat dari rantai besi manapun.

 

Suatu sore yang muram, saat awan kelabu menggantung rendah di atas kediaman megah itu, menaungi langit dengan nuansa suram, Ko Min Aung memasuki ruang utama tempat Isabella biasanya menjalani "pelatihan keanggunan" terakhirnya di hari itu. Lampu-lampu kristal di langit-langit memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di dinding marmer. Mrs. Naomi, dengan wajah datarnya yang tak pernah menunjukkan emosi, segera membungkuk hormat dalam-dalam dan undur diri, melangkah pergi dengan langkah presisi yang nyaris tanpa suara, meninggalkan Isabella sendirian bersama pria itu. Aura Ko Min Aung terasa lebih gelap dan membebani dari biasanya, sebuah pertanda buruk yang membuat jantung Isabella mencelos, berdetak kencang di dalam dadanya yang semakin terasa sesak oleh pertumbuhan yang dipaksakan.

 

Ko Min Aung tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya memberi isyarat pelan kepada salah satu pengawalnya, seorang pria bertubuh kekar dengan ekspresi kosong, yang segera menyalakan layar televisi besar yang tersembunyi di balik panel kayu berukir yang rumit. Cahaya terang dari layar tiba-tiba menyinari ruangan yang sebelumnya remang-remang, membanjiri setiap sudut dengan sorot tajam, seolah membuka paksa jendela ke dunia luar yang telah lama Isabella tinggalkan, dunia yang kini terasa seperti mimpi yang sangat jauh. Namun, apa yang muncul di layar bukanlah pemandangan indah atau hiburan yang menenangkan, melainkan cerminan paling mengerikan dari neraka yang ia coba lupakan, sebuah realitas pahit yang setiap saat siap menelannya bulat-bulat.

 

Kali ini, rekaman video yang muncul di layar jauh lebih mengerikan, lebih rinci, dan lebih menyakitkan dari rekaman-rekaman sebelumnya. Ini adalah rekaman terbaru dari desanya di Sumatra, yang diambil dari sudut pandang yang lebih dekat, lebih personal, dan lebih kejam. Kamera bergerak pelan, menunjukkan detail yang memilukan. Andi melihat gubuk keluarganya, yang kini tampak semakin reyot, seolah tiang-tiangnya akan ambruk kapan saja diterpa hembusan angin. Ada lubang yang menganga di atap, menunjukkan kerusakannya yang parah, dan dinding bambunya terlihat usang, rapuh, nyaris roboh, tidak lagi mampu menahan terpaan cuaca. Ini bukan lagi sekadar pemandangan kemiskinan yang ia kenal, ini adalah gambaran kehancuran yang nyata, sebuah simbol dari harapan yang runtuh.

 

Kemudian, kamera fokus tanpa ampun pada kedua orang tuanya. Wajah mereka terlihat semakin memburuk, bukan hanya kerutan karena usia yang terus bertambah, melainkan cekungan dalam yang jelas di pipi, mata yang terlihat kosong, lesu, dan tanpa kehidupan, menunjukkan kelelahan ekstrem dan tanda-tanda kekurangan gizi yang sangat jelas. Kulit mereka tampak lebih pucat, seolah darah telah mengering dari tubuh mereka, membuat mereka terlihat seperti bayangan diri mereka yang dulu. Ayahnya terbaring lemah di tikar lusuh yang compang-camping di lantai gubuk, batuknya terdengar parau, serak, dan menyakitkan, sebuah suara yang mengoyak hati Andi, membuat setiap serat di dalam dirinya bergetar. Ibunya, yang dulu selalu tegar, penuh semangat, kini duduk bersandar lemas di dinding gubuk, tubuhnya kurus kering, punggungnya membungkuk, dan tangannya gemetar saat memegang mangkuk kosong, seolah tak ada lagi kekuatan untuk mengangkatnya. Suara batuk ibu terdengar begitu nyata, begitu parau, membuat hati Andi teriris, seolah pedang tak kasat mata baru saja menusuk tepat ke inti jiwanya. Ia bisa merasakan perihnya, perih yang sama yang mungkin dirasakan ibunya setiap kali batuk itu menyerang, sebuah rasa sakit yang melampaui batas fisik.

 

Rekaman itu juga menunjukkan pemandangan desa secara umum: ladang yang kering kerontangan, tanahnya retak-retak karena kemarau panjang, sumur yang airnya menipis hingga dasar, dan wajah-wajah penduduk desa yang terlihat putus asa, sama lelahnya dengan kedua orang tuanya, menatap kosong ke kejauhan. Ini adalah bukti nyata bahwa janji "perlindungan" yang Ko Min Aung berikan adalah kebohongan besar, atau lebih buruk, sebuah tipuan yang sengaja dirancang untuk terus mengikatnya dalam neraka pribadi ini. Keluarganya menderita, dan itu adalah salahnya, ia percaya itu. Rasa bersalah yang tak tertahankan menimpa Isabella, melumpuhkan seluruh tubuhnya, membuatnya merasa seolah ia telah melakukan dosa yang tak termaafkan.

 

Ko Min Aung berdiri diam di sampingnya, tubuhnya tegak dan tak bergerak, membiarkan Isabella meresapi setiap detik penderitaan keluarganya di layar. Ia membiarkan gambar-gambar itu terukir dalam benak Isabella, menciptakan luka yang lebih dalam dari apapun. Lalu, dengan suara yang lebih dingin dari hembusan angin malam yang menerobos celah, suara yang mampu membekukan darah di dalam nadinya, ia berujar, "Lihatlah, Isabella. Ini adalah hasil dari... kekeras kepalaan. Dari perlawanan yang tidak perlu. Sebuah konsekuensi dari setiap pikiran untuk memberontak yang kau simpan dalam benakmu."

 

Andi tersentak, seluruh tubuhnya menegang, tatapannya beralih dari layar yang mengerikan itu ke wajah Ko Min Aung. Pria itu tidak menunjukkan sedikitpun emosi, tidak ada kerutan di dahi, tidak ada kilatan kesedihan di matanya. Matanya tetap datar, seperti kaca tak bernyawa, namun penuh ancaman, sebuah janji akan kehancuran yang akan datang.

 

"Semua itu," Ko Min Aung melanjutkan, menunjuk ke layar dengan dagunya, gerakan yang santai namun penuh kekuatan, "akan terus berlanjut atau bahkan memburuk. Mungkin mereka akan kelaparan sampai tak ada lagi yang tersisa. Mungkin mereka akan sakit tanpa pengobatan yang layak, dan tidak ada yang peduli. Mungkin gubuk mereka akan ambruk di tengah badai, dan tidak ada yang akan membantu mereka bangkit lagi. Mereka akan musnah, perlahan dan menyakitkan." Nada suaranya mengandung janji yang mengerikan, sebuah ramalan yang akan menjadi kenyataan yang tak bisa dihindari jika Isabella tidak patuh, jika ia berani menunjukkan sedikitpun tanda-tanda pembangkangan. "Semua itu akan terjadi jika kau menunjukkan perlawanan sekecil apapun. Sedikit saja keraguan, sedikit saja penolakan, sedikit saja pikiran untuk memberontak, dan penderitaan mereka akan semakin parah, melebihi bayangan terburukmu."

 

Rekaman itu bukan hanya ancaman kosong, tapi juga pengingat visual yang kejam tentang harga dari ketidakpatuhannya. Ini adalah belenggu tak terlihat yang jauh lebih kuat daripada rantai besi terkuat, lebih efektif daripada jeruji baja yang mengurungnya di sini. Ko Min Aung telah menemukan titik kelemahan terbesarnya, satu-satunya hal yang masih ia pedulikan lebih dari dirinya sendiri, dan ia menggunakannya tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Kata-kata itu mengunci Andi semakin dalam dalam jeratan keputusasaan yang tak berujung, sebuah jurang gelap tanpa cahaya. Ia merasa jiwanya terperangkap di antara dua pilihan mengerikan yang tak bisa ia pilih: mempertahankan sedikit sisa dirinya sebagai Andi dan melihat keluarganya hancur di depan matanya, atau menyerahkan seluruh identitasnya, jiwanya, dan tubuhnya demi keselamatan mereka, menjadi Isabella sepenuhnya.

 

Isabella hanya bisa gemetar tak terkendali. Air mata mengalir deras tanpa henti, membasahi pipinya yang sudah dirias tebal, meninggalkan jejak-jejak perih dan merusak riasan yang telah dipoleskan padanya. Ia ingin berteriak sekuat tenaga, ingin memohon agar semua ini berhenti, ingin melawan dengan seluruh sisa kekuatannya, namun suaranya tercekat di tenggorokan, tak mampu keluar. Bagaimana ia bisa melawan ketika nyawa orang tuanya menjadi taruhan yang dipegang erat oleh Ko Min Aung? Bagaimana ia bisa berontak ketika setiap gerakannya, setiap pikirannya, bisa berarti penderitaan yang tak terbayangkan bagi mereka yang ia cintai? Ia merasa seperti boneka yang talinya dipegang erat oleh dalang kejam ini.

 

Ko Min Aung tersenyum tipis, sebuah senyum puas yang penuh kemenangan. Ia tahu ia telah memenangkan pertempuran ini, dan mungkin setiap pertempuran yang akan datang, karena ia telah menemukan kunci kebebasan Isabella: keluarganya. Ia melangkah mendekat, mengulurkan tangan dan menghapus air mata dari pipi Isabella dengan jari jempolnya yang dingin dan kasar. Sentuhan itu terasa seperti es yang membakar kulitnya, namun penuh kepemilikan yang mutlak.

 

"Kau adalah Isabella sekarang," bisiknya, suaranya kembali ke nada yang lebih lembut, sebuah bujukan yang menipu, namun mengandung ancaman yang jelas. "Dan Isabella adalah milikku. Kau akan hidup untukku, kau akan bernapas untukku, dan kau akan menjadi sempurna untukku. Dengan begitu, keluargamu akan aman. Mereka akan terjamin. Ini adalah satu-satunya cara, Isabella. Mengerti?"

 

Kalimat itu adalah pengukuhan terakhir atas takdirnya, sebuah cap takdir yang tak bisa dihapus. Isabella merasa dirinya ditarik ke dalam jurang yang semakin dalam, tanpa harapan untuk keluar, tanpa tangga untuk memanjat. Rekaman itu akan terus menghantuinya, menjadi cambuk tak terlihat yang memaksanya untuk terus patuh, untuk terus menjalani transformasi yang mengerikan ini, setiap hari, setiap jam. Ia adalah boneka, dan tali yang menggerakkannya adalah ancaman terhadap keluarganya, sebuah tali yang tak akan pernah putus selama mereka masih hidup.

 

Setelah Ko Min Aung pergi, melangkah keluar ruangan dan meninggalkan Isabella dalam keheningan yang menyesakkan, Isabella ambruk di lantai marmer yang dingin. Ia meringkuk, memeluk lututnya erat-erat, dan terisak tanpa suara, tangisan yang tidak menghasilkan suara, hanya getaran yang mengguncang tubuhnya. Bayangan wajah orang tuanya yang kurus kering di layar terus berkelebat di benaknya, sebuah pemandangan yang tak akan pernah bisa ia hapus dari ingatannya, sebuah luka yang akan selalu berdarah. Ia tahu, mulai sekarang, setiap helaan napasnya, setiap gerakan yang ia lakukan, setiap kata yang ia ucapkan, akan diwarnai oleh ketakutan ini, oleh bayangan penderitaan keluarganya. Ia akan menjadi Isabella, sepenuhnya, tanpa sisa-sisa Andi. Ini adalah harga yang harus ia bayar. Sebuah harga yang terlalu mahal, namun ia tidak punya pilihan lain. Hidupnya, dan kehidupan orang tuanya, kini sepenuhnya ada di tangan Ko Min Aung, sebuah kenyataan yang lebih dingin dari marmer yang ia sentuh.

  

Kegelapan malam di kediaman Ko Min Aung seringkali menjadi penyiksa sekaligus satu-satunya saksi bisu bagi pergolakan batin Andi. Ketika Ko Min Aung tidak berada di rumah yang mewah namun terasa dingin, hampa, dan memenjarakan itu, suasana hening yang seharusnya membawa ketenangan justru menjadi panggung bagi pertarungan internal yang tak berkesudahan. Ini adalah momen-momen langka di mana Isabella, si boneka porselen yang sempurna dan patuh di siang hari, bisa kembali menjadi Andi, setidaknya dalam pikiran dan relung terdalam jiwanya. Namun, bahkan di dalam kesendirian itu, perjuangan untuk mempertahankan diri sejati adalah siksaan yang tiada henti.

 

Setiap malam, saat sendiri di kamarnya yang mewah namun terasa seperti sangkar berlapis emas, dengan seprai sutra dingin dan bantal empuk yang tak mampu menghapus kegelisahan, Andi merenungkan dirinya yang dulu. Ia mencoba mengingat setiap detail masa lalunya sebagai seorang laki-laki: suaranya yang dalam dan maskulin saat memanggil ibunya di ladang, memohon tambahan nasi atau meminta izin bermain di sungai; gerak-geriknya yang tangkas dan kuat saat membantu ayahnya mencangkul tanah, mengangkat karung beras, atau memperbaiki atap gubuk; tawa riangnya yang lepas dan tanpa beban bersama teman-temannya di desa saat bermain sepak bola di lapangan kering atau berenang di sungai yang jernih, membiarkan tubuhnya bebas bergerak tanpa batasan. Ia memejamkan mata erat-erat, berusaha keras memvisualisasikan kembali wajah-wajah akrab teman-teman sepermainannya, mendengar kembali bisik-bisik rahasia di antara mereka saat berbagi impian sederhana, merasakan kembali sentuhan kasar lumpur di sela-sela jarinya saat menanam padi di sawah, atau hangatnya sinar matahari yang membakar kulitnya. Kenangan itu, meskipun terasa begitu jauh dan buram seperti mimpi lama, menjadi satu-satunya tempat persembunyian bagi identitas aslinya, sebuah benteng terakhir yang ia coba pertahankan mati-matian dari invasi Ko Min Aung yang merusak. Setiap fragmen kenangan adalah harta karun yang ia genggam erat, takut jika ia melepaskannya, ia akan benar-benar hilang.

 

Namun, mempertahankan benteng itu bukanlah hal yang mudah, melainkan sebuah perjuangan konstan yang menguras jiwa. Semakin tubuhnya berubah, semakin sulit baginya untuk mempertahankan gambaran diri yang utuh. Setiap sentuhan pada kulitnya yang kini lebih halus dan lembut, setiap lekukan samar di dadanya yang kini mulai terasa penuh, setiap sentuhan pakaian dalam yang menekan, setiap gerakan pinggulnya yang tanpa sadar kini berayun lembut saat berjalan, adalah pengkhianatan dari raganya sendiri, sebuah bukti nyata bahwa tubuhnya tak lagi patuh pada kehendak aslinya. Cermin di kamarnya, yang dulunya ia hindari seperti wabah karena memantulkan sosok yang ia benci, kini sesekali ia tatap, sebuah ritual menyakitkan yang tak bisa ia hindari, seolah ia dipaksa untuk menyaksikan kehancuran dirinya secara langsung. Ia melihat pantulan yang semakin asing, Isabella yang berparas lembut dengan rambut panjang tergerai rapi, bibir penuh yang selalu dipulas, dan mata yang besar yang dipenuhi riasan, semua fitur yang secara paksa telah diukir di wajahnya. Ia sering menelusuri garis rahangnya yang dulu tegas dan keras, kini terasa lebih membulat dan lembut di bawah sentuhan jarinya. Jari-jarinya menyentuh pipinya yang kini terasa kenyal dan halus, bukan lagi kasar karena terpaan matahari dan kerja keras di ladang. Setiap kali ia melihat bayangan itu, sebuah rasa mual samar muncul di perutnya, diikuti oleh gelombang keputusasaan yang dingin.

 

Ia merasa seperti ada dua sosok dalam satu raga, dua jiwa yang saling bergesekan, saling menarik, menciptakan konflik yang menguras habis energinya. Ada Andi yang berjuang di dalam, memberontak setiap kali dipaksa mengenakan gaun sutra yang terasa seperti belenggu, setiap kali dipaksa tersenyum palsu di hadapan orang lain, setiap kali dipaksa berbicara dengan nada suara yang tak dikenalnya, yang terasa asing di telinganya sendiri. Andi ini adalah inti dari dirinya yang asli, yang tak mau menyerah, yang berteriak meminta kebebasan. Namun, di sisi lain, ada "Isabella" yang dipaksakan di luar, sebuah persona yang harus ia mainkan di hadapan Ko Min Aung, Mrs. Naomi, dan para pengawalnya, sebuah topeng yang semakin hari semakin erat menempel di wajahnya, mengancam untuk melebur dengan kulitnya. Pergolakan batin ini adalah perang tanpa senjata, sebuah peperangan di medan jiwa yang menguras energinya hingga ke titik terendah, membuatnya merasa lelah secara mental dan emosional, jauh lebih lelah dari pekerjaan terberat di ladang sekalipun, karena ia harus melawan dirinya sendiri.

 

Rasa frustrasi dan kemarahan seringkali meledak dalam bisikan-bisikan tertahan di tengah malam, suara-suara yang hanya bisa ia dengar sendiri di dalam benaknya. Mengapa ia harus melalui semua ini? Mengapa ia harus dihukum seperti ini, dimutilasi identitasnya, demi keselamatan keluarganya? Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah menemukan jawaban, hanya berputar-putar di kepalanya tanpa henti, menambah beban di pundaknya hingga terasa ingin remuk. Terkadang, ia akan berjalan mondar-mandir di kamarnya, langkahnya cepat dan gelisah, tidak peduli pada "keanggunan" yang diajarkan Mrs. Naomi, seolah ingin melarikan diri dari dirinya sendiri, dari kenyataan pahit yang mengejarnya. Tetapi kamar itu, meskipun mewah dengan dekorasi mahal dan pemandangan kota di kejauhan, adalah penjara yang sempurna, tanpa celah sedikit pun untuk melarikan diri, tanpa harapan untuk lolos.

 

Sesekali, Andi akan melihat pakaian perempuan yang ia pakai. Gaun-gaun sutra yang menjuntai anggun di lemari berukir, pakaian dalam renda yang terlipat rapi di laci-laci, semua itu adalah simbol visual yang kejam dari penahanan dirinya, dari identitas yang sedang ia kenakan secara paksa. Ia akan mengambil salah satu gaun sutra itu, meraba kainnya yang lembut dan licin, dan memposisikannya di depannya, menatap bayangannya di cermin. Di momen-momen itu, ia melihat bukan hanya gaun, tetapi takdirnya yang telah ditentukan, sebuah nasib yang tak bisa ia elakkan. Ia melihat dirinya sebagai seorang perempuan, seorang budak nafsu Ko Min Aung, sebuah objek yang diciptakan semata-mata untuk memuaskan obsesi dan keinginan pria itu, tanpa kehendak, tanpa perasaan, hanya sebatas boneka yang bisa dimanipulasi. Rasa jijik dan kehinaan yang mendalam mencengkeramnya, membuat perutnya bergejolak. "Ini bukan aku," bisiknya pada bayangannya sendiri di cermin, suaranya nyaris tak terdengar. "Ini bukan takdirku." Namun, semua bukti fisik dan tekanan psikologis yang tak henti-hentinya mengatakan sebaliknya, mengklaim bahwa ia memang adalah Isabella.

 

Pikiran tentang orang tuanya adalah satu-satunya hal yang menahan Andi agar tidak benar-benar menyerah pada keputusasaan total, pada keinginan untuk mengakhiri semuanya. Gambar wajah mereka yang kurus, batuk parau ibunya yang terdengar bagai melodi kesedihan, gubuk mereka yang nyaris roboh diterpa angin dan hujan, semua itu adalah pengingat konstan akan harga dari setiap tindakan perlawanan, setiap bisikan pemberontakan. Ia tidak punya hak untuk menyerah, tidak ada. Ia harus menjadi Isabella demi mereka, demi keselamatan mereka yang sangat ia cintai. Paradoks ini adalah belenggu paling kejam, memaksa jiwanya untuk berjuang dan menolak, namun raganya untuk tunduk dan menerima.

 

Kelelahan mental ini juga memengaruhi tidurnya dengan kejam. Saat ia berhasil terlelap, mimpi-mimpinya seringkali dipenuhi dengan bayangan masa lalu yang indah, tentang desanya yang damai, aroma masakan ibunya, dan suara tawa bapaknya yang lepas. Namun, keindahan itu tak pernah bertahan lama; mimpi itu segera berubah menjadi mimpi buruk tentang penangkapan dirinya, jarum suntik yang menusuk kulitnya berulang kali, tatapan dingin Ko Min Aung yang menusuk jiwa, dan wajah Mrs. Naomi yang tanpa emosi, memaksanya melakukan gerakan-gerakan tak wajar. Ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, jantungnya berdebar kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya, keringat dingin membasahi dahinya, seolah ia baru saja berlari maraton mengejar kebebasan yang tak terjangkau.

 

Pagi harinya, saat pengasuh datang untuk membangunkannya dengan ketukan pelan di pintu, Andi akan menarik kembali topeng Isabella. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, ia akan bangun dari ranjangnya, mengenakan pakaian yang dipilihkan untuknya hari itu, dan menjalani hari itu dengan segala "keanggunan" dan "kesopanan" yang telah diajarkan padanya, setiap gerakan dan ekspresi adalah hasil dari pelatihan intensif. Ia akan menekan Andi yang berontak jauh di dalam hatinya, menyimpannya di tempat yang paling tersembunyi, berharap suatu hari nanti ia bisa kembali bebas, menjadi dirinya sendiri lagi, pria yang ia kenal. Namun, setiap hari yang berlalu, setiap perubahan yang terjadi pada tubuhnya, setiap perintah yang ia patuhi, membuat harapan itu terasa semakin tipis, semakin jauh, seperti fatamorgana di padang pasir yang tak berujung, tak akan pernah bisa ia sentuh. Pertarungan batinnya adalah sebuah siksaan yang tak terlihat, namun ia tahu, ia harus terus melawannya sendirian, di dalam kegelapan jiwa yang semakin pekat. Ia hanya bisa berdoa, meskipun ia tak yakin lagi pada siapa ia harus berdoa, agar suatu hari nanti, keajaiban akan datang membebaskannya dari neraka emas ini.

