Pintu terbuka tanpa suara, dan Ko Min Aung muncul dari balik bayangan. Ia tidak mengenakan jubah mewah atau setelan sutra seperti biasa, melainkan jubah mandi satin gelap yang mengalir, menambah kesan akrab yang justru terasa lebih mengintimidasi. Tatapan matanya, yang selalu setajam pisau, kini memancarkan intensitas yang berbeda, sebuah campuran antara penilaian dingin dan sesuatu yang lebih pribadi, lebih menyeramkan. Andi, yang baru saja selesai ritual malamnya dan mengenakan daster lengkap dengan pakaian dalam, merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia berdiri di tengah ruangan, punggungnya lurus, tangan terkepal samar di samping tubuh, sebuah pertahanan yang sia-sia di hadapan kekuasaan mutlak pria itu.
Ko Min Aung melangkah masuk, langkahnya pelan dan berirama, seolah ia sedang melakukan sebuah ritual suci. Ia tidak berbicara, hanya mengamati. Tatapannya menelusuri setiap inci tubuh Andi, dari ujung rambut yang mulai memanjang melewati bahunya, menuruni lekuk lehernya yang ramping, melintasi bahunya yang kini lebih lembut, hingga ke kaki jenjang yang terlihat di balik belahan daster yang ia kenakan. Ini bukan sentuhan fisik yang vulgar, melainkan tatapan dingin yang membuat Andi merasa telanjang dan dieksploitasi secara emosional dan psikologis. Dia dipaksa berdiri tegak, membiarkan tatapan menilai itu merasukinya, sebuah mikroskop tak kasat mata yang memeriksa setiap perubahan pada dirinya.
Setiap napas terasa berat, setiap detik terasa seperti jam. Andi merasakan pori-pori kulitnya merinding, seolah tatapan itu memiliki wujud fisik yang merayapi dirinya. Rasa mual samar muncul di perutnya, efek kombinasi antara rasa lapar yang kronis dan ketakutan yang melumpuhkan. Ko Min Aung mengitari Andi perlahan, seperti seorang seniman yang mengagumi patung hasil karyanya, mengamati dari berbagai sudut, memastikan setiap detail sesuai dengan visinya. Keheningan di antara mereka adalah beban yang nyaris tak tertahankan, dipenuhi oleh gemuruh detak jantung Andi yang memburu dan desiran napas Ko Min Aung yang teratur.
"Punggungmu," suara Ko Min Aung akhirnya memecah keheningan, pelan namun menusuk, seperti benang sutra yang mengikat dan mencekik. "Semakin melengkung. Posturmu... mulai menampilkan keanggunan. Itu bagus." Setiap pujian yang keluar dari bibirnya terasa seperti kutukan, sebuah konfirmasi bahwa proses dehumanisasi dirinya berjalan sesuai rencana pria itu. Andi hanya bisa berdiri diam, menahan rasa jijik dan kehinaan yang membanjiri jiwanya. Momen itu lebih dari sekadar pemeriksaan fisik; itu adalah penegasan kekuasaan Ko Min Aung atas dirinya, membuat Andi merasa lebih rendah dari sekadar benda, sebuah objek yang bisa dibentuk dan dipahat sesuai kehendak sang pemilik.
Ko Min Aung berhenti di depan Andi. Tatapannya kini naik ke wajahnya, menelisik matanya yang dipenuhi ketakutan. "Matamu... masih ada jejak perlawanan di sana. Tapi itu akan pudar, Isabella. Percayalah." Ia mengangkat tangannya perlahan, membuat Andi tanpa sadar sedikit tersentak, namun tak ada sentuhan yang datang. Jari-jari Ko Min Aung hanya melayang di udara, beberapa inci dari wajah Andi, seolah ia sedang mengukur jarak, atau menimbang potensi.
"Rambutmu," lanjut Ko Min Aung, suaranya kini terdengar lebih reflektif, seolah ia berbicara pada dirinya sendiri. "Perlu perawatan lebih lanjut. Aku menginginkan kilau alami, kelembutan, yang akan membingkai wajahmu dengan sempurna."
Ia kemudian meraih sebuah sisir perak yang tergeletak di meja samping ranjang, dan tanpa berkata apa-apa, ia mulai menyisir rambut Andi. Gerakannya lembut, namun setiap tarikan sisir terasa seperti menarik jiwa Andi, mengikatnya lebih erat pada takdir barunya. Andi memejamkan mata, menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Bau sampo mahal yang menempel di rambutnya, sentuhan jari-jari Ko Min Aung yang sesekali menyentuh kulit kepalanya, semuanya terasa asing dan menjijikkan. Ia adalah boneka, dan Ko Min Aung adalah dalangnya, yang tak hanya menggerakkan tubuhnya, tetapi juga membentuk setiap helai rambutnya.
Setelah beberapa menit yang terasa tak berujung, Ko Min Aung meletakkan sisir itu. Ia kembali mengitari Andi sekali lagi, mengakhiri inspeksinya. "Pakaian ini... juga cocok untukmu. Menyoroti garis tubuhmu yang mulai terbentuk."
Tiba-tiba, Ko Min Aung berhenti di belakang Andi. Isabella merasakan napas hangat pria itu di lehernya, sebuah sensasi yang membuat seluruh bulu kuduknya merinding. Tanpa peringatan, Ko Min Aung menunduk dan mencium bagian belakang leher Andi, sebuah sentuhan singkat namun penuh kepemilikan yang menegaskan posisinya sebagai seorang wanita. Tubuh Andi menegang, namun ia tidak bisa bergerak.
"Kau sempurna, Isabella," bisik Ko Min Aung, suaranya dalam dan penuh kemenangan. "Atau setidaknya, kau akan segera sempurna. Aku melihatnya. Potensinya ada di dalam dirimu."
Kemudian, Ko Min Aung melangkah ke samping Andi, memegang dagunya dan mengangkat wajahnya sekali lagi. Matanya menatap intens, sebuah kilatan hasrat yang tak salah lagi terlihat. Tanpa sepatah kata, ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Andi, sebuah ciuman yang dalam dan penuh dominasi, yang menegaskan kembali kendalinya. Isabella tidak membalas, tubuhnya kaku, tetapi Ko Min Aung tidak peduli. Ia terus menciumnya, menuntut, hingga Isabella merasa napasnya tercekat.
Setelah ciuman itu berakhir, Ko Min Aung menarik diri. Sebuah senyum puas terpampang di wajahnya. "Ingat, Isabella," katanya, suaranya kembali ke nada perintah yang dingin. "Setiap hal yang kulakukan, setiap perubahan yang kau alami, adalah untuk kebaikanmu. Dan kebaikan keluargamu." Ia menekankan kata "keluargamu", sebuah pukulan telak yang memastikan Andi akan tetap patuh.
Ko Min Aung lalu berbalik, mengambil satu langkah menuju pintu. Sebelum ia keluar, ia menoleh ke arah Andi, tatapannya menyapu sekali lagi, seolah memastikan bahwa pesannya telah tersampaikan. "Mulai besok, Isabella," katanya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi, "teruslah belajar menjadi wanitaku. Jadilah kanvas yang sempurna untukku."
Pintu kamar tertutup dengan keheningan yang menakutkan, meninggalkan Andi sendirian dalam kegelapan. Tubuhnya masih gemetar. Rasa jijik dan kehinaan membanjiri dirinya. Setiap kata Ko Min Aung, setiap sentuhan tatapannya, setiap ciuman yang dipaksakan, adalah belenggu tak terlihat yang mengikatnya. Ia menyentuh bibirnya, merasakan jejak ciuman itu, dan sebuah gelombang mual melanda. Ia terperosok ke lantai, meringkuk, merasakan jiwanya terkoyak. Andi telah mati. Yang tersisa hanyalah Isabella, sebuah boneka yang sedang dibentuk, yang akan hidup untuk memenuhi fantasi mengerikan sang pemilik. Ia hanya bisa menangis tanpa suara, di tengah kegelapan yang terasa semakin dingin dan tanpa harapan, menantikan hari esok yang akan membawa lebih banyak "pelajaran" untuknya, pelajaran yang akan semakin menghapus identitasnya yang dulu.
Waktu terus merangkak, membawa serta perubahan yang tak terhindarkan bagi Andi, atau Isabella, seiring jarum jam yang seolah ikut membelenggunya dalam kemewahan yang menyesakkan. Setiap dentingan detik adalah langkah maju dalam proses transformasinya, sebuah perjalanan tanpa tujuan yang ia pilih sendiri, namun kini tak bisa ia hentikan. Kini, lebih dari sekadar ancaman atau tatapan dingin Ko Min Aung, adalah tubuhnya sendiri yang menjadi medan pertempuran, cerminan dari identitas yang sedang terkikis.
Beberapa minggu berlalu sejak suntikan pertama terapi hormonal itu. Efeknya, yang sebelumnya hanya berupa bisikan samar di dalam tubuhnya, kini mulai berteriak lantang, memanifestasikan diri sebagai sensasi-sensasi nyata yang tak bisa lagi diabaikan. Ada denyutan aneh di dadanya, seperti tunas yang memaksa tumbuh, menekan kulitnya dari dalam. Sensasi ini bukan nyeri yang menusuk, melainkan tekanan konstan, rasa penuh yang asing. Perutnya sering terasa tidak nyaman, seolah organ-organ di dalamnya sedang diatur ulang, bergeser dari tatanan yang biasa ia kenal. Ini bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga perasaan internal yang mengganggu keseimbangan tubuhnya. Pakaian lamanya yang maskulin, kaos-kaos yang dulu nyaman membalut tubuhnya, kini terasa berbeda. Ada area yang terasa sesak, terutama di bagian dada, seolah ada gumpalan yang perlahan membesar di balik kain. Dan di pinggulnya, kain terasa sedikit menarik, seolah ada peregangan halus yang tak kasat mata, indikasi awal dari pelebaran tulang panggul yang tak ia harapkan. Setiap serat kain menjadi pengingat yang menyakitkan akan perubahan yang tak diinginkan ini, sebuah pakaian yang dulunya merupakan cerminan diri, kini terasa seperti kurungan yang terlalu ketat.
Setiap pagi, di depan cermin besar berbingkai emas di kamarnya, Andi dihadapkan pada bayangan yang perlahan asing. Wajahnya, yang dulu memiliki ketajaman maskulin dengan garis rahang yang tegas dan alis tebal, kini mulai kehilangan kekhasan itu. Sudut-sudutnya menjadi lebih lembut, tulang pipinya sedikit menonjol, memberikan kesan lebih bulat dan halus. Kulitnya terasa lebih halus, nyaris tanpa pori-pori yang dulu terlihat jelas, dan warnanya pun tampak lebih cerah, seolah lapisan maskulinitasnya mengelupas, digantikan oleh sesuatu yang lebih rapuh, lebih feminin. Di bawah matanya, lingkaran hitam samar seringkali terlihat, bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan untuk meratapi nasibnya dan memikirkan keluarga. Ini adalah awal dari mimpi buruk yang menjadi nyata, sebuah metamorfosis paksa yang mengikis identitas aslinya inci demi inci, membuatnya merasa seperti makhluk yang sedang dibentuk ulang tanpa kehendaknya, sebuah entitas baru yang ia benci dan tak ia kenali.
Ia memutar tubuhnya di depan cermin, mengamati lekuk-lekuk yang belum terlalu jelas namun sudah bisa ia rasakan. Dada yang dulu rata kini terasa sedikit membengkak, terasa lembut saat disentuh, sebuah sensasi yang membuat merinding dan jijik secara bersamaan. Itu adalah awal dari pertumbuhan payudara, sebuah kenyataan mengerikan yang tak pernah ia bayangkan. Pinggulnya terasa lebih berisi, memberikan kesan siluet yang berbeda dari apa yang biasa ia lihat, seolah tubuhnya sedang membentuk kurva yang secara alami tidak ia miliki. Setiap perubahan, sekecil apapun, adalah pukulan telak bagi jiwanya. Ia ingin berteriak, ingin memukul cermin itu hingga pecah berkeping-keping, menghancurkan bayangan yang menyiksanya, namun ia hanya bisa berdiri diam, menahan napas, menatap nanar pada dirinya yang sedang bertransformasi, sebuah pemandangan yang terasa seperti adegan dari mimpi buruk.
Rasa kehilangan mendalam menyelimuti dirinya. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang sedang sekarat, terenggut paksa, digantikan oleh sesuatu yang tidak ia inginkan. Setiap perubahan fisik ini adalah pengingat konstan akan kehilangannya, akan dirinya yang dulu, Andi, seorang pria muda dari desa dengan mimpi sederhana untuk membantu keluarganya. Kini, semua itu hanya menjadi kenangan, terkubur di bawah lapisan identitas baru yang dipaksakan. Ia mencoba mengingat detail wajah aslinya, suara aslinya, cara ia bergerak saat masih bebas, namun ingatan itu terasa semakin kabur, tertimpa oleh citra Isabella yang terus-menerus dipaksakan.
Keberadaan Ko Min Aung, meskipun tidak selalu terlihat, terasa di setiap detik perubahan ini. Dialah arsitek di balik semua ini, sang "seniman" yang sedang memahat "mahaka karya hidupnya". Isabella adalah proyeknya, dan Andi adalah bahan mentahnya yang sedang dibentuk, tanpa hak untuk menolak, tanpa hak untuk memiliki kehendak. Kontrol Ko Min Aung tidak hanya terbatas pada makanan atau jadwal tidur, tetapi telah merasuk ke dalam sel-sel tubuhnya, mengubah esensi dirinya. Ia adalah pencipta yang kejam, yang membentuk sesuatu dari ketiadaan, dan Andi adalah ciptaannya yang tak berdaya.
Di siang hari, saat menjalani "pelatihan" yang semakin intens, yang mencakup pelajaran tentang cara berjalan anggun dengan langkah-langkah kecil, cara berbicara dengan nada yang lebih tinggi dan suara yang lebih lembut, serta etika duduk layaknya seorang wanita bangsawan dengan kaki merapat dan punggung tegak, Isabella merasa semakin terjebak dalam perangkap ini. Setiap gerakan yang ia lakukan, setiap kata yang ia ucapkan, terasa palsu, sebuah akting yang menyakitkan. Instruktur yang ditugaskan Ko Min Aung, wanita-wanita berwajah kaku yang tak pernah tersenyum, memastikan setiap gerakan dan ekspresinya sesuai dengan citra yang diinginkan. "Angkat dagumu, Isabella. Berjalanlah dengan anggun, seolah kau melayang di atas air," begitu selalu instruksi yang ia dengar, diulang-ulang hingga kalimat itu mengukir dirinya di benaknya, menghapus pola gerakan maskulin yang dulu. Bahkan cara memegang sendok, cara mengangkat cangkir teh, semuanya harus diubah, disesuaikan dengan standar "keanggunan" yang absurd itu.
Malam hari, setelah semua "pelatihan" dan diet ketat yang menguras energi, Isabella sering terbangun dengan rasa sakit yang aneh di sekujur tubuhnya, bukan sakit otot karena latihan, melainkan sakit yang lebih dalam, seperti tulang-tulangnya sedang direkonstruksi ulang, meregang dan bergeser. Sensasi itu, dikombinasikan dengan efek hormon yang memicu emosi yang tak stabil seperti gelombang kesedihan atau kemarahan yang tiba-tiba, membuat malam-malamnya menjadi siksaan tanpa tidur. Ia sering terisak tanpa suara di bawah selimut sutra yang mewah, air mata mengalir membasahi bantal, meratapi nasibnya, merindukan kebebasan yang dulu ia miliki di desa, di bawah atap gubuk sederhana yang kini terasa seperti surga yang tak terjangkau.
Di tengah semua penderitaan ini, satu hal yang terus menghantuinya adalah ingatan akan keluarganya. Setiap kali Ko Min Aung menampilkan video orang tuanya yang semakin lemah di layar, tubuh bapaknya yang semakin kurus, batuk ibunya yang terdengar lebih parah, gubuk mereka yang reyot diterpa angin, rasa bersalah dan ketakutan akan nasib mereka mengunci setiap gerak-gerik perlawanan dalam dirinya. Ia adalah tumbal, harga yang harus dibayar demi keselamatan orang-orang yang ia cintai. Pikiran itu adalah belenggu paling kuat, yang membuat ia terus bertahan, meskipun setiap sel tubuhnya berteriak menolak, meskipun ia merasa dirinya semakin hancur. Ia rela hancur demi mereka, setidaknya itulah yang ia coba yakinkan pada dirinya sendiri.
Isabella menyentuh wajahnya lagi, merasakan kelembutan yang dulu tidak ada. Ia mencoba menemukan jejak Andi, jejak laki-laki yang dulu ia kenal, di dalam bayangan asing di cermin. Tapi semakin ia mencari, semakin ia menyadari bahwa Andi semakin pudar, terlarut dalam ilusi yang diciptakan Ko Min Aung. Ia kini hanyalah sebuah proyek, sebuah kanvas yang sedang disempurnakan, dan setiap perubahan adalah langkah menuju finalisasinya, menjadi Isabella seutuhnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ketika proses ini selesai, atau apakah ia akan tersisa di dalam diri Isabella yang baru. Hanya ada kehampaan, dan ketakutan akan hilangnya dirinya yang sejati, tenggelam dalam lautan kendali Ko Min Aung yang tak berujung.
Setelah berminggu-minggu merasakan perubahan internal yang menggerogoti, kini tiba giliran tubuh Andi yang dipaksa tunduk pada kehendak Ko Min Aung melalui serangkaian latihan fisik yang merendahkan. Jika terapi hormonal adalah racun yang bekerja dari dalam, maka latihan ini adalah rantai tak kasat mata yang mengikatnya dari luar, membentuknya menjadi cetakan yang diinginkan. Rutinitas harian Isabella semakin berat, bukan hanya karena diet ketat dan efek samping hormon, tetapi juga karena tuntutan fisik yang kejam.
Seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam legam yang digulung rapi dan mata tajam yang jarang berkedip tiba di kediaman mewah itu beberapa hari yang lalu. Namanya Mrs. Naomi, seorang instruktur yang diimpor langsung dari Jepang, dengan reputasi kejam dan metode pelatihan yang tak kenal ampun. Aura disiplin dan kesempurnaan terpancar kuat darinya, membuat Isabella merasakan gelombang ketakutan baru merayapi dirinya. Mrs. Naomi tidak banyak bicara, tapi setiap gerakannya presisi, setiap tatapannya dingin dan menilai, seolah ia adalah robot yang diprogram khusus untuk mengikis sisa-sisa maskulinitas dari tubuh Andi.
Latihan ini dilakukan di sebuah aula besar yang dilapisi cermin di salah satu sayap kediaman. Lantainya terbuat dari marmer dingin, memantulkan setiap gerakan Andi yang canggung. Setiap pagi, setelah sarapan yang hambar dan minim kalori, Isabella dipaksa berdiri di hadapan Mrs. Naomi, mengenakan pakaian latihan yang dirancang khusus: celana ketat dari bahan licin dan atasan yang membentuk tubuh, semuanya berwarna netral agar tidak menarik perhatian dari gerakannya. Pakaian itu terasa asing dan memalukan di kulitnya.
"Posturmu, Isabella," suara Mrs. Naomi terdengar datar, nyaris tanpa emosi, namun mengandung otoritas mutlak yang tak bisa dibantah. "Kau adalah seorang wanita sekarang. Berlatihlah untuk bergerak layaknya seorang perempuan."
Lalu dimulailah siksaan itu. Isabella harus berlatih berjalan dengan anggun, langkah demi langkah, tumit menyentuh lantai terlebih dahulu, diikuti oleh ujung kaki, dengan pinggul yang berayun lembut dan bahu yang santai. Ini sangat berbeda dengan langkah lebar dan tegap yang dulu ia miliki sebagai seorang pria yang terbiasa bekerja keras di ladang. Setiap gerakan yang dianggap "maskulin" akan diperbaiki dengan teguran keras. Mrs. Naomi tidak segan menggunakan tongkat tipis panjang, ujungnya terbuat dari kayu yang keras, untuk mengetuk lutut Andi jika ia berjalan terlalu kaku, atau menyentuh punggungnya jika ia membungkuk sedikit saja. "Tegakkan punggungmu! Bayangkan ada benang yang menarik kepalamu ke atas!" teriaknya, meskipun nadanya tetap datar, tidak meninggikan suara.
Duduk juga menjadi sebuah ritual. Isabella harus belajar duduk dengan sopan, kaki merapat, punggung lurus, tangan bertumpu anggun di pangkuan. Ia tidak diizinkan menyilangkan kaki atau merenggangkan lutut. Mrs. Naomi akan memperhatikan setiap detail, setiap otot yang tegang, setiap ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan. "Seorang wanita sejati tidak akan menunjukkan ketidaknyamanan, Isabella. Dia akan menjadi anggun dalam setiap posisi," komentar Mrs. Naomi, suaranya seperti desisan ular, menusuk langsung ke inti harga diri Andi. Kadang, ia akan menekan punggung Andi dengan telapak tangannya untuk memastikan punggungnya lurus sempurna, tekanan yang terasa seperti penghinaan fisik.
Latihan yang paling membuat Andi mual adalah mengubah cara dia berdiri. Ia harus berdiri dengan kaki merapat, salah satu kaki sedikit ke depan, dan kedua tangan bertaut di depan tubuh, membentuk siluet yang lebih feminin. Ini adalah posisi yang sangat tidak nyaman bagi tubuhnya, yang secara alami cenderung mengambil postur yang lebih lebar dan kokoh. Setiap kali ia kembali ke posisi alami, Mrs. Naomi akan menegur, kadang disertai desahan kekecewaan yang lebih menyakitkan daripada bentakan.
"Kau masih menyimpan sisa-sisa kasar dari dirimu yang dulu, Isabella," kata Mrs. Naomi suatu siang, matanya menyipit saat mengamati Andi yang sedang mencoba meniru gerakan-gerakan feminin yang ditunjukkan. "Itu harus dihilangkan. Itu tidak pantas untuk mahakarya yang sedang dibentuk oleh Tuan Ko Min Aung."
Andi merasa martabatnya direnggut, setiap gerakan alami yang dulu menjadi bagian dari dirinya kini dipaksa untuk diubah, membuatnya merasa seperti boneka yang sedang diajarkan cara bergerak. Setiap ototnya terasa sakit, bukan hanya karena regangan fisik, tetapi juga karena perlawanan batin yang terus ia lakukan. Ia melihat dirinya di cermin, mencoba mengenali siapa dia, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan yang perlahan menjadi orang lain, seorang wanita asing yang tak ia kenali, yang dipaksa untuk menari mengikuti irama kehendak orang lain.
Tidak hanya gerakan, ekspresi wajah dan bahasa tubuh pun menjadi target pelatihan Mrs. Naomi. Isabella harus belajar tersenyum dengan lembut, tidak menunjukkan kemarahan atau frustrasi, dan menjaga tatapannya tetap tenang, bukan menantang. "Matamu harus seperti danau yang tenang, Isabella, bukan seperti badai yang bergejolak," Mrs. Naomi pernah berkata, sambil menekan pelipis Andi dengan jarinya, seolah bisa mematikan setiap emosi yang ia rasakan.
Bahkan dalam kegiatan sehari-hari yang paling intim, pengawasan tidak pernah pudar. Saat mandi, Andi harus membiasakan diri untuk mengikat handuk di dada, seperti yang biasa dilakukan perempuan. Ini adalah detail kecil, namun secara psikologis sangat membebani, terus-menerus mengingatkannya tentang identitas yang dipaksakan padanya. Cara ia makan, cara ia minum, bahkan cara ia bersikap di meja makan, semuanya harus diubah. Ia diajari memegang sendok dan garpu dengan lebih anggun, minum dari cangkir teh dengan mengangkat jari kelingking, dan berbicara dengan nada suara yang lebih tinggi dan lembut, nyaris seperti berbisik, untuk menghindari kesan "maskulin" yang Ko Min Aung benci. Setiap aspek kehidupannya kini adalah sebuah pelajaran untuk menjadi "perempuan" yang sempurna di mata Ko Min Aung.
Selain Mrs. Naomi, Ko Min Aung sendiri kadang akan muncul di tengah latihan, mengamati dari jauh dengan senyum tipis di bibirnya. Kehadirannya selalu meningkatkan ketegangan di ruangan itu. Ia jarang berbicara, tetapi tatapannya, penuh kepuasan dan kepemilikan, sudah cukup untuk membuat Andi merasa semakin kecil, semakin tidak berarti. Andi tahu, Ko Min Aung melihatnya bukan sebagai manusia, melainkan sebagai sebuah proyek yang sedang dalam pengerjaan, sebuah eksperimen yang hasilnya akan ia nikmati.
Suatu sore, Ko Min Aung datang lebih dekat, berdiri di samping Mrs. Naomi. Andi sedang berlatih berjalan di sepanjang garis lurus yang ditandai di lantai. Langkahnya masih sedikit kaku, meskipun sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Ada peningkatan, Mrs. Naomi?" tanya Ko Min Aung, suaranya tenang.
"Ada, Tuan Ko Min Aung," jawab Mrs. Naomi, membungkuk sedikit. "Namun, masih ada sisa-sisa kekakuan. Terutama di pinggulnya. Ia masih cenderung bergerak seperti seorang pria."
Ko Min Aung mengangguk. Ia melangkah ke belakang Andi, tangannya terangkat perlahan. Andi merasakan detak jantungnya berpacu. Ko Min Aung tidak menyentuhnya, melainkan hanya mengarahkan tangannya, menyimulasikan gerakan. "Angkat sedikit pinggulnya saat melangkah, Isabella. Rasakan bagaimana tubuhmu berayun," bisiknya, suaranya rendah. "Bayangkan dirimu adalah bunga teratai yang mengambang di air. Setiap gerakanmu harus lembut, mengalir."
Kemudian, tanpa peringatan, Ko Min Aung sedikit mendorong bahu Andi ke depan, memaksa punggungnya melengkung sedikit, mempertegas lekukan pinggulnya saat ia melangkah. "Ya, seperti itu," katanya puas. "Lebih feminin. Kau harus terlihat seperti seorang wanita dari setiap sudut, Isabella."