  

Dinginnya marmer di bawah telapak kakinya yang kini terasa lebih halus, udara berat yang dipenuhi aroma bunga melati buatan, dan keheningan yang menyesakkan di kamar mewah, semua itu menjadi pengiring bagi ritual pagi Andi yang paling menyakitkan. Jika sebelumnya ia bisa menghindarinya atau memalingkan muka, kini tak ada lagi pelarian. Cermin besar berbingkai ukiran emas yang mendominasi salah satu dinding kamarnya telah bertransformasi dari sekadar benda mati menjadi musuh paling kejam, sebuah portal menuju neraka pribadinya yang terwujud. Setiap hari, tanpa kecuali, ia dipaksa menghadapinya, sebuah pertarungan visual yang menguras habis sisa-sisa jiwanya.

Setiap kali ia melihat pantulannya, yang terlihat bukanlah Andi, seorang pemuda dari Sumatra yang pernah ia kenal dan cintai, melainkan "Isabella" yang semakin sempurna, semakin utuh, dan semakin asing. Transformasi itu tidak lagi samar atau tersembunyi; ia terpampang nyata, tanpa ampun, di permukaan cermin yang mengkilap. Wajah yang dulu kasar dan tegas kini dirias tebal dengan berbagai kosmetik, menyamarkan setiap jejak maskulinitas. Pipi yang lebih lembut, bibir yang dipoles merah terang, dan mata yang diperbesar oleh riasan kini menatapnya dengan tatapan yang terasa hampa. Rambut panjang yang diatur rapi, digelung elegan atau dibiarkan terurai bergelombang, membingkai wajah yang telah sepenuhnya berubah. Lekuk tubuh yang dipaksakan oleh korset dan gaun-gaun feminin, dengan dada yang membusung dan pinggul yang melengkung, semuanya adalah bukti nyata dari kekejaman yang ia alami, sebuah mahakarya keji yang diciptakan oleh Ko Min Aung.

Andi mulai membenci pantulannya sendiri dengan intensitas yang membakar. Kebencian itu bukan hanya tertuju pada sosok Isabella yang terpampang di sana, tetapi juga pada dirinya sendiri karena tak berdaya menghadapi semua ini. Ia memejamkan mata erat-erat, sekuat tenaga, berharap saat ia membukanya kembali, semua itu hanyalah mimpi buruk yang mengerikan, sebuah ilusi yang akan lenyap begitu ia sadar. Ia berharap bisa terbangun di gubuknya di Sumatra, mencium aroma tanah basah setelah hujan, mendengar suara ibu memanggilnya untuk makan. Namun, realitas selalu datang dengan kejam, menghantamnya bagai ombak besar yang memecah karang, memaksanya menerima perubahan yang tak diinginkan, meruntuhkan sisa-sisa dirinya yang dulu hingga tak bersisa.

Perasaan terperangkap di dalam tubuh yang bukan miliknya ini adalah siksaan yang konstan. Ia merasa jiwanya menjerit, namun suaranya tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri. Setiap sentuhan pada kulitnya yang semakin lembut, setiap gerakan yang kini harus diatur agar terlihat anggun, setiap kata yang harus diucapkan dengan nada lebih tinggi, adalah sebuah pengkhianatan. Cermin itu seolah mengejeknya, menampilkan keindahan yang dipaksakan, sebuah topeng yang sempurna di atas kehancuran batin.

Mrs. Naomi, sang instruktur Jepang yang tak kenal ampun, seringkali menggunakan cermin sebagai alat bantu dalam latihannya. "Lihatlah, Isabella," suaranya datar namun menusuk, "posturmu masih kaku. Bahumu terlalu lebar. Kau harus bergerak dengan lebih... mengalir, seperti air." Ia akan berdiri di samping Andi, memanipulasi tubuhnya dengan tangan dingin, menarik bahunya ke belakang, memaksa pinggulnya berayun, semua itu sambil menatap pantulan mereka di cermin. Andi merasa seperti boneka yang talinya ditarik, dan cermin itu memperlihatkan setiap manipulasi yang dilakukan padanya. Ia tidak lagi memiliki kontrol atas raganya sendiri.

Saat menjalani rutinitas rias wajah setiap pagi, pengasuh akan memaksanya menatap cermin. Setiap sapuan kuas foundation, setiap garis eyeliner, setiap pulasan lipstik, terasa seperti lapisan baru yang menutupi dirinya yang asli, menguburnya lebih dalam. Andi merasa sesak, seperti ia sedang dikubur hidup-hidup di balik lapisan-lapisan kosmetik dan gaun mahal. Ia ingin berteriak, mengacak-acak rambutnya, menghapus semua riasan itu, dan merobek pakaian yang mencekiknya. Tapi ia tahu, setiap tindakan perlawanan akan berujung pada penderitaan keluarganya. Ancaman Ko Min Aung tentang rekaman video terbaru dari desanya, tentang kondisi orang tuanya yang memburuk, adalah belenggu tak terlihat yang jauh lebih kuat dari apapun. Itu adalah alasan satu-satunya mengapa ia masih bertahan.

Di malam hari, setelah Ko Min Aung pulang dan ia kembali ke kamar mewah pria itu, rasa kehampaan dan kesepian semakin mendalam. Sebelum tidur, Ko Min Aung akan sering memintanya berdiri di depan cermin, mengagumi "karya seninya". "Lihatlah dirimu, Isabella," kata Ko Min Aung, suaranya dipenuhi kepuasan yang mengerikan, "kau semakin sempurna. Ini adalah hasil dari kepatuhanmu." Ia akan membelai wajah Andi, menyentuh lekuk tubuhnya yang kini terbentuk, selalu dengan sentuhan yang memposisikannya sebagai seorang perempuan, seorang objek yang ia miliki. Andi hanya bisa berdiri diam, menahan rasa jijik yang membanjiri jiwanya, membiarkan tatapan dan sentuhan itu merasukinya, merampas sisa-sisa harga dirinya.

Kenangan tentang dirinya yang dulu, tentang Andi yang bebas dan kuat, perlahan-lahan memudar. Bayangan di cermin menjadi semakin nyata, semakin dominan. Ia sering bertanya-tanya, apakah ada lagi Andi yang tersisa di dalam diri Isabella? Atau apakah Andi telah mati, terkubur di bawah lapisan-lapisan kepalsuan dan penderitaan ini? Perasaan kehilangan diri begitu mendalam, hingga ia merasa seperti berjalan di atas tebing tipis, di ambang kehancuran identitas total.

Setiap hari adalah perjuangan batin yang melelahkan. Ia mencoba berbicara dengan dirinya sendiri di dalam hati, memohon pada Andi yang lama untuk tetap bertahan, untuk tidak menyerah. Tetapi suara Andi semakin lemah, teredam oleh suara Isabella yang dipaksakan. Ia merasa seperti kapal yang hanyut di lautan luas, tanpa kemudi, tanpa arah, hanya pasrah pada arus yang membawanya semakin jauh dari pantai asalnya.

Malam-malam tanpa tidur di kamar Ko Min Aung adalah siksaan terberat. Aroma tubuh pria itu, sentuhan kasarnya, dan kesadaran akan kehinaannya, semua itu menggerogoti jiwanya. Ia akan memejamkan mata, mencoba melarikan diri ke dalam kenangan, tetapi bahkan kenangan itu kini terasa pahit, karena ia tahu ia tak akan bisa kembali ke sana. Ia adalah tawanan, bukan hanya di sangkar emas ini, tetapi juga di dalam tubuhnya sendiri.

Kelelahan mental ini jauh lebih parah daripada kelelahan fisik. Ia sering merasa otaknya mati rasa, tak mampu berpikir jernih, hanya mengikuti perintah. Ini adalah strategi Ko Min Aung: mematahkan semangatnya, menghancurkan identitasnya, sampai ia benar-benar menjadi Isabella yang patuh dan tanpa kehendak. Harapan untuk kembali menjadi Andi semakin tipis, nyaris tak terlihat. Ia hanya bisa hidup untuk hari ini, bertahan satu hari lagi demi keluarganya. Dan setiap hari itu, cermin akan selalu ada di sana, menunggu, siap menampilkan musuh paling kejam: bayangan dirinya yang telah direnggut.

 

Pagi itu, udara di kamar utama kediaman mewah Ko Min Aung terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk hingga ke tulang, seolah pertanda buruk. Firasat itu semakin kuat saat Mrs. Naomi, dengan raut wajah yang lebih kaku dari biasanya, menatap Andi dengan tatapan yang penuh makna, sebuah sinyal bahwa hari ini berbeda dari hari-hari pelatihan rutin lainnya. Di tengah rutinitas pelatihan dan perubahan fisik yang tak henti, Andi merasa suaranya sendiri, dalam arti harfiah dan kiasan, semakin terbungkam, terperangkap di dalam dirinya, tak mampu menemukan jalan keluar.

 

Ia sudah terbiasa dengan peraturan tak tertulis di rumah ini: ia tidak diizinkan berbicara kecuali jika ditanya. Setiap kali ia ingin melontarkan kalimat spontan, sebuah tatapan dingin dari pengawal atau desahan kecewa dari Mrs. Naomi akan segera membungkamnya. Dan bahkan saat berbicara, ia harus menggunakan intonasi dan pilihan kata yang feminin, diajarkan oleh pengasuh vokal khusus yang didatangkan Ko Min Aung. Pengasuh itu, seorang wanita paruh baya dengan suara melengking dan senyum tipis yang tak sampai ke mata, akan menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk melatih Andi. "Ucapkan 'ya' dengan lebih lembut, Isabella, seolah kau berbisik pada kekasihmu," ia akan mencontohkan, memaksa Andi mengulanginya berkali-kali hingga nadanya pas. "Jangan menggunakan kata-kata kasar. Seorang wanita sejati selalu memilih diksi yang indah, bahkan saat marah sekalipun." Setiap kata, setiap frasa, setiap tarikan napas harus diatur, dipoles, hingga keluar dari mulutnya menjadi suara yang tidak ia kenali, suara seorang wanita yang ia benci, sebuah suara yang terasa asing dan menakutkan.

 

Setiap protes atau keluhannya, sekecil apapun, dianggap sebagai tanda perlawanan yang harus segera ditekan. Tatapan tajam dari pengawal, bisikan dingin dari Mrs. Naomi, atau bahkan ancaman terselubung dari Ko Min Aung, akan segera membungkamnya. Andi mulai merasa seperti kehilangan kemampuan untuk berekspresi, kata-kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokannya, membentuk gumpalan berat yang menyesakkan, menambah beban psikologis yang ia pikul sendiri. Ia seperti boneka dengan mulut dijahit, yang hanya bisa mengangguk dan tersenyum, atau mengeluarkan suara-suara yang telah diprogramkan untuknya, tanpa makna sejati.

 

Namun, semua siksaan mental dan fisik yang telah ia alami, semua perubahan yang ia paksakan pada dirinya, tidak sebanding dengan kengerian yang menunggunya hari ini.

 

Siang itu, setelah sarapan yang tak berselera di meja makan yang besar dan sepi, Ko Min Aung memasuki kamar utama yang kini ia tempati bersama Andi. Ia mengenakan setelan jas sutra mahal berwarna gelap, auranya begitu kuat dan tak terbantahkan, memenuhi ruangan. Matanya menatap Andi, bukan dengan kehangatan atau kasih sayang yang bisa diharapkan, melainkan dengan tatapan seorang seniman yang mengamati karyanya yang hampir selesai, atau seorang pemburu yang puas dengan tangkapannya yang tak berdaya. Ko Min Aung duduk di sofa beludru, menyilangkan kaki, dan menatap Andi dengan penuh perhitungan.

 

"Isabella," Ko Min Aung memulai, suaranya tenang, namun mengandung nada final yang membuat darah Andi membeku, mengalir dingin di seluruh tubuhnya. "Waktunya telah tiba. Untuk langkah selanjutnya dalam kesempurnaanmu. Ini adalah penyesuaian terakhir yang akan menjadikanmu benar-benar tak bercela."

 

Andi merasa lututnya lemas, ia merasakan pening mendadak. Ia tahu apa yang dimaksud Ko Min Aung. Selama beberapa minggu terakhir, percakapan samar tentang "penyesuaian terakhir" dan "sentuhan artistik" sering terdengar dari Ko Min Aung atau Mrs. Naomi. Tapi ia tak pernah menyangka itu akan datang secepat ini, atau sebrutal ini, di tengah proses transformasi yang sudah terasa begitu berat.

 

"Kau akan menjalani operasi payudara hari ini," Ko Min Aung melanjutkan, seolah sedang membicarakan cuaca atau jadwal makan malam, tanpa sedikitpun emosi. "Untuk mencapai proporsi yang ideal, yang akan menyempurnakan bentuk tubuhmu. Ukuran 40B akan sangat cocok dengan postur dan siluetmu yang baru, Isabella. Itu akan melengkapimu."

 

Dunia Andi runtuh seketika, berkeping-keping di hadapannya. Operasi? Payudara ukuran 40B? Ini bukan lagi tentang suntikan hormon atau latihan postur yang menyiksa. Ini adalah mutilasi. Ini adalah penghapusan total atas sisa-sisa dirinya sebagai seorang pria, sebuah tindakan permanen yang tak bisa ditarik kembali. Ia merasakan gelombang kepanikan yang luar biasa, dingin dan menusuk, yang naik dari perutnya hingga ke tenggorokan. Tubuhnya gemetar tak terkendali, seperti daun yang ditiup angin kencang.

 

"Tidak... tidak mungkin..." bisik Andi, suaranya parau, nyaris tak terdengar, tenggelam dalam isakannya sendiri. Ia mencoba berdiri, hendak melarikan diri, tetapi kakinya terasa seperti jeli, tak mampu menopang bobot tubuhnya. Ia ambruk ke lantai, tanpa daya.

 

Ko Min Aung hanya tersenyum tipis, sebuah senyum kejam tanpa belas kasih, tak sedikitpun terpengaruh oleh penderitaan Andi. "Semua persiapan sudah dilakukan, Isabella. Dokter terbaik telah didatangkan dari luar negeri. Ini akan menjadi sangat lancar, kau tidak perlu khawatir."

 

"Tidak! Kumohon!" Suara yang selama ini terbungkam akhirnya meledak, meskipun penuh keputusasaan yang pilu. Andi merasakan air mata membanjiri matanya, mengalir deras membasahi pipinya yang sudah dirias tebal, melunturkan kosmetik. Ia beringsut maju dengan susah payah, memohon, menangis tersedu-sedu, dan berlutut di kaki Ko Min Aung. Tubuhnya gemetar hebat, ia mencoba meraih tangan pria itu, menggenggam celananya, memohon belas kasihan. "Jangan... jangan lakukan ini padaku! Aku mohon... Aku tidak mau! Aku tidak mau menjadi... wanita seutuhnya seperti itu! Aku... aku ini Andi! Kumohon, tuan... jangan sentuh tubuhku lagi! Aku tidak sanggup!"

 

Air matanya membasahi ujung celana Ko Min Aung, membentuk numpuk basah. Ia mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan tatapan penuh permohonan yang paling tulus, sebuah pandangan yang seharusnya bisa meluluhkan hati batu sekalipun. Ia menunjukkan rasa sakit yang sebenarnya, rasa takut yang begitu mendalam, sebuah ekspresi yang belum pernah ia tunjukkan sejak ia terperangkap di sini. Semua topeng Isabella runtuh. Ia rela melakukan apapun, menjalani siksaan apapun, asal tidak operasi ini. Ia rela terus mengenakan pakaian wanita, rela menjalani latihan yang menyiksa, rela berbicara dengan suara yang dipaksakan, asal bagian tubuhnya yang paling intim tidak disentuh, tidak diubah secara permanen.

 

Namun, Ko Min Aung tetap teguh pada pendiriannya. Wajahnya tidak menunjukkan sedikitpun perubahan, seolah ia terbuat dari batu. Senyum tipisnya tetap membeku di bibir, seolah terpahat. Ia menatap Andi yang berlutut dan meratap di kakinya, dengan mata yang datar dan dingin, tanpa secuilpun emosi, seolah sedang menatap serangga yang tak berarti, atau sebuah benda mati yang mengganggu pemandangan.

 

"Bangun, Isabella," perintah Ko Min Aung, suaranya tetap tenang dan terkendali, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, seperti es. "Tingkah lakumu ini tidak pantas. Kau harus belajar bersikap. Ini bukan pilihanmu. Ini adalah takdirmu. Dan ini adalah bagian dari janji yang kau buat kepadaku saat kau setuju untuk berada di sini. Kau tidak bisa menariknya kembali sekarang."

 

Ia tidak mengulurkan tangan untuk membantu Andi berdiri. Sebaliknya, ia menyingkirkan kakinya dengan sedikit sentakan, sebuah gerakan kecil yang kejam, membuat Andi kehilangan keseimbangan dan nyaris tersungkur ke lantai. Para pengawal yang berdiri di sudut ruangan segera mendekat, langkah mereka seragam dan tanpa suara, wajah mereka tanpa ekspresi, siap menjalankan perintah apapun yang akan keluar dari bibir tuan mereka.

 

"Pegang dia," perintah Ko Min Aung, suaranya tajam dan tidak bisa dibantah. "Bawa dia ke ruang operasi. Dan pastikan dia tidak membuat keributan yang tidak perlu."

 

Andi menjerit, jeritan yang putus asa, sebuah suara yang berasal dari lubuk jiwanya yang paling dalam, namun suara itu segera terbungkam oleh tangan besar salah satu pengawal yang membekap mulutnya erat-erat. Ia meronta dengan sekuat tenaga, menendang-nendang dengan sisa tenaganya, memutar tubuhnya, tetapi kekuatan mereka jauh lebih besar, tak tertandingi. Dua pengawal mengangkat tubuhnya yang kini terasa ringan dan rapuh, menggendongnya seperti karung, meskipun ia terus meronta dan berjuang dengan setiap inci kekuatannya. Dalam keputusasaannya, ia melihat wajah Ko Min Aung yang acuh tak acuh, menatapnya tanpa secuil pun belas kasihan, tanpa penyesalan. Itu adalah tatapan yang menghancurkan semua harapan terakhir yang ia miliki, memadamkan api kecil yang masih berkedip di dalam dirinya.

 

Mereka membawanya keluar dari kamar utama, menyusuri koridor panjang yang berkarpet tebal, lalu menuruni tangga menuju sebuah area yang belum pernah ia datangi sebelumnya di kediaman itu. Aroma antiseptik yang menusuk hidung segera tercium, bersamaan dengan suara-suara samar peralatan medis yang berdenting. Ini adalah ruang operasi pribadi Ko Min Aung, disiapkan khusus untuknya, untuk tujuan ini.

 

Saat pintu terbuka, Andi melihat sebuah ruangan serba putih yang steril, dingin, dan menakutkan. Ada meja operasi di tengah, dengan lampu besar yang memancarkan cahaya silau di atasnya. Beberapa orang berjas putih sudah menunggu di sana, termasuk seorang dokter dengan wajah serius dan dingin, serta beberapa perawat yang sibuk menyiapkan alat-alat bedah. Mereka semua menatapnya dengan tatapan tanpa emosi, seolah ia hanyalah seonggok daging yang akan diproses, bukan manusia.

 

Andi terus meronta, air mata mengalir deras dari matanya, mengaburkan pandangannya. Ia menggelengkan kepala dengan putus asa, mencoba berteriak lagi, namun tangan pengawal masih membekap mulutnya erat-erat, menekan hingga rahangnya terasa sakit. Ia melihat kilatan jarum suntik yang dipegang salah satu perawat, dan ia tahu, sebentar lagi semuanya akan berakhir. Ia akan kehilangan dirinya, sepenuhnya, tanpa sisa.

 

Ia ditidurkan di meja operasi, tubuhnya diikat dengan tali pengaman yang kaku. Ia merasakan dinginnya permukaan meja di punggungnya, sensasi yang menusuk kulitnya. Dokter mendekat, tatapannya dingin dan profesional, tanpa simpati. Ia melihat kilatan jarum suntik mendekat ke lengannya, bayangannya membesar. Sebuah desakan terakhir untuk melawan muncul, namun tubuhnya sudah terlalu lemah, jiwanya sudah terlalu hancur, dan pikirannya terlalu lelah untuk melakukan apapun. Cairan dingin itu merasuk ke dalam nadinya, sensasi yang aneh dan menusuk, dan dalam hitungan detik, seluruh tubuhnya terasa berat, pandangannya mulai kabur, dunianya berputar.

 

Sebelum kesadarannya benar-benar lenyap, satu pikiran terakhir melintas di benaknya, sebuah bisikan samar dari jiwanya yang sekarat, sebuah perlawanan terakhir sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya: "Aku... Aku adalah Andi." Suara itu adalah bisikan samar dari jiwanya yang sekarat, sebuah perlawanan terakhir sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya. Ia tidak tahu kapan ia akan bangun, atau siapa yang akan ia temukan di dalam cermin setelah semua ini berakhir. Yang jelas, Andi yang dulu, yang pernah hidup bebas, yang memiliki suara dan kehendak sendiri, kini telah benar-benar terbungkam, terkubur di bawah lapisan-lapisan kosmetik, gaun sutra, dan kini, pisau bedah. Ia telah dibentuk ulang, dimanipulasi, diubah menjadi sesuatu yang bukan dirinya.