Andi merasakan kehinaan yang menusuk. Ia adalah boneka, dan Ko Min Aung sedang memanipulasi talinya di depan Mrs. Naomi. Ia adalah objek, bukan manusia. Ia menelan ludah, menahan rasa marah dan air mata yang mendesak. Setiap gerakan yang ia lakukan kini terasa palsu, sebuah topeng yang ia kenakan untuk bertahan hidup.
Setelah latihan selesai, Mrs. Naomi akan memberikan laporan harian kepada Ko Min Aung, mencatat setiap detail, setiap kemajuan, dan setiap "kekurangan" yang harus diperbaiki. Isabella tahu, setiap baris di buku catatan itu adalah jejak langkahnya menuju kehancuran total identitasnya. Ia semakin jauh dari Andi, semakin dekat dengan Isabella, sebuah entitas yang diciptakan untuk memenuhi fantasi pria yang memilikinya.
Malam harinya, setelah semua siksaan fisik dan mental itu, Isabella akan kembali ke kamarnya, kelelahan, baik fisik maupun jiwa. Ia akan berdiri di depan cermin lagi, mencoba mencari jejak Andi yang dulu. Namun yang ia lihat hanyalah seorang wanita muda dengan mata yang cekung, tubuh yang semakin kurus namun mulai menunjukkan lekukan-lekukan yang asing, dan ekspresi kosong. Ia merindukan kebebasan untuk bergerak, untuk berbicara, untuk menjadi dirinya sendiri. Tetapi setiap hari, setiap latihan, setiap teguran, mengikatnya lebih erat pada takdir barunya. Ia adalah tawanan di dalam tubuhnya sendiri, yang dipaksa untuk hidup sebagai seseorang yang bukan dirinya, selamanya terjebak dalam sangkar emas ini.
Cahaya senja yang memerah masuk melalui jendela tinggi kamar Isabella, melukiskan bayangan panjang di atas lantai marmer. Namun, keindahan semu itu tak mampu menutupi kegelapan yang dirasakan Andi di dalam hatinya. Hari ini, ia tidak dihadapkan pada latihan fisik atau menu diet yang hambar, melainkan sebuah siksaan visual dan fisik yang baru. Di tengah kamarnya, terhampar tumpukan kain yang mengilat, bergelombang, dan melambangkan segalanya yang ia benci: pakaian perempuan. Jumlahnya jauh lebih banyak dari sebelumnya, seolah menandakan tingkat kontrol yang semakin tak terbatas.
Mulai dari pakaian dalam yang asing, terbuat dari renda dan satin yang lembut namun terasa seperti jerat di kulitnya yang semakin halus. Ada bra yang dirancang untuk menopang dan membentuk sesuatu yang belum sepenuhnya ada, celana dalam mini yang terasa minim dan terbuka, membuat rasa malu membuncah. Kemudian, ada korset yang menyesakkan, sebuah perangkat penyiksa yang terbuat dari bahan kaku, dirancang untuk merampingkan pinggang dan mengangkat dada, mengubah siluet tubuhnya secara paksa. Setiap kawat dan tulang penyangga terasa menekan, membatasi napas, seolah ingin menghancurkan organ-organ dalamnya. Di atas semua itu, tergeletak gaun-gaun elegan yang dirancang untuk menonjolkan siluet feminin, beberapa di antaranya terbuat dari sutra mahal yang terasa dingin di kulit, yang lain dari brokat berat dengan payet dan manik-manik yang berkilauan. Ada pula pakaian-pakaian seksi yang tipis dan transparan, dirancang untuk memperlihatkan dan menggoda, membuat Andi merasakan gelombang jijik yang tak tertahankan. Setiap helainya terasa seperti belenggu baru, mengingatkannya pada identitas yang sedang direnggut.
Pengasuh yang tak kenal ampun, dengan wajah datar dan mata tanpa ekspresi, berdiri di samping tumpukan itu. Ia adalah perpanjangan tangan Ko Min Aung, sebuah bayangan yang memastikan setiap perintah dijalankan dengan sempurna. Dengan gerakan tanpa basa-basi, ia mulai mengambil satu per satu pakaian itu, memaksanya untuk mengenakannya.
"Angkat tanganmu, Isabella," perintahnya, suaranya monoton.
Andi, atau Isabella, hanya bisa pasrah. Ia mengangkat tangannya saat pakaian dalam dipasangkan padanya. Sentuhan kain renda yang tipis terasa aneh di kulitnya, sebuah pengingat brutal akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Bra itu terasa sesak di dada, menekan pertumbuhan payudara yang masih samar, namun sensasinya sudah cukup untuk membuatnya merasa aneh dan tidak nyaman. Celana dalam mini yang ketat membuat setiap gerakan terasa membatasi.
Kemudian datanglah korset. Pengasuh itu menarik talinya erat-erat di punggung Andi, membuat tubuhnya melengkung secara paksa, pinggangnya mengecil, dan dadanya terangkat. Rasa sesak itu segera menyebar, memeras paru-parunya, membuatnya sulit bernapas. Setiap tarikan tali adalah pukulan pada martabatnya. Ini bukan hanya tentang mengubah bentuk tubuh, tetapi juga tentang memenjarakan napas, membatasi kebebasan yang paling mendasar.
Setelah pakaian dalam dan korset, gaun-gaun itu dipakaikan padanya. Gaun sutra meluncur di tubuhnya, sentuhannya dingin dan licin, membentuk siluet yang ia tak pernah miliki. Gaun lain yang lebih berat, dengan ornamen berkilauan, terasa menekan bahunya, membatasi geraknya. Setiap gaun adalah penanda baru, sebuah kostum yang dipaksakan untuk peran yang ia benci. Saat mengenakan pakaian seksi, sensasi yang muncul adalah rasa malu yang membakar, seolah tubuhnya bukan lagi miliknya, melainkan tontonan yang dipamerkan. Ia merasa rentan, diekspos, dan sangat tidak berdaya.
Setelah semua pakaian terpasang, pengasuh itu menarik Andi ke depan cermin besar. Bayangan yang memantul di sana hampir tak dikenali. Wajahnya dirias tebal, menutupi jejak-jejak masa lalunya. Foundation yang tebal menyamarkan warna kulit aslinya, perona pipi yang cerah membuat wajahnya tampak lebih lembut, dan lipstik merah tua mengubah bentuk bibirnya. Matanya dibingkai dengan eyeliner dan maskara, membuatnya tampak lebih besar dan feminin, namun di balik semua riasan itu, mata Andi menyimpan kesedihan yang mendalam. Rambutnya, yang kini sudah panjang, ditata rapi, digelung atau dibiarkan terurai bergelombang, disemprot parfum beraroma manis yang menusuk indranya.
Andi merasa jiwanya menjerit di balik kain-kain indah dan riasan tebal itu. Ia adalah sebuah boneka porselen, sebuah patung hidup yang dibuat sesuai fantasi Ko Min Aung. Setiap detail penampilannya adalah kebohongan, sebuah penyamaran yang sempurna. Ia dipaksa menjadi seseorang yang bukan dirinya, menjadi wadah bagi obsesi Ko Min Aung, sebuah "karya seni" yang tak berdaya. Rasa kehilangan identitas begitu kuat, seolah ia sedang menyaksikan pemakaman dirinya sendiri.
Kini, Ko Min Aung tidak lagi mengizinkannya tidur di kamar lamanya. Mulai hari ini, Andi tidur di kamar Ko Min Aung. Ini adalah pukulan telak lainnya, sebuah penghapusan batasan terakhir antara dirinya dan pria yang memilikinya. Kamar Ko Min Aung adalah perpanjangan dari kekuasaannya, sebuah ruang yang dipenuhi aroma maskulin yang kuat, dan kini menjadi sangkar baru bagi Isabella.
Malam itu, setelah menjalani rutinitas makan malam yang hambar dan inspeksi singkat dari Ko Min Aung yang mengamati penampilannya, Andi dibawa ke kamar tidur utama. Kamar itu jauh lebih besar dari kamarnya yang lama, dihiasi dengan furnitur kayu gelap yang berat dan patung-patung eksotis. Tempat tidur king size mendominasi ruangan, dengan seprai sutra hitam yang mengilat di bawah cahaya redup.
Ko Min Aung sudah menunggu di sana, mengenakan jubah tidur sutra. Ia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Andi dengan tatapan posesif yang membuat bulu kuduknya merinding. "Kau terlihat... indah malam ini, Isabella," bisiknya, suaranya serak namun penuh kepuasan.
Andi hanya bisa menunduk, tidak mampu membalas tatapannya. Ia merasa gaun yang ia kenakan kini terasa seperti belenggu, mencekiknya.
"Kemarilah," perintah Ko Min Aung, menepuk tempat kosong di sampingnya.
Dengan langkah yang kaku dan jantung berdebar kencang, Andi mendekat. Ia duduk di tepi ranjang, menjaga jarak sebisa mungkin. Namun, Ko Min Aung segera mengikis jarak itu. Ia meraih tangan Andi, membelainya pelan.
"Kau tahu, Isabella," Ko Min Aung memulai, suaranya kini lebih lembut, "setiap sentuhan yang kuberikan padamu, adalah cara untuk menyempurnakanmu. Untuk menjadikanmu milikku seutuhnya."
Ko Min Aung selalu memposisikan Andi sebagai perempuan di setiap sentuhannya. Ia mulai dengan membelai leher Andi, ujung jarinya menyusuri lekuk halus kulitnya. Kemudian, sentuhannya berpindah ke punggung, membelai tulang belakangnya melalui kain gaun, turun perlahan, sebuah belaian yang terasa seperti sedang membelai punggung seorang wanita. Sentuhan itu membuat bulu kuduk Andi merinding, bukan karena gairah, melainkan karena rasa tidak nyaman dan ketidakberdayaan yang mendalam. Ia mengagumi riasan di wajah Andi, memuji bentuk bibirnya yang kini berwarna merah pekat, cara matanya yang dihias terlihat lebih besar.
"Kau harus belajar untuk menikmati sentuhanku, Isabella," bisik Ko Min Aung, mendekatkan wajahnya. "Ini adalah bagian dari proses. Bagian dari dirimu yang baru."
Dan kemudian, ia mencium bibir Andi, ciuman yang dalam dan penuh kuasa, sebuah ciuman yang mengikis sisa-sisa perlawanan dalam diri Andi. Andi tidak membalas, tubuhnya tetap kaku, tetapi Ko Min Aung menciumnya seolah ia mencium seorang wanita yang ia cintai, bukan tawanan yang ia kuasai. Tangannya membelai punggung Andi, menariknya lebih dekat, menekannya ke tubuhnya, seolah ia sedang memeluk seorang kekasih. Setiap sentuhan, setiap belai, setiap ciuman, adalah penegasan bahwa Andi kini adalah Isabella, perempuan yang sepenuhnya berada di bawah kendalinya.
Setelah beberapa saat, Ko Min Aung melepaskan ciumannya. Ia tersenyum puas. Ia lalu bangkit, membuka ikat pinggang jubah mandinya. Andi menelan ludah, firasat buruk menghantamnya. Ko Min Aung menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh tuntutan. "Sekarang, berikan kepadaku penghormatan yang pantas kau berikan kepada tuanmu, Isabella," perintahnya, suaranya rendah dan penuh otoritas. Andi merasa jiwanya tercabik, namun ketakutan akan konsekuensi jika menolak menguasai dirinya. Dengan tangan gemetar, ia menunduk, menuruti perintah yang kejam itu. Setiap detik terasa seperti penyiksaan, mengikis sisa-sisa harga diri yang masih ia miliki, memaksanya tunduk pada kehendak mutlak Ko Min Aung.
Setelah semua usai, Ko Min Aung menarik Andi ke dalam pelukannya. Tubuh Andi terasa lemas, menyerah pada nasibnya. Ia terbaring dalam pelukan pria itu, yang memeluknya seolah ia adalah istrinya, kekasihnya, harta yang paling berharga. Andi menatap kegelapan di langit-langit kamar Ko Min Aung, memikirkan penderitaan yang tak berkesudahan ini. Setiap helaan napas adalah pengingat akan belenggu yang tak terlihat, setiap sentuhan Ko Min Aung adalah konfirmasi bahwa ia bukan lagi Andi, melainkan Isabella, seorang perempuan yang terpenjara dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Ia hanya bisa berharap, entah bagaimana, suatu hari nanti ia bisa menemukan jalan keluar dari neraka emas ini.
Angin musim kemarau berhembus pelan di luar jendela kamar, menggesekkan dahan-dahan pohon, menciptakan melodi sunyi yang ironis di tengah badai batin Andi. Rutinitas harian Isabella kini terasa seperti roda gila yang terus berputar tanpa henti, tak memberi ruang untuk bernapas, apalagi berpikir jernih. Setiap hari adalah siklus tanpa henti dari latihan fisik yang melelahkan di bawah pengawasan ketat Mrs. Naomi, diet yang mematikan yang menggerogoti sisa-sisa kekuatannya, dan suntikan hormonal yang terus-menerus mengubah tubuhnya dari dalam ke luar. Namun, di tengah semua itu, Ko Min Aung memastikan untuk selalu menyisakan ruang bagi satu jenis siksaan yang paling efektif: ancaman yang menargetkan akar terdalam ketakutan Andi, sebuah belenggu tak terlihat yang lebih kuat dari rantai besi manapun.