 

Ketika ia terbangun, rasa sakit yang luar biasa di dadanya adalah hal pertama yang ia rasakan. Perban tebal melilit erat, membatasi setiap napas, setiap gerakan. Sensasi asing yang berat dan lunak terasa di area yang sebelumnya rata, sebuah keberadaan baru yang ia takuti. Ia tidak berani menyentuhnya, tidak berani melihatnya. Hanya ada kehampaan, rasa kosong yang mengerikan yang menguasai dirinya. Ia telah kehilangan lagi. Kali ini, sebuah bagian nyata dari dirinya, sebuah identitas fisik yang tak bisa kembali. Ko Min Aung telah menang, sekali lagi, meraih kemenangan penuh atas dirinya. Dan di dalam diri Isabella yang baru ini, Andi terkunci lebih dalam, suaranya terbungkam, jiwanya terpenjara dalam raga yang tak ia kenali, di tengah kemewahan yang kini terasa seperti neraka yang sempurna, sebuah penjara tanpa pintu keluar.

  

Satu minggu telah berlalu sejak operasi payudara itu, satu minggu yang terasa seperti satu abad bagi Andi, setiap detik bagai tetesan air yang jatuh pelan namun konstan, mengikis kesadarannya. Rasa sakit fisik di dadanya memang berangsur mereda, berganti dengan sensasi aneh yang tak biasa, sebuah beban baru yang terasa asing dan berat, mengganggu setiap gerakannya. Kini, bra yang ia kenakan berisi penuh dengan payudara besar, sebuah kenyataan fisik yang terus-menerus mengingatkannya pada perubahan permanen yang telah dialaminya, sebuah tanda bahwa identitas lamanya semakin jauh terkubur. Setiap kali ia bergerak, sensasi itu mengingatkannya pada pisau bedah yang mengubah dirinya, pada kehendak Ko Min Aung yang mutlak. Ko Min Aung seringkali, dengan santai dan tanpa peringatan, meremas dan menyentuhnya saat mereka berada di kamar, sebuah sentuhan posesif yang memperkuat rasa kepemilikan pria itu, menegaskan bahwa tubuh Andi kini sepenuhnya adalah miliknya, sebuah objek yang bisa ia jamah sesuka hati. Sentuhan itu, meskipun tidak lagi menyakitkan secara fisik, meninggalkan bekas luka yang lebih dalam di jiwanya, sebuah pengingat konstan akan kehilangannya, sebuah penanda bahwa ia kini hidup sepenuhnya sebagai "Isabella".

 

Kehidupan Andi di kompleks Ko Min Aung sepenuhnya di bawah pengawasan, sebuah kenyataan yang kini meresap hingga ke tulangnya, menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap helaan napasnya. Ia tidak hanya terperangkap di dalam tubuhnya sendiri, yang kini terasa asing, tetapi juga di dalam sebuah penjara tanpa jeruji yang tak terlihat, dikelilingi oleh mata-mata tak kasat mata. Kamera tersembunyi tersebar di mana-mana, disematkan dengan cerdik di sudut-sudut ruangan, di balik pot bunga anggrek mahal, bahkan di balik lukisan berharga yang tergantung di dinding. Kilatan merah samar dari lensa-lensa kecil itu seolah-olah adalah mata-mata yang tak pernah tidur, merekam setiap gerakannya, setiap detail kehidupannya yang kini adalah tontonan bagi Ko Min Aung. Ia seringkali merasa paranoia, membayangkan ada sepasang mata tak terlihat yang mengamatinya setiap saat, bahkan saat ia sendirian di kamar mandinya, setiap kali ia memejamkan mata, atau saat ia berusaha tidur.

 

Selain itu, ia selalu diikuti oleh pengasuh yang tak pernah jauh mengintai. Wanita paruh baya itu, dengan wajah tanpa ekspresi dan langkah tanpa suara, selalu berada dalam jangkauan pandangnya, seperti bayangan yang tak terpisahkan. Saat Andi makan di meja makan mewah, saat ia membaca buku di perpustakaan besar, saat ia berlatih di aula yang dilapisi cermin, bahkan saat ia duduk termenung di taman yang terawat indah, pengasuh itu selalu ada, seperti patung hidup yang bernapas. Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali memberikan instruksi singkat atau tatapan dingin, namun tatapannya, yang selalu tenang dan tajam, mengisyaratkan bahwa setiap pelanggaran akan segera dicatat dan dilaporkan. Andi merasa tercekik oleh kehadiran konstan ini, setiap detik keberadaannya terasa diawasi, setiap pikirannya seolah bisa terbaca.

 

Bahkan pelayan yang tampaknya ramah namun sebenarnya adalah mata-mata turut menambah lapisan pengawasan ini. Mereka akan tersenyum dengan sopan, menawarkan bantuan kecil, dan berbicara dengan nada ramah, namun di balik semua itu, Andi bisa merasakan tatapan menilai mereka, telinga mereka yang selalu siaga menangkap setiap bisikan atau keluhan, setiap tanda ketidakpatuhan. Mereka akan bertanya tentang suasana hatinya, tentang tidurnya, tentang makanannya, pertanyaan-pertanyaan yang terdengar biasa dan perhatian, namun di mata Andi, itu adalah laporan harian yang akan disampaikan kepada Ko Min Aung, sebuah laporan detail tentang ketaatan dirinya. Ia tidak bisa mempercayai siapa pun di dalam dinding-dinding mewah ini. Setiap senyum adalah sebuah topeng, setiap kebaikan adalah sebuah jebakan, setiap kata adalah potensi ancaman.

 

Setiap gerakannya, setiap ekspresinya, diawasi dengan cermat. Tidak ada lagi ruang untuk spontanitas, tidak ada lagi kebebasan. Ia harus selalu sadar akan posturnya yang feminin, cara ia duduk dengan kaki merapat, cara ia berdiri dengan bahu ditarik ke belakang, cara ia memegang sendok dan garpu dengan anggun, bahkan cara ia mengedipkan mata atau menghela napas. Senyumnya harus lembut dan manis, tatapannya harus tenang dan patuh, dan suaranya harus rendah dan sopan, persis seperti yang diajarkan. Setiap kali ia lupa diri dan menunjukkan sedikit saja kebiasaan lamanya sebagai seorang pria, seperti menggaruk kepala dengan kasar, menghela napas terlalu keras, atau bersendawa pelan, ia akan menerima tatapan tajam yang dingin dari Mrs. Naomi atau pengasuh, sebuah tatapan yang mengingatkannya akan kamera-kamera dan mata-mata yang mengintai. Tubuhnya kini bukan lagi miliknya, melainkan sebuah pertunjukan yang harus selalu sempurna di bawah pengawasan ketat, sebuah boneka yang harus tampil sesuai skenario.

 

Tidak ada privasi, tidak ada momen untuk benar-benar menjadi dirinya sendiri. Bahkan di dalam tidurnya, ia merasa tidak aman. Ia sering terbangun di tengah malam, dengan keringat dingin membasahi tubuhnya, membayangkan lensa kamera berkedip dalam gelap, atau mata pengasuh yang mengawasinya dari sudut ruangan, bayangan yang menghantui. Kamar tidur utama Ko Min Aung, yang kini menjadi tempat tidurnya setiap malam, seharusnya menjadi tempat yang paling pribadi, tempat ia bisa melarikan diri dari peran Isabella, namun justru terasa paling memenjarakan. Ia tidak bisa bebas menangis, tidak bisa bebas marah, tidak bisa bebas merenung tanpa takut diawasi, tanpa tahu kapan Ko Min Aung akan muncul dari balik pintu. Setiap napasnya terasa seperti diatur, setiap pikirannya terasa seperti dibaca, setiap emosinya diawasi.

 

Rasa diawasi ini terus-menerus membebani pikirannya, membuatnya merasa seperti terjebak dalam sangkar kaca, di mana setiap napasnya pun terasa tidak bebas. Beban mental ini jauh lebih melelahkan daripada semua latihan fisik dan diet ketat yang ia jalani. Ia merasa jiwanya tercekik, terkurung, dan perlahan-lahan mati, seperti bunga yang layu di dalam vas. Kemampuan untuk berpikir jernih mulai memudar, digantikan oleh kelelahan dan ketaatan buta. Ia seringkali merasa mati rasa, seperti robot yang hanya menjalankan perintah, bergerak tanpa tujuan, tanpa kehendak. Ia tidak memiliki ruang untuk bernapas, tidak memiliki ruang untuk menjadi Andi, bahkan di dalam pikirannya sendiri, yang kini dipenuhi oleh bayangan pengawasan.

 

Dampak psikologis dari pengawasan ini sangat brutal. Andi sering mengalami kesulitan berkonsentrasi, pikirannya melayang-layang karena terus-menerus memikirkan siapa yang mengawasinya, apa yang mereka catat, dan bagaimana itu akan dilaporkan. Ia menjadi lebih pendiam, menarik diri dari interaksi sekecil apapun, bahkan dari bayangannya sendiri di cermin. Rasa paranoia meningkat, membuatnya curiga terhadap setiap suara, setiap gerakan, setiap bayangan yang melintas. Bahkan angin yang berdesir di luar jendela pun terasa seperti bisikan pengawas yang tak terlihat, sebuah peringatan akan keberadaan mereka. Ia merasa seperti hidup di bawah mikroskop, setiap serat keberadaannya diteliti dan dinilai, setiap kelemahan dieksploitasi.

 

Ko Min Aung kadang akan mengomentari hal-hal kecil yang ia lakukan, hal-hal yang hanya bisa diketahui jika ia benar-benar diawasi, bahkan di saat-saat yang paling intim. Misalnya, suatu pagi Ko Min Aung berkata, sambil menyesap tehnya, "Kau terlihat sedikit gelisah semalam, Isabella. Apakah ada sesuatu yang mengganggu tidurmu? Kau membalik badan lebih dari biasanya." Kata-kata itu, diucapkan dengan nada santai namun penuh kuasa, adalah bukti nyata bahwa ia memang diawasi bahkan saat ia tidur, menghancurkan sisa-sisa ilusi privasi yang ia miliki, menghancurkan batas terakhir antara dirinya dan pria itu. Setiap komentar seperti itu adalah belati yang menusuk langsung ke jiwanya, menegaskan bahwa Ko Min Aung memiliki kendali penuh atas dirinya, tidak hanya tubuhnya, tetapi juga pikiran dan perasaannya, bahkan alam bawah sadarnya.

 

Selain pengawasan visual, sentuhan Ko Min Aung juga merupakan bentuk pengawasan dan kontrol yang konstan. Sejak operasi, Ko Min Aung selalu memposisikan Andi sebagai perempuan dalam setiap interaksinya. Ia akan memegang tangan Andi dengan lembut seolah menggandeng seorang kekasih, menyentuh pinggangnya dengan sentuhan posesif, atau menyelipkan helaian rambut Andi ke belakang telinganya dengan gestur penuh perhatian. Namun, di balik semua kelembutan semu itu, ada sebuah penegasan yang kejam: kau adalah perempuan, kau adalah milikku. Dan di kamar mereka, Ko Min Aung sering memeluknya. Pelukan itu bukan pelukan hangat seorang pelindung, melainkan pelukan seorang pemilik, pelukan yang mendekap erat, membatasi gerak, dan menegaskan kepemilikan. Dalam pelukan itu, Andi merasa tercekik oleh aroma tubuh Ko Min Aung, terperangkap oleh lengan yang melingkar kuat. Setiap pelukan, setiap sentuhan pada payudaranya yang baru, adalah pengingat konstan bahwa ia kini adalah Isabella, sebuah entitas yang diciptakan dan dimiliki sepenuhnya oleh pria di hadapannya.

 

Isabella, si boneka yang sempurna, semakin menjadi kenyataan. Andi yang berjuang di dalam semakin terdesak, suaranya semakin samar, bahkan untuk dirinya sendiri, hingga ia nyaris tak bisa mendengar bisikan hati kecilnya. Pengawasan ini bukan hanya untuk memastikan kepatuhan, tetapi juga untuk menghancurkan identitasnya, sedikit demi sedikit, hingga tak ada lagi Andi yang tersisa, hanya Isabella yang patuh dan tanpa kehendak. Ia merasa seperti sehelai daun yang terbawa arus deras, ditarik ke bawah oleh beban pengawasan yang tak henti, menuju kehampaan yang menakutkan, ke dalam kekosongan tanpa batas. Tidak ada tempat untuk bersembunyi, tidak ada tempat untuk lari, bahkan di dalam benaknya sendiri, karena pikiran-pikirannya pun terasa seperti diawasi. Ia adalah tawanan di dalam sangkar kaca, sebuah penjara yang tak bisa ia lihat, namun sangat ia rasakan di setiap inci keberadaannya.

 

Keheningan malam di kamar utama Ko Min Aung, yang seharusnya membawa kedamaian setelah hiruk-pikuk siang, justru menjadi medan pertempuran bagi batin Andi yang terdistorsi. Setelah seharian penuh menjalani rutinitas Isabella yang melelahkan dan berada di bawah pengawasan ketat, satu-satunya pelarian yang ia harapkan adalah tidur. Namun, bahkan di alam mimpi, ia tak menemukan ketenangan. Tidurnya adalah arena di mana ketakutan terbesarnya terwujud, berulang kali, tanpa ampun, menggerogoti sisa-sisa kewarasannya.

 

Malam hari, saat ia mencoba memejamkan mata dan menarik selimut sutra yang dingin di tubuhnya yang kini terasa asing, mimpi buruk sering menghampiri Andi. Mimpi-mimpi itu bukan sekadar bayangan samar yang bisa diusir saat terbangun, melainkan pengalaman yang begitu nyata, begitu mendalam, sehingga sulit dibedakan dari kenyataan pahit yang ia jalani. Ia bermimpi tentang desanya yang terbakar, kobaran api merah jingga menjilat langit malam, melahap gubuk-gubuk bambu yang rapuh, termasuk rumahnya. Aroma asap memenuhi paru-parunya hingga ia terbatuk, panasnya menjilat kulitnya seolah nyata, dan suara retakan kayu yang terbakar begitu memekakkan telinga, bagai jeritan yang tak henti. Dalam mimpi itu, ia melihat orang tuanya yang disiksa, wajah mereka yang kurus kini meringis kesakitan, tangan mereka terikat erat, dan suara erangan mereka menusuk hatinya lebih dalam dari belati manapun, sebuah melodi penderitaan yang tak bisa ia lupakan. Ia juga bermimpi tentang dirinya sendiri yang berlari namun tak bisa bergerak, kakinya terasa berat seperti timah, setiap langkah seolah terperosok ke dalam lumpur hisap yang lengket, sementara bayangan hitam raksasa, personifikasi dari ketakutannya, mendekat di belakangnya, mengejarnya tanpa henti, siap menelannya.

 

Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, mencerminkan ketakutan terbesarnya: kehancuran keluarganya, dan ketidakberdayaannya sendiri untuk menghentikannya. Setiap adegan dalam mimpi itu adalah penjelmaan dari ancaman Ko Min Aung, sebuah visualisasi mengerikan dari apa yang bisa terjadi jika ia menunjukkan perlawanan, jika ia gagal dalam perannya sebagai Isabella. Sensasi api yang membakar, rasa sakit orang tuanya, dan keputusasaan karena tak bisa bergerak, semua itu merasuk ke dalam jiwanya, menjadi sebuah siksaan yang bahkan lebih kejam daripada pelatihan fisik atau operasi yang ia alami. Karena dalam mimpi, ia tak bisa lari, ia tak bisa berpura-pura, ia tak bisa memakai topeng Isabella. Ia adalah Andi, yang menderita, sepenuhnya, tanpa persembunyian.

 

Ia sering terbangun dengan keringat dingin, membasahi sekujur tubuhnya, seolah ia baru saja lolos dari neraka yang nyata. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dinding dadanya seperti genderang perang yang tak henti, napasnya terengah-engah dan dangkal, dan air mata membasahi pipinya, aliran air asin yang terasa panas dan memilukan. Mimpi buruk ini menjadi siksaan tambahan yang tak terhindarkan, bukti bahwa trauma yang ia alami tidak hanya mengikis fisiknya, tapi juga meracuni alam bawah sadarnya, menginvasi satu-satunya tempat yang seharusnya menjadi miliknya sendiri, tempat ia bisa bebas. Kelelahan akibat kurang tidur dan ketegangan mental yang konstan semakin memperburuk kondisinya, membuatnya semakin rentan dan rapuh di siang hari, semakin sulit untuk mempertahankan sisa-sisa dirinya.

 

Setelah salah satu mimpi buruk yang paling mengerikan, saat Andi terisak pelan di atas bantal, tubuhnya bergetar tak terkendali, pintu kamar utama Ko Min Aung terbuka perlahan. Ko Min Aung melangkah masuk, siluetnya yang tinggi dan tegap terlihat di ambang pintu yang remang-remang oleh cahaya lampu malam. Ia melihat Andi yang meringkuk, terisak pelan, tubuhnya bergetar hebat. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya. Ia duduk di tepi ranjang, membuat tempat tidur sedikit melengkung di bawah berat tubuhnya.

 

"Mimpi buruk lagi, Isabella?" bisiknya, suaranya tenang, namun mengandung nada kepemilikan yang dingin, sebuah pengakuan bahwa ia adalah dalang di balik semua ketakutan itu. Ia tahu betul apa yang menghantui Andi, karena ia yang menaburkan benih-benih kengerian itu.

 

Andi tidak menjawab, hanya mengangguk pelan, terlalu lelah dan terlalu takut untuk berbicara, bahkan untuk berbisik.

 

Ko Min Aung mengulurkan tangannya, membelai rambut Andi yang basah oleh keringat. Sentuhannya terasa dingin, namun di balik itu ada kekuatan yang tak terbantahkan, sebuah janji akan kendali mutlak. "Jangan takut, sayang. Aku di sini. Aku akan menjagamu."

 

Kalimat itu, yang seharusnya menenangkan, justru terasa seperti ancaman yang mengerikan. Bagaimana ia bisa menjaga Andi, jika ia adalah penyebab utama semua ketakutan ini, arsitek dari mimpi buruknya?

 

Ko Min Aung menarik Andi perlahan ke dalam pelukannya. Tubuhnya yang besar dan berotot membungkus tubuh Andi yang kini lebih ramping dan feminin. Aroma parfum maskulin Ko Min Aung bercampur dengan aroma manis dari lingerie pink dan jubah halus yang dikenakan Andi, menciptakan perpaduan yang memualkan. Andi tidak bisa melawan, tidak bisa meronta, tubuhnya terlalu lemas, jiwanya terlalu lelah. Ia hanya bisa membiarkan dirinya ditarik, tubuhnya gemetar dalam pelukan itu, terperangkap tanpa daya.

 

Ko Min Aung dengan lembut membelai punggung Andi, kemudian tangannya bergerak naik ke leher, mengusap tengkuknya dengan ibu jari. Kemudian, dengan gerakan pelan dan dominan, tangannya bergerak ke area payudara Andi yang baru, meremas dan menyentuhnya dengan sensual, sebuah tindakan yang menegaskan bahwa ini adalah bagian dari dirinya yang kini telah diubah, sepenuhnya menjadi miliknya, sebuah objek kepuasan. Andi merasakan gelombang jijik dan kehinaan yang membanjiri dirinya, namun ia terpaksa menahan diri, memejamkan mata erat-erat agar tidak melihat apa yang terjadi.

 

"Kau harus belajar bahwa aku adalah satu-satunya tempat amanmu, Isabella," bisik Ko Min Aung di telinga Andi, suaranya serak namun penuh perintah, mengklaim dirinya sebagai penyelamat sekaligus penawan. "Semua ketakutanmu akan hilang bersamaku."

 

Setelah beberapa saat memeluk dan membelai Andi, Ko Min Aung selalu memposisikan Andi sebagai perempuan, memperlakukan setiap interaksi fisik sebagai validasi dari identitas Isabella. Ia akan membelai pipinya, menangkup wajahnya, selalu dengan sentuhan yang lembut namun penuh kuasa, seolah sedang mengagumi patung karyanya sendiri. Ia akan mencium kening Andi, lalu turun ke bibirnya, ciuman yang dalam dan posesif, sebuah penegasan bahwa Andi, sebagai Isabella, adalah miliknya sepenuhnya. Dalam setiap sentuhan, Ko Min Aung memastikan tidak ada keraguan tentang peran Isabella, tentang feminitas yang dipaksakan, tentang posisinya sebagai objek keinginan pria itu.

 

Setelah itu, terjadi keintiman yang tidak diinginkan, sebuah momen di mana Ko Min Aung kembali menegaskan kendalinya penuh atas diri Andi. Ia mengarahkan Andi dengan sentuhan-sentuhan yang lembut namun memaksa, membimbingnya untuk memenuhi setiap keinginan Ko Min Aung, sebuah tindakan yang sepenuhnya di luar kehendak Andi, sebuah penyerahan total yang memilukan. Setiap sentuhan Ko Min Aung, setiap desahan yang keluar dari bibirnya, adalah penegasan bahwa Andi kini adalah Isabella, sebuah entitas yang ia miliki, sepenuhnya di bawah kendalinya. Andi hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat, berusaha memisahkan jiwanya dari raganya, melarikan diri ke dalam kegelapan batin, mencari perlindungan dari kenyataan yang kejam ini. Ia berusaha memikirkan desanya, wajah orang tuanya, suara sungai, apapun yang bisa membuatnya merasa sedikit jauh dari ruangan itu, dari pria itu, dari sentuhan yang menjijikkan itu. Ia membiarkan pikirannya melayang, jauh dari tubuhnya yang diperlakukan sebagai objek.

 

Ketika fajar mulai menyingsing dan cahaya keemasan masuk melalui celah gorden, Ko Min Aung akhirnya melepaskan Andi dari pelukannya. Ia bangkit dari tempat tidur, merapikan jubah sutranya, dan menatap Andi yang terbaring lemah.

 

"Tidurlah lagi, Isabella," katanya, suaranya kembali datar dan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa yang mengerikan. "Kau membutuhkan istirahat yang cukup. Aku ingin kau terlihat segar besok."

 

Ko Min Aung meninggalkan kamar, meninggalkan Andi sendirian lagi, terbaring di tempat tidur yang terasa dingin dan hampa, meskipun baru saja ia berbagi dengan pria itu. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, bukan hanya karena sentuhan Ko Min Aung, tetapi juga karena kehancuran jiwanya. Mimpi buruk di alam nyata ini jauh lebih buruk daripada mimpi buruk di alam bawah sadar. Ia telah kehilangan dirinya, sepotong demi sepotong, hingga tak ada lagi yang tersisa selain Isabella, boneka yang tak berdaya. Dan setiap pagi, ia harus bangun, mengenakan topeng itu, dan menjalani perannya, tahu bahwa siksaan ini tak akan pernah berakhir, dan ia tak bisa berbuat apa-apa.

 

Selasa, 22 Juli 2025

Feminimisasi Paksa ( Chapter 1 )

  





Cahaya senja yang keemasan memudar di ufuk, menyisakan kerudung kelabu di atas puncak-puncak gunung yang tampak muram. Di sebuah perkampungan terpencil di pedalaman Sumatera, yang seolah luput dari sentuhan zaman, Andi sering menghabiskan sorenya di tepi sawah. Udara terasa lembap, berpadu dengan aroma tanah kering yang menusuk hidung. Usianya baru tujuh belas tahun, tubuhnya ramping dengan tinggi sekitar 170 sentimeter dan berat ideal 60 kilogram. Kulitnya putih kemerahan, kontras dengan kulit sawo matang anak-anak desa lain yang sering terpapar matahari. Wajahnya tampan, namun memiliki fitur yang lembut, tulang pipi yang halus, dan garis rahang yang tidak terlalu tegas, membuatnya cenderung memiliki paras yang menyerupai perempuan, sebuah keunikan yang membuatnya sedikit berbeda dari teman-teman lelakinya. Di balik matanya yang memancarkan kepolosan khas remaja, tersimpan kedalaman angan tentang pendidikan tinggi dan kehidupan yang jauh dari cengkeraman kemiskinan.

Andi sering membayangkan dirinya berada di kota-kota besar, yang hanya pernah ia lihat melalui siaran televisi hitam putih milik kepala desa. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, jalanan yang ramai dengan kendaraan modern, dan hiruk pikuk kehidupan yang tampak begitu dinamis. Ia memimpikan pekerjaan yang layak, kesempatan untuk belajar, dan sebuah masa depan di mana ia tidak perlu khawatir tentang makan esok hari. Ia percaya, jika ia bisa melarikan diri dari kungkungan desa ini, ia bisa mengubah takdirnya, dan takdir keluarganya.

Namun, setiap kali ia membalikkan badan, melihat punggung bapaknya yang semakin bungkuk di ladang kering, dan muka ibunya yang semakin pias karena beban pikiran, impian-impian itu terasa menipis, nyaris menguap seperti embun pagi yang tak pernah bertahan lama di bawah terik matahari. Hamparan sawah yang seharusnya hijau subur, kini hanya menyisakan tanah retak yang kecoklatan, gambaran nyata dari kegagalan panen yang telah berlangsung bertahun-tahun. Musim kemarau yang panjang tak kenal ampun telah mengeringkan sumur-sumur, memecahkan tanah, dan memupus harapan akan panen yang berlimpah.

Utang menumpuk seperti gunung yang tak bisa didaki, terus menggunung seiring dengan biaya hidup yang terus merangkak naik, tak terbendung. Gubuk mereka yang kecil, dengan dinding kayu lapuk dan atap rumbia yang bocor di sana-sini, rasanya semakin sempit dan sesak karena tekanan ekonomi yang mendera. Tiap percakapan di meja makan, yang seharusnya menjadi waktu kebersamaan, selalu diakhiri dengan napas putus asa, isyarat tanpa kata tentang masa depan yang gelap dan tanpa harapan. Malam-malam seringkali dihabiskan dalam keheningan yang menakutkan, hanya diselingi isakan pelan Ibu atau desahan berat Bapak yang berjuang menahan beban.

Andi merasa dia satu-satunya harapan yang tersisa bagi keluarganya. Sebagai anak sulung, ia merasa memikul beban yang tak terlihat, tanggung jawab yang belum terucapkan. Ia tahu ia harus melakukan pengorbanan besar, walaupun ia belum mengerti seberapa pahit harga yang harus dibayar buat membebaskan keluarganya dari jerat utang ini. Ia tidak tahu bagaimana caranya, ke mana harus pergi, atau apa yang harus ia lakukan. Dunia terasa begitu luas, namun pilihannya begitu sempit, hampir tidak ada.

Desa mereka adalah kantung kemiskinan yang nyaris terputus dari dunia luar. Jalanan desa hanya berupa tanah berbatu yang sulit dilalui kendaraan roda empat. Sekolah hanya sampai tingkat menengah pertama, dan itu pun dengan fasilitas seadanya. Buku-buku pelajaran sudah usang dan jarang diperbarui. Air bersih sulit didapat, dan setiap hari anak-anak desa harus berjalan kaki puluhan kilometer ke sungai untuk mengambil air. Listrik hanya menyala beberapa jam sehari, dari sore hingga tengah malam, hanya cukup untuk menerangi gubuk-gubuk kecil yang gelap. Hiburan satu-satunya adalah radio tua yang sesekali menangkap siaran dari kota, membawa kabar-kabur tentang kehidupan yang jauh berbeda, kehidupan yang penuh kemewahan dan kesempatan. Andi sering mendengarkan siaran itu, mencoba membayangkan dirinya di sana, di tengah keramaian dan kemajuan.

Suatu hari, seorang tetangga, Pak RT, kembali dari perjalanan ke kota besar. Ia membawa kabar yang menyebar dengan cepat di seluruh desa, membakar semangat dan menimbulkan bisikan-bisikan harapan di antara keputusasaan. Pak RT menceritakan tentang sebuah program kerja di luar negeri, tepatnya di Myanmar, yang menawarkan gaji fantastis—jumlah yang belum pernah terbayangkan oleh penduduk desa mereka. Pekerjaan itu, katanya, adalah di sebuah "yayasan amal" yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Tidak perlu ijazah tinggi, tidak perlu pengalaman khusus. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan bekerja keras dan dedikasi. Program ini memprioritaskan mereka yang terlilit utang, yang memiliki beban keluarga, untuk membantu mereka bangkit dari keterpurukan.

Mendengar itu, wajah-wajah penduduk desa yang tadinya lesu, kini berbinar. Harapan yang telah lama mati, kini kembali menyala. Mereka yang semula hanya bisa mengeluh tentang nasib, kini mulai membicarakan tentang kemungkinan. Myanmar. Sebuah nama yang asing, namun kini terdengar seperti nama surga bagi mereka yang haus akan perubahan.

Bapak dan Ibu Andi, yang juga mendengar kabar itu dari Pak RT, memanggil Andi ke dalam rumah. Wajah Ibu sembap, matanya memerah, namun ada secercah cahaya harapan di sana. Bapak duduk termenung, sesekali menghela napas berat, tangannya sesekali mengusap wajah yang dipenuhi kerutan.

"Andi, Nak," kata Bapak dengan suara pelan, suaranya sarat dengan beban hidup. "Kabar dari Pak RT itu... tentang kerja di Myanmar. Katanya gajinya sangat besar."

"Ya, Pak. Andi juga dengar," jawab Andi, mencoba menyembunyikan getaran di suaranya. Ia merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat. Apakah ini takdir yang Tuhan berikan untuknya?

Ibu mendekat, memegang tangan Andi yang kurus. Ia menatap lekat wajah tampan Andi yang putih kemerahan, parasnya yang lembut namun menyimpan tekad. "Nak, Ibu tahu ini berat. Meninggalkan kami... Tapi... utang kita sudah terlalu banyak. Kalau terus begini, kita tidak tahu harus bagaimana lagi. Anak-anakmu... adik-adikmu... mereka butuh makan, butuh sekolah." Air mata mulai menetes dari mata Ibu, membasahi tangannya yang memegang tangan Andi. "Kalau kau ikut program ini, utang kita bisa lunas dalam waktu singkat. Kau bisa mengirim uang untuk adik-adikmu sekolah. Mereka tidak perlu merasakan pahitnya hidup seperti kita."

Andi merasakan dadanya sesak. Ia tahu apa yang diharapkan orang tuanya. Ia adalah harapan terakhir mereka. Mimpi remajanya yang sederhana kini harus dikubur dalam-dalam, digantikan oleh tanggung jawab yang maha berat. Merantau ke Myanmar, sebuah negeri yang bahkan tidak ia tahu di mana letaknya di peta, terdengar menakutkan, seperti melompat ke dalam jurang yang tak berdasar. Tapi bayangan senyum lega di wajah Bapak dan Ibu, bayangan adik-adiknya yang bisa sekolah tanpa khawatir, adalah motivasi yang lebih besar dari rasa takutnya. Ia harus berkorban.

Malam itu, Andi tidak bisa tidur. Ia berbaring di tikar lusuh, menatap langit-langit bambu yang retak-retak. Ia memikirkan setiap kata yang ia dengar tentang kesempatan di Myanmar, setiap janji tentang gaji besar. Yayasan amal, pekerjaan di bidang pendidikan dan kebudayaan, gaji yang bisa melunasi semua utang. Itu terdengar terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan, sebuah dongeng di tengah pahitnya realitas. Namun, di tengah keputusasaan yang mendalam, orang cenderung menggantungkan diri pada harapan sekecil apa pun. Ia membayangkan dirinya kembali ke desa suatu hari nanti, membawa uang yang cukup, membangun rumah yang lebih kokoh, dan melihat senyum bahagia di wajah keluarganya. Itu adalah mimpi yang ia pegang erat-erat, satu-satunya cahaya di tengah kegelapan yang melingkupinya.

Keesokan harinya, Andi memutuskan untuk mendatangi Pak RT, ingin tahu lebih banyak tentang program itu. Pak RT menjelaskan bahwa ada semacam "agen" yang akan datang dari kota untuk menyeleksi para pemuda. Pak RT sendiri, yang sudah terbiasa dengan janji-janji semacam ini, tidak terlalu bersemangat, namun ia tetap menyampaikan informasi demi kepentingan warga desa. Ia hanya bisa memberikan harapan, tanpa tahu apa yang sesungguhnya menanti.

Andi pulang dengan pikiran yang masih kalut. Ia tahu ini adalah keputusan besar, sebuah pertaruhan hidup. Ia memandangi gubuk kecilnya, memandangi wajah-wajah lelah keluarganya. Di sinilah ia lahir, di sinilah ia tumbuh, di sinilah semua mimpinya terkubur. Ia harus pergi. Demi mereka. Ia harus menantang takdir, meskipun ia hanya seorang remaja polos dengan wajah yang cenderung feminin, belum siap menghadapi kerasnya dunia.

Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya, seolah setiap momen adalah kenangan berharga yang harus ia simpan. Ia memeluk Ibu lebih lama, membantu Bapak di sawah yang kering, dan bermain dengan adik-adiknya dengan tawa yang dipaksakan. Ada rasa haru bercampur getir. Ia akan meninggalkan mereka, menuju ketidakpastian, demi kebaikan mereka. Ia tidak tahu, bahwa di balik janji manis tentang kebebasan dari utang, tersembunyi sebuah jerat yang jauh lebih kejam dan tak terbayangkan. Firasat samar akan bahaya mulai menari-nari di benaknya, namun ia menepisnya, terpaksa memercayai bahwa harapan yang ia bawa akan lebih besar daripada ketakutannya.

 Sore itu, suasana di desa yang biasanya sunyi mendadak berubah. Suara deru mesin mobil yang tak biasa memecah keheningan, menarik perhatian setiap pasang mata. Sebuah mobil hitam mengilap, kontras dengan jalanan tanah yang berdebu dan gubuk-gubuk lusuh, perlahan memasuki pusat perkampungan. Mobil itu berhenti tepat di depan balai desa, memicu bisikan dan tatapan penasaran dari para penduduk yang mulai berkumpul.

 Dari dalam mobil, seorang pria berpenampilan sangat rapi melangkah keluar. Usianya mungkin akhir empat puluhan, dengan rambut tersisir rapi dan kemeja lengan panjang yang bersih. Senyumnya begitu lebar, memancarkan daya tarik yang kuat, seolah mampu menaklukkan keraguan siapa pun. Ia mengenalkan dirinya sebagai Bapak Wiratama, seorang perwakilan dari sebuah "yayasan amal" besar. Namun, bagi para penduduk desa yang haus akan harapan, ia lebih seperti seorang utusan dari dunia lain.

 Bapak Wiratama berdiri di hadapan kerumunan warga yang memandangnya penuh harap. Dengan suara yang meyakinkan, penuh karisma, ia mulai berbicara. Ia menjelaskan tentang program bantuan luar negeri yang mulia, sebuah inisiatif untuk membantu masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Ia menyebutkan nama-nama besar dan proyek-proyek sosial yang mengagumkan, meskipun semua itu terdengar asing di telinga Andi yang berdiri di antara kerumunan pemuda. Inti dari semua kata-katanya adalah satu: pekerjaan dengan gaji fantastis di Myanmar. Sebuah janji yang membuat mata setiap orang berbinar.

 "Yayasan kami sangat peduli dengan nasib kalian," kata Bapak Wiratama, suaranya mengalir seperti madu. "Kami mencari pemuda-pemuda gigih yang ingin mengubah nasib keluarga. Kami tahu, beban hidup di sini berat. Gagal panen, utang menumpuk. Jangan khawatir, kami datang untuk menawarkan solusi."

 Ia kemudian menyebutkan angka gaji yang membuat napas para penduduk tertahan. Jumlah itu jauh melampaui apa yang bisa mereka hasilkan seumur hidup di desa. Ia juga menunjukkan beberapa lembar foto fasilitas kerja yang mewah di Myanmar, bangunan megah dan modern yang terasa seperti berasal dari film. Bagi orang tua Andi yang sudah letih karena bertahun-tahun berjuang melawan kemiskinan dan jeratan utang, tawaran itu rasanya seperti mukjizat di tengah kegelapan yang pekat. Ibu Andi menggenggam erat tangan Bapak, tatapan mereka dipenuhi harap yang rapuh namun tak terbendung.

 Andi mendengarkan setiap kata Bapak Wiratama dengan seksama. Hatinya bergejolak hebat. Di satu sisi, ada ketakutan yang mencekam tentang hal yang belum pernah ia alami, tentang negeri asing yang ia tidak tahu rupa dan adatnya. Ia hanya seorang remaja polos dari desa, dengan wajah tampan yang cenderung feminin, belum pernah melangkah jauh dari batas kampungnya. Namun, di sisi lain, ada keinginan kuat, sebuah dorongan membara untuk menyelamatkan keluarganya. Janji gaji besar itu terus-terusan terngiang di kupingnya, memutar bayangan rumah yang layak, lumbung yang penuh, dan senyum lega di muka Bapak dan Ibunya.

 Setelah presentasi, Bapak Wiratama membuka sesi pendaftaran. Banyak pemuda yang maju, beberapa dengan keraguan di wajah mereka, namun kebanyakan didorong oleh keputusasaan yang lebih besar dari rasa takut. Andi ikut maju, kakinya terasa berat, namun tekadnya sudah bulat. Ia melihat Bapak Wiratama menatapnya sejenak, tatapan itu terasa seperti memindai, menganalisis. Ada kilatan aneh di mata agen itu, seolah ia melihat sesuatu yang istimewa pada diri Andi, sesuatu yang Andi sendiri tidak pahami.

 "Namamu siapa, Nak?" tanya Bapak Wiratama dengan senyum ramah, saat Andi menyerahkan formulir yang seadanya.

 "Andi, Pak," jawab Andi pelan.

 "Andi. Nama yang bagus. Kau terlihat punya potensi, Nak. Kami sangat menghargai pemuda berdedikasi sepertimu. Jangan khawatir soal paspor atau visa, kami akan urus semuanya. Yang penting, kau siap untuk masa depan yang lebih cerah," kata Bapak Wiratama, menepuk bahu Andi dengan gerakan yang akrab, namun terasa asing bagi Andi.

 Proses seleksi dan persiapan berlangsung cepat. Terlalu cepat, pikir Andi, namun ia terlalu putus asa untuk mempertanyakan. Beberapa pemuda lain yang juga terpilih tampak antusias, membayangkan kehidupan mewah yang dijanjikan. Andi memilih untuk tidak banyak bicara, mengamati sekeliling, mencoba mencerna semua informasi yang membanjiri otaknya. Ia tahu ada risiko, tapi risikonya lebih kecil daripada risiko membiarkan keluarganya tenggelam dalam utang.

 Malam sebelum keberangkatan, suasana di rumah Andi sangat haru. Ibu Andi menyiapkan makanan kesukaan Andi, mencoba membuat momen terakhir itu terasa istimewa. Bapak duduk di samping Andi, mengusap rambut putranya yang halus.

 "Jaga diri baik-baik, Nak," kata Bapak, suaranya berat. "Jangan lupa shalat, jangan lupa doa. Kami akan selalu di sini menunggumu."

 Andi meluk ibunya erat malam itu, melingkarkan lengannya di pinggang Ibu, merasakan kehangatan tubuh yang mungkin bakal jadi kenangan terakhir sebelum ia melangkah ke ketidakpastian. Aroma keringat dan masakan dari tubuh Ibu memeluknya, menenangkan jiwanya yang bergolak. Ia mencoba mengingat setiap detail, setiap sentuhan, setiap bisikan. Bayangan wajah Ibunya yang kini sedikit tersenyum, meski dengan mata sembap, adalah kekuatan terbesarnya. Itu adalah janji yang ia genggam erat: ia akan kembali, dengan membawa kebebasan bagi mereka semua.

 "Andi pasti kembali, Bu. Andi akan bawa uang banyak. Kita akan lunas semua utang," bisik Andi, mencoba menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia ingin terlihat kuat di hadapan orang tuanya.

 Ia melirik ke arah adik-adiknya yang sudah tertidur pulas di tikar dekat sana, wajah-wajah polos yang belum mengerti bahwa kakak mereka akan pergi jauh, menanggung beban yang terlalu besar untuk pundak remajanya. Ia membayangkan senyum bahagia mereka ketika nanti ia bisa mengirimkan uang untuk sekolah, untuk membeli pakaian baru, untuk makan yang layak.

 Semalam suntuk, Andi tak bisa memejamkan mata. Ia memikirkan perjalanan panjang ke Myanmar. Ia memikirkan "yayasan amal" itu, pekerjaan yang menanti. Ia memikirkan wajah Bapak Wiratama, senyumnya yang terlalu sempurna, tatapannya yang terlalu dalam. Ada sedikit rasa tidak nyaman yang menyelinap, sebuah firasat samar yang ia coba tepis. Namun, harapan yang ia bawa jauh lebih besar daripada firasat buruk itu. Ia adalah pahlawan bagi keluarganya, dan pahlawan tidak boleh gentar.

 Fajar menyingsing, membawa serta hari keberangkatan. Cahaya pertama mulai menyentuh puncak-puncak pohon, mengusir kegelapan malam. Andi bangkit, mengenakan pakaian sederhana yang ia miliki. Ia siap. Atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia siap. Dengan ransel di punggungnya, yang hanya berisi beberapa potong pakaian dan sebuah foto keluarga lusuh, ia melangkah keluar dari gubuknya. Di luar, mobil hitam itu sudah menunggu, mesinnya menyala pelan, seolah tak sabar membawanya pergi.

 Ia melambaikan tangan kepada keluarganya yang berdiri di depan gubuk, mata mereka berkaca-kaca. Sebuah perpisahan yang terasa berat, sebuah langkah besar menuju takdir yang belum terkuak. Ia melompat masuk ke dalam mobil. Jendela mobil tertutup, dan wajah-wajah yang ia cintai semakin menjauh, hingga akhirnya hanya menjadi titik kecil di kejauhan. Andi memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan detak jantungnya. Ia telah meninggalkan desanya, meninggalkan masa remajanya, dan kini, ia sepenuhnya berada di tangan janji manis dari orang asing itu, meluncur menuju masa depan yang penuh tanda tanya di Myanmar.

  

Waktu bergeser, dan fajar yang masih samar mulai menyinari kaca jendela mobil. Andi mendapati dirinya duduk sendirian di dalam kendaraan itu, yang kini melaju semakin cepat meninggalkan jalanan desa yang berdebu. Pemandangan pedesaan yang akrab perlahan memudar di belakang, digantikan oleh jalan raya yang mulus dan kendaraan-kendaraan lain yang melaju kencang. Perjalanan panjang Andi telah dimulai, sebuah perpaduan aneh antara optimisme yang dipaksakan dan kekhawatiran yang tak bisa dia jelaskan sepenuhnya.

Mobil itu mengantarnya ke sebuah terminal bus yang ramai di kota terdekat. Andi, yang belum pernah melihat keramaian semacam itu, merasa sedikit gamang. Bau knalpot, suara klakson yang memekakkan telinga, dan ribuan wajah asing yang berlalu lalang membuatnya merasa sangat kecil dan tersesat. Bapak Wiratama, sang agen, menunggunya di sana. Pria itu kini terlihat lebih profesional, dengan senyum tipis yang hanya tersungging di bibir, tidak selebar saat di desa. Ia menyerahkan tiket bus kepada Andi dan beberapa pemuda lain yang akan berangkat bersama, semuanya tampak sama bingungnya dengan Andi.

"Kalian akan naik bus ke bandara besar. Nanti di sana sudah ada orang kami yang menjemput," kata Bapak Wiratama, suaranya kini terdengar lebih lugas, tanpa embel-embel janji manis seperti saat di desa. "Ingat, patuhi semua instruksi. Jangan banyak bertanya. Keberhasilan kalian di sana akan menentukan nasib keluarga kalian."

Andi mengangguk, tenggorokannya tercekat. Firasat aneh yang samar mulai terusik. Kata-kata Bapak Wiratama terdengar lebih seperti perintah daripada motivasi. Namun, ia berusaha mengusir keraguan itu jauh-jauh. Ini semua demi keluarga. Ia harus fokus pada tujuan.

Perjalanan dengan bus menuju bandara besar terasa sangat panjang. Andi duduk di dekat jendela, mengamati setiap detail kota yang ia lewati: gedung-gedung bertingkat, pusat perbelanjaan megah, lampu-lampu lalu lintas yang rumit. Semuanya terasa begitu asing, begitu jauh dari kehidupannya di desa. Ia mencoba mencatat setiap detail, setiap pemandangan, seolah ini adalah bagian dari petualangan besar yang akan ia ceritakan nanti saat pulang sebagai penyelamat.