Suatu sore yang muram, saat awan kelabu menggantung rendah di atas kediaman megah itu, menaungi langit dengan nuansa suram, Ko Min Aung memasuki ruang utama tempat Isabella biasanya menjalani "pelatihan keanggunan" terakhirnya di hari itu. Lampu-lampu kristal di langit-langit memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di dinding marmer. Mrs. Naomi, dengan wajah datarnya yang tak pernah menunjukkan emosi, segera membungkuk hormat dalam-dalam dan undur diri, melangkah pergi dengan langkah presisi yang nyaris tanpa suara, meninggalkan Isabella sendirian bersama pria itu. Aura Ko Min Aung terasa lebih gelap dan membebani dari biasanya, sebuah pertanda buruk yang membuat jantung Isabella mencelos, berdetak kencang di dalam dadanya yang semakin terasa sesak oleh pertumbuhan yang dipaksakan.
Ko Min Aung tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya memberi isyarat pelan kepada salah satu pengawalnya, seorang pria bertubuh kekar dengan ekspresi kosong, yang segera menyalakan layar televisi besar yang tersembunyi di balik panel kayu berukir yang rumit. Cahaya terang dari layar tiba-tiba menyinari ruangan yang sebelumnya remang-remang, membanjiri setiap sudut dengan sorot tajam, seolah membuka paksa jendela ke dunia luar yang telah lama Isabella tinggalkan, dunia yang kini terasa seperti mimpi yang sangat jauh. Namun, apa yang muncul di layar bukanlah pemandangan indah atau hiburan yang menenangkan, melainkan cerminan paling mengerikan dari neraka yang ia coba lupakan, sebuah realitas pahit yang setiap saat siap menelannya bulat-bulat.
Kali ini, rekaman video yang muncul di layar jauh lebih mengerikan, lebih rinci, dan lebih menyakitkan dari rekaman-rekaman sebelumnya. Ini adalah rekaman terbaru dari desanya di Sumatra, yang diambil dari sudut pandang yang lebih dekat, lebih personal, dan lebih kejam. Kamera bergerak pelan, menunjukkan detail yang memilukan. Andi melihat gubuk keluarganya, yang kini tampak semakin reyot, seolah tiang-tiangnya akan ambruk kapan saja diterpa hembusan angin. Ada lubang yang menganga di atap, menunjukkan kerusakannya yang parah, dan dinding bambunya terlihat usang, rapuh, nyaris roboh, tidak lagi mampu menahan terpaan cuaca. Ini bukan lagi sekadar pemandangan kemiskinan yang ia kenal, ini adalah gambaran kehancuran yang nyata, sebuah simbol dari harapan yang runtuh.
Kemudian, kamera fokus tanpa ampun pada kedua orang tuanya. Wajah mereka terlihat semakin memburuk, bukan hanya kerutan karena usia yang terus bertambah, melainkan cekungan dalam yang jelas di pipi, mata yang terlihat kosong, lesu, dan tanpa kehidupan, menunjukkan kelelahan ekstrem dan tanda-tanda kekurangan gizi yang sangat jelas. Kulit mereka tampak lebih pucat, seolah darah telah mengering dari tubuh mereka, membuat mereka terlihat seperti bayangan diri mereka yang dulu. Ayahnya terbaring lemah di tikar lusuh yang compang-camping di lantai gubuk, batuknya terdengar parau, serak, dan menyakitkan, sebuah suara yang mengoyak hati Andi, membuat setiap serat di dalam dirinya bergetar. Ibunya, yang dulu selalu tegar, penuh semangat, kini duduk bersandar lemas di dinding gubuk, tubuhnya kurus kering, punggungnya membungkuk, dan tangannya gemetar saat memegang mangkuk kosong, seolah tak ada lagi kekuatan untuk mengangkatnya. Suara batuk ibu terdengar begitu nyata, begitu parau, membuat hati Andi teriris, seolah pedang tak kasat mata baru saja menusuk tepat ke inti jiwanya. Ia bisa merasakan perihnya, perih yang sama yang mungkin dirasakan ibunya setiap kali batuk itu menyerang, sebuah rasa sakit yang melampaui batas fisik.
Rekaman itu juga menunjukkan pemandangan desa secara umum: ladang yang kering kerontangan, tanahnya retak-retak karena kemarau panjang, sumur yang airnya menipis hingga dasar, dan wajah-wajah penduduk desa yang terlihat putus asa, sama lelahnya dengan kedua orang tuanya, menatap kosong ke kejauhan. Ini adalah bukti nyata bahwa janji "perlindungan" yang Ko Min Aung berikan adalah kebohongan besar, atau lebih buruk, sebuah tipuan yang sengaja dirancang untuk terus mengikatnya dalam neraka pribadi ini. Keluarganya menderita, dan itu adalah salahnya, ia percaya itu. Rasa bersalah yang tak tertahankan menimpa Isabella, melumpuhkan seluruh tubuhnya, membuatnya merasa seolah ia telah melakukan dosa yang tak termaafkan.
Ko Min Aung berdiri diam di sampingnya, tubuhnya tegak dan tak bergerak, membiarkan Isabella meresapi setiap detik penderitaan keluarganya di layar. Ia membiarkan gambar-gambar itu terukir dalam benak Isabella, menciptakan luka yang lebih dalam dari apapun. Lalu, dengan suara yang lebih dingin dari hembusan angin malam yang menerobos celah, suara yang mampu membekukan darah di dalam nadinya, ia berujar, "Lihatlah, Isabella. Ini adalah hasil dari... kekeras kepalaan. Dari perlawanan yang tidak perlu. Sebuah konsekuensi dari setiap pikiran untuk memberontak yang kau simpan dalam benakmu."
Andi tersentak, seluruh tubuhnya menegang, tatapannya beralih dari layar yang mengerikan itu ke wajah Ko Min Aung. Pria itu tidak menunjukkan sedikitpun emosi, tidak ada kerutan di dahi, tidak ada kilatan kesedihan di matanya. Matanya tetap datar, seperti kaca tak bernyawa, namun penuh ancaman, sebuah janji akan kehancuran yang akan datang.
"Semua itu," Ko Min Aung melanjutkan, menunjuk ke layar dengan dagunya, gerakan yang santai namun penuh kekuatan, "akan terus berlanjut atau bahkan memburuk. Mungkin mereka akan kelaparan sampai tak ada lagi yang tersisa. Mungkin mereka akan sakit tanpa pengobatan yang layak, dan tidak ada yang peduli. Mungkin gubuk mereka akan ambruk di tengah badai, dan tidak ada yang akan membantu mereka bangkit lagi. Mereka akan musnah, perlahan dan menyakitkan." Nada suaranya mengandung janji yang mengerikan, sebuah ramalan yang akan menjadi kenyataan yang tak bisa dihindari jika Isabella tidak patuh, jika ia berani menunjukkan sedikitpun tanda-tanda pembangkangan. "Semua itu akan terjadi jika kau menunjukkan perlawanan sekecil apapun. Sedikit saja keraguan, sedikit saja penolakan, sedikit saja pikiran untuk memberontak, dan penderitaan mereka akan semakin parah, melebihi bayangan terburukmu."
Rekaman itu bukan hanya ancaman kosong, tapi juga pengingat visual yang kejam tentang harga dari ketidakpatuhannya. Ini adalah belenggu tak terlihat yang jauh lebih kuat daripada rantai besi terkuat, lebih efektif daripada jeruji baja yang mengurungnya di sini. Ko Min Aung telah menemukan titik kelemahan terbesarnya, satu-satunya hal yang masih ia pedulikan lebih dari dirinya sendiri, dan ia menggunakannya tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Kata-kata itu mengunci Andi semakin dalam dalam jeratan keputusasaan yang tak berujung, sebuah jurang gelap tanpa cahaya. Ia merasa jiwanya terperangkap di antara dua pilihan mengerikan yang tak bisa ia pilih: mempertahankan sedikit sisa dirinya sebagai Andi dan melihat keluarganya hancur di depan matanya, atau menyerahkan seluruh identitasnya, jiwanya, dan tubuhnya demi keselamatan mereka, menjadi Isabella sepenuhnya.
Isabella hanya bisa gemetar tak terkendali. Air mata mengalir deras tanpa henti, membasahi pipinya yang sudah dirias tebal, meninggalkan jejak-jejak perih dan merusak riasan yang telah dipoleskan padanya. Ia ingin berteriak sekuat tenaga, ingin memohon agar semua ini berhenti, ingin melawan dengan seluruh sisa kekuatannya, namun suaranya tercekat di tenggorokan, tak mampu keluar. Bagaimana ia bisa melawan ketika nyawa orang tuanya menjadi taruhan yang dipegang erat oleh Ko Min Aung? Bagaimana ia bisa berontak ketika setiap gerakannya, setiap pikirannya, bisa berarti penderitaan yang tak terbayangkan bagi mereka yang ia cintai? Ia merasa seperti boneka yang talinya dipegang erat oleh dalang kejam ini.
Ko Min Aung tersenyum tipis, sebuah senyum puas yang penuh kemenangan. Ia tahu ia telah memenangkan pertempuran ini, dan mungkin setiap pertempuran yang akan datang, karena ia telah menemukan kunci kebebasan Isabella: keluarganya. Ia melangkah mendekat, mengulurkan tangan dan menghapus air mata dari pipi Isabella dengan jari jempolnya yang dingin dan kasar. Sentuhan itu terasa seperti es yang membakar kulitnya, namun penuh kepemilikan yang mutlak.
"Kau adalah Isabella sekarang," bisiknya, suaranya kembali ke nada yang lebih lembut, sebuah bujukan yang menipu, namun mengandung ancaman yang jelas. "Dan Isabella adalah milikku. Kau akan hidup untukku, kau akan bernapas untukku, dan kau akan menjadi sempurna untukku. Dengan begitu, keluargamu akan aman. Mereka akan terjamin. Ini adalah satu-satunya cara, Isabella. Mengerti?"
Kalimat itu adalah pengukuhan terakhir atas takdirnya, sebuah cap takdir yang tak bisa dihapus. Isabella merasa dirinya ditarik ke dalam jurang yang semakin dalam, tanpa harapan untuk keluar, tanpa tangga untuk memanjat. Rekaman itu akan terus menghantuinya, menjadi cambuk tak terlihat yang memaksanya untuk terus patuh, untuk terus menjalani transformasi yang mengerikan ini, setiap hari, setiap jam. Ia adalah boneka, dan tali yang menggerakkannya adalah ancaman terhadap keluarganya, sebuah tali yang tak akan pernah putus selama mereka masih hidup.
Setelah Ko Min Aung pergi, melangkah keluar ruangan dan meninggalkan Isabella dalam keheningan yang menyesakkan, Isabella ambruk di lantai marmer yang dingin. Ia meringkuk, memeluk lututnya erat-erat, dan terisak tanpa suara, tangisan yang tidak menghasilkan suara, hanya getaran yang mengguncang tubuhnya. Bayangan wajah orang tuanya yang kurus kering di layar terus berkelebat di benaknya, sebuah pemandangan yang tak akan pernah bisa ia hapus dari ingatannya, sebuah luka yang akan selalu berdarah. Ia tahu, mulai sekarang, setiap helaan napasnya, setiap gerakan yang ia lakukan, setiap kata yang ia ucapkan, akan diwarnai oleh ketakutan ini, oleh bayangan penderitaan keluarganya. Ia akan menjadi Isabella, sepenuhnya, tanpa sisa-sisa Andi. Ini adalah harga yang harus ia bayar. Sebuah harga yang terlalu mahal, namun ia tidak punya pilihan lain. Hidupnya, dan kehidupan orang tuanya, kini sepenuhnya ada di tangan Ko Min Aung, sebuah kenyataan yang lebih dingin dari marmer yang ia sentuh.
Kegelapan malam di kediaman Ko Min Aung seringkali menjadi penyiksa sekaligus satu-satunya saksi bisu bagi pergolakan batin Andi. Ketika Ko Min Aung tidak berada di rumah yang mewah namun terasa dingin, hampa, dan memenjarakan itu, suasana hening yang seharusnya membawa ketenangan justru menjadi panggung bagi pertarungan internal yang tak berkesudahan. Ini adalah momen-momen langka di mana Isabella, si boneka porselen yang sempurna dan patuh di siang hari, bisa kembali menjadi Andi, setidaknya dalam pikiran dan relung terdalam jiwanya. Namun, bahkan di dalam kesendirian itu, perjuangan untuk mempertahankan diri sejati adalah siksaan yang tiada henti.
Setiap malam, saat sendiri di kamarnya yang mewah namun terasa seperti sangkar berlapis emas, dengan seprai sutra dingin dan bantal empuk yang tak mampu menghapus kegelisahan, Andi merenungkan dirinya yang dulu. Ia mencoba mengingat setiap detail masa lalunya sebagai seorang laki-laki: suaranya yang dalam dan maskulin saat memanggil ibunya di ladang, memohon tambahan nasi atau meminta izin bermain di sungai; gerak-geriknya yang tangkas dan kuat saat membantu ayahnya mencangkul tanah, mengangkat karung beras, atau memperbaiki atap gubuk; tawa riangnya yang lepas dan tanpa beban bersama teman-temannya di desa saat bermain sepak bola di lapangan kering atau berenang di sungai yang jernih, membiarkan tubuhnya bebas bergerak tanpa batasan. Ia memejamkan mata erat-erat, berusaha keras memvisualisasikan kembali wajah-wajah akrab teman-teman sepermainannya, mendengar kembali bisik-bisik rahasia di antara mereka saat berbagi impian sederhana, merasakan kembali sentuhan kasar lumpur di sela-sela jarinya saat menanam padi di sawah, atau hangatnya sinar matahari yang membakar kulitnya. Kenangan itu, meskipun terasa begitu jauh dan buram seperti mimpi lama, menjadi satu-satunya tempat persembunyian bagi identitas aslinya, sebuah benteng terakhir yang ia coba pertahankan mati-matian dari invasi Ko Min Aung yang merusak. Setiap fragmen kenangan adalah harta karun yang ia genggam erat, takut jika ia melepaskannya, ia akan benar-benar hilang.