Setibanya di bandara, keriuhan semakin memuncak. Andi belum pernah melihat begitu banyak orang dari berbagai latar belakang di satu tempat. Suara pengumuman penerbangan, deru mesin pesawat yang menderu, dan bau aneh yang bercampur aduk membuat kepalanya pening. Seorang pria lain, berwajah dingin dan minim senyum, menjemput rombongan mereka. Ia tidak memperkenalkan diri, hanya mengarahkan mereka ke loket check-in dan kemudian ke ruang tunggu.

 

Ini adalah pertama kalinya Andi akan naik pesawat. Rasa takut dan penasaran bercampur aduk dalam dirinya. Ia melihat pesawat-pesawat raksasa yang siap terbang, bagaikan burung besi yang siap menembus awan. Ada sedikit kegembiraan yang tak bisa ia sangkal. Ini adalah langkah besar, sebuah pengalaman yang tak pernah ia bayangkan.

 

Ketika pesawat mulai bergerak di landasan pacu, perut Andi terasa melilit. Jantungnya berdebar kencang. Dan saat pesawat melesat, mengangkat tubuhnya ke udara, ia merasakan sensasi yang luar biasa. Ia menempelkan wajah ke jendela, melihat daratan di bawahnya semakin mengecil, rumah-rumah menjadi kotak-kotak kecil, pepohonan menjadi bintik-bintik hijau. Desa kecilnya, gubuk reotnya, kini hanya terlihat seperti titik samar yang nyaris tak terlihat.

 

Gumpalan awan putih yang tebal terhampar di bawahnya, seolah ia berada di atas samudra kapas. Setiap kilometer yang dia tempuh di udara, terasa seperti menjauhkannya lebih jauh dari kehidupan lamanya, sekaligus menumbuhkan harapan kuat untuk bisa kembali suatu hari nanti sebagai seorang penyelamat. Ia membayangkan dirinya mendarat di desanya, disambut sorak sorai, membawa kabar baik tentang utang yang telah lunas. Ia menutup mata sejenak, membiarkan bayangan itu memenuhinya, mencoba mengusir kecemasan samar yang terusik.

 

Namun, di balik optimisme yang dia paksakan, ada firasat tidak enak yang pelan-pelan menyusup ke benaknya, seperti benang tipis yang mulai menjerat. Selama di bandara dan di dalam pesawat, ia melihat bagaimana pria yang menjemput mereka, utusan dari "yayasan amal" itu, sangat jarang tersenyum. Tatapannya dingin, dan gerak-geriknya terlalu cepat, terlalu efisien, seperti mesin. Ia juga melihat bagaimana pemuda-pemuda lain yang bersamanya tampak lebih diam dan tegang setelah pertemuan singkat dengan pria itu.

 

Andi berusaha keras mengusir semua keraguan itu. Ia berpegangan kuat pada janji-janji yang sudah diucapkan Bapak Wiratama di desa, tentang pekerjaan mulia di yayasan amal. Ia yakin kalau semua kesulitan ini bakal terbayar lunas. Ia memejamkan mata, membayangkan senyum orang tuanya, wajah adik-adiknya. Itu adalah jimatnya, pegangannya agar tidak jatuh dalam kekhawatiran.

 

Pesawat yang sesekali agak goyang karena turbulensi, semakin menambah rasa tidak nyaman yang samar itu. Ia mencoba menyibukkan diri dengan mengamati setiap detail kota yang ia lihat dari jendela, setiap bentuk awan, setiap garis horizon. Ia mencoba meyakinkan diri kalau semua ini bagian dari petualangan besar, sebuah ujian yang harus dia lewati demi kebebasan keluarganya. Namun, bisikan halus dalam benaknya terus saja mengganggu: Apakah ini benar? Apakah semuanya akan baik-baik saja?

 

Penerbangan terasa sangat panjang. Andi tertidur sesekali, namun tidurnya tidak nyenyak. Ia terbangun dengan perasaan gelisah, meskipun ia tidak tahu apa penyebab kegelisahan itu. Beberapa jam kemudian, pilot mengumumkan bahwa mereka akan segera mendarat di Yangon, Myanmar. Jantung Andi kembali berdebar. Negeri asing. Takdir.

 

Saat pesawat mendarat dengan mulus, Andi merasakan getaran aneh. Ini adalah tanah asing. Udara di bandara Yangon terasa lebih hangat dan lembap dari tempat asalnya, membawa aroma rempah-rempah dan sesuatu yang tidak ia kenal. Bandara itu jauh lebih besar dan modern dari yang ia bayangkan, penuh dengan tulisan-tulisan asing yang tak bisa ia baca. Orang-orang di sekelilingnya berbicara dalam bahasa yang tak ia pahami, logat-logat yang terdengar seperti melodi asing.

 

Setelah melewati imigrasi, Andi dan rombongannya diarahkan menuju pintu keluar. Di sana, seorang pria lain, bertubuh besar dengan wajah tegas dan tatapan tanpa ekspresi, sudah menunggu. Ia memegang sebuah papan nama dengan tulisan yang juga tidak bisa dibaca Andi. Pria itu menyambut mereka dengan gestur singkat, nyaris tanpa senyum. Ia langsung mengarahkan mereka ke sebuah van hitam yang terparkir di luar.

 

Andi melangkah masuk ke dalam van bersama pemuda-pemuda lainnya. Jendela van agak gelap, menyembunyikan pemandangan luar. Van itu melaju kencang, meninggalkan area bandara yang ramai dan memasuki jalanan kota. Andi mencoba melihat ke luar, mengamati gedung-gedung, kendaraan, dan orang-orang. Semuanya tampak berbeda, namun ada kemiripan samar dengan kota-kota yang ia lihat di televisi.

 

Ia tidak tahu persis di mana "yayasan amal" itu berada. Bapak Wiratama tidak pernah memberikan alamat pasti, hanya mengatakan akan ada yang menjemput mereka. Sekarang, ia sepenuhnya berada di tangan orang-orang ini. Firasat buruk yang samar itu kini semakin kuat, menggerogoti optimisme yang ia paksakan. Ada sesuatu yang tidak beres. Gerak-gerik para penjemput, tatapan mata mereka yang dingin, ketiadaan informasi yang jelas, semuanya mulai terasa mencurigakan.

 

Andi berusaha keras menepis pikiran-pikiran negatif itu. Ini semua pasti bagian dari prosedur keamanan, atau mungkin memang begitu cara mereka bekerja di luar negeri. Ia adalah seorang pahlawan bagi keluarganya, dan ia harus berani. Ia sama sekali tidak tahu kalau tiap jejak kakinya di tanah asing ini, setiap meter yang dilalui van hitam itu, adalah langkah yang makin menjebak dia ke dalam sebuah perangkap yang telah disiapkan dengan rapi. Janji manis dari agen karismatik itu kini mulai terasa seperti benang pancing yang telah menariknya jauh dari daratan, ke tengah lautan yang gelap dan tak dikenal. Ia tidak tahu, ini bukanlah petualangan yang ia bayangkan, melainkan awal dari mimpi buruk yang akan mengubahnya menjadi seseorang yang sama sekali berbeda.

  

Keluar dari hiruk pikuk bandara internasional Yangon, yang terasa bagai pusaran raksasa manusia dan mesin yang berdesing, udara di luar terasa lebih panas dan lembap, menusuk kulit Andi dengan kelembapan yang tidak biasa. Ia melangkah mengikuti pria berwajah dingin dan minim ekspresi yang bertugas menjemputnya, pandangannya sesaat terpaku pada rombongan pemuda lain yang dibawa pergi ke arah berbeda. Tidak ada waktu untuk berpikir atau mengucapkan selamat tinggal. Dorongan halus namun tegas di punggungnya membuatnya bergerak maju. Ia kini sendirian, seolah ditarik paksa dari sebuah kelompok yang baru saja ia kenal, ditarik ke dalam ketidakpastian.

 

Sebuah mobil hitam mengilap dengan kaca gelap pekat menunggu di pinggir jalan, tampak kontras dan mencolok di antara kendaraan lain yang lebih umum. Mobil itu terlalu mewah, terlalu tertutup, untuk sebuah "yayasan amal" yang digembar-gemborkan. Aura misterius menyelimuti kendaraan itu, seolah menyembunyikan sesuatu yang penting di baliknya, sebuah rahasia yang tidak boleh dilihat atau diketahui dunia luar. Tanpa banyak bicara, pria penjemput itu membuka pintu belakang dan memberi isyarat agar Andi masuk. Ruangan di dalam terasa sempit dan pengap, dengan aroma kulit jok baru yang bercampur bau parfum kuat yang memabukkan, hampir membuat Andi mual dan pening. Kegelapan kaca membuat pandangan ke luar nyaris terhalang sepenuhnya, seperti tirai tebal yang menutup dunia, menciptakan kesan terputus dari realitas yang akrab. Andi hanya bisa melihat samar-samar melalui celah kecil atau saat mobil berbelok tajam, menangkap sekilas bayangan yang melintas. Ia sendirian. Sebuah kesadaran dingin mulai merayapi dirinya, membuat bulu kuduknya merinding, kesadaran bahwa ia kini terisolasi sepenuhnya, tanpa seorang pun yang bisa ia percaya atau ajak bicara.

 

Mobil itu melaju kencang, membelah hiruk pikuk jalanan Yangon yang padat. Andi mencoba mengintip ke luar, matanya berusaha menangkap setiap detail pemandangan yang lewat: gedung-gedung bertingkat tinggi dengan arsitektur kuno bercampur modern, beberapa di antaranya tampak megah namun sebagian lagi terlihat usang dan terbengkalai. Papan-papan reklame besar dengan tulisan Burma yang tidak ia mengerti menjulang tinggi, menampilkan iklan-iklan produk asing yang gemerlap dan mencolok. Keramaian lalu lintas yang semrawut, penuh dengan taksi tua yang berasap, bus yang padat, dan sepeda motor yang lincah, menciptakan simfoni klakson yang riuh rendah dan memekakkan telinga. Ia membandingkannya dengan desanya yang tenang dan damai, perbedaan ini bagaikan siang dan malam, sebuah jurang pemisah antara dua dunia yang sama sekali berbeda. Namun, semua kemegahan ini tidak memberikan kenyamanan; justru ada perasaan aneh yang mulai menyelimutinya, sebuah intuisi samar bahwa semua ini tidak seperti yang dijanjikan. "Yayasan amal" yang mulia itu tidak muncul-muncul, tidak ada tanda-tanda keberadaannya di tengah pemandangan modern dan gemerlap ini.

 

Semakin lama perjalanan, pemandangan di luar jendela mulai berubah drastis. Mereka meninggalkan area perkantoran dan pusat perbelanjaan yang ramai, tempat kehidupan kota berdenyut paling kencang. Hiruk pikuk pusat kota perlahan memudar, digantikan oleh jalanan yang lebih lengang dan sepi. Suara keramaian perlahan mereda, digantikan oleh keheningan yang mencekam dan hanya sesekali diselingi suara deru mesin mobil yang konstan dan monoton. Bangunan-bangunan yang lewat kini adalah struktur-struktur tinggi berpagar kokoh, tembok-tembok menjulang yang seolah menyembunyikan sesuatu di baliknya. Beberapa bangunan tampak seperti rumah-rumah mewah yang tersembunyi di balik pagar tinggi, dengan gerbang besi raksasa yang tertutup rapat, memberikan aura misterius dan mengintimidasi. Pepohonan besar dan rindang berjajar di sepanjang jalan, menutupi pandangan ke dalam, menciptakan suasana yang lebih terpencil dan tersembunyi, seperti masuk ke dalam labirin yang tidak berujung.

 

Setiap belokan jalan yang diambil supir membuat firasat buruk Andi makin kuat. Rasa cemas yang semula samar, kini berubah menjadi kecurigaan yang tajam, menusuk-nusuk benaknya seperti jarum. Ia mencoba bertanya kepada supir yang duduk di depan, menanyakan ke mana mereka akan pergi, kapan mereka akan sampai di yayasan. Ia mencoba menggunakan bahasa Indonesia, lalu sedikit bahasa Inggris yang ia tahu, berharap supir itu mengerti dan memberinya penjelasan, secercah petunjuk di tengah kebingungannya.

 

"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Andi, suaranya pelan dan ragu-ragu, namun ada nada keputusasaan yang samar. "Yayasan amalnya jauh dari sini? Kenapa saya sendiri? Teman-teman yang lain... ke mana mereka?" Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur satu per satu, penuh harap.

 

Supir itu hanya menjawab singkat dengan bahasa yang tidak sepenuhnya ia pahami, atau bahkan mengabaikannya sama sekali, hanya fokus pada kemudi. Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan emosi apa pun, seolah Andi tidak ada di sana, atau seolah ia hanyalah kargo tanpa suara. Sikap acuh tak acuh itu menambah kekhawatiran Andi yang makin memuncak. Ia menyadari, dirinya kini sendirian, sepenuhnya terasing. Teman-temannya tidak ada. Ia hanyalah pion tunggal dalam permainan yang belum dia mengerti, sebuah permainan yang ia duga akan sangat merugikan dirinya. Bapak Wiratama, dengan senyum karismatiknya yang kini terasa seperti topeng yang menipu, telah menjebaknya, dan kini ia terisolasi, tanpa siapa pun untuk dimintai bantuan atau sekadar berbagi ketakutan. Sebuah kesadaran pahit meresap ke dalam dirinya: ia telah ditipu habis-habisan, dan kini ia harus menanggung konsekuensinya sendiri.

 

Perjalanan terus berlanjut, semakin dalam ke area yang asing dan terpencil. Lampu jalan semakin jarang, dan kegelapan mulai menyelimuti seiring malam yang datang, membuat dunia di luar kaca semakin tidak jelas. Hanya lampu depan mobil yang menerangi jalan di depan, menyoroti pepohonan dan tembok-tembok tinggi yang menjulang, menciptakan bayangan-bayangan mengerikan yang menari-nari. Jalanan kini semakin sepi, hanya sesekali berpapasan dengan mobil lain yang juga terlihat mewah dan berjemendela gelap, menambah kesan rahasia yang mengelilingi mereka, seolah mereka semua adalah bagian dari jaringan tersembunyi. Bangunan-bangunan di sekitar mereka semakin besar dan terisolasi, beberapa di antaranya tampak seperti kompleks pribadi yang luas, terlindung di balik tembok tinggi dan pepohonan rindang yang lebat yang bergerak-gerak samar dalam kegelapan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang biasa, seperti toko-toko kecil, warung makan, atau orang-orang yang berlalu lalang di trotoar. Hanya keheningan yang menakutkan dan aura kekuasaan yang mencekam yang mendominasi pemandangan. Mobil itu seolah menembus batas antara dunia yang ia kenal dan dunia yang penuh misteri, menuju ke inti kegelapan.

 

Napas Andi tercekat. Rasa takut mulai menjalar di sekujur tubuhnya, membanjiri setiap sel. Ia sendirian di mobil ini, di negeri asing ini, tanpa tahu apa yang akan terjadi padanya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti penjeratan yang lebih erat, sebuah tali yang melilit lehernya. Harapan untuk kabur, harapan untuk bisa berteriak, harapan untuk ditemukan, musnah seketika. Ia menyadari, dirinya kini terperangkap dalam perangkap yang tak terlihat, bergerak tanpa arah pasti menuju nasib yang tak dikenal. Tidak ada jalan kembali. Ia telah melewati titik tidak bisa kembali.

 

Pikirannya melayang kembali ke desanya, ke gubuk sederhana di mana Bapak dan Ibu pasti sedang menunggu kabar darinya, dengan hati penuh harap. Senyum adiknya yang polos, wajah lelah orang tuanya, semua itu membanjiri benaknya, menjadi motivasi sekaligus belenggu yang mengikatnya. Ia telah meninggalkan semuanya demi mereka, demi janji yang kini terasa kosong dan menakutkan, seperti janji seorang iblis. Ia memandang tangannya yang kurus, kulit putih kemerahannya terlihat pucat di bawah cahaya samar yang masuk dari dashboard mobil, kontras dengan jari-jemarinya yang sedikit gemetar. Apakah ini akan menjadi akhir dari dirinya yang dulu? Apakah ia akan berubah di tempat ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya tanpa jawaban, semakin lama semakin memekakkan telinga. Ia mencoba memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk, namun setiap kali ia membukanya, kegelapan di luar kaca tetap sama pekatnya, dan suara mesin mobil tetap bergaung di telinganya.

 

Mobil itu terus melaju, seolah tak ada habisnya. Waktu terasa lambat, setiap menit terasa seperti jam. Andi merasa lelah, bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Ketegangan yang ia rasakan menguras setiap energi yang ia miliki. Ia mencoba bersandar, namun punggungnya terasa kaku dan tidak nyaman. Ia mencoba memejamkan mata, namun bayangan gelap dari kemungkinan terburuk terus membayangi, sebuah skenario yang lebih mengerikan dari apa pun yang pernah ia baca di buku-buku lama. Ia terlalu takut untuk tidur, terlalu takut untuk lengah, seolah setiap kelalaian kecil bisa berakibat fatal.

 

Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa abadi, mobil hitam itu melambat. Cahaya remang-remang lampu sorot yang kuat menembus kegelapan di depan, menyoroti sebuah struktur megah yang mulai terlihat jelas. Mobil itu berbelok tajam, memasuki sebuah jalan masuk yang tersembunyi dan tidak terduga, seolah dirancang untuk menyamarkan keberadaannya dari pandangan mata umum. Sebuah gerbang besi tinggi yang terpasang kokoh perlahan mulai terbuka dengan suara berdecit pelan, menyingkap sebuah kompleks kediaman yang luas dan terawat rapi, namun memiliki aura yang dingin dan tertutup. Bangunan utamanya adalah sebuah rumah besar bergaya modern, dengan arsitektur yang megah namun minim jendela, seolah tidak ingin ada yang melihat ke dalam atau keluar, atau seolah tidak ingin penghuninya melihat dunia luar. Pepohonan tinggi dan taman yang rimbun mengelilingi rumah itu, memberikan kesan terpencil dan tersembunyi, sekaligus mengisolasi dari dunia luar. Tidak ada penjaga berseragam yang terlihat jelas di gerbang, namun ada aura pengawasan yang kuat, seolah setiap sudut telah dipantau secara elektronik, menciptakan perasaan diawasi tanpa henti.

 

Mobil itu perlahan-lahan melintasi gerbang yang terbuka, kemudian melaju masuk ke dalam kompleks. Lampu-lampu taman yang redup menerangi jalan beraspal mulus yang berkelok-kelok di antara pepohonan rindang. Tujuan akhirnya kini berada di depan mata Andi, sebuah rumah besar yang memancarkan aura dingin namun berkuasa. Mobil itu terus bergerak perlahan, semakin mendekati pintu utama rumah yang megah itu, setiap putaran roda seolah membawa Andi lebih dalam ke dalam nasibnya yang tak terelakkan. Andi hanya bisa menunggu, tak berdaya, apa yang akan menantinya di balik pintu tertutup itu. Ini adalah akhir dari perjalanannya, dan awal dari sebuah babak baru yang mengerikan.

  

Mobil hitam mewah itu akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang tinggi yang menjulang gagah, jauh dari keramaian kota Yangon yang memekakkan telinga. Gerbang itu, terbuat dari besi tempa berukir rumit, bukan sekadar pembatas, melainkan sebuah pernyataan kekuasaan yang tak terbantahkan. Di balik gerbang itu, terhampar sebuah kompleks kediaman yang megah namun berasa dingin dan terisolasi, jelas bukan "yayasan amal" yang dijanjikan. Cahaya lampu taman yang redup menyoroti arsitektur modern yang mewah namun minim jendela, menambah kesan tertutup dan misterius. Bukan bangunan yang menyambut, melainkan benteng yang mengurung.

 

Pintu mobil terbuka, dan Andi melangkah keluar dengan kaki yang terasa lemas, seolah seluruh tenaganya terkuras habis oleh perjalanan dan ketegangan yang menumpuk. Udara di kompleks itu terasa berat dan pengap, seolah dipenuhi oleh rahasia dan ketegangan yang pekat. Beberapa pria berbadan kekar dengan setelan hitam yang seragam, berdiri tegak di berbagai sudut, tatapan mereka waspada dan kosong, mengawasi setiap gerakan Andi dengan mata yang tidak berkedip, seperti predator yang mengawasi mangsanya. Kehadiran mereka saja sudah cukup untuk mengikis sisa-sisa harapan yang masih melekat di hati Andi.

 

Salah satu pria kekar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, langsung mengulurkan tangan, isyarat tak terbantahkan agar Andi menyerahkan tas dan paspornya. Jantung Andi berdegup kencang. Paspor adalah satu-satunya identitas dirinya, jembatan terakhir menuju kehidupannya yang dulu. Ia sempat ragu, ingin memprotes, ingin merebut kembali kebebasannya, namun tatapan tajam dari pria itu, ditambah dengan gestur tangan yang mengancam, langsung membungkamnya. Andi merasakan kekuasaan mutlak yang tak bisa ia lawan. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan tas punggung lusuhnya dan, dengan berat hati, paspornya. Pria itu menyambutnya tanpa ekspresi, seolah mengambil selembar kertas biasa, lalu segera pergi. Sisa-sisa harapannya untuk kembali ke desanya, harapan untuk bisa melarikan diri, hancur seketika. Ia tidak punya apa-apa lagi. Segalanya telah direnggut darinya, sehelai demi sehelai, meninggalkannya kosong dan rentan.

 

Andi dibawa masuk ke dalam rumah. Setiap langkahnya di lantai marmer yang dingin dan mengkilap seolah menyeretnya lebih dalam ke jurang ketidakpastian. Langkah-langkahnya bergaung di ruangan yang luas dan hening. Dinding-dindingnya dilapisi panel kayu gelap yang mahal, dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak berukuran besar yang membingungkan. Perabotannya mewah, bergaya minimalis modern, namun tidak ada sentuhan kehangatan atau kenyamanan. Semuanya tampak diatur dengan presisi yang dingin, tanpa cela. Rumah ini megah, namun berasa seperti sel penjara yang diperbesar, dirancang bukan untuk dihuni, melainkan untuk mengurung.

 

Perasaan aneh mulai muncul, bercampur dengan ketakutan yang menggerogoti. Andi sadar kalau dia sudah masuk ke tempat yang bakal memenjarakannya, meskipun belum ada rantai yang terlihat mengikatnya. Rantai itu ada, tak terlihat, mengikat jiwanya, mengikat takdirnya. Sistem pengawasan yang ketat kelihatan di mana-mana, kamera-kamera kecil yang hampir tak terlihat mengintip dari tiap sudut, dari balik ornamen, dari celah langit-langit, dari balik pot tanaman mewah. Lampu sensor gerak yang tersembunyi berkedip samar. Gagasan untuk kabur rasanya mustahil bahkan sebelum ia mencoba. Setiap gerakannya terasa diawasi, setiap napasnya terasa direkam.

 

Ia dibawa menyusuri koridor panjang yang temaram, melewati beberapa pintu tertutup yang terbuat dari kayu solid. Di setiap persimpangan koridor, ada pria-pria kekar lain yang berdiri menjaga, memancarkan aura ancaman yang tak terucap. Mereka semua memiliki tatapan yang sama: kosong, tanpa emosi, seperti patung-patung hidup. Andi merasa seperti sebuah objek, bukan manusia.

 

Akhirnya, ia diantar ke sebuah ruangan di salah satu ujung koridor. Pintu kayu berukir berat terbuka, menyingkap sebuah kamar tidur yang luas. Ini adalah kamar yang sangat mewah, jauh melampaui apa pun yang pernah ia bayangkan. Ranjang berukuran besar dengan sprei sutra putih bersih mendominasi ruangan. Ada sofa empuk, meja kerja dengan lampu kristal, dan jendela besar yang tertutup tirai tebal berwarna gelap. Kamar mandi dalam yang dilengkapi marmer dan peralatan modern yang berkilau menambah kesan kemewahan yang berlebihan.

 

Namun, semua kemewahan itu terasa hampa, bahkan mencekik. Tirai yang tebal itu menutup pandangan ke luar, memutus hubungannya dengan dunia. Tidak ada kunci dari dalam pintu, dan jendela-jendela itu, meski besar, terasa seperti dinding tak tertembus. Andi melangkah masuk, merasakan dinginnya ubin di bawah kakinya. Pintu di belakangnya tertutup pelan, terdengar bunyi "klik" yang tegas, mengunci dirinya di dalam. Ia tidak bisa membukanya.

 

Ia berdiri sendirian di tengah ruangan itu, dalam keheningan yang menakutkan. Rasa takut yang sebenarnya baru saja dimulai, berdenyut-denyut dalam dadanya. Ia memandang pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung di dinding. Wajah tampan namun lembutnya, kulit putih kemerahannya, kini tampak pucat dan penuh ketakutan. Matanya yang besar memancarkan keputusasaan yang mendalam. Ia mencoba menyentuh pipinya, memastikan ini bukan mimpi buruk.

 

Ia berjalan mendekati jendela, mencoba menggeser tirai tebal itu. Kainnya berat dan kaku, hampir mustahil untuk digeser sepenuhnya. Dari celah sempit yang berhasil ia buka, ia hanya melihat tembok tinggi yang mengelilingi kompleks dan beberapa lampu sorot yang menembus kegelapan malam. Ia tidak bisa melihat langit atau bintang. Dunia luar telah tertutup rapat darinya.

 

Andi kembali ke tengah ruangan, pandangannya beralih ke ranjang mewah. Ia ingin berteriak, ingin menangis, ingin lari. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia mencoba memeriksa seluruh ruangan, mencari celah, mencari jalan keluar, mencari tanda-tanda kehadiran orang lain. Namun, semuanya steril, rapi, dan terkunci rapat. Kamar itu adalah penjara pribadinya, sebuah sangkar emas yang mematikan.

 

Ia duduk di tepi ranjang, merasakan kelembutan sprei sutra, namun tubuhnya tetap kaku. Pikirannya melayang pada keluarganya di desa. Apa kabar mereka? Apakah mereka tahu apa yang terjadi padanya? Apakah mereka masih percaya pada janji manis Bapak Wiratama? Rasa bersalah menghimpitnya. Ia telah meninggalkan mereka, membawa harapan palsu, dan kini ia sendiri terjebak.

 

Malam semakin larut. Perutnya keroncongan, namun tidak ada makanan yang disediakan. Rasa haus mulai menyiksa. Ia mencoba menekan bel kecil di dinding, sebuah bel untuk memanggil pelayan, namun tidak ada respons. Ia mencoba lagi, berulang kali, namun keheningan tetap menjadi jawabannya. Ia benar-benar sendirian.

 

Rasa dingin merayapi tubuhnya, bukan karena suhu udara, melainkan karena rasa takut dan keputusasaan. Ia memeluk lututnya, meringkuk di ranjang yang terlalu besar untuk dirinya. Air mata akhirnya menetes, membasahi pipinya yang pucat. Ia menangis tanpa suara, karena ia tahu tidak ada yang akan mendengar, tidak ada yang akan peduli.

 

Di dalam kamar mewah itu, Andi mulai memahami bahwa kebebasannya telah direnggut. Identitasnya sebagai seorang pemuda desa yang polos telah dihancurkan. Ia tidak lagi memiliki nama, kecuali mungkin sebagai salah satu "milik" penghuni kompleks ini. Ia adalah tawanan, sebuah objek yang telah dibeli, dan rasa takut yang sesungguhnya baru saja dimulai, sebuah teror yang akan menemaninya dalam kegelapan tak berujung di kediaman misterius ini. Ia tidak tahu apa yang menantinya esok hari, atau apa tujuan sebenarnya ia dibawa ke tempat ini, namun satu hal yang pasti: hidupnya telah berubah selamanya.

 

Pintu besar yang selama ini mengurung Andi di dalam kamar mewah namun terasa seperti sel penjara itu, kini kebuka pelan, nyaris tanpa suara, menampilkan sosok Ko Min Aung yang berdiri di ambang. Lelaki paruh baya itu memancarkan wibawa dingin yang ngepenuhin seluruh ruangan, seolah udara pun tunduk pada kehadirannya. Tinggi badannya sedang, namun postur tubuhnya yang kurus terbungkus setelan sutra gelap yang mewah, membuatnya tampak menjulang dan mengintimidasi. Raut wajahnya dipenuhi kerutan halus, jejak dari pengalaman hidup yang panjang dan mungkin penuh perhitungan, namun matanya, mata yang tajam dan mengamati, itulah yang paling menusuk. Tatapannya seolah bisa nembus tiap pertahanan Andi, nganalisis tiap detail penampilannya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, mencari sesuatu yang tersembunyi, sebuah potensi yang hanya ia yang bisa lihat. Ko Min Aung gak senyum, ekspresinya tenang tapi penuh perhitungan, bikin Andi ngerasa kayak serangga kecil yang lagi diliatin, sebuah spesimen yang sedang diteliti oleh seorang ilmuwan tanpa emosi, menunggu untuk diklasifikasi dan dianalisis.

 

Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Hanya suara detak jantung Andi yang bergemuruh di telinganya, memburu dengan irama ketakutan yang mengencang, seolah ingin melarikan diri dari sangkarnya. Ko Min Aung melangkah masuk, langkahnya anggun namun penuh tujuan, tidak ada keraguan sedikit pun. Ia berhenti beberapa langkah di depan Andi, tatapannya tidak lepas, membuat Andi merasa telanjang di hadapan penilaiannya yang kejam, sebuah penilaian yang akan menentukan nasibnya. Andi mencoba menunduk, menghindari tatatan itu, ingin menghilang, ingin menenggelamkan diri dalam kegelapan, namun rasa takut yang mendalam memaku kepalanya, memaksanya untuk tetap melihat ke depan, ke dalam jurang mata lelaki itu, ke dalam takdir yang telah menantinya.

 

Dengan suara pelan tapi penuh otoritas, suara yang terdengar seperti beludru namun menusuk tajam hingga ke tulang, Ko Min Aung akhirnya memecah keheningan. "Kau Andi, bukan?" tanyanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan. Nada suaranya mengandung kekuasaan mutlak, seolah ia sudah tahu segalanya tentang Andi, bahkan setiap detail kecil dari kehidupannya yang lalu, sebelum mereka bertemu.

 

Andi hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia terlalu terintimidasi oleh aura kuat Ko Min Aung yang membuat dia diam saja, tubuhnya kaku seperti patung, bibirnya bergetar tanpa suara.

 

"Bagus," lanjut Ko Min Aung, sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di bibirnya. Senyum itu bukan senyum ramah, melainkan senyum puas, seolah ia baru saja mendapatkan apa yang diinginkannya, sebuah mahakarya yang telah ia incar dan kini berada dalam genggamannya. "Kau telah 'dibeli' untuk 'proyek seni pribadiku'."

 

Kata-kata "dibeli" itu menusuk hati Andi seperti belati tajam, merenggut martabatnya, ngeubah dia dari manusia yang punya mimpi dan harapan menjadi objek, sebuah properti tanpa harga diri, tanpa identitas. Andi tersentak. Rasa jijik dan teror membanjiri dirinya. Ia tidak bisa lagi menahan diri. "Proyek seni apa? Aku bukan barang yang bisa dibeli!" teriak Andi, suaranya parau, penuh keputusasaan dan kemarahan yang membuncah. Ia mencoba bangkit, melarikan diri, namun rasa takut yang mendalam memaku kakinya. Ia ingin menuntut penjelasan, ingin berontak, tapi lidahnya kelu, tubuhnya kaku, dan matanya hanya bisa menatap nanar ke lantai marmer yang mengkilap, mencoba mencari jawaban di pantulan wajahnya sendiri yang kini terlihat asing dan penuh kekhawatiran.

 

Ko Min Aung seolah tidak terpengaruh oleh ledakan emosi Andi. Senyum sinisnya sedikit melebar. "Aku suka semangatmu, Nak. Itu akan membuat prosesnya lebih menarik." Ia melangkah lebih dekat, mengamati wajah Andi dengan seksama. Jarak di antara mereka kini terasa begitu dekat, membuat Andi mencium aroma parfum mahal yang menguar dari tubuh Ko Min Aung, aroma yang kini akan selalu ia asosiasikan dengan teror dan keputusasaan. Ia merasa diperiksa, ditelanjangi oleh tatapan Ko Min Aung yang mengarah pada setiap detail fisiknya: wajahnya yang tampan namun lembut, cenderung ke wajah perempuan, kulitnya yang putih kemerahan yang seolah bersinar di bawah lampu, proporsi tubuhnya yang ramping. Ko Min Aung seolah membaca setiap inci tubuh Andi, menilai setiap fitur yang ia miliki, bukan sebagai manusia, melainkan sebagai bahan mentah, sebuah objek yang bisa dibentuk dan dimanipulasi.

 

"Wajahmu," Ko Min Aung melanjutkan, suaranya kini terdengar seperti bisikan yang dingin, namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan, "memiliki perpaduan yang sempurna antara ketampanan seorang pria dan kelembutan seorang wanita. Sebuah anomali yang sangat menarik. Mata itu... besar dan ekspresif. Kulitmu... putih kemerahan, sangat mulus. Posturmu... ramping, dengan tinggi 170 sentimeter dan berat 60 kilogram, ideal untuk apa yang kubayangkan. Sebuah kanvas yang sempurna."

 

Setiap kata Ko Min Aung adalah sebuah penghinaan, sebuah dehumanisasi yang mendalam bagi Andi. Dia bukan lagi dirinya sendiri, dia adalah kanvas kosong, sebuah bahan mentah di mata pria berkuasa ini. Ia merasa jiwanya dikikis, sedikit demi sedikit, oleh setiap pujian yang justru terasa seperti kutukan, mengikatnya lebih erat pada takdir barunya.

 

"Kau mungkin tidak mengerti sekarang," Ko Min Aung menghela napas pelan, seolah ini adalah sebuah penjelasan yang panjang dan membosankan baginya, "tetapi aku memiliki preferensi khusus. Aku tertarik pada pria, Andi. Terutama pria yang memiliki fitur sepertimu, yang bisa dibentuk, yang bisa disempurnakan." Ia berhenti sejenak, tatapannya kini berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih obsesif, sebuah kilatan posesif yang menakutkan, menunjukkan hasrat yang tersembunyi. "Aku menyukai kesempurnaan, dan aku melihat potensi besar dalam dirimu untuk menjadi mahakaryaku. Kau akan menjadi koleksi terindahku, permata paling berharga di antara semuanya."

 

Andi merasakan perutnya melilit. "Budak nafsu." Dua kata itu berputar-putar di kepalanya, menggantikan janji-janji "yayasan amal" yang pernah memenuhi telinganya, mengubahnya menjadi dusta pahit. Rasa jijik dan teror membanjiri dirinya. Ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah perbudakan. Dan jenis perbudakan yang paling mengerikan, yang mengancam bukan hanya tubuhnya, tetapi juga jiwanya, identitasnya.

 

Ko Min Aung seolah bisa membaca pikirannya. Sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya. "Jangan takut, Andi. Aku tidak tertarik pada kekerasan yang tidak perlu. Aku lebih suka... seni. Dan seni membutuhkan kesabaran, serta transformasi. Sebuah metamorfosis yang akan menyempurnakanmu."

 

Kemudian, Ko Min Aung mulai menjelaskan secara detail rencana "proyek seninya" itu, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti pisau dingin yang mengiris-iris jiwa Andi, memisahkannya dari diri aslinya. "Kau akan melalui proses 'feminisasi'. Rambutmu akan dipanjangkan, kulitmu akan dirawat dengan sangat hati-hati, tubuhmu akan dilatih untuk menjadi lebih luwes, lebih... feminin dalam setiap gerakan dan perilaku. Pakaianmu akan disesuaikan, mengikuti gaya yang akan kuberi. Kau akan diajari etika dan tata krama yang berbeda, cara berbicara, cara berjalan, cara bersikap. Semua itu untuk menonjolkan 'kecantikan' yang sudah ada padamu, untuk membuatnya bersinar, untuk menjadikannya sempurna, sesuai dengan keinginanku."

 

Setiap kata "feminisasi" yang diucapkan Ko Min Aung seolah menghapus identitas Andi yang selama ini ia kenal. Ia membayangkan dirinya diubah menjadi sesuatu yang bukan dirinya, sesuatu yang melanggar setiap norma dan nilai yang ia pegang teguh sejak lahir, setiap ajaran dari desanya. Rambut panjang? Pakaian perempuan? Perilaku yang feminin? Ini adalah mimpi buruk yang paling mengerikan, sebuah perampasan identitas yang jauh lebih kejam daripada sekadar rantai fisik. Harga dari utang keluarganya ternyata adalah dirinya sendiri, tubuhnya, identitasnya, yang akan diubah dan direnggut, dimodifikasi sesuai fantasi Ko Min Aung. Sebuah transaksi yang kejam, namun di mata Ko Min Aung, itu adalah kesepakatan yang adil, bahkan sebuah anugerah. Kebingungan bercampur ketakutan menyelimutin Andi, dia gak berani ngomong, ngerasa terintimidasi sama aura kuat Ko Min Aung yang bikin dia diem aja, bibirnya bergetar, namun suaranya tak bisa keluar, terperangkap di tenggorokan.

 

"Kau akan menjadi 'teman' bagiku," Ko Min Aung melanjutkan, kata "teman" itu diucapkan dengan penekanan yang ironis dan mengerikan, penuh dengan makna terselubung, menyiratkan kepemilikan total. "Kau akan tinggal di sini, melayani kebutuhanku, dan menjadi inspirasiku. Kau akan menjadi 'Anya'." Ia mengoreksi diri, "Tidak, bukan Anya. Kau akan menjadi... Isabella. Sebagai imbalannya, keluargamu akan terbebas dari utang. Mereka akan hidup berkecukupan. Kau tidak perlu khawatir tentang mereka lagi. Mereka akan aman, sepenuhnya aman di bawah perlindunganku."

 

Itu adalah kalimat terakhir yang menghantam Andi dengan kekuatan penuh, sebuah pukulan telak yang meruntuhkan sisa-sisa pertahanannya. Keluarganya. Kebebasan keluarganya. Itulah yang membuatnya datang ke sini, ke tempat terkutuk ini. Harga yang harus dibayar adalah dirinya sendiri, tubuhnya, identitasnya yang paling inti. Sebuah transaksi yang kejam, namun demi keluarganya, apakah ia punya pilihan lain? Pikiran itu mengikis pertahanannya, membuatnya merasa tak berdaya.

 

Ko Min Aung melihat reaksi Andi, senyum puasnya sedikit melebar, seolah ia baru saja melihat konfirmasi dari rencananya, sebuah penerimaan yang tak terucap. "Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu, Nak. Tapi percayalah, kau akan terbiasa. Dan kau akan belajar menghargai posisi barumu. Di sini, kau akan memiliki segalanya yang tidak pernah bisa kau dapatkan di desamu. Keamanan, kenyamanan, kemewahan. Tentu, dengan harga yang pantas, harga dirimu."

 

Ia mengangkat tangannya, sebuah isyarat kecil, dan seorang pelayan muncul dari balik pintu yang tadinya tertutup. Pelayan itu, seorang wanita paruh baya berwajah datar, membawa nampan berisi segelas air dan pil kecil berwarna putih.

 

"Minumlah ini," Ko Min Aung menginstruksikan, suaranya kini kembali datar, seperti perintah yang tidak bisa dibantah, sebuah takdir yang harus diterima. "Ini akan membantumu rileks. Kau akan membutuhkan istirahat yang cukup untuk memulai 'pelatihanmu' besok. Dan ini akan membantumu tidur nyenyak."

 

Andi menatap pil itu dengan curiga. Ia tidak ingin meminumnya, firasat buruk kembali menyelimutinya. Namun tatapan Ko Min Aung yang mengancam, yang tidak meninggalkan matanya, membuatnya tidak punya pilihan. Ia tidak bisa melawan. Dengan tangan gemetar, ia mengambil pil itu, memasukkannya ke mulut, dan menelannya dengan susah payah bersama air yang terasa hambar. Rasanya pahit, dan ia bisa merasakan sensasi aneh mulai menyebar di tubuhnya. Kepala mulai pening, matanya terasa berat, kelopak matanya terasa ditarik ke bawah. Rasa kantuk yang sangat kuat menyerangnya, dan ia tidak bisa lagi melawan. Kesadarannya mulai memudar, dan tubuhnya limbung.

 

Ko Min Aung mengamati Andi dengan saksama saat efek pil itu mulai bekerja, senyum kepuasan yang dingin melengkung di bibirnya. "Mulai besok, hidupmu akan berubah total, Andi," katanya, suaranya kini terdengar samar dan jauh, seperti bisikan dari dunia lain yang mengundaknya ke kegelapan. "Kau akan melupakan siapa dirimu yang dulu. Kau akan menjadi... Isabella."

 

Nama "Isabella" itu menggaung di telinga Andi, nama asing yang terasa seperti cap kepemilikan, sebuah identitas baru yang dipaksakan. Ia merasa pusing, pandangannya kabur, dunia berputar tak menentu. Rasa kantuk yang sangat kuat menyerangnya, dan ia tidak bisa lagi melawan. Kesadarannya mulai memudar, dan tubuhnya limbung. Andi terhuyung dan jatuh berlutut di lantai marmer yang dingin, pandangannya sepenuhnya gelap. Ia terperangkap, tidak hanya di dalam kediaman megah ini, tetapi juga di dalam takdir baru yang mengerikan ini, di mana dirinya akan dibentuk ulang, jiwanya dikikis, dan identitasnya diganti sesuai keinginan sang pemilik. Rasa takut yang sebenernya baru saja dimulai, sebuah teror yang akan menemaninya dalam kegelapan tak berujung di kediaman misterius ini. Ia tak lagi tahu siapa dirinya, atau siapa ia akan menjadi.

 

Beberapa jam kemudian, Andi terbangun. Kesadarannya masih berkabut, namun ia merasakan perbedaan. Bukan lagi di kamar sebelumnya, ia kini terbaring di atas ranjang king size yang empuk, ditutupi selimut sutra yang lembut. Ruangan itu remang-remang, dihiasi dengan lampu-lampu redup yang menciptakan suasana intim. Aroma menenangkan dari lilin aromaterapi memenuhi udara.

 

Ko Min Aung sudah ada di sampingnya, duduk di tepi ranjang. Ia hanya mengenakan jubah mandi sutra yang terbuka, menampakkan dada berotot dan berbulu. Matanya menatap Andi dengan tatapan intens, lebih dari sekadar mengamati, melainkan sebuah pandangan yang lapar dan penuh hasrat. Andi merasakan ketakutan baru merayapi dirinya, sebuah ketakutan yang jauh lebih personal.

 

Ko Min Aung tersenyum tipis, sebuah senyum predator. "Bagaimana perasaanmu, Isabella?" suaranya lembut, namun penuh kekuasaan.

 

Andi hanya bisa menggeleng pelan, kepalanya masih pening. Ia mencoba bangkit, namun Ko Min Aung menahannya dengan satu tangan kuat di bahunya. "Jangan terburu-buru, Sayang. Nikmati saja prosesnya."

 

Ko Min Aung kemudian membelai rambut Andi, perlahan turun ke pipi. Sentuhannya terasa dingin, namun menimbulkan sensasi geli yang aneh. "Kau tahu, ada satu hal yang perlu disempurnakan dari 'kanvas' ini," bisiknya, suaranya semakin rendah. Ia mendekatkan wajahnya, napas hangatnya menerpa kulit Andi.

 

Andi hanya mengenakan kaos saat ini. Ko Min Aung mulai menciumi bibir Andi, awalnya lembut, lalu semakin menuntut. Andi tidak membalas, namun juga tidak menolak. Pil itu telah membius sebagian kesadarannya, mengikis kemampuannya untuk bereaksi. Ciuman itu turun ke leher Andi, lalu ke dadanya.