Namun, mempertahankan benteng itu bukanlah hal yang mudah, melainkan sebuah perjuangan konstan yang menguras jiwa. Semakin tubuhnya berubah, semakin sulit baginya untuk mempertahankan gambaran diri yang utuh. Setiap sentuhan pada kulitnya yang kini lebih halus dan lembut, setiap lekukan samar di dadanya yang kini mulai terasa penuh, setiap sentuhan pakaian dalam yang menekan, setiap gerakan pinggulnya yang tanpa sadar kini berayun lembut saat berjalan, adalah pengkhianatan dari raganya sendiri, sebuah bukti nyata bahwa tubuhnya tak lagi patuh pada kehendak aslinya. Cermin di kamarnya, yang dulunya ia hindari seperti wabah karena memantulkan sosok yang ia benci, kini sesekali ia tatap, sebuah ritual menyakitkan yang tak bisa ia hindari, seolah ia dipaksa untuk menyaksikan kehancuran dirinya secara langsung. Ia melihat pantulan yang semakin asing, Isabella yang berparas lembut dengan rambut panjang tergerai rapi, bibir penuh yang selalu dipulas, dan mata yang besar yang dipenuhi riasan, semua fitur yang secara paksa telah diukir di wajahnya. Ia sering menelusuri garis rahangnya yang dulu tegas dan keras, kini terasa lebih membulat dan lembut di bawah sentuhan jarinya. Jari-jarinya menyentuh pipinya yang kini terasa kenyal dan halus, bukan lagi kasar karena terpaan matahari dan kerja keras di ladang. Setiap kali ia melihat bayangan itu, sebuah rasa mual samar muncul di perutnya, diikuti oleh gelombang keputusasaan yang dingin.
Ia merasa seperti ada dua sosok dalam satu raga, dua jiwa yang saling bergesekan, saling menarik, menciptakan konflik yang menguras habis energinya. Ada Andi yang berjuang di dalam, memberontak setiap kali dipaksa mengenakan gaun sutra yang terasa seperti belenggu, setiap kali dipaksa tersenyum palsu di hadapan orang lain, setiap kali dipaksa berbicara dengan nada suara yang tak dikenalnya, yang terasa asing di telinganya sendiri. Andi ini adalah inti dari dirinya yang asli, yang tak mau menyerah, yang berteriak meminta kebebasan. Namun, di sisi lain, ada "Isabella" yang dipaksakan di luar, sebuah persona yang harus ia mainkan di hadapan Ko Min Aung, Mrs. Naomi, dan para pengawalnya, sebuah topeng yang semakin hari semakin erat menempel di wajahnya, mengancam untuk melebur dengan kulitnya. Pergolakan batin ini adalah perang tanpa senjata, sebuah peperangan di medan jiwa yang menguras energinya hingga ke titik terendah, membuatnya merasa lelah secara mental dan emosional, jauh lebih lelah dari pekerjaan terberat di ladang sekalipun, karena ia harus melawan dirinya sendiri.
Rasa frustrasi dan kemarahan seringkali meledak dalam bisikan-bisikan tertahan di tengah malam, suara-suara yang hanya bisa ia dengar sendiri di dalam benaknya. Mengapa ia harus melalui semua ini? Mengapa ia harus dihukum seperti ini, dimutilasi identitasnya, demi keselamatan keluarganya? Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah menemukan jawaban, hanya berputar-putar di kepalanya tanpa henti, menambah beban di pundaknya hingga terasa ingin remuk. Terkadang, ia akan berjalan mondar-mandir di kamarnya, langkahnya cepat dan gelisah, tidak peduli pada "keanggunan" yang diajarkan Mrs. Naomi, seolah ingin melarikan diri dari dirinya sendiri, dari kenyataan pahit yang mengejarnya. Tetapi kamar itu, meskipun mewah dengan dekorasi mahal dan pemandangan kota di kejauhan, adalah penjara yang sempurna, tanpa celah sedikit pun untuk melarikan diri, tanpa harapan untuk lolos.
Sesekali, Andi akan melihat pakaian perempuan yang ia pakai. Gaun-gaun sutra yang menjuntai anggun di lemari berukir, pakaian dalam renda yang terlipat rapi di laci-laci, semua itu adalah simbol visual yang kejam dari penahanan dirinya, dari identitas yang sedang ia kenakan secara paksa. Ia akan mengambil salah satu gaun sutra itu, meraba kainnya yang lembut dan licin, dan memposisikannya di depannya, menatap bayangannya di cermin. Di momen-momen itu, ia melihat bukan hanya gaun, tetapi takdirnya yang telah ditentukan, sebuah nasib yang tak bisa ia elakkan. Ia melihat dirinya sebagai seorang perempuan, seorang budak nafsu Ko Min Aung, sebuah objek yang diciptakan semata-mata untuk memuaskan obsesi dan keinginan pria itu, tanpa kehendak, tanpa perasaan, hanya sebatas boneka yang bisa dimanipulasi. Rasa jijik dan kehinaan yang mendalam mencengkeramnya, membuat perutnya bergejolak. "Ini bukan aku," bisiknya pada bayangannya sendiri di cermin, suaranya nyaris tak terdengar. "Ini bukan takdirku." Namun, semua bukti fisik dan tekanan psikologis yang tak henti-hentinya mengatakan sebaliknya, mengklaim bahwa ia memang adalah Isabella.
Pikiran tentang orang tuanya adalah satu-satunya hal yang menahan Andi agar tidak benar-benar menyerah pada keputusasaan total, pada keinginan untuk mengakhiri semuanya. Gambar wajah mereka yang kurus, batuk parau ibunya yang terdengar bagai melodi kesedihan, gubuk mereka yang nyaris roboh diterpa angin dan hujan, semua itu adalah pengingat konstan akan harga dari setiap tindakan perlawanan, setiap bisikan pemberontakan. Ia tidak punya hak untuk menyerah, tidak ada. Ia harus menjadi Isabella demi mereka, demi keselamatan mereka yang sangat ia cintai. Paradoks ini adalah belenggu paling kejam, memaksa jiwanya untuk berjuang dan menolak, namun raganya untuk tunduk dan menerima.
Kelelahan mental ini juga memengaruhi tidurnya dengan kejam. Saat ia berhasil terlelap, mimpi-mimpinya seringkali dipenuhi dengan bayangan masa lalu yang indah, tentang desanya yang damai, aroma masakan ibunya, dan suara tawa bapaknya yang lepas. Namun, keindahan itu tak pernah bertahan lama; mimpi itu segera berubah menjadi mimpi buruk tentang penangkapan dirinya, jarum suntik yang menusuk kulitnya berulang kali, tatapan dingin Ko Min Aung yang menusuk jiwa, dan wajah Mrs. Naomi yang tanpa emosi, memaksanya melakukan gerakan-gerakan tak wajar. Ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, jantungnya berdebar kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya, keringat dingin membasahi dahinya, seolah ia baru saja berlari maraton mengejar kebebasan yang tak terjangkau.
Pagi harinya, saat pengasuh datang untuk membangunkannya dengan ketukan pelan di pintu, Andi akan menarik kembali topeng Isabella. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, ia akan bangun dari ranjangnya, mengenakan pakaian yang dipilihkan untuknya hari itu, dan menjalani hari itu dengan segala "keanggunan" dan "kesopanan" yang telah diajarkan padanya, setiap gerakan dan ekspresi adalah hasil dari pelatihan intensif. Ia akan menekan Andi yang berontak jauh di dalam hatinya, menyimpannya di tempat yang paling tersembunyi, berharap suatu hari nanti ia bisa kembali bebas, menjadi dirinya sendiri lagi, pria yang ia kenal. Namun, setiap hari yang berlalu, setiap perubahan yang terjadi pada tubuhnya, setiap perintah yang ia patuhi, membuat harapan itu terasa semakin tipis, semakin jauh, seperti fatamorgana di padang pasir yang tak berujung, tak akan pernah bisa ia sentuh. Pertarungan batinnya adalah sebuah siksaan yang tak terlihat, namun ia tahu, ia harus terus melawannya sendirian, di dalam kegelapan jiwa yang semakin pekat. Ia hanya bisa berdoa, meskipun ia tak yakin lagi pada siapa ia harus berdoa, agar suatu hari nanti, keajaiban akan datang membebaskannya dari neraka emas ini.
Dinginnya marmer di bawah telapak kakinya yang kini terasa lebih halus, udara berat yang dipenuhi aroma bunga melati buatan, dan keheningan yang menyesakkan di kamar mewah, semua itu menjadi pengiring bagi ritual pagi Andi yang paling menyakitkan. Jika sebelumnya ia bisa menghindarinya atau memalingkan muka, kini tak ada lagi pelarian. Cermin besar berbingkai ukiran emas yang mendominasi salah satu dinding kamarnya telah bertransformasi dari sekadar benda mati menjadi musuh paling kejam, sebuah portal menuju neraka pribadinya yang terwujud. Setiap hari, tanpa kecuali, ia dipaksa menghadapinya, sebuah pertarungan visual yang menguras habis sisa-sisa jiwanya.
Setiap kali ia melihat pantulannya, yang terlihat bukanlah Andi, seorang pemuda dari Sumatra yang pernah ia kenal dan cintai, melainkan "Isabella" yang semakin sempurna, semakin utuh, dan semakin asing. Transformasi itu tidak lagi samar atau tersembunyi; ia terpampang nyata, tanpa ampun, di permukaan cermin yang mengkilap. Wajah yang dulu kasar dan tegas kini dirias tebal dengan berbagai kosmetik, menyamarkan setiap jejak maskulinitas. Pipi yang lebih lembut, bibir yang dipoles merah terang, dan mata yang diperbesar oleh riasan kini menatapnya dengan tatapan yang terasa hampa. Rambut panjang yang diatur rapi, digelung elegan atau dibiarkan terurai bergelombang, membingkai wajah yang telah sepenuhnya berubah. Lekuk tubuh yang dipaksakan oleh korset dan gaun-gaun feminin, dengan dada yang membusung dan pinggul yang melengkung, semuanya adalah bukti nyata dari kekejaman yang ia alami, sebuah mahakarya keji yang diciptakan oleh Ko Min Aung.
Andi mulai membenci pantulannya sendiri dengan intensitas yang membakar. Kebencian itu bukan hanya tertuju pada sosok Isabella yang terpampang di sana, tetapi juga pada dirinya sendiri karena tak berdaya menghadapi semua ini. Ia memejamkan mata erat-erat, sekuat tenaga, berharap saat ia membukanya kembali, semua itu hanyalah mimpi buruk yang mengerikan, sebuah ilusi yang akan lenyap begitu ia sadar. Ia berharap bisa terbangun di gubuknya di Sumatra, mencium aroma tanah basah setelah hujan, mendengar suara ibu memanggilnya untuk makan. Namun, realitas selalu datang dengan kejam, menghantamnya bagai ombak besar yang memecah karang, memaksanya menerima perubahan yang tak diinginkan, meruntuhkan sisa-sisa dirinya yang dulu hingga tak bersisa.
Perasaan terperangkap di dalam tubuh yang bukan miliknya ini adalah siksaan yang konstan. Ia merasa jiwanya menjerit, namun suaranya tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri. Setiap sentuhan pada kulitnya yang semakin lembut, setiap gerakan yang kini harus diatur agar terlihat anggun, setiap kata yang harus diucapkan dengan nada lebih tinggi, adalah sebuah pengkhianatan. Cermin itu seolah mengejeknya, menampilkan keindahan yang dipaksakan, sebuah topeng yang sempurna di atas kehancuran batin.
Mrs. Naomi, sang instruktur Jepang yang tak kenal ampun, seringkali menggunakan cermin sebagai alat bantu dalam latihannya. "Lihatlah, Isabella," suaranya datar namun menusuk, "posturmu masih kaku. Bahumu terlalu lebar. Kau harus bergerak dengan lebih... mengalir, seperti air." Ia akan berdiri di samping Andi, memanipulasi tubuhnya dengan tangan dingin, menarik bahunya ke belakang, memaksa pinggulnya berayun, semua itu sambil menatap pantulan mereka di cermin. Andi merasa seperti boneka yang talinya ditarik, dan cermin itu memperlihatkan setiap manipulasi yang dilakukan padanya. Ia tidak lagi memiliki kontrol atas raganya sendiri.
Saat menjalani rutinitas rias wajah setiap pagi, pengasuh akan memaksanya menatap cermin. Setiap sapuan kuas foundation, setiap garis eyeliner, setiap pulasan lipstik, terasa seperti lapisan baru yang menutupi dirinya yang asli, menguburnya lebih dalam. Andi merasa sesak, seperti ia sedang dikubur hidup-hidup di balik lapisan-lapisan kosmetik dan gaun mahal. Ia ingin berteriak, mengacak-acak rambutnya, menghapus semua riasan itu, dan merobek pakaian yang mencekiknya. Tapi ia tahu, setiap tindakan perlawanan akan berujung pada penderitaan keluarganya. Ancaman Ko Min Aung tentang rekaman video terbaru dari desanya, tentang kondisi orang tuanya yang memburuk, adalah belenggu tak terlihat yang jauh lebih kuat dari apapun. Itu adalah alasan satu-satunya mengapa ia masih bertahan.
Di malam hari, setelah Ko Min Aung pulang dan ia kembali ke kamar mewah pria itu, rasa kehampaan dan kesepian semakin mendalam. Sebelum tidur, Ko Min Aung akan sering memintanya berdiri di depan cermin, mengagumi "karya seninya". "Lihatlah dirimu, Isabella," kata Ko Min Aung, suaranya dipenuhi kepuasan yang mengerikan, "kau semakin sempurna. Ini adalah hasil dari kepatuhanmu." Ia akan membelai wajah Andi, menyentuh lekuk tubuhnya yang kini terbentuk, selalu dengan sentuhan yang memposisikannya sebagai seorang perempuan, seorang objek yang ia miliki. Andi hanya bisa berdiri diam, menahan rasa jijik yang membanjiri jiwanya, membiarkan tatapan dan sentuhan itu merasukinya, merampas sisa-sisa harga dirinya.
Kenangan tentang dirinya yang dulu, tentang Andi yang bebas dan kuat, perlahan-lahan memudar. Bayangan di cermin menjadi semakin nyata, semakin dominan. Ia sering bertanya-tanya, apakah ada lagi Andi yang tersisa di dalam diri Isabella? Atau apakah Andi telah mati, terkubur di bawah lapisan-lapisan kepalsuan dan penderitaan ini? Perasaan kehilangan diri begitu mendalam, hingga ia merasa seperti berjalan di atas tebing tipis, di ambang kehancuran identitas total.
Setiap hari adalah perjuangan batin yang melelahkan. Ia mencoba berbicara dengan dirinya sendiri di dalam hati, memohon pada Andi yang lama untuk tetap bertahan, untuk tidak menyerah. Tetapi suara Andi semakin lemah, teredam oleh suara Isabella yang dipaksakan. Ia merasa seperti kapal yang hanyut di lautan luas, tanpa kemudi, tanpa arah, hanya pasrah pada arus yang membawanya semakin jauh dari pantai asalnya.
Malam-malam tanpa tidur di kamar Ko Min Aung adalah siksaan terberat. Aroma tubuh pria itu, sentuhan kasarnya, dan kesadaran akan kehinaannya, semua itu menggerogoti jiwanya. Ia akan memejamkan mata, mencoba melarikan diri ke dalam kenangan, tetapi bahkan kenangan itu kini terasa pahit, karena ia tahu ia tak akan bisa kembali ke sana. Ia adalah tawanan, bukan hanya di sangkar emas ini, tetapi juga di dalam tubuhnya sendiri.
Kelelahan mental ini jauh lebih parah daripada kelelahan fisik. Ia sering merasa otaknya mati rasa, tak mampu berpikir jernih, hanya mengikuti perintah. Ini adalah strategi Ko Min Aung: mematahkan semangatnya, menghancurkan identitasnya, sampai ia benar-benar menjadi Isabella yang patuh dan tanpa kehendak. Harapan untuk kembali menjadi Andi semakin tipis, nyaris tak terlihat. Ia hanya bisa hidup untuk hari ini, bertahan satu hari lagi demi keluarganya. Dan setiap hari itu, cermin akan selalu ada di sana, menunggu, siap menampilkan musuh paling kejam: bayangan dirinya yang telah direnggut.
Pagi itu, udara di kamar utama kediaman mewah Ko Min Aung terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk hingga ke tulang, seolah pertanda buruk. Firasat itu semakin kuat saat Mrs. Naomi, dengan raut wajah yang lebih kaku dari biasanya, menatap Andi dengan tatapan yang penuh makna, sebuah sinyal bahwa hari ini berbeda dari hari-hari pelatihan rutin lainnya. Di tengah rutinitas pelatihan dan perubahan fisik yang tak henti, Andi merasa suaranya sendiri, dalam arti harfiah dan kiasan, semakin terbungkam, terperangkap di dalam dirinya, tak mampu menemukan jalan keluar.
Ia sudah terbiasa dengan peraturan tak tertulis di rumah ini: ia tidak diizinkan berbicara kecuali jika ditanya. Setiap kali ia ingin melontarkan kalimat spontan, sebuah tatapan dingin dari pengawal atau desahan kecewa dari Mrs. Naomi akan segera membungkamnya. Dan bahkan saat berbicara, ia harus menggunakan intonasi dan pilihan kata yang feminin, diajarkan oleh pengasuh vokal khusus yang didatangkan Ko Min Aung. Pengasuh itu, seorang wanita paruh baya dengan suara melengking dan senyum tipis yang tak sampai ke mata, akan menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk melatih Andi. "Ucapkan 'ya' dengan lebih lembut, Isabella, seolah kau berbisik pada kekasihmu," ia akan mencontohkan, memaksa Andi mengulanginya berkali-kali hingga nadanya pas. "Jangan menggunakan kata-kata kasar. Seorang wanita sejati selalu memilih diksi yang indah, bahkan saat marah sekalipun." Setiap kata, setiap frasa, setiap tarikan napas harus diatur, dipoles, hingga keluar dari mulutnya menjadi suara yang tidak ia kenali, suara seorang wanita yang ia benci, sebuah suara yang terasa asing dan menakutkan.
Setiap protes atau keluhannya, sekecil apapun, dianggap sebagai tanda perlawanan yang harus segera ditekan. Tatapan tajam dari pengawal, bisikan dingin dari Mrs. Naomi, atau bahkan ancaman terselubung dari Ko Min Aung, akan segera membungkamnya. Andi mulai merasa seperti kehilangan kemampuan untuk berekspresi, kata-kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokannya, membentuk gumpalan berat yang menyesakkan, menambah beban psikologis yang ia pikul sendiri. Ia seperti boneka dengan mulut dijahit, yang hanya bisa mengangguk dan tersenyum, atau mengeluarkan suara-suara yang telah diprogramkan untuknya, tanpa makna sejati.
Namun, semua siksaan mental dan fisik yang telah ia alami, semua perubahan yang ia paksakan pada dirinya, tidak sebanding dengan kengerian yang menunggunya hari ini.
Siang itu, setelah sarapan yang tak berselera di meja makan yang besar dan sepi, Ko Min Aung memasuki kamar utama yang kini ia tempati bersama Andi. Ia mengenakan setelan jas sutra mahal berwarna gelap, auranya begitu kuat dan tak terbantahkan, memenuhi ruangan. Matanya menatap Andi, bukan dengan kehangatan atau kasih sayang yang bisa diharapkan, melainkan dengan tatapan seorang seniman yang mengamati karyanya yang hampir selesai, atau seorang pemburu yang puas dengan tangkapannya yang tak berdaya. Ko Min Aung duduk di sofa beludru, menyilangkan kaki, dan menatap Andi dengan penuh perhitungan.
"Isabella," Ko Min Aung memulai, suaranya tenang, namun mengandung nada final yang membuat darah Andi membeku, mengalir dingin di seluruh tubuhnya. "Waktunya telah tiba. Untuk langkah selanjutnya dalam kesempurnaanmu. Ini adalah penyesuaian terakhir yang akan menjadikanmu benar-benar tak bercela."
Andi merasa lututnya lemas, ia merasakan pening mendadak. Ia tahu apa yang dimaksud Ko Min Aung. Selama beberapa minggu terakhir, percakapan samar tentang "penyesuaian terakhir" dan "sentuhan artistik" sering terdengar dari Ko Min Aung atau Mrs. Naomi. Tapi ia tak pernah menyangka itu akan datang secepat ini, atau sebrutal ini, di tengah proses transformasi yang sudah terasa begitu berat.
"Kau akan menjalani operasi payudara hari ini," Ko Min Aung melanjutkan, seolah sedang membicarakan cuaca atau jadwal makan malam, tanpa sedikitpun emosi. "Untuk mencapai proporsi yang ideal, yang akan menyempurnakan bentuk tubuhmu. Ukuran 40B akan sangat cocok dengan postur dan siluetmu yang baru, Isabella. Itu akan melengkapimu."
Dunia Andi runtuh seketika, berkeping-keping di hadapannya. Operasi? Payudara ukuran 40B? Ini bukan lagi tentang suntikan hormon atau latihan postur yang menyiksa. Ini adalah mutilasi. Ini adalah penghapusan total atas sisa-sisa dirinya sebagai seorang pria, sebuah tindakan permanen yang tak bisa ditarik kembali. Ia merasakan gelombang kepanikan yang luar biasa, dingin dan menusuk, yang naik dari perutnya hingga ke tenggorokan. Tubuhnya gemetar tak terkendali, seperti daun yang ditiup angin kencang.
"Tidak... tidak mungkin..." bisik Andi, suaranya parau, nyaris tak terdengar, tenggelam dalam isakannya sendiri. Ia mencoba berdiri, hendak melarikan diri, tetapi kakinya terasa seperti jeli, tak mampu menopang bobot tubuhnya. Ia ambruk ke lantai, tanpa daya.
Ko Min Aung hanya tersenyum tipis, sebuah senyum kejam tanpa belas kasih, tak sedikitpun terpengaruh oleh penderitaan Andi. "Semua persiapan sudah dilakukan, Isabella. Dokter terbaik telah didatangkan dari luar negeri. Ini akan menjadi sangat lancar, kau tidak perlu khawatir."
"Tidak! Kumohon!" Suara yang selama ini terbungkam akhirnya meledak, meskipun penuh keputusasaan yang pilu. Andi merasakan air mata membanjiri matanya, mengalir deras membasahi pipinya yang sudah dirias tebal, melunturkan kosmetik. Ia beringsut maju dengan susah payah, memohon, menangis tersedu-sedu, dan berlutut di kaki Ko Min Aung. Tubuhnya gemetar hebat, ia mencoba meraih tangan pria itu, menggenggam celananya, memohon belas kasihan. "Jangan... jangan lakukan ini padaku! Aku mohon... Aku tidak mau! Aku tidak mau menjadi... wanita seutuhnya seperti itu! Aku... aku ini Andi! Kumohon, tuan... jangan sentuh tubuhku lagi! Aku tidak sanggup!"
Air matanya membasahi ujung celana Ko Min Aung, membentuk numpuk basah. Ia mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan tatapan penuh permohonan yang paling tulus, sebuah pandangan yang seharusnya bisa meluluhkan hati batu sekalipun. Ia menunjukkan rasa sakit yang sebenarnya, rasa takut yang begitu mendalam, sebuah ekspresi yang belum pernah ia tunjukkan sejak ia terperangkap di sini. Semua topeng Isabella runtuh. Ia rela melakukan apapun, menjalani siksaan apapun, asal tidak operasi ini. Ia rela terus mengenakan pakaian wanita, rela menjalani latihan yang menyiksa, rela berbicara dengan suara yang dipaksakan, asal bagian tubuhnya yang paling intim tidak disentuh, tidak diubah secara permanen.
Namun, Ko Min Aung tetap teguh pada pendiriannya. Wajahnya tidak menunjukkan sedikitpun perubahan, seolah ia terbuat dari batu. Senyum tipisnya tetap membeku di bibir, seolah terpahat. Ia menatap Andi yang berlutut dan meratap di kakinya, dengan mata yang datar dan dingin, tanpa secuilpun emosi, seolah sedang menatap serangga yang tak berarti, atau sebuah benda mati yang mengganggu pemandangan.
"Bangun, Isabella," perintah Ko Min Aung, suaranya tetap tenang dan terkendali, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, seperti es. "Tingkah lakumu ini tidak pantas. Kau harus belajar bersikap. Ini bukan pilihanmu. Ini adalah takdirmu. Dan ini adalah bagian dari janji yang kau buat kepadaku saat kau setuju untuk berada di sini. Kau tidak bisa menariknya kembali sekarang."
Ia tidak mengulurkan tangan untuk membantu Andi berdiri. Sebaliknya, ia menyingkirkan kakinya dengan sedikit sentakan, sebuah gerakan kecil yang kejam, membuat Andi kehilangan keseimbangan dan nyaris tersungkur ke lantai. Para pengawal yang berdiri di sudut ruangan segera mendekat, langkah mereka seragam dan tanpa suara, wajah mereka tanpa ekspresi, siap menjalankan perintah apapun yang akan keluar dari bibir tuan mereka.
"Pegang dia," perintah Ko Min Aung, suaranya tajam dan tidak bisa dibantah. "Bawa dia ke ruang operasi. Dan pastikan dia tidak membuat keributan yang tidak perlu."