 

Ko Min Aung membuka kaos yang dikenakan Andi, memperlihatkan tubuh rampingnya. Ia menelusuri setiap lekuk, jemarinya yang kasar namun terampil mengelus kulit Andi. Andi merasakan merinding di sekujur tubuhnya, bukan karena kenikmatan, melainkan karena rasa tak berdaya yang mencekik.

 

Ko Min Aung kemudian memosisikan tubuh Andi. Dengan gerakan halus namun tegas, ia membalikkan Andi menjadi tengkurap, lalu mengangkat pinggulnya sedikit. Andi merasakan sentuhan jari-jari Ko Min Aung di area anusnya, melumasi dengan cairan hangat. Rasa dingin yang aneh menjalari tubuh Andi, sebuah firasat mengerikan.

 

Dan kemudian, tanpa peringatan, Andi merasakan sesuatu yang besar dan hangat menekan di pintu belakangnya. Sensasi nyeri yang tajam menyerang, membuat otot-ototnya menegang. Andi menjerit kesakitan, sebuah jeritan yang tertahan di tenggorokannya, suaranya tercekat oleh kepedihan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar hebat di bawah hunjaman brutal Ko Min Aung. Setiap dorongan adalah gelombang rasa sakit yang menusuk, namun Ko Min Aung tak peduli. Ia terus bergerak, cepat dan keras, mencengkeram pinggul Andi kuat-kuat. Andi mengepalkan tangannya di sprei, berusaha menahan suara yang ingin keluar dari tenggorokannya. Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan ini.

 

Ko Min Aung terus menghunjam, napasnya memburu di telinga Andi. Ia mencengkeram pinggul Andi kuat-kuat, mengendalikan setiap gerakannya. Rasa sakit perlahan bercampur dengan mati rasa, seolah tubuh Andi memutuskan untuk melindungi dirinya sendiri dengan memutus koneksi emosional. Ia hanya merasakan gerakan, dorongan, dan sensasi penuh yang tak nyaman.

 

Setelah beberapa saat, Ko Min Aung meraung pelan, sebuah desahan kepuasan yang dalam. Tubuhnya menegang, dan Andi merasakan semburan cairan hangat di dalam dirinya. Ko Min Aung ambruk di atas tubuh Andi, napasnya terengah-engah, tubuhnya puas. Andi terbaring diam di bawahnya, tubuhnya sakit, jiwanya terkoyak dan kosong.

 

Ko Min Aung menarik diri, lalu berbalik dan menarik Andi ke dalam pelukannya. Tubuh Andi terasa lemas, menyerah sepenuhnya pada kelelahan dan rasa sakit. Ko Min Aung memeluknya erat, menaruh dagunya di puncak kepala Andi. "Selamat datang, Isabella," bisiknya, suaranya kini terdengar tenang dan puas. "Mulai besok, belajarlah jadi wanitaku, Isabella."

 

Ko Min Aung bangkit dari ranjang, mengenakan kembali jubah mandinya dengan tenang. Ia melirik Andi yang terbaring diam, sebuah senyum puas terukir di wajahnya. Ia kemudian melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Andi sendirian dalam kegelapan yang terasa semakin dingin dan mencekik. Andi tidak menjawab. Ia hanya terbaring diam, tubuhnya yang sakit dan jiwanya yang mati rasa. Ia menatap kegelapan, dunia di sekelilingnya terasa asing, dan ia tidak tahu apakah ia akan pernah menemukan jalan kembali ke dirinya yang dulu. Takdirnya telah berubah, terkunci dalam genggaman Ko Min Aung, menjadi bagian dari "proyek seni" yang mengerikan, sebuah permulaan bagi transformasi total dirinya. Ia tak lagi tahu siapa dirinya, atau siapa ia akan menjadi, hanya merasakan dinginnya kenyataan baru yang menyelimuti dirinya.

  

Mata Andi perlahan terbuka, kelopaknya terasa berat seolah direkatkan oleh lem. Kepalanya berdenyut nyeri, dan rasa pening masih menjalari setiap sarafnya, sisa dari pil yang diberikan Ko Min Aung semalam. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, namun otot-ototnya terasa kaku dan lemas, seolah seluruh energinya telah terkuras habis. Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur, namun kesadarannya kembali dengan satu pukulan telak: ia masih di sana, di dalam sangkar emas ini, terperangkap sepenuhnya.

 

Cahaya samar masuk dari celah tirai tebal, menandakan pagi telah tiba. Ia bangkit perlahan dari ranjang mewah, merasakan dinginnya lantai marmer di bawah telapak kakinya. Kamar itu masih sama, megah namun hampa, dengan aura pengawasan yang tak terlihat namun terasa kuat. Ia berjalan gontai ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba mengusir sisa-sisa efek pil dan mimpi buruk yang menghantuinya. Setiap pantulan wajahnya di cermin adalah pengingat akan takdir barunya, takdir yang mengerikan.

 

Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka. Bukan Ko Min Aung, melainkan seorang pria berbadan kekar yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi, masuk tanpa suara. Pria itu memberi isyarat dengan dagunya ke arah pintu, mengindikasikan Andi harus mengikutinya. Tidak ada pilihan lain selain patuh. Andi mengikuti langkah pria itu, menyusuri koridor panjang yang hening, melewati pintu-pintu lain yang tertutup rapat, dan sejumlah pria bersetelan hitam yang berjaga di setiap sudut. Atmosfer di dalam kediaman ini terasa mencekam, seolah udara pun dipenuhi oleh rahasia dan ancaman yang tak terucap.

 

Mereka tiba di sebuah ruangan yang terasa berbeda. Ini bukan ruang tamu utama yang megah, melainkan sebuah ruang kerja atau ruang kendali yang tampak modern, dengan meja besar di tengahnya dan layar monitor berukuran raksasa di salah satu dinding. Di balik meja, duduklah Ko Min Aung, tenang dan berwibawa seperti biasa, namun matanya memancarkan ketajaman yang menusuk. Ia sedang menyesap teh dari cangkir porselen mewah, seolah tidak ada hal luar biasa yang terjadi.

 

Ko Min Aung mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Andi berdiri di depannya. Matanya memindai Andi, dari ujung kaki hingga kepala, seolah mengevaluasi sesuatu. Wajahnya tetap tenang, tanpa senyum, tanpa emosi, sebuah topeng yang sempurna.

 

"Selamat pagi, Isabella," ucap Ko Min Aung, suaranya pelan namun penuh otoritas. Nama "Isabella" itu meluncur dari bibirnya, terdengar asing dan kejam di telinga Andi. Rasanya seperti sebuah cap yang membakar jiwanya, mengukir identitas baru yang dipaksakan. Ini adalah nama yang akan menghapus Andi yang dulu.

 

Andi hanya bisa menunduk, tidak berani membalas tatapan itu. Ia merasakan seluruh tubuhnya bergetar, namun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya.

 

"Duduklah," perintah Ko Min Aung, menunjuk kursi di seberang mejanya. Andi patuh, duduk dengan kaku.

 

Ko Min Aung meletakkan cangkir tehnya, lalu mengangguk kepada salah satu anak buahnya yang berdiri di samping layar monitor. Seketika, layar besar itu menyala, menampilkan sebuah gambar yang langsung membuat jantung Andi seolah berhenti berdetak.

 

Di layar, tampak pemandangan desanya. Desanya yang sederhana, gubuk-gubuk reyot, jalanan tanah yang berdebu. Pemandangan yang familiar, yang selama ini menjadi sumber kerinduan dan harapannya. Kemudian, kamera bergerak, memperlihatkan sosok-sosok yang sangat ia kenal: orang tuanya.

 

Ibunya, yang selalu tampak lelah namun senyumnya hangat, kini terlihat lebih kurus, wajahnya semakin dipenuhi kerutan, tampak begitu renta dan tidak berdaya. Bapaknya, yang biasanya perkasa dan pekerja keras, kini terlihat membungkuk, dengan langkah gontai, seolah beban hidup telah menghimpitnya hingga tak bersisa. Mereka sedang duduk di teras gubuk mereka, berbicara, tanpa menyadari bahwa setiap gerak-gerik mereka sedang direkam, sedang ditonton oleh seseorang yang jauh di Yangon. Kondisi mereka yang rentan dan tak berdaya itu terpampang jelas, muka-muka lelah yang familiar sekarang kelihatan makin kurus sama capek, sebuah bukti visual dari kemiskinan dan kesulitan yang selama ini mereka hadapi.

 

Pemandangan itu bagaikan pukulan telak di ulu hati Andi, sebuah hantaman keras yang membuatnya ngos-ngosan, udara seolah lenyap dari paru-parunya. Ia merasakan sakit yang luar biasa, bukan fisik, melainkan kepedihan yang menusuk jiwa. Sebuah kesadaran pahit merayap: ia menyadari seberapa gampang orang yang dia sayang itu dalam bahaya. Mereka tidak dilindungi, mereka tidak aman. Mereka adalah sasaran empuk, sandera yang tak terlihat.

 

Andi ingin berteriak, ingin menghancurkan layar itu, ingin berlari pulang dan melindungi keluarganya. Namun ia hanya bisa duduk terpaku, matanya melebar, napasnya tersengal-sengal. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha keras menahannya agar tidak jatuh. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan Ko Min Aung.

 

Ko Min Aung mengamati reaksi Andi dengan tenang, ekspresinya tetap datar, seolah ia sedang menonton pertunjukan yang sudah ia perkirakan. Tidak ada belas kasihan di matanya. Setelah beberapa saat, ia memberi isyarat, dan rekaman itu berhenti, digantikan oleh tampilan layar hitam yang memantulkan wajah Andi yang pucat dan terpukul.

 

"Seperti yang kau lihat, Isabella," Ko Min Aung memulai, suaranya tenang, namun setiap kata mengandung bobot ancaman yang mengerikan, "aku tahu di mana keluargamu tinggal. Aku tahu siapa mereka. Aku tahu segalanya."

 

Andi merasakan tubuhnya dingin, seolah darahnya membeku.

 

"Utang keluargamu," lanjut Ko Min Aung, "akan lunas. Mereka akan aman, sepenuhnya aman, bahkan mungkin hidup berkecukupan di desa mereka, mendapatkan perawatan kesehatan yang layak, makanan yang cukup, dan semua kebutuhan dasar terpenuhi. Tentu saja," ia menekankan kata terakhir itu, "dengan satu syarat."

 

Ko Min Aung mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya kini mengunci mata Andi, penuh dengan ancaman terselubung. "Syaratnya, kau harus patuh. Sepenuhnya patuh. Setiap perintahku, setiap keinginanku, harus kau jalankan tanpa bantahan. Tanpa pengecualian."

 

"Tiap penolakan," suaranya merendah, menjadi bisikan yang lebih menakutkan, "atau usaha kabur, bahkan pikiran untuk melarikan diri, akan berakibat fatal buat mereka. Sangat fatal. Aku tidak ragu untuk melakukan apa pun demi menjaga 'proyek seni' ku ini tetap berjalan lancar. Kau mengerti?"

 

Ancaman itu menghantam Andi dengan kekuatan yang tak terlukiskan. Itu bukan lagi tentang dirinya sendiri, bukan lagi tentang kehormatannya yang telah direnggut. Ini tentang hidup keluarganya. Ayah dan Ibunya. Mereka adalah jaminan, belenggu tak terlihat yang jauh lebih kuat dari belenggu fisik apa pun. Ia telah menjadi sandera, sebuah alat tawar-menawar dalam permainan kejam ini.

 

Harapan buat kabur, yang sempat muncul samar-samar di benaknya, musnah seketika, digantiin sama putus asa yang dalem banget. Ia melihat ke layar hitam, seolah bisa melihat kembali wajah lelah orang tuanya di sana. Semua keberanian yang ia miliki lenyap, digantikan oleh kepasrahan yang pahit.

 

"Aku... mengerti," suara Andi berbisik, nyaris tak terdengar, sebuah pengakuan kekalahan. Ia menunduk lagi, membiarkan rambutnya jatuh menutupi wajahnya, menyembunyikan air mata yang kini tak terbendung lagi. Air mata itu mengalir panas di pipinya, bukan karena rasa sakit fisik, melainkan karena kepedihan karena harus menyerahkan seluruh dirinya demi keselamatan orang yang ia cintai.

 

Ko Min Aung bersandar di kursinya, senyum puas kembali muncul di bibirnya. "Bagus, Isabella. Kau anak yang cerdas. Sekarang kau tahu posisimu. Ingat, selama kau patuh, semua akan baik-baik saja untuk mereka." Ia menjeda, lalu menambahkan, "Dan untukmu juga. Aku akan memastikan kau nyaman di sini, selama kau tahu tempatmu."

 

Andi tidak menjawab. Ia hanya terus menunduk, membiarkan air mata mengalir dalam diam. Ia telah tiba di Yangon sebagai Andi, pemuda desa yang lugu. Kini ia adalah Isabella, seorang tawanan tanpa kehendak, yang terikat oleh janji utang dan ancaman yang tak terucap, sebuah boneka yang akan dimainkan sesuai kehendak sang pemilik. Babak baru kehidupannya telah dimulai, penuh dengan kegelapan dan kengerian yang tak terbayangkan. Ia tahu, dari titik ini, tidak ada lagi jalan kembali.

  

Matahari sudah terbit sepenuhnya ketika Ko Min Aung kembali menghampiri Andi, yang kini hanya bisa terduduk lemah di kursi, sisa-sisa air mata masih mengering di pipinya. Keheningan pagi itu terasa memekakkan, hanya diselingi oleh suara napas Andi yang tersengal. Ko Min Aung berjalan mendekat, langkahnya pelan dan berirama, seolah mengelilingi sebuah karya seni yang akan segera ia modifikasi. Tatapannya nyapu Andi dari kepala sampe kaki, seolah mindai tiap inci tubuhnya, mengukur setiap lekuk, setiap garis, dengan presisi yang mengerikan. Pandangan itu membuat Andi merasa telanjang, bukan secara fisik, melainkan secara jiwa, seolah setiap privasi dalam dirinya telah dilucuti.

 

"Kita akan mulai hari ini, Isabella," ucap Ko Min Aung, suaranya tenang namun mengandung otoritas yang mutlak, tidak ada ruang untuk bantahan. Nama "Isabella" itu terasa seperti cambuk, mengukir identitas baru yang dipaksakan di atas nama lamanya yang kini terasa pudar.

 

Andi hanya bisa menunduk, matanya terpaku pada lantai marmer yang mengkilap. Ia tidak berani menatap Ko Min Aung, takut melihat pantulan kengerian di mata pria itu, kengerian yang kini juga ia rasakan di dalam dirinya.

 

Ko Min Aung melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih personal, lebih obsesif, seolah ia sedang berbicara tentang impian terbesarnya. "Aku telah mencari-cari selama bertahun-tahun, sebuah kanvas yang sempurna, yang bisa kubentuk menjadi visi keindahan absolut. Dan kau, Isabella, kau adalah kanvas itu."

 

Andi merasakan mual, perutnya bergejolak hebat. Ia ingin memuntahkan segala yang ada di dalam dirinya, semua ketakutan, semua keputusasaan. Namun, tubuhnya kaku, bibirnya terkunci. Dia ngomongin obsesinya sama "cowok cantik," sebuah istilah yang kini membuat Andi merinding hingga ke tulang. Ko Min Aung ngeliat "potensi keindahan" di diri Andi yang bakal dia ubah menjadi mahakarya pribadinya yang hidup, sebuah obsesi yang mengerikan.

 

"Kau memiliki fitur yang sangat unik," Ko Min Aung menjelaskan, suaranya terdengar seperti seorang seniman yang memuji kualitas bahan bakunya. "Kecantikan feminin yang terselubung di balik struktur maskulinmu. Kulitmu yang halus, rahangmu yang lembut, matamu yang besar dan ekspresif. Semua itu adalah modal yang luar biasa untuk 'transformasi' ini."

 

Kata-kata "mahaka karya" itu kedengeran mengerikan, bukan seperti pujian, melainkan seperti vonis mati bagi identitasnya yang dulu. Andi tahu, itu berarti dia bakal kehilangan dirinya, jiwanya, demi obsesi Ko Min Aung. Ia bukan lagi Andi, seorang pemuda yang pernah bermimpi sederhana, melainkan sebuah proyek, sebuah objek yang akan dibentuk, diukir, dan diubah sesuai kehendak sang pemilik. Pengertian soal "proyek" itu mulai masuk ke dalam kesadarannya, sebuah proses yang bakal ngerenggut identitasnya, ngeubah dia jadi sesuatu yang bukan dirinya, jadi "Isabella" kayak yang bakal dia dengar dan panggil nanti.

 

"Aku akan memberimu segala fasilitas terbaik," Ko Min Aung berjanji, nadanya seolah ramah namun dingin, "perawatan kulit, nutrisi, pelajaran etiket, tata krama, hingga cara berjalan dan berbicara yang luwes. Semuanya akan disesuaikan untuk menonjolkan 'kecantikan' yang kau miliki. Kau akan belajar untuk memancarkan aura yang berbeda, sebuah aura yang sesuai dengan visi seniku."

 

Setiap kata adalah paku yang menancap pada peti mati identitas Andi. Ia membayangkan dirinya diubah, dipaksa menjadi sosok yang asing, sebuah refleksi dari obsesi Ko Min Aung, bukan dirinya sendiri. Rasa sesak di dadanya semakin menjadi. Ini adalah bentuk kekerasan yang tidak terlihat, namun jauh lebih menghancurkan daripada pukulan fisik mana pun. Ini adalah pembunuhan identitas yang pelan dan sistematis.

 

Dia ngerasain mual yang hebat, tapi gak bisa nolak atau teriak. Suaranya seolah hilang, tercekat di tenggorokan. Di mata Ko Min Aung, Andi bukan lagi seorang remaja yang punya impian, punya keluarga, punya masa lalu, tapi kanvas kosong yang siap diukir, dibentuk, dan diubah sesuai kemauan dia. Tidak ada kemanusiaan, hanya potensi estetika.

 

"Sebagai langkah pertama," Ko Min Aung mengisyaratkan kepada salah satu anak buahnya yang berdiri di sudut ruangan, "kita harus menghilangkan semua yang lama."

 

Pria kekar itu bergerak cepat. Ia mengambil tas punggung Andi yang usang dan tumpukan pakaian lama Andi yang sempat disita. Andi melihat celana jeans favoritnya, kaus yang sering ia pakai, semua pakaian sederhana yang menjadi bagian dari dirinya. Barang-barang itu mungkin tidak berharga bagi Ko Min Aung, namun bagi Andi, itu adalah sisa-sisa kenangan, sisa-sisa identitasnya yang belum terenggut.

 

Anak buah Ko Min Aung membawa tumpukan pakaian itu ke halaman belakang, di mana sebuah tong logam besar telah disiapkan. Andi dibawa mengikuti mereka, hatinya berdegup kencang, firasat buruk menyelimuti dirinya. Di halaman yang luas dan sunyi itu, di bawah tatapan Ko Min Aung yang mengawasi dari teras, anak buahnya tanpa ragu melemparkan semua pakaian lama Andi ke dalam tong.

 

Kemudian, dengan gerakan yang disengaja dan kejam, mereka menyiramkan cairan mudah terbakar dan melemparkan korek api. Dalam hitungan detik, api berkobar, melahap kain-kain itu dengan ganas. Asap hitam mengepul, membawa serta bau kain terbakar yang menyesakkan.

 

Andi menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak, tak percaya. Pakaian lamanya, simbol-simbol terakhir dari jati dirinya sebagai seorang pemuda, kini menjadi abu. Setiap jilatan api terasa seperti membakar kenangan, membakar masa lalunya, membakar Andi yang dulu. Dia melihat celana panjangnya berubah menjadi bara, kausnya menghitam dan hancur, semua pakaian lama yang andi bawa dibakar di hadapan mata andi oleh anak buahnya Ko Min Aung. Sebuah ritual penghancuran identitas yang brutal dan nyata.

 

Rasa dingin merayapi punggungnya, bukan karena embusan angin, melainkan karena kengerian yang menusuk. Ia merasakan kehilangan yang amat sangat, kehilangan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Ini adalah titik balik yang menyakitkan. Ia kini benar-benar terputus dari masa lalunya, dari dirinya yang dulu.

 

Setelah api mereda, menyisakan gumpalan abu hitam, Ko Min Aung kembali bersuara. "Sekarang, kau akan memulai hidup barumu. Sebagai Isabella."

 

Andi dibawa kembali ke kamarnya. Di sana, di atas ranjang, sudah terhampar tumpukan pakaian baru. Namun, ini bukan pakaian laki-laki. Ada gaun-gaun sutra dengan warna lembut, rok yang flowy, atasan yang terbuat dari bahan tipis dan halus. Dan yang paling mengejutkan, di samping semua itu, tergeletak berbagai jenis pakaian dalam perempuan. Ada bra renda yang halus, celana dalam dengan potongan feminin, dan korset kecil yang tampak rumit.

 

Pria kekar yang menemaninya itu menunjuk pakaian-pakaian itu. "Mulai sekarang, ini pakaianmu. Biasakan dirimu." Suaranya datar, tanpa emosi, namun perintahnya mutlak.

 

Andi merasakan mual lagi. Ia tidak bisa membayangkan dirinya mengenakan semua itu. Ini adalah penyiksaan, bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis, sebuah serangan langsung terhadap inti maskulinitasnya. Ia memegang salah satu gaun sutra, rasanya asing dan lembut di tangannya. Ia melihat bra renda itu, benda yang dulu hanya ia lihat di tubuh perempuan, kini akan menjadi bagian dari dirinya. Otaknya menolak untuk memproses kenyataan ini.

 

"Kau akan mendapatkan pelajaran," suara Ko Min Aung tiba-tiba terdengar lagi dari interkom yang tersembunyi di kamar, suaranya menggelegar dan mengejutkan Andi. "Seorang pelatih akan datang untuk membimbingmu. Kau akan belajar bagaimana memakai semua ini, bagaimana bergerak, bagaimana bersikap. Kau akan belajar menjadi Isabella seutuhnya."

 

Andi menatap tumpukan pakaian dan pakaian dalam perempuan itu dengan mata berkaca-kaca. Semua harapan, semua impiannya untuk kembali ke kehidupan normal, telah hancur menjadi debu bersama pakaian-pakaian lamanya. Ia kini terjebak dalam visi mengerikan Ko Min Aung, sebuah visi tentang "mahaka karya hidup" yang akan merenggut setiap inci dari dirinya yang asli. Ia hanya bisa berdiri di tengah kamar yang mewah namun menyesakkan itu, merasakan kengerian yang melilit, mengetahui bahwa perjuangan terberatnya baru saja dimulai. Ia adalah kanvas kosong yang akan diwarnai dengan obsesi orang lain, menjadi Isabella, bukan lagi Andi.

  

Pagi berikutnya datang membawa ketakutan baru, menyelinap bagai kabut dingin ke dalam kamar mewah yang kini terasa seperti sangkar. Andi terbangun dengan perasaan hampa, sisa-sisa mimpi buruk masih membayangi. Ia tidak ingat detailnya, hanya samar-samar rasa sakit dan keputusasaan yang melilit. Kepalanya berdenyut nyeri, dan rasa pening masih menjalari setiap sarafnya, sisa dari pil yang diberikan Ko Min Aung semalam. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, namun otot-ototnya terasa kaku dan lemas, seolah seluruh energinya telah terkuras habis oleh beban mental yang ia tanggung. Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur, namun kesadarannya kembali dengan satu pukulan telak: ia masih di sana, di dalam sangkar emas ini, terperangkap sepenuhnya dalam kendali Ko Min Aung.

 

Cahaya samar masuk dari celah tirai tebal, menunjukkan bahwa pagi telah tiba, namun tak ada kehangatan yang menyertainya. Ia bangkit perlahan dari ranjang mewah, merasakan dinginnya lantai marmer di bawah telapak kakinya yang tidak beralas. Kamar itu masih sama, megah namun hampa, dengan aura pengawasan yang tak terlihat namun terasa kuat, seolah dinding-dinding itu sendiri memiliki mata. Ia berjalan gontai ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba mengusir sisa-sisa efek pil dan mimpi buruk yang menghantuinya. Setiap pantulan wajahnya di cermin adalah pengingat akan takdir barunya, takdir yang mengerikan yang telah ditetapkan untuknya. Ia menatap matanya sendiri, mencari secercah harapan atau keberanian, namun hanya menemukan keputusasaan yang dalam.

 

Saat ia kembali ke kamar, pakaian yang telah disiapkan semalam — dress Sabrina berwarna lembut lengkap dengan pakaian dalam perempuan — sudah terhampar di ranjang, menanti dirinya. Pakaian-pakaian itu terlihat asing dan memuakkan, sebuah simbol nyata dari pemaksaan yang akan segera ia alami. Dengan tangan gemetar, ia meraih satu per satu, merasakan kain lembut itu di antara jemarinya. Ia memakainya dengan susah payah, setiap kancing dan ikatan terasa seperti belenggu baru. Kain yang lembut itu terasa aneh dan menjijikkan di kulitnya, setiap jahitan seolah menancap pada harga dirinya, mengikis sisa-sisa maskulinitasnya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin, sosok yang berdiri di sana nyaris tak dikenali, siluet perempuan samar yang menatapnya dengan mata kosong, sebuah cerminan dari dirinya yang akan segera tiada.

 

Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka tanpa suara. Bukan Ko Min Aung, melainkan seorang pria berbadan kekar yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi, masuk dan berdiri di ambang pintu. Pria itu memberi isyarat dengan dagunya ke arah pintu, mengindikasikan Andi harus mengikutinya. Tidak ada pilihan lain selain patuh. Kebebasan untuk menolak sudah lama direnggut darinya. Andi mengikuti langkah pria itu, menyusuri koridor panjang yang hening, melewati pintu-pintu lain yang tertutup rapat, dan sejumlah pria bersetelan hitam yang berjaga di setiap sudut. Setiap langkah mereka di lantai marmer itu bergaung, menambah kesan sunyi dan mencekam. Atmosfer di dalam kediaman ini terasa berat, seolah udara pun dipenuhi oleh rahasia dan ancaman yang tak terucap, sebuah tekanan tak terlihat yang menghimpit jiwanya.

 

Saat melewati beberapa area kompleks, Andi merasakan tatapan mata para staf dan penjaga yang bekerja di sana. Ia menjadi pusat perhatian bagi setiap pasang mata yang dilaluinya. Bisikan-bisikan samar terdengar, diiringi tatapan-tatapan penasaran, keheranan, dan beberapa di antaranya bahkan jijik. Mereka mungkin tahu, atau setidaknya menduga, apa yang sedang terjadi padanya, bagaimana seorang pemuda kini diubah menjadi objek. Setiap pasang mata itu adalah cambuk yang mencambuk jiwanya, memperkuat rasa malu, rasa terasing, dan putus asa yang membara di dalam dirinya. Ia merasa seperti binatang tontonan, sebuah hiburan bagi orang-orang yang melihatnya.

 

Perjalanan itu berakhir di sebuah pintu baja yang terlihat tidak biasa, tersembunyi di salah satu bagian paling terpencil dari kompleks. Pintu itu terbuka, menyingkap sebuah ruangan yang sangat steril, memancarkan bau antiseptik yang menusuk hidung. Ini adalah klinik pribadi Ko Min Aung, sebuah fasilitas medis lengkap yang tersembunyi di dalam kediaman itu, dirancang untuk tujuan yang mengerikan. Dindingnya putih bersih, alat-alat medis berkilauan di bawah cahaya lampu neon yang terang, menciptakan suasana dingin dan impersonal, seolah tak ada kehidupan yang pernah ada di sana, hanya prosedur dan proses.

 

Di dalam, menunggu seorang dokter pribadi yang mukanya dingin dan seorang perawat yang datar ekspresinya. Mereka mengenakan jas lab putih bersih, tatapan mereka profesional namun tanpa sedikit pun kehangatan atau empati, seolah Andi hanyalah pasien biasa yang sedang menjalani perawatan rutin, atau lebih tepatnya, sebuah subjek eksperimen yang tidak memiliki perasaan. Gak ada penjelasan ramah, cuma instruksi tegas sama perintah yang harus diturutin. Setiap gerakan mereka terkesan efisien, tanpa basa-basi, tanpa sentuhan manusiawi.

 

"Duduk," perintah dokter itu dengan suara datar, menunjuk sebuah kursi berlengan di tengah ruangan yang terbuat dari bahan kulit dingin. Andi menurut, duduk dengan kaku, tangannya terkepal erat di pangkuan, berusaha mengumpulkan kekuatan terakhirnya. Perawat segera mendekat, tangannya menarik lengan Andi dengan cekatan, menyingkapkan kulitnya yang putih.

 

Andi merasakan denyutan di nadinya saat perawat menyiapkan peralatan. Jarum suntik yang dingin menusuk kulitnya di lipatan siku, sebuah tusukan kecil yang terasa seperti menembus jiwanya, menguras sisa-sisa harapan. Perawat itu mengambil sampel darah, cairan merah kental yang kini terasa asing keluar dari tubuhnya, seolah sebagian dari dirinya telah direnggut, diambil paksa. Setelah itu, dengan gerakan yang terlatih dan tanpa emosi, perawat menyuntikkan cairan aneh berwarna bening ke tubuhnya. Cairan itu terasa dingin saat masuk, lalu perlahan menyebar, menimbulkan sensasi aneh yang tak bisa ia jelaskan, sebuah perasaan asing yang mulai menjalar di dalam dirinya, seperti racun yang pelan-pelan mengubah dirinya dari dalam.

 

Dokter itu menatap Ko Min Aung, yang berdiri tak jauh dari Andi, mengamati setiap detail prosedur, seolah memastikan tidak ada yang terlewat. "Dosis awal, sesuai rencana," kata dokter itu, laporannya singkat dan lugas, seolah membicarakan tentang sebuah formula kimia yang akan menghasilkan reaksi tertentu.

 

Ko Min Aung mengangguk kecil, ekspresi puas terselip di matanya. "Pastikan progresnya optimal. Aku ingin hasilnya segera terlihat, tanpa mengganggu jadwal. Ingat, efisiensi adalah kunci."

 

Andi menyadari, ini adalah awal dari terapi hormonal dosis tinggi, langkah pertama yang brutal dan tak terhindarkan dalam transformasi paksa jadi "Isabella." Badan Andi berasa tegang, ngerasain sensasi aneh yang mulai nyebar di dalem dirinya, sebuah kebingungan kimiawi yang meresap ke setiap selnya, mengubah komposisi tubuhnya dari dalam. Ini adalah tanda kalau dirinya yang lama pelan-pelan mulai terkikis, sebuah proses internal yang tak bisa ia cegah, yang akan menghapus esensinya. Dia berasa gak berdaya banget, kayak boneka yang dimanipulasi, tubuhnya bukan lagi miliknya sendiri, melainkan laboratorium berjalan bagi obsesi Ko Min Aung, sebuah objek yang akan dipahat sesuai keinginan sang seniman gila.

 

Setelah prosedur di klinik selesai, Andi tidak dibawa kembali ke kamarnya. Ko Min Aung memberi isyarat lain, dan Andi kembali digiring oleh pria kekar itu menuju bagian lain dari kompleks yang belum pernah ia lihat, sebuah tempat yang tampak lebih terang namun sama-sama mencekam. Kali ini, mereka memasuki sebuah ruangan yang lebih cerah, dengan banyak cermin besar yang memantulkan cahaya lampu, dan peralatan salon modern yang tersusun rapi. Ini adalah salon pribadi Ko Min Aung, sebuah fasilitas lain yang menunjukkan betapa komprehensifnya "proyek" ini.

 

Seorang penata rambut dan seorang ahli kecantikan sudah menunggu di sana, wajah mereka profesional namun juga tanpa ekspresi, seperti robot yang siap menjalankan perintah. Tidak ada sapaan hangat, hanya arahan-arahan yang singkat dan langsung pada intinya. Andi didudukkan di kursi salon yang empuk, namun ia tidak merasakan kenyamanan sedikit pun. Sebaliknya, ia merasa seperti akan disembelih.

 

"Rambut akan dipelihara," perintah ahli kecantikan itu, suaranya monoton, menunjuk rambut Andi yang berantakan. "Alis akan dirapikan. Kuku-kuku akan dirawat."

 

Andi merasakan sentuhan dingin alat-alat di wajahnya saat alisnya mulai dirapikan. Setiap cabutan terasa seperti mencabut sehelai identitasnya, sebuah proses yang menyakitkan namun harus ia terima. Lalu, kuku-kukunya mulai dibersihkan dengan teliti dan diwarnai dengan cat kuku berwarna merah muda pucat. Warna itu tampak begitu asing dan mencolok di jemarinya yang biasanya kasar karena pekerjaan manual, sebuah warna yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan akan ia kenakan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, melihat transformasi yang mulai terjadi, perlahan tapi pasti, sebuah perubahan yang ia benci namun tak bisa ia hentikan.

 

Kemudian, ahli kecantikan itu memegang telinga Andi, membersihkannya dengan kapas. Andi tidak mengerti sepenuhnya apa yang akan terjadi selanjutnya sampai ia merasakan sensasi menusuk yang tajam di daun telinganya. Rasa sakit yang singkat namun nyata itu membuatnya tersentak, mata terpejam rapat. Ia membuka matanya, dan melihat anting-anting kecil yang berkilauan kini terpasang di telinganya.

 

Andi menyentuh anting itu dengan jari-jari gemetar. Benda kecil itu terasa dingin dan asing di kulitnya, namun kehadiran anting itu adalah simbol yang sangat jelas: ia sedang diubah, direkonstruksi, inci demi inci. Setiap detail, setiap perubahan kecil pada tubuhnya, adalah langkah menuju penghapusan Andi yang dulu, dan pembentukan Isabella yang baru, sebuah ciptaan dari obsesi Ko Min Aung.

 

Ia memandang pantulan dirinya di cermin, sebuah sosok yang semakin hari semakin jauh dari dirinya yang asli. Rambutnya yang mulai dirapikan, alis yang melengkung feminin, kuku yang diwarnai, dan anting yang berkilauan. Pakaian perempuan yang ia kenakan. Tubuhnya yang terasa aneh dan mulai merespons pil hormonal yang telah disuntikkan. Semua itu adalah tanda-tanda yang tak terhindarkan, sebuah takdir yang telah digariskan. Dia telah menjadi boneka, sebuah mahakarya yang sedang dibentuk, dan setiap langkah dalam proses ini terasa seperti penyiksaan yang pelan dan sistematis, mengikis jiwanya. Ia tidak tahu lagi berapa lama ia bisa bertahan, atau apakah ia akan mengenali dirinya sendiri di akhir perjalanan ini. Perasaan horor dan ketidakberdayaan mencengkeramnya, mengetahui bahwa tubuhnya, esensinya, kini berada di bawah kendali orang lain, sebuah kepemilikan yang mutlak dan mengerikan.

  

Hari-hari mulai melebur menjadi satu siklus kengerian yang monoton bagi Andi, atau kini, Isabella. Terapi hormonal yang dimulai beberapa waktu lalu hanyalah permulaan. Setelah serangkaian prosedur menyakitkan di klinik dan salon pribadi Ko Min Aung, yang mengubah penampilannya sedikit demi sedikit, kini ia harus menghadapi bentuk kontrol lain yang lebih fundamental: kendali atas setiap asupan makanan yang masuk ke tubuhnya. Ini adalah siksaan yang lebih halus, namun tak kalah brutal.

 

Selain efek terapi hormonal yang terus bekerja, aturan diet ketat dan jadwal makan yang diatur secara presisi diberlakukan buat Isabella. Tidak ada lagi kebebasan untuk memilih, tidak ada lagi kenyamanan yang ditemukan dalam hidangan sederhana yang dulu ibunya sajikan. Setiap kali makan, ia harus duduk di meja makan yang besar dan mewah di ruang makan utama, sendirian, di bawah pengawasan ketat. Ko Min Aung tidak selalu hadir, tapi aura kehadirannya terasa di setiap sudut ruangan, di setiap tatapan pengawas yang diam-diam mengawasinya. Isabella selalu mengenakan pakaian perempuan, gaun-gaun sutra tipis atau blus dan rok yang terasa asing di tubuhnya.

 

Makanan yang disajikan rasanya hambar dan porsinya kecil banget. Bukan makanan yang lezat atau bervariasi. Hanya nasi dalam jumlah terbatas, potongan sayuran rebus tanpa bumbu, dan sesekali sepotong kecil daging tanpa lemak. Beda jauh sama kebiasaan makan Andi di desa yang sederhana tapi ngenyangin, yang penuh dengan cita rasa masakan ibunya. Di sini, makanan adalah alat, bukan sumber kenikmatan atau kehidupan. Tiap asupan kalori dan nutrisi dihitung dan diawasi ketat sama pengasuh Ko Min Aung, seorang wanita paruh baya dengan tatapan dingin dan buku catatan di tangannya. Dia memastikan tubuh Isabella mengikuti kurva yang dia mau, kurva yang entah akan membawanya ke bentuk seperti apa.

 

Setiap pagi, siang, dan malam, ritual yang sama terulang. Isabella dipaksa duduk di hadapan piring yang hampir kosong, dipaksa menelan setiap suapan tanpa protes. Rasa lapar menjadi teman setianya, menggerogoti perutnya terus-menerus. Ia sering merasa pusing dan lemah, akibat kurangnya asupan kalori yang memadai untuk tubuhnya yang mulai mengalami perubahan drastis. Tubuhnya yang dulu ramping kini terasa semakin kurus, seolah mengering dari dalam.

 

Tiap penolakan atau males makan selalu dibalas sama ancaman dingin yang mematikan. Pengasuh itu tidak pernah meninggikan suara, namun setiap kata-katanya menusuk langsung ke inti ketakutan Isabella. "Apakah kau ingin keluargamu kelaparan, Isabella? Atau lebih buruk lagi?" Sebuah pertanyaan retoris yang selalu mengunci Isabella dalam kepatuhan.

 

Kadang, untuk menegaskan ancaman itu, Ko Min Aung akan muncul, entah dari mana. Dengan isyarat tangannya, salah satu anak buahnya akan menyalakan layar besar di ruang makan. Di layar itu, Isabella akan melihat rekaman video yang berbeda dari sebelumnya, rekaman yang menunjukkan kondisi orang tuanya yang makin parah. Terlihat bapaknya terbatuk-batuk lemah, ibunya yang kurus duduk lesu di bangku, gubuk mereka yang semakin reyot, seolah berada di ambang kehancuran. Pemandangan itu adalah pukulan telak yang membuat Isabella nelen ludah, menahan setiap suapan yang terasa seperti pasir di lidahnya.

 

Rekaman-rekaman itu memastikan Isabella tetep nurut dan nelen tiap suapan, bahkan ketika tenggorokannya tercekat oleh air mata atau rasa mual. Kontrol atas tubuhnya berasa mutlak, sebuah tirani yang tak terlihat. Isabella tidak punya apa-apa lagi selain kepatuhan yang dipaksain. Ia adalah boneka hidup yang digerakkan oleh tali ancaman, sebuah tawanan yang satu-satunya harapan adalah ketaatan.

 

Selain makanan, setiap aspek hidup Isabella dikontrol. Waktu tidurnya diatur, waktu mandi, bahkan waktu untuk sekadar duduk merenung di kamarnya. Ia tidak diizinkan membaca buku, atau menonton televisi, apalagi berbicara dengan staf lain. Hidupnya adalah rutinitas yang diatur dengan presisi militer, hanya ada latihan, prosedur, dan diet. Kebosanan yang mencekik bercampur dengan ketakutan yang konstan.

 

Suatu sore, saat Isabella sedang makan siang dengan enggan di ruang makan, Ko Min Aung masuk ditemani dua orang anak buahnya. Mereka berdiri mengawasi saat Isabella dengan susah payah menelan nasi hambar. Ko Min Aung menghampirinya, dagunya terangkat sedikit, menilai penampilannya dari ujung kepala hingga kaki. Isabella mengenakan gaun tidur sutra berwarna pucat.

 

"Bagaimana makananmu, Isabella-ku?" tanya Ko Min Aung, suaranya dibuat lembut namun mengandung nada kepemilikan yang tak terbantahkan.

 

Isabella hanya menunduk, tidak berani menatap matanya. Ia hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

 

Ko Min Aung tiba-tiba meraih dagu Isabella, mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu. Tatapan Ko Min Aung intens, membuat Isabella membeku ketakutan. Di depan kedua anak buahnya yang berdiri tegak mengawasi, Ko Min Aung mencondongkan tubuhnya dan mencium bibir Isabella dengan lembut namun posesif. Ciuman itu singkat, namun cukup untuk mengirimkan pesan yang jelas tentang kekuasaannya.

 

"Kau harus menjaga dirimu baik-baik, Isabella," kata Ko Min Aung setelah melepaskan ciumannya, senyum tipis bermain di bibirnya. "Ingatlah, kau adalah investasi berhargaku." Ia lalu mengusap pipi Isabella dengan punggung tangannya, gerakan yang lebih mirip memeriksa kualitas barang daripada sentuhan kasih sayang.

 

Setelah itu, Ko Min Aung berbalik kepada anak buahnya. "Pastikan Isabella mendapatkan semua 'perawatannya' sesuai jadwal. Dan ingatkan dia tentang konsekuensinya jika ia tidak patuh," perintahnya dengan nada dingin. Ia kemudian melangkah keluar ruangan, meninggalkan Isabella yang terpaku di kursinya, merasakan jijik dan keputusasaan yang semakin dalam. Perlakuan Ko Min Aung di depan anak buahnya adalah penegasan yang menyakitkan tentang statusnya: ia bukan lagi Andi, melainkan seorang perempuan yang dimiliki sepenuhnya oleh pria itu.

 

Setiap hari adalah perjuangan. Perjuangan melawan rasa lapar yang melilit. Perjuangan melawan mual yang kadang muncul akibat terapi hormonal. Perjuangan melawan bayangan wajah orang tuanya yang tersiksa di layar. Dan perjuangan melawan dirinya sendiri, melawan amarah dan keinginan untuk memberontak yang terus membara di dalam hatinya, namun selalu padam oleh ketakutan.

 

Isabella hanya bisa nelen ludah, nahan rasa laper yang terus-terusan dan gejolak batin yang makin gak ketahan. Ia sering menghabiskan malam-malamnya dengan perut kosong, berbaring di ranjang mewah itu, memikirkan desa asalnya. Memikirkan bau masakan ibunya, suara tawa bapaknya, kebebasan sederhana yang dulu ia miliki. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang sangat jauh, bagian dari kehidupan yang telah mati.

 

Ia merasa terpecah belah, jiwanya meronta, namun tubuhnya dipaksa tunduk. Hormon-hormon itu bekerja, mengubahnya dari dalam. Diet ketat itu menguras kekuatannya. Ancaman-ancaman itu mengunci pikirannya. Ia tahu, setiap hari ia semakin jauh dari Andi yang ia kenal, dan semakin dekat dengan Isabella, "mahaka karya hidup" yang sedang diciptakan oleh Ko Min Aung.

 

Ia tak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Setiap suapan makanan hambar, setiap jam terapi, setiap ancaman, adalah langkah kecil menuju kehancuran total dirinya. Ia hanya bisa menahan napas, menanti hari-hari yang akan datang, berharap entah bagaimana, keajaiban akan datang membebaskannya dari neraka emas ini. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu, tak ada keajaiban yang akan datang. Hanya ada kegelapan, dan kendali mutlak yang tak akan pernah berakhir.


BERSAMBUNG

 

 

Lelaki Lembut Yang Di Jadikan Waria

Bab 1: Fino dan Dinding Kaca Angin Bandung sore itu berembus pelan, membawa aroma petrikor yang baru saja membasahi aspal Jalan Cihampelas...