Andi menjerit, jeritan yang putus asa, sebuah suara yang berasal dari lubuk jiwanya yang paling dalam, namun suara itu segera terbungkam oleh tangan besar salah satu pengawal yang membekap mulutnya erat-erat. Ia meronta dengan sekuat tenaga, menendang-nendang dengan sisa tenaganya, memutar tubuhnya, tetapi kekuatan mereka jauh lebih besar, tak tertandingi. Dua pengawal mengangkat tubuhnya yang kini terasa ringan dan rapuh, menggendongnya seperti karung, meskipun ia terus meronta dan berjuang dengan setiap inci kekuatannya. Dalam keputusasaannya, ia melihat wajah Ko Min Aung yang acuh tak acuh, menatapnya tanpa secuil pun belas kasihan, tanpa penyesalan. Itu adalah tatapan yang menghancurkan semua harapan terakhir yang ia miliki, memadamkan api kecil yang masih berkedip di dalam dirinya.
Mereka membawanya keluar dari kamar utama, menyusuri koridor panjang yang berkarpet tebal, lalu menuruni tangga menuju sebuah area yang belum pernah ia datangi sebelumnya di kediaman itu. Aroma antiseptik yang menusuk hidung segera tercium, bersamaan dengan suara-suara samar peralatan medis yang berdenting. Ini adalah ruang operasi pribadi Ko Min Aung, disiapkan khusus untuknya, untuk tujuan ini.
Saat pintu terbuka, Andi melihat sebuah ruangan serba putih yang steril, dingin, dan menakutkan. Ada meja operasi di tengah, dengan lampu besar yang memancarkan cahaya silau di atasnya. Beberapa orang berjas putih sudah menunggu di sana, termasuk seorang dokter dengan wajah serius dan dingin, serta beberapa perawat yang sibuk menyiapkan alat-alat bedah. Mereka semua menatapnya dengan tatapan tanpa emosi, seolah ia hanyalah seonggok daging yang akan diproses, bukan manusia.
Andi terus meronta, air mata mengalir deras dari matanya, mengaburkan pandangannya. Ia menggelengkan kepala dengan putus asa, mencoba berteriak lagi, namun tangan pengawal masih membekap mulutnya erat-erat, menekan hingga rahangnya terasa sakit. Ia melihat kilatan jarum suntik yang dipegang salah satu perawat, dan ia tahu, sebentar lagi semuanya akan berakhir. Ia akan kehilangan dirinya, sepenuhnya, tanpa sisa.
Ia ditidurkan di meja operasi, tubuhnya diikat dengan tali pengaman yang kaku. Ia merasakan dinginnya permukaan meja di punggungnya, sensasi yang menusuk kulitnya. Dokter mendekat, tatapannya dingin dan profesional, tanpa simpati. Ia melihat kilatan jarum suntik mendekat ke lengannya, bayangannya membesar. Sebuah desakan terakhir untuk melawan muncul, namun tubuhnya sudah terlalu lemah, jiwanya sudah terlalu hancur, dan pikirannya terlalu lelah untuk melakukan apapun. Cairan dingin itu merasuk ke dalam nadinya, sensasi yang aneh dan menusuk, dan dalam hitungan detik, seluruh tubuhnya terasa berat, pandangannya mulai kabur, dunianya berputar.
Sebelum kesadarannya benar-benar lenyap, satu pikiran terakhir melintas di benaknya, sebuah bisikan samar dari jiwanya yang sekarat, sebuah perlawanan terakhir sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya: "Aku... Aku adalah Andi." Suara itu adalah bisikan samar dari jiwanya yang sekarat, sebuah perlawanan terakhir sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya. Ia tidak tahu kapan ia akan bangun, atau siapa yang akan ia temukan di dalam cermin setelah semua ini berakhir. Yang jelas, Andi yang dulu, yang pernah hidup bebas, yang memiliki suara dan kehendak sendiri, kini telah benar-benar terbungkam, terkubur di bawah lapisan-lapisan kosmetik, gaun sutra, dan kini, pisau bedah. Ia telah dibentuk ulang, dimanipulasi, diubah menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
Ketika ia terbangun, rasa sakit yang luar biasa di dadanya adalah hal pertama yang ia rasakan. Perban tebal melilit erat, membatasi setiap napas, setiap gerakan. Sensasi asing yang berat dan lunak terasa di area yang sebelumnya rata, sebuah keberadaan baru yang ia takuti. Ia tidak berani menyentuhnya, tidak berani melihatnya. Hanya ada kehampaan, rasa kosong yang mengerikan yang menguasai dirinya. Ia telah kehilangan lagi. Kali ini, sebuah bagian nyata dari dirinya, sebuah identitas fisik yang tak bisa kembali. Ko Min Aung telah menang, sekali lagi, meraih kemenangan penuh atas dirinya. Dan di dalam diri Isabella yang baru ini, Andi terkunci lebih dalam, suaranya terbungkam, jiwanya terpenjara dalam raga yang tak ia kenali, di tengah kemewahan yang kini terasa seperti neraka yang sempurna, sebuah penjara tanpa pintu keluar.
Satu minggu telah berlalu sejak operasi payudara itu, satu minggu yang terasa seperti satu abad bagi Andi, setiap detik bagai tetesan air yang jatuh pelan namun konstan, mengikis kesadarannya. Rasa sakit fisik di dadanya memang berangsur mereda, berganti dengan sensasi aneh yang tak biasa, sebuah beban baru yang terasa asing dan berat, mengganggu setiap gerakannya. Kini, bra yang ia kenakan berisi penuh dengan payudara besar, sebuah kenyataan fisik yang terus-menerus mengingatkannya pada perubahan permanen yang telah dialaminya, sebuah tanda bahwa identitas lamanya semakin jauh terkubur. Setiap kali ia bergerak, sensasi itu mengingatkannya pada pisau bedah yang mengubah dirinya, pada kehendak Ko Min Aung yang mutlak. Ko Min Aung seringkali, dengan santai dan tanpa peringatan, meremas dan menyentuhnya saat mereka berada di kamar, sebuah sentuhan posesif yang memperkuat rasa kepemilikan pria itu, menegaskan bahwa tubuh Andi kini sepenuhnya adalah miliknya, sebuah objek yang bisa ia jamah sesuka hati. Sentuhan itu, meskipun tidak lagi menyakitkan secara fisik, meninggalkan bekas luka yang lebih dalam di jiwanya, sebuah pengingat konstan akan kehilangannya, sebuah penanda bahwa ia kini hidup sepenuhnya sebagai "Isabella".
Kehidupan Andi di kompleks Ko Min Aung sepenuhnya di bawah pengawasan, sebuah kenyataan yang kini meresap hingga ke tulangnya, menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap helaan napasnya. Ia tidak hanya terperangkap di dalam tubuhnya sendiri, yang kini terasa asing, tetapi juga di dalam sebuah penjara tanpa jeruji yang tak terlihat, dikelilingi oleh mata-mata tak kasat mata. Kamera tersembunyi tersebar di mana-mana, disematkan dengan cerdik di sudut-sudut ruangan, di balik pot bunga anggrek mahal, bahkan di balik lukisan berharga yang tergantung di dinding. Kilatan merah samar dari lensa-lensa kecil itu seolah-olah adalah mata-mata yang tak pernah tidur, merekam setiap gerakannya, setiap detail kehidupannya yang kini adalah tontonan bagi Ko Min Aung. Ia seringkali merasa paranoia, membayangkan ada sepasang mata tak terlihat yang mengamatinya setiap saat, bahkan saat ia sendirian di kamar mandinya, setiap kali ia memejamkan mata, atau saat ia berusaha tidur.
Selain itu, ia selalu diikuti oleh pengasuh yang tak pernah jauh mengintai. Wanita paruh baya itu, dengan wajah tanpa ekspresi dan langkah tanpa suara, selalu berada dalam jangkauan pandangnya, seperti bayangan yang tak terpisahkan. Saat Andi makan di meja makan mewah, saat ia membaca buku di perpustakaan besar, saat ia berlatih di aula yang dilapisi cermin, bahkan saat ia duduk termenung di taman yang terawat indah, pengasuh itu selalu ada, seperti patung hidup yang bernapas. Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali memberikan instruksi singkat atau tatapan dingin, namun tatapannya, yang selalu tenang dan tajam, mengisyaratkan bahwa setiap pelanggaran akan segera dicatat dan dilaporkan. Andi merasa tercekik oleh kehadiran konstan ini, setiap detik keberadaannya terasa diawasi, setiap pikirannya seolah bisa terbaca.
Bahkan pelayan yang tampaknya ramah namun sebenarnya adalah mata-mata turut menambah lapisan pengawasan ini. Mereka akan tersenyum dengan sopan, menawarkan bantuan kecil, dan berbicara dengan nada ramah, namun di balik semua itu, Andi bisa merasakan tatapan menilai mereka, telinga mereka yang selalu siaga menangkap setiap bisikan atau keluhan, setiap tanda ketidakpatuhan. Mereka akan bertanya tentang suasana hatinya, tentang tidurnya, tentang makanannya, pertanyaan-pertanyaan yang terdengar biasa dan perhatian, namun di mata Andi, itu adalah laporan harian yang akan disampaikan kepada Ko Min Aung, sebuah laporan detail tentang ketaatan dirinya. Ia tidak bisa mempercayai siapa pun di dalam dinding-dinding mewah ini. Setiap senyum adalah sebuah topeng, setiap kebaikan adalah sebuah jebakan, setiap kata adalah potensi ancaman.
Setiap gerakannya, setiap ekspresinya, diawasi dengan cermat. Tidak ada lagi ruang untuk spontanitas, tidak ada lagi kebebasan. Ia harus selalu sadar akan posturnya yang feminin, cara ia duduk dengan kaki merapat, cara ia berdiri dengan bahu ditarik ke belakang, cara ia memegang sendok dan garpu dengan anggun, bahkan cara ia mengedipkan mata atau menghela napas. Senyumnya harus lembut dan manis, tatapannya harus tenang dan patuh, dan suaranya harus rendah dan sopan, persis seperti yang diajarkan. Setiap kali ia lupa diri dan menunjukkan sedikit saja kebiasaan lamanya sebagai seorang pria, seperti menggaruk kepala dengan kasar, menghela napas terlalu keras, atau bersendawa pelan, ia akan menerima tatapan tajam yang dingin dari Mrs. Naomi atau pengasuh, sebuah tatapan yang mengingatkannya akan kamera-kamera dan mata-mata yang mengintai. Tubuhnya kini bukan lagi miliknya, melainkan sebuah pertunjukan yang harus selalu sempurna di bawah pengawasan ketat, sebuah boneka yang harus tampil sesuai skenario.
Tidak ada privasi, tidak ada momen untuk benar-benar menjadi dirinya sendiri. Bahkan di dalam tidurnya, ia merasa tidak aman. Ia sering terbangun di tengah malam, dengan keringat dingin membasahi tubuhnya, membayangkan lensa kamera berkedip dalam gelap, atau mata pengasuh yang mengawasinya dari sudut ruangan, bayangan yang menghantui. Kamar tidur utama Ko Min Aung, yang kini menjadi tempat tidurnya setiap malam, seharusnya menjadi tempat yang paling pribadi, tempat ia bisa melarikan diri dari peran Isabella, namun justru terasa paling memenjarakan. Ia tidak bisa bebas menangis, tidak bisa bebas marah, tidak bisa bebas merenung tanpa takut diawasi, tanpa tahu kapan Ko Min Aung akan muncul dari balik pintu. Setiap napasnya terasa seperti diatur, setiap pikirannya terasa seperti dibaca, setiap emosinya diawasi.
Rasa diawasi ini terus-menerus membebani pikirannya, membuatnya merasa seperti terjebak dalam sangkar kaca, di mana setiap napasnya pun terasa tidak bebas. Beban mental ini jauh lebih melelahkan daripada semua latihan fisik dan diet ketat yang ia jalani. Ia merasa jiwanya tercekik, terkurung, dan perlahan-lahan mati, seperti bunga yang layu di dalam vas. Kemampuan untuk berpikir jernih mulai memudar, digantikan oleh kelelahan dan ketaatan buta. Ia seringkali merasa mati rasa, seperti robot yang hanya menjalankan perintah, bergerak tanpa tujuan, tanpa kehendak. Ia tidak memiliki ruang untuk bernapas, tidak memiliki ruang untuk menjadi Andi, bahkan di dalam pikirannya sendiri, yang kini dipenuhi oleh bayangan pengawasan.
Dampak psikologis dari pengawasan ini sangat brutal. Andi sering mengalami kesulitan berkonsentrasi, pikirannya melayang-layang karena terus-menerus memikirkan siapa yang mengawasinya, apa yang mereka catat, dan bagaimana itu akan dilaporkan. Ia menjadi lebih pendiam, menarik diri dari interaksi sekecil apapun, bahkan dari bayangannya sendiri di cermin. Rasa paranoia meningkat, membuatnya curiga terhadap setiap suara, setiap gerakan, setiap bayangan yang melintas. Bahkan angin yang berdesir di luar jendela pun terasa seperti bisikan pengawas yang tak terlihat, sebuah peringatan akan keberadaan mereka. Ia merasa seperti hidup di bawah mikroskop, setiap serat keberadaannya diteliti dan dinilai, setiap kelemahan dieksploitasi.
Ko Min Aung kadang akan mengomentari hal-hal kecil yang ia lakukan, hal-hal yang hanya bisa diketahui jika ia benar-benar diawasi, bahkan di saat-saat yang paling intim. Misalnya, suatu pagi Ko Min Aung berkata, sambil menyesap tehnya, "Kau terlihat sedikit gelisah semalam, Isabella. Apakah ada sesuatu yang mengganggu tidurmu? Kau membalik badan lebih dari biasanya." Kata-kata itu, diucapkan dengan nada santai namun penuh kuasa, adalah bukti nyata bahwa ia memang diawasi bahkan saat ia tidur, menghancurkan sisa-sisa ilusi privasi yang ia miliki, menghancurkan batas terakhir antara dirinya dan pria itu. Setiap komentar seperti itu adalah belati yang menusuk langsung ke jiwanya, menegaskan bahwa Ko Min Aung memiliki kendali penuh atas dirinya, tidak hanya tubuhnya, tetapi juga pikiran dan perasaannya, bahkan alam bawah sadarnya.
Selain pengawasan visual, sentuhan Ko Min Aung juga merupakan bentuk pengawasan dan kontrol yang konstan. Sejak operasi, Ko Min Aung selalu memposisikan Andi sebagai perempuan dalam setiap interaksinya. Ia akan memegang tangan Andi dengan lembut seolah menggandeng seorang kekasih, menyentuh pinggangnya dengan sentuhan posesif, atau menyelipkan helaian rambut Andi ke belakang telinganya dengan gestur penuh perhatian. Namun, di balik semua kelembutan semu itu, ada sebuah penegasan yang kejam: kau adalah perempuan, kau adalah milikku. Dan di kamar mereka, Ko Min Aung sering memeluknya. Pelukan itu bukan pelukan hangat seorang pelindung, melainkan pelukan seorang pemilik, pelukan yang mendekap erat, membatasi gerak, dan menegaskan kepemilikan. Dalam pelukan itu, Andi merasa tercekik oleh aroma tubuh Ko Min Aung, terperangkap oleh lengan yang melingkar kuat. Setiap pelukan, setiap sentuhan pada payudaranya yang baru, adalah pengingat konstan bahwa ia kini adalah Isabella, sebuah entitas yang diciptakan dan dimiliki sepenuhnya oleh pria di hadapannya.
Isabella, si boneka yang sempurna, semakin menjadi kenyataan. Andi yang berjuang di dalam semakin terdesak, suaranya semakin samar, bahkan untuk dirinya sendiri, hingga ia nyaris tak bisa mendengar bisikan hati kecilnya. Pengawasan ini bukan hanya untuk memastikan kepatuhan, tetapi juga untuk menghancurkan identitasnya, sedikit demi sedikit, hingga tak ada lagi Andi yang tersisa, hanya Isabella yang patuh dan tanpa kehendak. Ia merasa seperti sehelai daun yang terbawa arus deras, ditarik ke bawah oleh beban pengawasan yang tak henti, menuju kehampaan yang menakutkan, ke dalam kekosongan tanpa batas. Tidak ada tempat untuk bersembunyi, tidak ada tempat untuk lari, bahkan di dalam benaknya sendiri, karena pikiran-pikirannya pun terasa seperti diawasi. Ia adalah tawanan di dalam sangkar kaca, sebuah penjara yang tak bisa ia lihat, namun sangat ia rasakan di setiap inci keberadaannya.
Keheningan malam di kamar utama Ko Min Aung, yang seharusnya membawa kedamaian setelah hiruk-pikuk siang, justru menjadi medan pertempuran bagi batin Andi yang terdistorsi. Setelah seharian penuh menjalani rutinitas Isabella yang melelahkan dan berada di bawah pengawasan ketat, satu-satunya pelarian yang ia harapkan adalah tidur. Namun, bahkan di alam mimpi, ia tak menemukan ketenangan. Tidurnya adalah arena di mana ketakutan terbesarnya terwujud, berulang kali, tanpa ampun, menggerogoti sisa-sisa kewarasannya.
Malam hari, saat ia mencoba memejamkan mata dan menarik selimut sutra yang dingin di tubuhnya yang kini terasa asing, mimpi buruk sering menghampiri Andi. Mimpi-mimpi itu bukan sekadar bayangan samar yang bisa diusir saat terbangun, melainkan pengalaman yang begitu nyata, begitu mendalam, sehingga sulit dibedakan dari kenyataan pahit yang ia jalani. Ia bermimpi tentang desanya yang terbakar, kobaran api merah jingga menjilat langit malam, melahap gubuk-gubuk bambu yang rapuh, termasuk rumahnya. Aroma asap memenuhi paru-parunya hingga ia terbatuk, panasnya menjilat kulitnya seolah nyata, dan suara retakan kayu yang terbakar begitu memekakkan telinga, bagai jeritan yang tak henti. Dalam mimpi itu, ia melihat orang tuanya yang disiksa, wajah mereka yang kurus kini meringis kesakitan, tangan mereka terikat erat, dan suara erangan mereka menusuk hatinya lebih dalam dari belati manapun, sebuah melodi penderitaan yang tak bisa ia lupakan. Ia juga bermimpi tentang dirinya sendiri yang berlari namun tak bisa bergerak, kakinya terasa berat seperti timah, setiap langkah seolah terperosok ke dalam lumpur hisap yang lengket, sementara bayangan hitam raksasa, personifikasi dari ketakutannya, mendekat di belakangnya, mengejarnya tanpa henti, siap menelannya.
Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, mencerminkan ketakutan terbesarnya: kehancuran keluarganya, dan ketidakberdayaannya sendiri untuk menghentikannya. Setiap adegan dalam mimpi itu adalah penjelmaan dari ancaman Ko Min Aung, sebuah visualisasi mengerikan dari apa yang bisa terjadi jika ia menunjukkan perlawanan, jika ia gagal dalam perannya sebagai Isabella. Sensasi api yang membakar, rasa sakit orang tuanya, dan keputusasaan karena tak bisa bergerak, semua itu merasuk ke dalam jiwanya, menjadi sebuah siksaan yang bahkan lebih kejam daripada pelatihan fisik atau operasi yang ia alami. Karena dalam mimpi, ia tak bisa lari, ia tak bisa berpura-pura, ia tak bisa memakai topeng Isabella. Ia adalah Andi, yang menderita, sepenuhnya, tanpa persembunyian.
Ia sering terbangun dengan keringat dingin, membasahi sekujur tubuhnya, seolah ia baru saja lolos dari neraka yang nyata. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dinding dadanya seperti genderang perang yang tak henti, napasnya terengah-engah dan dangkal, dan air mata membasahi pipinya, aliran air asin yang terasa panas dan memilukan. Mimpi buruk ini menjadi siksaan tambahan yang tak terhindarkan, bukti bahwa trauma yang ia alami tidak hanya mengikis fisiknya, tapi juga meracuni alam bawah sadarnya, menginvasi satu-satunya tempat yang seharusnya menjadi miliknya sendiri, tempat ia bisa bebas. Kelelahan akibat kurang tidur dan ketegangan mental yang konstan semakin memperburuk kondisinya, membuatnya semakin rentan dan rapuh di siang hari, semakin sulit untuk mempertahankan sisa-sisa dirinya.
Setelah salah satu mimpi buruk yang paling mengerikan, saat Andi terisak pelan di atas bantal, tubuhnya bergetar tak terkendali, pintu kamar utama Ko Min Aung terbuka perlahan. Ko Min Aung melangkah masuk, siluetnya yang tinggi dan tegap terlihat di ambang pintu yang remang-remang oleh cahaya lampu malam. Ia melihat Andi yang meringkuk, terisak pelan, tubuhnya bergetar hebat. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya. Ia duduk di tepi ranjang, membuat tempat tidur sedikit melengkung di bawah berat tubuhnya.
"Mimpi buruk lagi, Isabella?" bisiknya, suaranya tenang, namun mengandung nada kepemilikan yang dingin, sebuah pengakuan bahwa ia adalah dalang di balik semua ketakutan itu. Ia tahu betul apa yang menghantui Andi, karena ia yang menaburkan benih-benih kengerian itu.
Andi tidak menjawab, hanya mengangguk pelan, terlalu lelah dan terlalu takut untuk berbicara, bahkan untuk berbisik.
Ko Min Aung mengulurkan tangannya, membelai rambut Andi yang basah oleh keringat. Sentuhannya terasa dingin, namun di balik itu ada kekuatan yang tak terbantahkan, sebuah janji akan kendali mutlak. "Jangan takut, sayang. Aku di sini. Aku akan menjagamu."
Kalimat itu, yang seharusnya menenangkan, justru terasa seperti ancaman yang mengerikan. Bagaimana ia bisa menjaga Andi, jika ia adalah penyebab utama semua ketakutan ini, arsitek dari mimpi buruknya?
Ko Min Aung menarik Andi perlahan ke dalam pelukannya. Tubuhnya yang besar dan berotot membungkus tubuh Andi yang kini lebih ramping dan feminin. Aroma parfum maskulin Ko Min Aung bercampur dengan aroma manis dari lingerie pink dan jubah halus yang dikenakan Andi, menciptakan perpaduan yang memualkan. Andi tidak bisa melawan, tidak bisa meronta, tubuhnya terlalu lemas, jiwanya terlalu lelah. Ia hanya bisa membiarkan dirinya ditarik, tubuhnya gemetar dalam pelukan itu, terperangkap tanpa daya.
Ko Min Aung dengan lembut membelai punggung Andi, kemudian tangannya bergerak naik ke leher, mengusap tengkuknya dengan ibu jari. Kemudian, dengan gerakan pelan dan dominan, tangannya bergerak ke area payudara Andi yang baru, meremas dan menyentuhnya dengan sensual, sebuah tindakan yang menegaskan bahwa ini adalah bagian dari dirinya yang kini telah diubah, sepenuhnya menjadi miliknya, sebuah objek kepuasan. Andi merasakan gelombang jijik dan kehinaan yang membanjiri dirinya, namun ia terpaksa menahan diri, memejamkan mata erat-erat agar tidak melihat apa yang terjadi.
"Kau harus belajar bahwa aku adalah satu-satunya tempat amanmu, Isabella," bisik Ko Min Aung di telinga Andi, suaranya serak namun penuh perintah, mengklaim dirinya sebagai penyelamat sekaligus penawan. "Semua ketakutanmu akan hilang bersamaku."
Setelah beberapa saat memeluk dan membelai Andi, Ko Min Aung selalu memposisikan Andi sebagai perempuan, memperlakukan setiap interaksi fisik sebagai validasi dari identitas Isabella. Ia akan membelai pipinya, menangkup wajahnya, selalu dengan sentuhan yang lembut namun penuh kuasa, seolah sedang mengagumi patung karyanya sendiri. Ia akan mencium kening Andi, lalu turun ke bibirnya, ciuman yang dalam dan posesif, sebuah penegasan bahwa Andi, sebagai Isabella, adalah miliknya sepenuhnya. Dalam setiap sentuhan, Ko Min Aung memastikan tidak ada keraguan tentang peran Isabella, tentang feminitas yang dipaksakan, tentang posisinya sebagai objek keinginan pria itu.
Setelah itu, terjadi keintiman yang tidak diinginkan, sebuah momen di mana Ko Min Aung kembali menegaskan kendalinya penuh atas diri Andi. Ia mengarahkan Andi dengan sentuhan-sentuhan yang lembut namun memaksa, membimbingnya untuk memenuhi setiap keinginan Ko Min Aung, sebuah tindakan yang sepenuhnya di luar kehendak Andi, sebuah penyerahan total yang memilukan. Setiap sentuhan Ko Min Aung, setiap desahan yang keluar dari bibirnya, adalah penegasan bahwa Andi kini adalah Isabella, sebuah entitas yang ia miliki, sepenuhnya di bawah kendalinya. Andi hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat, berusaha memisahkan jiwanya dari raganya, melarikan diri ke dalam kegelapan batin, mencari perlindungan dari kenyataan yang kejam ini. Ia berusaha memikirkan desanya, wajah orang tuanya, suara sungai, apapun yang bisa membuatnya merasa sedikit jauh dari ruangan itu, dari pria itu, dari sentuhan yang menjijikkan itu. Ia membiarkan pikirannya melayang, jauh dari tubuhnya yang diperlakukan sebagai objek.
Ketika fajar mulai menyingsing dan cahaya keemasan masuk melalui celah gorden, Ko Min Aung akhirnya melepaskan Andi dari pelukannya. Ia bangkit dari tempat tidur, merapikan jubah sutranya, dan menatap Andi yang terbaring lemah.
"Tidurlah lagi, Isabella," katanya, suaranya kembali datar dan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa yang mengerikan. "Kau membutuhkan istirahat yang cukup. Aku ingin kau terlihat segar besok."
Ko Min Aung meninggalkan kamar, meninggalkan Andi sendirian lagi, terbaring di tempat tidur yang terasa dingin dan hampa, meskipun baru saja ia berbagi dengan pria itu. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, bukan hanya karena sentuhan Ko Min Aung, tetapi juga karena kehancuran jiwanya. Mimpi buruk di alam nyata ini jauh lebih buruk daripada mimpi buruk di alam bawah sadar. Ia telah kehilangan dirinya, sepotong demi sepotong, hingga tak ada lagi yang tersisa selain Isabella, boneka yang tak berdaya. Dan setiap pagi, ia harus bangun, mengenakan topeng itu, dan menjalani perannya, tahu bahwa siksaan ini tak akan pernah berakhir, dan ia tak bisa berbuat apa-apa.

